Langsung ke konten utama

Tentang Bukit Shimla

Bagian 1. Usangnya Wisma Al-Jaddah

Di pertengahan tahun 2011, hiduplah 4 mahasiswa yang mana kesemuanya merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Unsoed. Mereka tinggal di sebuah rumah di daerah Grendeng Purwokerto. 4 mahasiswa itu bernama  Panji Mulkillah Ahmad, Dwiki Oktobrian, Zulfikar Fauzy, dan Eby Julies Onovia. Rumah kontrakannya itu mereka beri nama : Wisma Al-Jaddah. Nama itu berasal dari pemikiran menyimpang mereka atas tren nama kontrakan waktu itu. Waktu itu di sekitar mereka banyak kontrakan yang diberi nama-nama yang terkesan alim, seperti Wisma Al-Hidayah, Wisma At-Toriq, Wisma Al-Banana, dan lain sebagaiya. Maka nama Al-Jaddah sebenarnya membuat kesan "sindiran" atas mereka semua.

Lambat laun, Al-Jaddah menjadi pusat berkumpul di kalangan mahasiswa. Notabene yang berkumpul ialah mahasiswa dari fakultas hukum, dari organisasi LKHS, dan komunitas Ekspansi. Biasanya mereka berkumpul untuk sekedar bercanda gurau, bermain kartu remi, main game di laptop, dan tertawa-tawa nggak jelas lainnya. Dari Al-Jaddah ini, muncul konsep tipologi macam-macam kaum. Ada kaum Ansor, yakni penghuni asli yang membayar sewa kepada pemiliki rumah kontrakan dan kaum Muhajirin yakni kaum pendatang yang hampir setiap hari menginap di Al-Jaddah. Pembedaan kaum ini disertai juga dengan pembagian kerja yang berbeda. Selain sebagai tempat nongkrong, Al-Jaddah juga biasa dipakai untuk diskusi-diskusi kecil meskipun jarang, rapat organisasi, ritual-ritual suci, bahkan juga perkumpulan rahasia.

Menjelang 1 tahun habisnya masa waktu kontrakan, Panji selaku kaum Anshor yang paling muda diantara kaum Anshor yang lain merasa bahwa Al-Jaddah mulai tidak produktif lagi. Dan ia memperkirakan ke depannya, si Brian, Eby, dan Ozi akan mulai sibuk mengurusi akademiknya (karena mereka setahun lebih tua angkatannya dibanding Panji). Akhirnya Panji mengkonsolidasikan beberapa pemuda militan dari kaum Muhajirin yakni Cipto Prayitno dan Adhi Bangkit Saputra untuk merencanakan terbentuknya konsep rumah kontrakan yang baru sebagai tempat berkumpulnya mahasiswa, tempat bertemunya peradaban. 

Bagian 2. Sebuah Rumah di Daerah Sumampir

Berangkatlah mereka bertiga dengan mengendarai sepeda motor menelusuri jalan dan gang sekitar Grendeng, Bancarkembar, Sumampir, Purwosari, dan Karangwangkal. Berbagai informasi mereka kumpulkan mulai dari kontak pemilik kontrakan, harga sewa per tahun, fasilitas, dan hal-hal strategis lainnya. Mereka penuh kebimbangan dalam memilah dan memilih kontrakan mana yang tepat untuk mereka. Analisis SWOT akhirnya dipakai, dan pertimbangan terakhir memilih sebuah kontrakan di daerah Jl. Riyanto Rt 1/ Rw 4 Nomor 31, Sumampir, Purwokerto Utara dengan hak milik Pak Budi. 

Ketika pertama kali masuk, yang tampak adalah sebuah bangunan tua tanpa lantai yang dipasang ubin, dengan pintu, jendela, dan interior zaman pra kemerdekaan... kesan pertama memandang rumah ini adalah : Unik! Tiap-tiap ruangan berukuran amat luas jika dibanding kontrakan-kontrakan lainnya. Yang muncul di benak mereka adalah, rumah ini didambakan dapat menjadi pusat peradaban, tempat menyenangkan untuk berdiskusi, berkreatifitas, dan berjuang. Dengan harga 6 juta rupiah, Pak Budi pun tak ragu mengontrakkan rumah ini kepada mereka.

Kemudian Cipto, Bangkit, dan Panji bermusyawarah untuk memberi nama kontrakan barunya : Bukit Shimla. Bukit Shimla, diilhami dari film Three Idiot. Yaitu tempat dimana Chatur, Farhan, dan Raju berusaha menemukan Rancho. Dalam kisah, mereka ternyata bertemu Rancho, akan tetapi bukan Rancho yang selama ini mereka kenal. Di sanalah mereka memperoleh pencerahan tentang bagaimana bijaknya seorang Rancho yang mereka kenal, dan kemudian memulai kembali pencarian Rancho yang mereka kenal. Begitu juga dengan Bukit Shimla. Disini adalah sebuah rumah, sebagai tempat persinggahan orang-orang terutama mahasiswa dalam rangka menemukan pencerahan melalui perjuangan pencarian kebenaran.

Bukit Shimla memiliki 4 kamar tidur. Karena pada waktu itu baru ada 3 orang saja yang menghuni Bukit Shimla, maka dengan mengoptimalkan waktu yang ada, mereka mencari satu orang lagi untuk mengisi kamar yang tersisa. Pencarian demi pencarian membuahkan hasil, Naufal Fikri Mujaddid menjadi penghuni keempat  yang mengisi kamar Bukit Shimla.

Hari ini, sampai tulisan ini terbit, hampir satu semester Bukit Shimla berdiri, telah banyak yang terjadi. Semua bagai teater dan dua aliran besarnya, ada tragedi, ada juga komedi. Mulai dari diskusi yang ilmiah sampai tidak ilmiah dari berbagai cabang ilmu dan cabang bukan ilmu, pembangunan perpustakaan, rapat organisasi, rapat gerakan, perkunjungan mahasiswa-mahasiwa dari berbagai fakultas, orang-orang dari berbagai kalangan, saling berbagi kisah, berbagi kebahagiaan, kesedihan, ngerjain tugas bareng, bercanda-canda bareng, dan sebagainya. Dan catatan sejarah di Bukit Shimla akan terus berjalan seiring bergeraknya kehidupan.

Bagian 3. Dan inilah Bukit Shimla



Dari Kampus depan Unsoed, berkelana ke utara sampai ketemu pertigaan Sumampir. Disitu belok kiri ke Jalan Riyanto. Kisaran 30 meter, bersua dengan lapangan sepakbola. Masih dekat dengannya, ada Gang Teratai kemudian masuk kesana. Lalu belok kiri, ada toko aksesoris komputer dan toko baju, dimana dihadapannya ada Bukit Shimla.


Kaum Anshor :
1. Cipto Prayitno (Keuangan dan Kajian)
2. Adhi Bangkit Saputra (Kesenian dan Lingkungan Hidup)
3. Panji Mulkillah Ahmad (Media dan Perencanaan)
4. Naufal Fikri Mujaddid (Perpustakaan dan Pemberdayaan Barang)

Kaum Muhajirin
1. Eby Julies Onovia
2. Ramdani Laksono
3. Ryandani Mulyana (purn)
4. Alkautsar Nedy (purn)
5. Taofik Basumbul
6. Tony Hidayat
7. Ahmad Sucipto
8. Muhammad Abdu Robby


Alamat : Jl. Riyanto Gg. Teratai Rt 1/ Rw 4 No.31, Sumampir, Purwokerto Utara, Banyumas, Jawa Tengah.
Email : bukitshimla@gmail.com
Facebook : http://www.facebook.com/groups/bukitshimla/




Komentar