oleh:
Cipto Prayitno
email: bukitshimla@gmail.com
I.
Pendahuluan
Pada saat ini, sering kali kita
menemui persengketaan atau perelisihan yang terjadi di masyarakat dalam
berbagai kasus hukum, baik itu hukum pidana, perdata, ataupun tata usaha
negara. Tentu saja semua pihak yang terlibat didalam sebuah persengketaan atau
perselisihan tidak ingin kejadian tersebut terjadi.
Akan tetapi dalam pergaulan di
masyarakat, dimana kita hidup di tengah orang yang berbeda tabiat dan
kepentingan, kita pasti tidak akan bisa sama sekali tidak berhadapan dengan
perselisihan. Perselisihan itu bisa disebabkan oleh hal yang sepele, dan tidak
mempunyai akibat hukum apapun. Sebab kalau salah satu pihak dari yang
berselisih merasa bersalah dan tahu tidak berhak atas sesuatu yang
diperselisihkan, perselisihan itu tidak ada atau berakhir tatkala
ketidakbenaran dan ketidakberhakkannya disadari.
Di dalam pergaulan masyarakat,
kedamaian adalah merupakan idaman setiap anggota masyarakat. Kedamaian akan
terwujud antara lain kalau aneka kepentingan yang berbeda dari masing-masing
anggota masyarakat tidak saling bertabrakan atau bertentangan. Dengan
terjadinya sebuah perselisihan atau pertentangan antar kepentingan yang
dimiliki oleh setiap anggota masyarakat, karena setiap anggota masyarakat untuk
mendapatkan hak yang dimilikinya, tidak jarang harus mengenyampingkan hak
anggota masyarakat yang lain, sehingga menimbulkan sebuah pertentangan.
Untuk menghindari gejala tersebut,
mereka yang bersengketa mencari jalan keluar yang lebih praktis dan mudah untuk
diterapkan yang bertujuan untuk mengadakan tata tertib, yaitu dengan membuat
ketentuan atau kaedah hukum, yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat,
agar dapat mempertahankan hidup bermasyarakat. Dalam kaedah hukum yang
ditentukan itu, setiap orang diharuskan untuk bertingkah laku sedemikaian rupa,
sehingga kepentingan anggota masyarakat lainnya akan terjaga dan dilindungi.
Apabila kaedah hukum itu dilanggar,
maka kepada yang bersangkutan akan dikenakan sanksi atau hukuman. Dalam hukum
Indonesia, khususnya hukum pidana, penyelesaian suatu masalah pidana diputuskan
melalui proses peradilan dari mulai proses penyidikan, penuntutan, proses
persidangan, sampai dengan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang
tetap.
Namun dewasa ini cara penyelesaian
sengketa melalui peradilan mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari praktisi
maupun teoritisi hukum. Peran dan fungsi peradilan, dianggap mengalami beban
yang terlampau padat (overloaded). Lamban dan buang waktu (waste of time).
Biaya mahal (very expensive) dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap
kepentingan umum. Atau dianggap terlampau formalistik (formalistic) dan terlampau
teknis (technically).
Menurut Erman Rajagukguk, masyarakat
khususnya kaum bisnis lebih menyukai penyelesaian sengketa di luar pengadilan
disebabkan karena tiga alasan, yaitu: Pertama, penyelesaian sengketa di
pengadilan adalah terbuka, kaum bisnis lebih menyukai sengketa mereka
diselesaikan tertutup, tanpa diketahui oleh publik. Kedua, sebagian masyarakat,
khususnya orang bisnis menganggap hakim tidak selalu ahli dalam permasalahan
sengketa yang timbul. Dan yang Ketiga, penyelesaian sengketa di Pengadilan akan
mencari pihak mana yang salah dan yang benar, sedangkan putusan penyelesaian
sengketa di luar pengadilan akan dicapai melalui kompromi[1].
Dari latar
belakang diatas dapat ditarik beberapa pokok permasalahan yang dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah langkah atau
cara apa yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa di luar proses
pengadilan?
2. Apakah
masyarakat telah mengetahui cara untuk menyelesaikan sengketa di luar proses
pengadilan? Dan kaitakan dengan ilmu sosiologi hukum?
II.
Pembahasan
A.
Langkah-langkah
Dalam Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan
Dewasa
ini kegiatan masyarakat sudah mulai beranaka macam dan fleksibel, hal tersebut
juga dipengaruhi secara besar oleh perkembangan zaman. Karena untuk saat ini,
masyarakat dituntut untuk melakukan banyak aktivitas atau kegiatan supaya
mengatahui perkembangan yang terjadi di dunia untuk saat ini, hal tersebut
lazim dilakukan oleh masyarakat yang berada pada daerah perkotaan yang menuntut
masyarakatnya untuk mengetahui hal-hal yang baru.
Selain
itu, penduduk di perkotaan dalam melakukan aktivitasnya pasti mempunyai
kepentingan, dan setiap kepentingan dari setiap penduduk perkotaan pasti
berbeda satu sama lain, sehingga tidak jarang dalam rangka memenuhi
kepentingannya harus bertentangan dengan kepentingan individu yang lainnya.
Dengan saling bertentangan satu sama lain dalam memenuhi kepentingannya, maka
tidak menutup kemungkinan terjadi sengketa atau perselisihan. Dan juga faktor
heterogen dalam kehidupan perkotaan yang membuat semakin mudah individu atau
kelompok yang bersengketa atau berselisih dengan individu atau kelompok yang
klain.
Jika
dahulu, setiap ada persengketaan atau perselisihan yang terjadi antar individu
atau kelompok maka diselesaikan dengan cara melalui proses pengadilan. Dengan
melalui proses pengadilan yang biasa dilakukan, pasti memerlukan waktu yang
cukup lama, biayanya yang cukup murah, dan prosesnya yang cukup rumit. Dengan
melihat kenyataannya yang seperti itu, maka hal tersebut tidak mencerminkan
bahwa dalam menyelesaikan suatu sengekta atau perselisihan melalui pengadilan
yang mempunyai prinsip biaya murah, sederhana, dan cepat.
Dengan
mengetahui bahwa menyelesaikan suatu sengketa dengan cara melalui proses pengadilan yang tidak sesuai dengan
prinsip pengedilan yang menyelasaikan perkara dengan cepat, sederhana, dan
biaya murah. Maka dewasa ini telah banyak masyarakata, khususnya masyarakat
perkotaan yang menggunakan langkah-langkah yang di luar dari proses pengadilan
dalam menyelesaikan sengekata atau perselisihannya dengan individu atau
kelompok yang lain, dengan alasan bahwa menggunakan proses yang di luar proses
pengadilan cenderung cepat, sederhana, dan memerlukan biaya yang cukup murah
dibanding dengan menyelesaikan sengekta atau perselisihan melalui proses
pengadilan. Selain alasan tersebut, mereka memilih cara-cara yang diluar proses
pengadilan dalam penyelesaian suatu sengketa, dikarenakan bahwa mereka harus
terus beraktivitas dan mereka tidak ingin bahwa proses penyelesaian sengketanya
mengahambat mobilitas kegiatannya
sehari-hari.
Adapun
cara-cara penyelesaian sengketa atau perselisihan yang di luar proses pengadilan
yang biasa digunakan oleh masyarakat sekarang. Menurut Gatot Soemartono ada
beberapa cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan , yaitu:
1. Negosiasi, yaitu cara
untuk mencari penyelesaaian masalah melalui diskusi (musyawarah) secara
langsung antara pihak-pihak yang bersengketa yang hasilnya diterima oleh para
pihak tersebut.
2. Mediasi,
yaitu upaya penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga yang netral,
yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan, yang membantu pihak-pihak
yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima kedua belah
pihak.
3. Arbitrase,
yaitu cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, berdasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat boleh para pihak, dan dilakukan oleh arbiter
yang dipilih dan diberi kewenangan mengambil keputusan[2].
1.
NEGOSIASI
Negosiasi,
yaitu cara untuk mencari penyelesaaian masalah melalui diskusi (musyawarah)
secara langsung antara pihak-pihak yang bersengketa yang hasilnya diterima oleh
para pihak tersebut. Negosiasi dapat
merupakan salah satu penyelesaian sengketa alternatif yang menarik di
Indonesia, karena azas musyawarah dan mufakat yang telah menjiwai bangsa kita.
Negosiasi perundingan langsung antara para pihak yang bersengketa tanpa ada
penengah. Dalam proses negosiasi, negosiator perlu memahami tiga aspek dalam
proses negosiasi yaitu : cultural, legal dan practical. Pertama, budaya antar
bangsa berlainan dalam melihat hukum peranan sarjana hukum, dan kontrak.
Perbedaan budaya mencakup pula cara dan kebiasaan. Hukum bagi masyarakat Barat
diartikan sebagai hak (rights).
Masyarakat
Amerika, umpamanya, dikatakan “very litigios”, hampir selalu menurut hak mereka
melalui Pengadilan. Di masyarakat Timur, terutama yang mempunyai akar ajarab
Confucius, hukum itu dianggap sebagai instrument untuk menjaga ketertiban
(order). Mereka yang mengganggu ketertiban perlu dihukum. Hukum identik dengan
hukuman, yang diputus oleh hakim di Pengadilan. Masyarakat yang litigious
seperti Amerika Serikat, selalu membawa “lawyer” dalam proses negosiasi untuk
merundingkan hak-hak dan kemudian kewajiban mereka. Ini berbeda dalam proses
negosiasi dengan orang Cina, Jepang, Korea. Mereka akan bertanya, jika anda
membawa lawyer, apakah anda mau berbisnis atau mencari-cari kesalahan. Ada
perbedaan persepsi terhadap “lwayer” dalam masyarakat Amerika dan Jepang.
Begitu pula ada perbedaan persepsi mengenai kontrak. Untuk orang Jepang kontrak
adalah simbol kerjasama untuk saling menguntungkan dan bukan merupakan suatu
dokumen hukum.
Aspek Kedua, adalah hukum, setiap
negosiator mutlak memahami peraturan perundang-undangan berkenaan dengan
sengketa yang coba untuk diselesaikan. Mungkin ada peraturan perundang-undangan
yang merupakan “public policy”. Selanjutnya para negosiator perlu mengetahui
instrumen hukum” yang dapat dipergunakan sebagai tanda
tercapainya penyelesaian sengketa lainnya. Ketiga, aspek praktis, yaitu mutlak
perlu bagi negosiator untuk menetapkan target maksimal dan minimal yang hendak
dicapai dalam perundingan untuk menyelesaikan sengketa yang ada. Tim
negosiator, jika dipandang perlu, dilengkapi dengan staf yang mengerti masalah
keuangan,produksi, atau pemasaran.
Tidak ada defenisi yang sederhana
atau lebih luas mengenai negosiasi. Setiap keinginan yang menuntut kepuasan dan
kebutuhan yang harus dipenuhi membuka kesempatan kepada orang untuk masuk dalam
proses negosiasi. Bilamana seseorang bertukar ide dengan maksud mengubah
hubungan, bilamana mereka berusaha untuk mencapai kesepakatan, mereka sedang
bernegosiasi.
2.
MEDIASI
Mediasi,
yaitu upaya penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga yang netral,
yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan, yang membantu pihak-pihak
yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima kedua belah
pihak. Adapun definisi dari sarjana mengenai mediasi Kovach “Facilitated negotiation. It is a process by which a
neutral third party, the mediator, assist disputing parties in reaching a
mutually satisfactory resolution”.
Nolan Haley
“A short term, structured,
task, oriented, participatory intervention process. Disputing parties work with
a neutral third party, the mediator, to reach a mutually acceptable agreement”.
Jika
cara penyelesaian dengan menggunakan diatas gagal atau tidak berhasil, barulah
ditempuh cara-cara lain seperti penyelesaian melalui pengadilan atau arbitrase.
Arbitrase adalah institusi hukum alternatif bagi penyelesaian sengketa di luar
pengadilan. Sebagian besar pengusaha lebih suka menyelesaikan sengketa yang
timbul diantara mereka melalui arbitrase daripada pengadilan. Biasanya arbiter
pertama-tama membahas masalah yang timbul, berusaha mencapai konsesus. Jika
usaha ini gagal, negosiasi diantara anggota panel biasanya melahirkan putusan
yang kompromis. Tidak selalu harus melalui pemungutan suara.
3.
ARBITRASE
Istilah arbitrase berasal dari kata
“Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan
sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”.
Lembaga
arbitrase tidak lain merupakan suatu jalur musyawarah yang melibatkan pihak
ketiga sebagai wasitnya. Dengan perkataan lain, arbitrase adalah suatu cara
penyelesaian sengketa atau perselisihan bisnis dengan bantuan pihak ketiga,
bukan hakim, walaupun dalam pelaksanaan putusannya harus dengan bantuan hakim.
Apabila salah satu pihak kemudian enggan memberikan bantuannya untuk pengambilan
keputusan atau tidak mentaati keputusan yang telah diambil oleh orang yang
mereka berikan wewenang untuk sengketa tersebut, pihak itu dianggap melakukan
breach of contract atau melanggar perjanjian.
Berdasarkan
penelitian kami
tentang keefektifan penggunaan arbitrase dapat disimpulkan bahwa penyelesaian
sengketa melalui arbitrase selalu didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai
berikut:
a.
lebih cepat, karena
putusannya bersifat final dan mengikat, sehingga menghemat waktu, biaya, dan
tenaga;
b.
dilakukan oleh ahli di
bidangnya, karena arbitrase menyediakan para pakar dalam bidang tertentu yang
menguasai persoalan yang disengketakan, sehingga hasilnya (putusan arbitrase)
dapat lebih dipertanggungjawabkan; dan
c.
kerahasiaan terjamin
karena proses pemeriksaan dan putusannya tidak terbuka untuk umum, sehingga
kegiatan usaha tidak terpengaruh.
Beberapa faktor yang merupakan kelemahan arbitrase
adalah sebagai berikut:[3]
a. hanya
untuk para pihak bona fide
Arbitrase hanya bermanfaat untuk para pihak atau pengusaha yang bona fide (bonafid) atau jujur dan dapat dipercaya. Para pihak yang bonafid adalah mereka yang memiliki kredibilitas dan integritas, artinya patuh terhadap kesepakatan, pihak yang dikalahkan harus secara suka rela melaksanakan putusan arbitrase. Sebaliknya, jika ia selalu mencari-cari peluang untuk menolak melaksanakan putusan arbitrase, perkara melalui arbitrase justru akan memakan lebih banyak biaya, bahkan lebih lama daripada proses di pengadilan. Misalnya, pengusaha yang dikalahkan tidak setuju dengan suatu putusan arbitrase, maka ia dapat melakukan berbagai cara untuk mendapatkan penundaan pelaksanaan putusan dengan membawa perkaranya ke pengadilan.
b. Ketergantungan mutlak pada arbiter
Putusan arbitrase selalu tergantung pada kemampuan teknis arbiter untuk memberikan putusan yang tepat dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak. Meskipun arbiter memiliki keahlian teknis yang tinggi, bukanlah hal yang mudah bagi majelis arbitrase untuk memuaskan dan memenuhi kehendak para pihak yang bersengketa. Pihak yang kalah akan mengatakan bahwa putusan arbitrase tidak adil, demikian pula sebaliknya (pihak yang menang akan mengatakan putusan tersebut adil). Ketergantungan secara mutlak terhadap para arbiter dapat merupakan suatu kelemahan karena substansi perkara dalam arbitrase tidak dapat diuji kembali (melalui proses banding).
c. Tidak
ada preseden putusan terdahulu
Putusan arbitrase dan seluruh pertimbangan di dalamnya bersifat rahasia dan tidak dipublikasikan. Akibatnya, putusan tersebut bersifat mandiri dan terpisah dengan lainnya, sehingga tidak ada legal precedence atau keterikatan terhadap putusan-putusan arbitrase sebelumnya. Artinya, putusan-putusan arbitrase atas suatu sengketa terbuang tanpa manfaat, meskipun di dalamnya mengandung argumentasi-argumentasi berbobot dari para arbiter terkenal di bidangnya.
d. Masalah
putusan arbitrase asing
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional memiliki hambatan sehubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan putusannya. Kesulitan itu menjadi masalah yang sangat penting karena biasanya di negara pihak yang kalah terdapat harta yang harus dieksekusi. Oleh karena itu, berhasil tidaknya penyelesaian sengketa melalui arbitrase berkaitan erat dengan dapat tidaknya putusan arbitrase tersebut dilaksanakan di negara dari pihak yang dikalahkan.
B.
PENGETAHUAN
MASYARAKAT MENGENAI PROSES DI LUAR PENGADILAN
Setelah
kita mengetahui, langkah atau cara alternatif yang dapat dilakukan atau diambil
oleh masyarakat untuk menyelesaikan suatu permasalah atau sengketa selain
melalui proses pengadilan. Mengingat masyarakat sekarang mempunyai kesibukan
yang padat di setiap harinya, sehingga apabila mereka menghadapi suatu
permasalahan atau sengketa maka mereka pada umumnya menginginkan penyelesaian
yang mudah karena tidak ingin repot untuk mengikuti proses yang sesuai dengan
proses pengadilan dan pada umumnya mereka mewakilkannya kepada kuasa hukumnya
atau penasihat hukumnya.
Atau
memilih cara atau langkah di luar proses pengadilan pada umumnya, tetapi
permasalahnnya adalah apakah masyarakat telah banyak yang telah mengetahui cara
atau langkah di luar proses pengadilan tersebut tang dimaksud? Oleh karena itu
kami melakukan sebuah penelitian yang sederhana untuk menjawab pertanyaan
tersebut.
Dalam
penelitian sederhana tersebut, kami melakukan penelitian di lingkungan
masyarakat sekitar kampus. Kami mengambil sample
10 orang yang diberikan pertanyaan mengenai cara atau langkah yang dapat
dilakukan untuk menyelesaikan suatu sengketa di luar proses pengadilan.
Dalam
penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa hanya 3 orang yang mengetahuinya,
dan sisanya 7 orang tidak mengetahuinya. Yang 7 orang tersebut hanya mengetahui
bahwa cara yang dapat dilakukan adalah melalui cara damai dan mediasi yang
sebagai mediator adalah ketua RT atau RW. Mungkin cara damai yang dimaksud
adalah langkah negosiasi[4],
karena istilah damai lebih populer atau sering digunakan oleh masyarakat pada
umumnya untuk istilah negosiasi. Sedangkan mereka tidak mengetahui cara/istilah
arbitrase sebagai cara atau langkah
di luar proses pengadilan dalam menyelesaikan suatu sengketa di luar
pengadilan.
Kemudian
mereka biasanya mengambil langkah kekeluargaan terlebih dahulu dalam
menyelesaikan suatu sengketa, baik dengan langkah negosiasi maupun mediasi.
Jika masalah atau sengketa tersebut tetap saja tidak dapat diselesaikan melalui
cara mediasi dan negosiasi, baru mereka menyelesaikan masalah atau sengketa
tersebut dengan melalui proses pengadilan. Hal tersebut digunakan, karena
menurut mereka bahwa masalah atau sengketa lebih baik diselesaikan dengan cara kekeluargaan terlebih dahulu,
dengan alasan bahwa lebih menjamin keadilan bagi para pihak yang terlibat dalam
permasalahan atau sengketa tersebut, tidak menimbulkan suatu kerugian bagi
salah satu pihak dan juga tidak menimbulkan permasalahan yang baru setelah
selesainya masalah atau sengketa tersebut.
Selain
itu, dengan masih banyaknya masyarakat yang tidak atau belum mengatahui apa
yang dimaksud dengan arbitrase, berarti menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa
melalui arbitrase masih kurang diminati oleh kebanyakan masyarakat yang bersengketa.
Sehingga
dapat dikatakan bahwa penyelesaian diluar pengadilan yang diketahui dan
dijalankan oleh masyarakat sekitar Kampus Universitas Jenderal Soedirman adalah
hanya sebatas negosiasi dan mediasi, belum mengenal apa yang disebut dengan
arbritase.
III.
Penutup
Kesimpulan
Selain
penyelesaian perkara melalui pengadilan, dikehidupan masyarakat dikenal pula
dengan penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Penyelesaian diluar pengadilan
ini dilakukan semata-mata karena banyak segi positif yang dapat diperoleh
daripada menggunakan media pengadilan. Didalam penyelesaian perkara diluar
pengadilan dikenal beberapa cara, antara lain: mediasi, arbritase dan
negosiasi.
Didalam
penelitian yang penulis lakukan didaerah sekitar kampus Universitas Jenderal
Soedirman, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan masyarakat stempat akan
penyelesaian sengketa diluar pengetahuan adalah minim. Meskipun minim dalam hal
pengetahuannya, namun masyarakat setempat mempraktekannya didalam penyelesaian
sengketa. Metode yang digunakan masyarakat setempat pada umumnya adalah
negosiasi dan mediasi yang ditengahi oleh pejabat setempat.
IV.
Daftar Pustaka
Kelana, Momo, 2002,
Memehami Undang-Undang Kepolisian,
PTIK Press, Jakarta.
Rajagukguk,
Eman, 2005, Penyelesaian Sengketa
alternatif Negosiasi-Medias-, Konsolidas- Arbitrase, Universitas Indonesia,
Fakultas Hukum, Jakarta.
Soemartono,
Gatot, 2006, Arbitrase dan Mediasi,
Indo PT.Gramedia Pusaka, Jakarta.
_______, Penyelesaian Sengketa Ekonomi, http://aliesaja.wordpress.com/20120/06/03/penyelesaiansengketaekonomi
diakses pada 30 November 2012.
_______, Penyelesaian Sengketa Pidana diluar
Pengadilan Dalam Proses Penyidikan, http://ardon_ws96.wordpress.com/2009/04/03penyelesaiansengketapidanadiluarsidangpengadilandalamprosespenyidikan,
diakses pada 1 Desember 2012.
[1] Erman Rajagukguk, “ Penyelesaian Sengketa Alternatif” Negosiasi-Mediasi-Konsiliasi-Arbitrase, Universitas Indonesia, Fakultas Hukum,Jakarta, 2005.
[2] GATOT SOEMARTONO, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, PT. Gramedia
Pustaka, Jakarta, 2006.
[3] Sumber :
http://aliesaja.wordpress.com/2010/06/03/penyelesaian-sengketa-ekonomi/
[4] Cara negosiasi yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya adalah
biasa menggunakan cara bagaimana orang yang dipercaya sebagai pihak netral ata
dalah hal ini bisa RT/RW atau Lurah/Kepala Desa atau pihak lainnya. Dimana
caranya adalah pihak netral menjadi moderator dan keputusan da dikedua belah
pihak.
Komentar
Posting Komentar