Langsung ke konten utama

Model Pengaturan Penatagunaan Tanah di Wilayah Banyumas dalam Perspektif Hukum Tata Guna Tanah


oleh :
Cipto Prayitno
email: bukitshimla@gmail.com

                        I.            Pendahuluan
Reforma agraria menjadi agenda politik yang oleh UUPA menjadi pokok pikiran utama lahirnya UUPA d Indonesia dengan model pengaturan tentang agraria secara nasionalistis dan unifikasi atas ketentuan hukum agraria yang ada di Indonesia. Sehingga, pelaksanaan reforma agraria menjadi suatu keharusan dalam politik agraria Indonesia hari ini. Salah satu agenda yang tidak terlepas dari adanya reforma agraria sebagaimana diamanatkan oleh UUPA dan dipertegas dalam Tap MPR No. IV/MPR/1978, tata guna tanah juga menajdi hal yang penting untuk terlaksananya reforma agraria secara sistematis dan tepat.
Sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah yang selanjutnya disebut sebagai PP Penatagunaan Tanah, bahwa dalam pasal 1 yang disebut adalah Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputipenguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil.
Akan tetapi, sebelum munculnya UUPA dan agenda reforma agraria yang diamanatkan oleh Tap MPR No. IV/MPR/1978, tata guna tanah Indonesia telah dilakukan, begitupun pada zaman Hindia-Belanda.
Tidak berjalannya tata guna yang tidak sesuai dengan peraturan juga akan berdampak pada terhambatnya reforma agraria sebagaimana telah menjadi politik agraria Indonesia pada hari ini.
Gambaran tentang reforma agraria yang sesuai dengan UUPA belumlah tercapai, karena pada zaman orde baru, agenda reforma agraria yang termuat dalam UUPA sama sekali tidak dilaksanakan dan bahwa dikebiri oleh kehadiran UU Sektoral yang bersifat kapitalistik dan mendegradasi ketentuan yang terdapat dalam UUPA termasuk agenda reforma agraria sebagai politik agraria hari ini.
Masalah-masalah tersebut muncul juga karena sifat dan karakterisktik politik agraria khususnya pertanahan pada orde baru bersifat sentralistik, yang artinya terpusat pada pemerintaha di pusat. Hingga akhirnya memunculkan permasalahan lemahnya dan tidak berjalannya fungsi koordinasi antara pusat dan daerah. Namun, dengan tumbangnya orde baru dan digantikan dengan era reformasi dengan segudang agenda kenegaraan, Indonesia dengan UU otonomi daerah, berhasil mematahkan dominasi pusat dan melakukan transformasi hubungan pusat dan daerah yang harmonis dan tidak terpusat. Daerah diberikan kewenangan untuk mengurusi rumah tangganya sendiri demi terlaksananya kesejahteraan di daerah dan adanya pemerataan pembangunan.
Dengan begitu, agenda dan politik pertanahan yang dulunya bersifat sentralistik, pada era reformasi ini juga dialihkan dan diubah dengan model desentralistik, menekankan pada hubungan antara daerah dan pemerintah pusat dalam pengelolaan dan pelaksanaan politik pertanahan. Sehingga daerah diberikan kewenanga pula untuk mengatur mengenai tat guna tanah yang ada di daerahnya guna tercapainya pembangunan yang merata dan tercapainya reforma agraria sejati.
Banyumas sebagai salah satu wilayah Kabupaten di Indonesia, pun diberikan kewenangan untuk mengatur permasalahan mengenai tata guna tanah yang ada di wilayah Banyumas dengan bersandar pada politik pertanahan nasional dan pengelolaan yang bersifat khusus atau kedaerahan.
Dari uraian latar belakang diatas dapat dilihat mengeai rumusan masalah yang ada, yaitu: Bagaimanakah model pengaturan penatagunaan tanah di wilayah Banyumas?

                     II.            Pembahasan
      A.    Model Penatagunaan Tanah dalam PP No. 16 Tahun 2004
Sebelum dikeluarkannya PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, masalah model perencanaan penggunaan tanah masih merupakan masalah yang belum tuntas artinya masalahnya masih menjadi pembicaraan diantara para perencana pembangunan di Indonesia. Hal ini disebabkan belum ditemukan model perencanaan penggunaan tanah yang dapat dijadikan pedoman oleh para perencana pembangunan.
Adapun faktor-faktornya adalah:
1.      UUPA sendiri hanya mengatur secara garis besarnya saja.
Hal ini bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA (UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria). Pasal 14 menentukan agar Pemerintah membuat “rencana umum” penggunaan tanah untuk berbagai macam kepentingan masyarakat dan negara. Sedang Pasal 15 UUPA menentukan agar penggunaan tanah tidak menimbulkan kerusakan bagi lingkungan hidup termasuk terpeliharanya tingkat kesuburan tanah.
2.      Adanya perbedaan pendapat tentang kedudukan dari rencana penggunaan tanah.
3.      Selama ini pemerintah Indonesia menggunakan model perencanaan penataan wilayah termasuk penggunaan tanah yang diwarisi oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Tetapi setelah keluar PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yang selanjutnya disebut sebagai PP Penatagunaan Tanah, maka sudah ada aturan yang bisa dipergunakan sebagai acuan dalam mengatur dan menyelesaikan persoalan penatagunaan tanah di Indonesia.
PP Penatagunaan Tanah ini adalah merupakan salah satu peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang selanjutnya disebut UU Penataan Ruang, yang berarti penataan tanah ini akan sangat berkaitan dengan penataan ruang sebagaimana dijelaskan dalam UU Penata Ruang.
Hubungan tersebut karena daam suatu wilayah, tanah adalah merupakan dalam suatu ruang/kewilayahan dalam suatu daerah dan tidak terlepas dari bagian ruang tersebut. Sehingga ketika berbicara mengenai masalah pertanahan terlebih pada masalah peruntukan tanah, maka harus melihat rencana tata ruang wilayah dalam suatu daerah.

Ada beberapa Model Perencanaan Penggunaan Tanah yaitu:[1]
1.      Model Zoning
a.       Menurut model ini, tanah di suatu wilayah/daerah tertentu dibagi dalam beberapa zone penggunaan atau kepentingan-kepentingan/kegiatan-kegiatan/usaha-usaha yang dilakukan.

Contoh model zoning yang dikembangkan oleh Ernest W Borgess untuk kota Chicago, dimana wilayah dibagi menjadi:
Wilayah “the loop” yang merupakan wilayah perdagangan yang sering disebut “downtown”.
b.      “The zone in transitions” merupakan wilayah yang disiapkan bagi perkembangan industri dan perdagangan.
c.       “The zone of working men’s homes” merupakan wilayah pemukiman bagi pekerja-pekerja kelas bawah.
d.      “The residential zone” merupakan wilayah pemukiman bagi orang-orang kaya.
e.       “The commuters zone” merupakan wilayah diluar batas kota.
Kelebihan dari model zoning adalah: Tugas perencana penggunaan tanah cukup sederhana.
Adanya jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah warga masyarakat.

Kelemahannya: Tidak adanya ruang atas tanah yang dapat menampung kegiatan-kegiatan yang dipandang merugikan atau mengganggu apabila diletekkan pada zone-zone tertentu.
Akan terjadi perkembangan wilayah yang tidak merata.
Pada suatu saat, suatu zone akan mengalami tingkat kepadatan yang tinggi.

2.      Model Terbuka

Istilah terbuka mempunyai arti bahwa suatu ruang atas tanah dalam satu wilayah tertentu tidak terbagi-bagi dalam zone-zone penggunaan sebagaimana dalam model zoning. Model terbuka menitikberatkan pada usaha-usaha untuk mencari lokasi yang sesuai bagi suatu kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah atau swasta. Untuk memperoleh lokasi yang sesuai, faktor-faktor tertentu harus diperhatikan antara lain:
a.       Data kemampuan fisik tanah

Atas data kemampuan fisik tanah dibuatlah pola penggunaan tanah. Pola penggunaan tanah perkotaan dibuatlah jaringan jalan dengan tetap memperhatikan asas ATLAS. Sedangkan pola penggunaan tanah untuk pedesaan dibuat atas dasar tinggi dan tingkat kemiringan tanah. Atas dasar ini maka suatu wilayah pedesaan dibedakan menjadi beberapa wilayah penggunaan utama yang disebut wilayah tanah usaha.
Wilayah tanah usaha dibedakan menjadi:
Wilayah tanah usaha terbatas.

Ketinggian 1000m
perbedaan ketinggian tanah ini akan membedakan pula perbedaan pola penggunaan tanah.

b.      Keadaan sosial ekonomi masyarakat
Meliputi: kepadatan penduduk, kegiatan yang dilakukan penduduk & mata pencaharian, rata-rata pendapatan perkapita, adat istiadat dll. Data ini penting untuk mencegah keresahan-keresahan masyarakat sebagai akibat adanya kegiatan pembangunan.
c.       Keadaan lingkungan hidup.
Untuk mengetahui pengaruh pembangunan terhadap lingkungan hidup dilakukan dengan AMDAL (analisa dampak lingkungan)
Data mengenai penguasaan tanah yang ada di wilayah tersebut.
a)      Prinsip-prinsip yang dipergunakan dalam model terbuka:
Bahwa perencanaan penggunaan tanah tidak menggariskan kegiatan yang harus diletakkan, tetapi meletakkan kegiatan yang telah digariskan.
b)      Tersedianya peta penggunaan tanah bukan merupakan tujuan tetapi berfungsi sebagai alat atau sarana untuk mecapai tujuan pembangunan.
c)      Bahwa tanah itu sendiri tidak dapat memberikan suatu bagi manusia, tetapi kegiatan yang ada di atasnyalah yang memberikan manfaat dan kemakmuran.
Kebaikan dari model terbuka:
·         Semua kegiatan pembangunan baik pemerintah maupun swasta dilaksanakan dan tertampung, tanpa ada kekawatiran akan terjadi konflik dalam penggunaan tanah.
·         Tanah dapat digunakan sesuai dengan asas-asas penggunaan tanah.
Kelemahan model terbuka adalah kurangnya jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah warga masyarakat. Hak atas tanah warga masyarakat kurang mendapatkan jaminan hukum. Untuk mengatasi ini maka hendaknya proses pembebasan tanah dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

3.      Land Consolidation

Dikenal pula adanya teknik konsolidasi tanah (land consolidation) yaitu teknik penataan kembali lokasi dan batas-batas tanah serta sarana dan prasarana (pelurusan jalan, sungai, saluran pembagian/pembuangan air) sedemikian rupa, sehingga pengkaplingan menjadi berbentuk segi empat panjang dan setiap persil dapat dicapai secara efisien oleh penggarap atau saluran air.
Penatagunaan tanah juga mencakup arti pemeliharaan. Tanah itu harus dipelihara baik-baik menurut cara yang lazim dikerjakan di daerah yang bersangkutan sesuai dengan petunjuk dari jawatan-jawatan yang bersangkutan agar bertambah kesuburan serta dicegah kerusakannya.
Dalam dictum peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah dinyatakan bahwa tanah sebagai kekayaan bangsa Indonesia harus dimanfaatnkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk itu perlu dilakukan konsolidasi tanah sebagai upaya untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penggunaan tanah serta menyelaraskan kepentingan induvidu dengan fungsi sosial tanah dalam rangka pelaksanaan pembangunan.
Konsolidasi tanah ialah kebijaksanaan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
Model penatagunaan tanah yang telah dijelaskan diatas, memang secara tersurat tidak terdapat di dalam ketentuan pasla dalam PP Penatagunaan Tanah, akan tetap model-model tersebut adalah sebagai pengembangan untuk tercapainya tujuan penatagunaan tanah sesuai dengan ketentuan pasal 3 PP Penatagunaan Tanah, yaitu:
a.       mengatur  penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah;
b.      mewujudkan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah agar sesuai dengan arahan fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah;
c.       mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi penguasaan,  penggunaan dan pemanfaatan tanah termasuk pemeliharaan tanah serta pengendalian pemanfaatan tanah;
d.      menjamin kepastian hukum untuk menguasai, menggunakan dan memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan.

      B.     Geografi wilayah Banyumas[2]
Sekilas akan dibahas mengenai kondisi geografis dari wilayah Banyumas, untuk melihat pola pemetaan atau modeling penatagunaan tanah di wilayah Banyumas disesuaikan dengan model yang telah ada dan melihat pada aturan dan tujuan penatagunaan tanah di dalam PP Penatagunaan Tanah.
Wilayah  Kabupaten  Banyumas  terletak  di  sebelah  Barat  Daya  dan  bagian  dari  Propinsi  Jawa  Tengah.
Batas-batas Kabupaten Banyumas adalah :
·         Sebelah Utara: Gunung Slamet, Kabupaten Tegal dan Kabupaten Pemalang.
·         Sebelah Selatan:Kabupaten Cilacap
·         Sebelah Barat: Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Brebes
·         Sebelah Timur: Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Banjarnegara
Luas  wilayah  Kabupaten  Banyumas  sekitar  1.327,60  km2  atau  setara  dengan  132.759,56  ha,  dengan keadaan wilayah antara daratan & pegunungan dengan struktur pegunungan terdiri dari sebagian lembah Sungai  Serayu  untuk  tanah  pertanian,  sebagian  dataran  tinggi  untuk  pemukiman  dan  pekarangan,  dan sebagian pegunungan untuk perkebunan dan hutan tropis terletak dilereng Gunung Slamet sebelah selatan.
Bumi dan kekayaan Kabupaten Banyumas masih tergolong potensial karena terdapat pegunungan Slamet dengan ketinggian puncak dari permukaan air laut sekitar 3.400M dan masih aktif. Kabupaten Banyumas memiliki iklim tropis basah karena terletak di belahan selatan khatulistiwa. Demikian Juga karena terletak diantara  lereng  pegunungan  jauh  dari  permukaan  pantai/lautan  maka  pengaruh  angin  laut  tidak  begitu tampak, namun dengan adanya dataran rendah yang seimbang dengan pantai selatan angin hampir nampak bersimpangan antara pegunungan dengan lembah dengan tekanan rata-rata antara 1.001 mbs, dengan suhu udara berkisar antara 21,4 derajat C - 30,9 derajat C.

     C.     Politik Pertanahan Banyumas
Landasan penatagunaan tanah di Kabupaten Banyumas mendasarkan pada Peraturan Daerah No 10 Tauhn 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bayumas Tahun 2011-2031 atau yang selanjutnya disebut dengan Perda RTRW Banyumas. Perda tersebut mendasarkan pada beberapa dasar hukum penatagunaan tanah yang ada di Indonesia sebagai pertimbangan hukum.
Pelaksanaan penatagunaan tanah sebagai bagian dari penataan ruang wilayah sebagaimana dicantumkan dalam Perda tersebut adalah bersifat jangka panjang dengan memperhatikan beberapa faktor.
Model penatagunaan tanah di wilayah Banyumas menggunakan model penatagunaan yang bersifat Zooning sebagaimana yang dikembangkan oleh Ernest W Borgess untuk kota Chicago, yaitu melakukan ploting-ploting atau pemetaan wilayah dengan membedakan fungsi wilayah atau ruang.
Pemetaan tersebut sebagaimana telah dijelaskan diatas adalah sebagai berikut:
a.       Wilayah “the loop” yang merupakan wilayah perdagangan yang sering disebut “downtown”.
b.      “The zone in transitions” merupakan wilayah yang disiapkan bagi perkembangan industri dan perdagangan.
c.       “The zone of working men’s homes” merupakan wilayah pemukiman bagi pekerja-pekerja kelas bawah.
d.      “The residential zone” merupakan wilayah pemukiman bagi orang-orang kaya.
e.       “The commuters zone” merupakan wilayah diluar batas kota.

Banyumas sebagai Kabupten di wilayah Jawa Tengah memiliki rencana tata ruang dan wilayah yang telah ditetapkan mulai dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2031 di dalam Perda RTRW Kabupaten Banyumas. Itu artinya penatagunaan tanah di wilayah Banyumas tunduk juga pada model penataan yang telah ada di dalam Perda RTRW Banyumas yang mana model yang dianut adalah model penataan wilayah secara zooning.
Ini bisa dilihat dalam pasal 6 ayat (1)  Rencana struktur ruang wilayah Kabupaten terdiri atas: 
a.  sistem pusat kegiatan; dan
b.  sistem jaringan prasarana wilayah.
Kemudian dalam Sistem Pusat Pelayanan Pasal 7 dijelaskan Sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a terdiri
atas:
a.       sistem perkotaan;
Sedangkan dalam pasal 8, dibagi lagi menjadi: pusat kegiatan; dan fungsi pelayanan. Dengan pembagian wilayah-wilayah tertentu pada pasal selanjutnya.
b.      sistem perdesaan.
Dalam pasal 9, sistem pedesaan dibagi kembali menjadi dua wilayah atau sistem, yaitu pusat kegiatan pedesaan dan fungsi pelayanan, dengan pembagian wilayah-wilayah dalam pasal selanjutnya.
Model zooning juga terlihat dalam pasal 24 mengenai pola ruang wilayah yang dibagi menjadi dua wilayah, yaitu:
a.       kawasan lindung, dan
b.      kawasan budidaya
kemudian kawasan-kawasan tersebut dibagi lagi menjadi beberapa wilayah atau kawasan lagi.               
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa penatagunaan tanah sesuai dengan ketentuan pasal 3 huruf d PP Penatagunaan Tanah jo. Pasal 4 ayat (3) PP Penatagunaan Tanah, penatagunaan tanah harus disesuai dengan rencana tata ruang wilayah yang telah ada, yaitu yang diatur dalam Perda RTRW Kabupaten Banyumas. Karena jika melihat pada sisi proses pelaksanaan penatagunaan tanah sebagaimana diatur dalam PP Penatagunaan Tanah, adalah menetukan pola penguasaan kepemilikan tanah yang dalam pasal 22 ayat (1) huruf c, penetapan pola penyesuaian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan Rencana Tata Ruang Wilayah. Melihat pada Perda RTRW tersebut juga disesuaikan pada kondisi gografis wilayah Banyumas.
Itu artinya, bahwa penatagunaan tanah dalam suatu wiayah sebagai pelaksanaan politik agraria secara nasioanl kaitanya dengan hubungan pusat dan daerah, harus melihat pada rencana tata ruang dan wilayah yang telah di tetapkan dalam suatu kabupaten atau kota.
Meliaht pada Perda RTRW Kabupaten Banyumas, bahwa model penataan ruang yang digunakan model zooning , maka juga berlaku untuk model penatagunaan tanah yang ada diwilayah Banyumas.

                     III        Penutup
Bahwa melihat pada model penataan tanah seperti dikemukakan oleh Ernest W Borgess wilayah- wilayah dibagi menjadi:
a.       Wilayah “the loop” yang merupakan wilayah perdagangan yang sering disebut “downtown”.
b.      “The zone in transitions” merupakan wilayah yang disiapkan bagi perkembangan industri dan perdagangan.
c.       “The zone of working men’s homes” merupakan wilayah pemukiman bagi pekerja-pekerja kelas bawah.
d.      “The residential zone” merupakan wilayah pemukiman bagi orang-orang kaya.
e.       “The commuters zone” merupakan wilayah diluar batas kota.
Dan dalam PP Penatagunaan Tanah, untuk politik penatagunaan tanah dalam suatu wilayah sebagaimana diatur dalam pasal 3 dan pasal 4 ayat (3) harus disesuaikan dengan penataan rauang wilayah dalam suatu wilayah yang telah ada, dengan demikain tunduk pada UU Penataan Ruang dan Wilayah juga tunduk pada Perda RTRW suatu Kabupaten atau Kota.
Banyumas sebagai Kabupten di wilayah Jawa Tengah memiliki rencana tata ruang dan wilayah yang telah ditetapkan mulai dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2031 di dalam Perda RTRW Kabupaten Banyumas. Itu artinya penatagunaan tanah di wilayah Banyumas tunduk juga pada model penataan yang telah ada di dalam Perda RTRW Banyumas yang mana model yang dianut adalah model penataan wilayah secara zooning.
  
                      IV.            Daftar Pustaka
Buku
Harsono, Budi, 1999, Hukum Agraria Indonesia ( Sejarah Pembentukan UUPA), Djambatan, Jakarta
Kartasapoetra, G Dkk, 1986, Masalah Pertanahan di Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta
Web/Internet
legalbanking.wordpress.com, diakses pada 12 Januari 2015.
Letak Geogrfis, Web Resmi Pemerintah Kabupaten Banyumas, diakses pada 12 Januari 2015.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043)
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501)
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839)
Peraturan Daerah Kabupaten Bayumas Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyumas Tahun 2011-2031



[1] legalbanking.wordpress.com, diakses pada 12 Januari 2015.
[2] Letak Geogrfis, Web Resmi Pemerintah Kabupaten Banyumas, diakses pada 12 Januari 2015.

Komentar