oleh :
Cipto Prayitno
email: bukitshimla@gmail.com
I.
Pendahuluan
Reforma agraria menjadi agenda politik yang oleh UUPA
menjadi pokok pikiran utama lahirnya UUPA d Indonesia dengan model pengaturan
tentang agraria secara nasionalistis dan unifikasi atas ketentuan hukum agraria
yang ada di Indonesia. Sehingga, pelaksanaan reforma agraria menjadi suatu
keharusan dalam politik agraria Indonesia hari ini. Salah satu agenda yang
tidak terlepas dari adanya reforma agraria sebagaimana diamanatkan oleh UUPA
dan dipertegas dalam Tap
MPR No. IV/MPR/1978, tata guna
tanah juga menajdi hal yang penting untuk terlaksananya reforma agraria secara
sistematis dan tepat.
Sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor
16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah yang selanjutnya disebut sebagai PP
Penatagunaan Tanah, bahwa dalam pasal 1 yang disebut adalah Penatagunaan tanah
adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputipenguasaan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui
pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu
kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil.
Akan tetapi, sebelum munculnya UUPA dan agenda reforma
agraria yang diamanatkan oleh Tap
MPR No. IV/MPR/1978, tata guna
tanah Indonesia telah dilakukan, begitupun pada zaman Hindia-Belanda.
Tidak berjalannya tata guna yang tidak sesuai dengan
peraturan juga akan berdampak pada terhambatnya reforma agraria sebagaimana
telah menjadi politik agraria Indonesia pada hari ini.
Gambaran tentang reforma agraria yang sesuai dengan UUPA
belumlah tercapai, karena pada zaman orde baru, agenda reforma agraria yang
termuat dalam UUPA sama sekali tidak dilaksanakan dan bahwa dikebiri oleh
kehadiran UU Sektoral yang bersifat kapitalistik dan mendegradasi ketentuan
yang terdapat dalam UUPA termasuk agenda reforma agraria sebagai politik
agraria hari ini.
Masalah-masalah tersebut muncul juga karena sifat dan
karakterisktik politik agraria khususnya pertanahan pada orde baru bersifat
sentralistik, yang artinya terpusat pada pemerintaha di pusat. Hingga akhirnya
memunculkan permasalahan lemahnya dan tidak berjalannya fungsi koordinasi
antara pusat dan daerah. Namun, dengan tumbangnya orde baru dan digantikan
dengan era reformasi dengan segudang agenda kenegaraan, Indonesia dengan UU
otonomi daerah, berhasil mematahkan dominasi pusat dan melakukan transformasi
hubungan pusat dan daerah yang harmonis dan tidak terpusat. Daerah diberikan
kewenangan untuk mengurusi rumah tangganya sendiri demi terlaksananya
kesejahteraan di daerah dan adanya pemerataan pembangunan.
Dengan begitu, agenda dan politik pertanahan yang dulunya
bersifat sentralistik, pada era reformasi ini juga dialihkan dan diubah dengan
model desentralistik, menekankan pada hubungan antara daerah dan pemerintah
pusat dalam pengelolaan dan pelaksanaan politik pertanahan. Sehingga daerah
diberikan kewenanga pula untuk mengatur mengenai tat guna tanah yang ada di
daerahnya guna tercapainya pembangunan yang merata dan tercapainya reforma
agraria sejati.
Banyumas sebagai salah satu wilayah Kabupaten di
Indonesia, pun diberikan kewenangan untuk mengatur permasalahan mengenai tata
guna tanah yang ada di wilayah Banyumas dengan bersandar pada politik
pertanahan nasional dan pengelolaan yang bersifat khusus atau kedaerahan.
Dari uraian latar belakang diatas dapat dilihat mengeai
rumusan masalah yang ada, yaitu: Bagaimanakah
model pengaturan penatagunaan tanah di wilayah Banyumas?
II.
Pembahasan
A.
Model
Penatagunaan Tanah dalam PP No. 16 Tahun 2004
Sebelum dikeluarkannya
PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, masalah model perencanaan
penggunaan tanah masih merupakan masalah yang belum tuntas artinya masalahnya
masih menjadi pembicaraan diantara para perencana pembangunan di Indonesia. Hal
ini disebabkan belum ditemukan model perencanaan penggunaan tanah yang dapat
dijadikan pedoman oleh para perencana pembangunan.
Adapun
faktor-faktornya adalah:
1. UUPA sendiri hanya mengatur secara
garis besarnya saja.
Hal ini bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA (UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria). Pasal 14 menentukan agar Pemerintah membuat “rencana umum” penggunaan tanah untuk berbagai macam kepentingan masyarakat dan negara. Sedang Pasal 15 UUPA menentukan agar penggunaan tanah tidak menimbulkan kerusakan bagi lingkungan hidup termasuk terpeliharanya tingkat kesuburan tanah.
Hal ini bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA (UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria). Pasal 14 menentukan agar Pemerintah membuat “rencana umum” penggunaan tanah untuk berbagai macam kepentingan masyarakat dan negara. Sedang Pasal 15 UUPA menentukan agar penggunaan tanah tidak menimbulkan kerusakan bagi lingkungan hidup termasuk terpeliharanya tingkat kesuburan tanah.
2. Adanya perbedaan pendapat tentang
kedudukan dari rencana penggunaan tanah.
3. Selama ini pemerintah Indonesia
menggunakan model perencanaan penataan wilayah termasuk penggunaan tanah yang
diwarisi oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Tetapi
setelah keluar PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yang
selanjutnya disebut sebagai PP Penatagunaan Tanah, maka sudah ada aturan yang bisa
dipergunakan sebagai acuan dalam mengatur dan menyelesaikan persoalan
penatagunaan tanah di Indonesia.
PP Penatagunaan Tanah ini adalah merupakan salah satu
peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang yang selanjutnya disebut UU Penataan Ruang, yang berarti penataan tanah
ini akan sangat berkaitan dengan penataan ruang sebagaimana dijelaskan dalam UU
Penata Ruang.
Hubungan tersebut karena daam suatu wilayah, tanah adalah
merupakan dalam suatu ruang/kewilayahan dalam suatu daerah dan tidak terlepas
dari bagian ruang tersebut. Sehingga ketika berbicara mengenai masalah
pertanahan terlebih pada masalah peruntukan tanah, maka harus melihat rencana
tata ruang wilayah dalam suatu daerah.
Ada beberapa Model Perencanaan Penggunaan Tanah yaitu:[1]
1. Model Zoning
a. Menurut model ini, tanah di suatu
wilayah/daerah tertentu dibagi dalam beberapa zone penggunaan atau
kepentingan-kepentingan/kegiatan-kegiatan/usaha-usaha yang dilakukan.
Contoh model zoning yang dikembangkan oleh Ernest W Borgess untuk kota Chicago, dimana wilayah dibagi menjadi:
Wilayah “the loop” yang merupakan wilayah perdagangan yang sering disebut “downtown”.
b. “The
zone in transitions”
merupakan wilayah yang disiapkan bagi perkembangan industri dan perdagangan.
c. “The
zone of working men’s homes” merupakan wilayah pemukiman bagi pekerja-pekerja kelas
bawah.
d. “The
residential zone”
merupakan wilayah pemukiman bagi orang-orang kaya.
e. “The
commuters zone”
merupakan wilayah diluar batas kota.
Kelebihan dari model zoning adalah: Tugas
perencana penggunaan tanah cukup sederhana.
Adanya jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah warga masyarakat.
Adanya jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah warga masyarakat.
Kelemahannya: Tidak adanya ruang atas tanah yang dapat menampung kegiatan-kegiatan yang dipandang merugikan atau mengganggu apabila diletekkan pada zone-zone tertentu.
Akan terjadi perkembangan wilayah yang tidak merata.
Pada suatu saat, suatu zone akan mengalami tingkat kepadatan yang tinggi.
2. Model Terbuka
Istilah terbuka mempunyai arti bahwa suatu ruang atas tanah dalam satu wilayah tertentu tidak terbagi-bagi dalam zone-zone penggunaan sebagaimana dalam model zoning. Model terbuka menitikberatkan pada usaha-usaha untuk mencari lokasi yang sesuai bagi suatu kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah atau swasta. Untuk memperoleh lokasi yang sesuai, faktor-faktor tertentu harus diperhatikan antara lain:
a. Data kemampuan fisik tanah
Atas data kemampuan fisik tanah dibuatlah pola penggunaan tanah. Pola penggunaan tanah perkotaan dibuatlah jaringan jalan dengan tetap memperhatikan asas ATLAS. Sedangkan pola penggunaan tanah untuk pedesaan dibuat atas dasar tinggi dan tingkat kemiringan tanah. Atas dasar ini maka suatu wilayah pedesaan dibedakan menjadi beberapa wilayah penggunaan utama yang disebut wilayah tanah usaha.
Wilayah tanah usaha dibedakan
menjadi:
Wilayah tanah usaha terbatas.
Wilayah tanah usaha terbatas.
Ketinggian 1000m perbedaan ketinggian tanah ini akan membedakan pula perbedaan pola penggunaan tanah.
b. Keadaan sosial ekonomi masyarakat
Meliputi: kepadatan penduduk, kegiatan yang dilakukan penduduk & mata pencaharian, rata-rata pendapatan perkapita, adat istiadat dll. Data ini penting untuk mencegah keresahan-keresahan masyarakat sebagai akibat adanya kegiatan pembangunan.
Meliputi: kepadatan penduduk, kegiatan yang dilakukan penduduk & mata pencaharian, rata-rata pendapatan perkapita, adat istiadat dll. Data ini penting untuk mencegah keresahan-keresahan masyarakat sebagai akibat adanya kegiatan pembangunan.
c. Keadaan lingkungan hidup.
Untuk mengetahui pengaruh
pembangunan terhadap lingkungan hidup dilakukan dengan AMDAL (analisa dampak
lingkungan)
Data mengenai penguasaan tanah yang ada di wilayah tersebut.
Data mengenai penguasaan tanah yang ada di wilayah tersebut.
a) Prinsip-prinsip yang dipergunakan
dalam model terbuka:
Bahwa perencanaan penggunaan tanah tidak menggariskan kegiatan yang harus diletakkan, tetapi meletakkan kegiatan yang telah digariskan.
Bahwa perencanaan penggunaan tanah tidak menggariskan kegiatan yang harus diletakkan, tetapi meletakkan kegiatan yang telah digariskan.
b) Tersedianya peta penggunaan tanah
bukan merupakan tujuan tetapi berfungsi sebagai alat atau sarana untuk mecapai
tujuan pembangunan.
c) Bahwa tanah itu sendiri tidak dapat
memberikan suatu bagi manusia, tetapi kegiatan yang ada di atasnyalah yang
memberikan manfaat dan kemakmuran.
Kebaikan
dari model terbuka:
·
Semua
kegiatan pembangunan baik pemerintah maupun swasta dilaksanakan dan tertampung,
tanpa ada kekawatiran akan terjadi konflik dalam penggunaan tanah.
·
Tanah
dapat digunakan sesuai dengan asas-asas penggunaan tanah.
Kelemahan
model terbuka adalah kurangnya jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah
warga masyarakat. Hak atas tanah warga masyarakat kurang mendapatkan jaminan
hukum. Untuk mengatasi ini maka hendaknya proses pembebasan tanah dilakukan
sesuai dengan peraturan yang berlaku.
3. Land
Consolidation
Dikenal pula adanya teknik konsolidasi tanah (land consolidation) yaitu teknik penataan kembali lokasi dan batas-batas tanah serta sarana dan prasarana (pelurusan jalan, sungai, saluran pembagian/pembuangan air) sedemikian rupa, sehingga pengkaplingan menjadi berbentuk segi empat panjang dan setiap persil dapat dicapai secara efisien oleh penggarap atau saluran air.
Penatagunaan tanah juga mencakup
arti pemeliharaan. Tanah itu harus dipelihara baik-baik menurut cara yang lazim
dikerjakan di daerah yang bersangkutan sesuai dengan petunjuk dari
jawatan-jawatan yang bersangkutan agar bertambah kesuburan serta dicegah
kerusakannya.
Dalam dictum peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah dinyatakan bahwa tanah sebagai kekayaan bangsa Indonesia harus dimanfaatnkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk itu perlu dilakukan konsolidasi tanah sebagai upaya untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penggunaan tanah serta menyelaraskan kepentingan induvidu dengan fungsi sosial tanah dalam rangka pelaksanaan pembangunan.
Dalam dictum peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah dinyatakan bahwa tanah sebagai kekayaan bangsa Indonesia harus dimanfaatnkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk itu perlu dilakukan konsolidasi tanah sebagai upaya untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penggunaan tanah serta menyelaraskan kepentingan induvidu dengan fungsi sosial tanah dalam rangka pelaksanaan pembangunan.
Konsolidasi tanah ialah
kebijaksanaan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan
tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan untuk
meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alan dengan
melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
Model penatagunaan tanah yang telah dijelaskan diatas,
memang secara tersurat tidak terdapat di dalam ketentuan pasla dalam PP
Penatagunaan Tanah, akan tetap model-model tersebut adalah sebagai pengembangan
untuk tercapainya tujuan penatagunaan tanah sesuai dengan ketentuan pasal 3 PP
Penatagunaan Tanah, yaitu:
a.
mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
bagi berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah;
b.
mewujudkan
penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah agar sesuai dengan arahan fungsi kawasan
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah;
c.
mewujudkan
tertib pertanahan yang meliputi penguasaan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah termasuk pemeliharaan tanah serta
pengendalian pemanfaatan tanah;
d.
menjamin
kepastian hukum untuk menguasai, menggunakan dan memanfaatkan tanah bagi masyarakat
yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah yang telah ditetapkan.
B.
Geografi
wilayah Banyumas[2]
Sekilas akan dibahas mengenai kondisi geografis dari
wilayah Banyumas, untuk melihat pola pemetaan atau modeling penatagunaan tanah
di wilayah Banyumas disesuaikan dengan model yang telah ada dan melihat pada
aturan dan tujuan penatagunaan tanah di dalam PP Penatagunaan Tanah.
Wilayah
Kabupaten Banyumas terletak di
sebelah Barat Daya
dan bagian dari
Propinsi Jawa Tengah.
Batas-batas Kabupaten Banyumas adalah :
·
Sebelah
Utara: Gunung Slamet, Kabupaten Tegal dan Kabupaten Pemalang.
·
Sebelah
Selatan:Kabupaten Cilacap
·
Sebelah
Barat: Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Brebes
·
Sebelah
Timur: Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Banjarnegara
Luas wilayah Kabupaten
Banyumas sekitar 1.327,60
km2 atau setara
dengan 132.759,56 ha,
dengan keadaan wilayah antara daratan & pegunungan dengan struktur
pegunungan terdiri dari sebagian lembah Sungai
Serayu untuk tanah
pertanian, sebagian dataran
tinggi untuk pemukiman
dan pekarangan, dan sebagian pegunungan untuk perkebunan dan
hutan tropis terletak dilereng Gunung Slamet sebelah selatan.
Bumi dan kekayaan Kabupaten Banyumas masih tergolong
potensial karena terdapat pegunungan Slamet dengan ketinggian puncak dari
permukaan air laut sekitar 3.400M dan masih aktif. Kabupaten Banyumas memiliki
iklim tropis basah karena terletak di belahan selatan khatulistiwa. Demikian
Juga karena terletak diantara
lereng pegunungan jauh
dari permukaan pantai/lautan
maka pengaruh angin
laut tidak begitu tampak, namun dengan adanya dataran
rendah yang seimbang dengan pantai selatan angin hampir nampak bersimpangan
antara pegunungan dengan lembah dengan tekanan rata-rata antara 1.001 mbs,
dengan suhu udara berkisar antara 21,4 derajat C - 30,9 derajat C.
C.
Politik
Pertanahan Banyumas
Landasan penatagunaan tanah di Kabupaten Banyumas
mendasarkan pada Peraturan Daerah No 10 Tauhn 2011 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Bayumas Tahun 2011-2031 atau yang selanjutnya disebut dengan
Perda RTRW Banyumas. Perda tersebut mendasarkan pada beberapa dasar hukum
penatagunaan tanah yang ada di Indonesia sebagai pertimbangan hukum.
Pelaksanaan penatagunaan tanah sebagai bagian dari
penataan ruang wilayah sebagaimana dicantumkan dalam Perda tersebut adalah
bersifat jangka panjang dengan memperhatikan beberapa faktor.
Model penatagunaan tanah di wilayah Banyumas menggunakan
model penatagunaan yang bersifat Zooning sebagaimana yang dikembangkan oleh Ernest W Borgess untuk kota Chicago, yaitu
melakukan ploting-ploting atau pemetaan wilayah dengan membedakan fungsi
wilayah atau ruang.
Pemetaan
tersebut sebagaimana telah dijelaskan diatas adalah sebagai berikut:
a. Wilayah “the loop” yang merupakan wilayah perdagangan yang sering disebut “downtown”.
b. “The
zone in transitions”
merupakan wilayah yang disiapkan bagi perkembangan industri dan perdagangan.
c. “The
zone of working men’s homes” merupakan wilayah pemukiman bagi pekerja-pekerja kelas
bawah.
d. “The
residential zone”
merupakan wilayah pemukiman bagi orang-orang kaya.
e. “The
commuters zone”
merupakan wilayah diluar batas kota.
Banyumas sebagai Kabupten di wilayah Jawa Tengah memiliki
rencana tata ruang dan wilayah yang telah ditetapkan mulai dari tahun 2011
sampai dengan tahun 2031 di dalam Perda RTRW Kabupaten Banyumas. Itu artinya
penatagunaan tanah di wilayah Banyumas tunduk juga pada model penataan yang
telah ada di dalam Perda RTRW Banyumas yang mana model yang dianut adalah model
penataan wilayah secara zooning.
Ini bisa dilihat dalam pasal 6 ayat (1) Rencana struktur ruang wilayah Kabupaten
terdiri atas:
a. sistem pusat
kegiatan; dan
b. sistem jaringan
prasarana wilayah.
Kemudian dalam Sistem Pusat Pelayanan Pasal 7 dijelaskan Sistem
pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a terdiri
atas:
a.
sistem
perkotaan;
Sedangkan
dalam pasal 8, dibagi lagi menjadi: pusat kegiatan; dan fungsi pelayanan.
Dengan pembagian wilayah-wilayah tertentu pada pasal selanjutnya.
b.
sistem
perdesaan.
Dalam
pasal 9, sistem pedesaan dibagi kembali menjadi dua wilayah atau sistem, yaitu
pusat kegiatan pedesaan dan fungsi pelayanan, dengan pembagian wilayah-wilayah
dalam pasal selanjutnya.
Model zooning juga
terlihat dalam pasal 24 mengenai pola ruang wilayah yang dibagi menjadi dua
wilayah, yaitu:
a.
kawasan
lindung, dan
b.
kawasan
budidaya
kemudian kawasan-kawasan tersebut dibagi lagi menjadi
beberapa wilayah atau kawasan lagi.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa penatagunaan
tanah sesuai dengan ketentuan pasal 3 huruf d PP Penatagunaan Tanah jo. Pasal 4
ayat (3) PP Penatagunaan Tanah, penatagunaan tanah harus disesuai dengan rencana
tata ruang wilayah yang telah ada, yaitu yang diatur dalam Perda RTRW Kabupaten
Banyumas. Karena jika melihat pada sisi proses pelaksanaan penatagunaan tanah
sebagaimana diatur dalam PP Penatagunaan Tanah, adalah menetukan pola
penguasaan kepemilikan tanah yang dalam pasal 22 ayat (1) huruf c, penetapan
pola penyesuaian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan Rencana
Tata Ruang Wilayah. Melihat pada Perda RTRW tersebut juga disesuaikan pada
kondisi gografis wilayah Banyumas.
Itu artinya, bahwa penatagunaan tanah dalam suatu wiayah
sebagai pelaksanaan politik agraria secara nasioanl kaitanya dengan hubungan
pusat dan daerah, harus melihat pada rencana tata ruang dan wilayah yang telah
di tetapkan dalam suatu kabupaten atau kota.
Meliaht pada Perda RTRW Kabupaten Banyumas, bahwa model
penataan ruang yang digunakan model zooning
, maka juga berlaku untuk model penatagunaan tanah yang ada diwilayah
Banyumas.
III Penutup
Bahwa melihat pada model penataan tanah seperti
dikemukakan oleh Ernest
W Borgess wilayah- wilayah
dibagi menjadi:
a. Wilayah “the loop” yang merupakan wilayah perdagangan yang sering disebut “downtown”.
b. “The
zone in transitions”
merupakan wilayah yang disiapkan bagi perkembangan industri dan perdagangan.
c. “The
zone of working men’s homes” merupakan wilayah pemukiman bagi pekerja-pekerja kelas
bawah.
d. “The
residential zone”
merupakan wilayah pemukiman bagi orang-orang kaya.
e. “The
commuters zone”
merupakan wilayah diluar batas kota.
Dan
dalam PP Penatagunaan Tanah, untuk politik penatagunaan tanah dalam suatu
wilayah sebagaimana diatur dalam pasal 3 dan pasal 4 ayat (3) harus disesuaikan
dengan penataan rauang wilayah dalam suatu wilayah yang telah ada, dengan
demikain tunduk pada UU Penataan Ruang dan Wilayah juga tunduk pada Perda RTRW
suatu Kabupaten atau Kota.
Banyumas
sebagai Kabupten di wilayah Jawa Tengah memiliki rencana tata ruang dan wilayah
yang telah ditetapkan mulai dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2031 di dalam
Perda RTRW Kabupaten Banyumas. Itu artinya penatagunaan tanah di wilayah
Banyumas tunduk juga pada model penataan yang telah ada di dalam Perda RTRW
Banyumas yang mana model yang dianut adalah model penataan wilayah secara zooning.
IV.
Daftar
Pustaka
Buku
Harsono, Budi, 1999, Hukum
Agraria Indonesia ( Sejarah Pembentukan UUPA), Djambatan, Jakarta
Kartasapoetra, G Dkk, 1986, Masalah Pertanahan di Indonesia,
PT. Bina Aksara, Jakarta
Web/Internet
legalbanking.wordpress.com,
diakses pada 12 Januari 2015.
Letak Geogrfis, Web Resmi Pemerintah Kabupaten Banyumas, diakses pada 12 Januari 2015.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara
Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043)
Undang-undang
Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor
115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501)
Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839)
Peraturan
Daerah Kabupaten Bayumas Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyumas
Tahun 2011-2031
[1] legalbanking.wordpress.com, diakses pada 12
Januari 2015.
[2] Letak
Geogrfis, Web Resmi
Pemerintah Kabupaten Banyumas, diakses pada 12 Januari 2015.
Komentar
Posting Komentar