Langsung ke konten utama

Pandangan Mazhab-Mazhab dalam Filsafat Hukum terhadap Putusan No. 1630/Pid.B/PN. BKS.



I.            Pendahuluan
Masyarakat merupakan suatu kumpulan yang terdiri dari beberapa individu dimana masing-masing individu tersebut memiliki masing-masing kepentingannya yang tentu sangat dimungkinkan untuk terjadinya perbenturan kepentingan, perbenturan masing-masing kepentingan yang terjadi di dalam masyarakat disebut sebagai konflik. Dalam rangka menanggulangi konflik tersebut, dibutuhkanlah hukum. Hukum dapat dikatakan sebagai peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia itu seyogyanya berperilaku dan bersikap di dalam masyarakat agar kepentingannya dan kepentingan orang lain terlindungi[1]. Penggunaan kata “dapat dikatakan” tersebut sesungguhnya merupakan penegasan bahwa masih banyak pengertian-pengertian lain mengenai hukum yang disampaikan oleh sarjana atau pakar hukum lainnya, hal ini disebabkan karena hingga pada saat ini masih belum terdapat konsensus mengenai pengertian dari hukum itu sendiri.
Hukum berdasarkan kepentingannya dibedakan menjadi hukum publik dan hukum privat. Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dan warga negaranya, sedangkan hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan sesama warga negara. Salah satu contoh konflik di bidang hukum publik adalah pembunuhan, sedangkan salah satu contoh di bidang hukum privat adalah wanprestasi atau ingkar janji. Dalam makalah ini, contoh konflik yang dipergunakan adalah pembunuhan.
Berbicara mengenai hukum tentu tidak akan pernah lepas dari penegakan hukum, hal ini disebabkan karena pada hakikatnya hukum hanyalah sebagas aturan yang bentuknya ada yang tertulis maupun tidak tertulis. Operasionalisasi atau penerapan hukum tidaklah mungkin dapat dilakukan oleh hukum itu sendiri, oleh karenanya hukum memerlukan penegak hukum untuk dapat mengoperasionalisasikan hukum tertutama ketika mengahadapi konflik. Dalam konteks pidana, aparat penegak hukumnya terdiri dari polisi, jaksa, hakim, dan sipir. Kesemua penegak hukum di bidang pidana tersebut merupakan kesatuan dalam sistem peradilan pidana[2].
Makalah ini memandang suatu putusan pidana yang dijatuhkan oleh hakim dengan nomor Putusan No. 1630/Pid.B/PN. BKS, putusan tersebut perlu dipandang dalam konteks filsafat hukum karena dengan filsafat hukum mampu memahami hukum hingga ke akar-akarnya. Sebagaimana Muhadi mengatakan bahwa filsafat hukum ialah filsafat tentang hukum yakni filsafat tentang segala sesuatu di bidang hukum secara mendalam sampa ke akar-akarnya secara sistematis[3]. Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, mengemukakan bahwa terdapat beberapa aliran atau mazhab di dalam filsafat hukum, yakni[4]:
1.      Aliran hukum alam
2.      Positivisme hukum
3.      Utilitarianisme
4.      Mazhab sejarah
5.      Sociological yurisprudence
6.      Realisme
Masing-masing dalam mazhab ini memiliki pandangan yang berbeda dalam memandang filsafat hukum. Sehingga oleh karenanya makalah ini disusun dengan judul Pandangan Mazhab-Mazhab dalam Filsafat Hukum terhadap Putusan No. 1630/Pid.B/PN. BKS.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang, disusunlah perumusan masalah sebagai berikut: “Bagaimana perspektif Penalaran Hukum dari Putusan No. 1630/Pid.B/PN. BKS?”
  
II.            Pembahasan
A.      Putusan Perkara Pidana No. 1630/Pid.B/Pn. Bks
Kasus Posisi
Pada hari Minggu tanggal 31 Juli 2011 sekitar jam 10.00 WIB Terdakwa yang bernama Raymon Fnal bin Agus pergi dari rumah menuju Pasar Proyek Bekasi Timur untuk membeli Sparepart Computer, setelah itu Terdakwa pulang kerumahnya dan tidak menemukan korban Wahyuningsih (isteri terdakwa). Pada sekitar jam 17.00 WIB korban Wahyuningsih baru pulang sehingga Terdakwa berpikiran buruk bahwa korban telah jalan dengan seorang laki-laki. Pada sekitar jam 17.30 WIB Terdakwa keluar rumah untuk makan di sebuah warung, dan setelah makan dengan perasaan marah Terdakwa berencana hendak membakar korban Wahyuningsih, beberapa menit kemudian Terdakwa membeli 2 (dua) liter bensin di pedagang eceran di Jalan Baru Bekasi Timur, setelah itu Terdakwa langsung pulang dan meletakan bensin tersebut di teras depan rumah, kemudain Terdakwa masuk rumah dan menonton TV di kamar, dan pada sekitar jam 23.00 WIB terdakwa mengambil botol plastik yang berisikan bensin tersebut dan membawanya ke dalam kamar tidur Terdakwa.
Pada dini hari sekitar jam 02.00 WIB Terdakwa keluar dari kamar tidurnya menuju ruang tamu tempat korban Wahyuningsih sedang tidur sambil membawa cairan bensin dan korek api kayu yang telah dipersiapkan dan langsung saja Terdakwa menyiramkan bensin tersebut ke seluruh tubuh korban yang sedang tidur beralaskan kasur busa, spontan korban Wahyuningsih terbangun dan berteriak minta tolong, namun Terdakwa tidak peduli bahkan langsung menyalakan korek api kayu dan melemparnya ke arah tubuh korban sehingga tubuh korbanpun terbakar, melihat kejadian tersebut anak korban yaitu saksi Susanti Binti Raymond langsung menuju kamar mandi untuk mengambil ember yang berisi air dan disiramkan ke tubuh korban sambil berteriak “tolong...tolong...” Oleh karenanya kasur ikut terbakar dan api semakin membesar di ruang tamu tersebut, tetanggapun ikut berdatangan dan membantu memadamakan api tersebut.
Setelah api padam korban Wahyuningsih di bawa ke rumah sakit Thamrin Jakarta Pusat, dan Terdakwa dapat diamankan serta diserahkan ke Polres Metro Bekasi untuk diproses lebih lanjut. Akibat perbuatan Terdakwa korban Wahyuningsih mengalami luka di sekujur tubuh dan wajahnya sesuai dengan Visum Et Repertum tanggal 4 Agustus 2011 yang ditandatangani oleh Dr. Yefta Moenadjat SpBPCK dari Rumah Sakit MH. Thamrin Jakarta dengan kesimpulan bahwa korban Wahyuningsih mengalami lika bakar derajat 2-3- Kritis 51%, Cedera Inhalasi (Gangguan Pernapasan), Gangguan Sirkulasi Sistemik, kelainan-kelainan tersebut disebabkan oleh kontak dengan sumber panas (api). Mengakibatkan oleh karena hal-hal tersebut terjadilah bahaya maut, penyakit (luka) yang tidak diharapkan akan sembuh, tak mungkin melakukan pekerjaan dan jabatan untuk selamanya, kehilangan panca indera dan setelah dirawat beberapa hari pada tanggal 06 Agustus 2011 sekitar jam 05.00 WIB korban Wahyuningsih meninggal dunia di Rumah Sakit MH. Thamrin sesuai dengan Sertifikat Medis Penyebab Kematian No. Rekam Medis 147859  tanggal 06 Agustus 2011 yang ditandatangani oleh Dr. Ronal dari Rumah Sakit MH. Thamrin Salemba (MHTS).

Amar Putusan[5]
M E N G A D I L I :
1.      Menyatakan Terdakwa yaitu Terdakwa  terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pembunuhan Berencana” ;
2.      Menjatuhkan putusan terhadap Terdakwa  dengan pidana penjara selama : 13 (tiga belas) tahun ;
3.      Menetapkan masa tahanan yang telah pernah dijalankan oleh Terdakwa dikurangkan segenapnya dari pidana yang dijatuhkan ;
4.      Memerintahkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan ;
5.      Memerintahkan agar barang bukti berupa
-        1 (satu) buah korek api kayu dirampas untuk dimusnahkan ;
-        2 (dua) buah botol bekas bensin dirampas untuk dimusnahkan ;
-        2 (dua) buah akta nikah dikembalikan kepada keluarga Terdakwa ;
6.      Menghukum supaya Terdakwa membayar ongkos perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) ;
B.       Analisa Putusan NO. 1630/PID.B/PN. BKS Menurut Filsafat Hukum
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai korelasi antara jenis-jenis penalaran hukum (paradigma hukum) dalam melihat putusan NO. 1630/PID.B/PN. BKS. Akan tetapi sebelum masuk pada penjelasan tentang hubungan atau korelasi antara penalaran hukum dan kasus tersebut, akan terlebih dahulu dijelaskan tentang apa yang dimaksud dengan jenis-jenis penalaran hukum atau lebih tepatnya paradigma hukum.
a.      Aliran Lex Naturalis (Hukum Alam)
Para pemikir zaman dahulu umumnya menerima suatu hukum, yaitu hukum alam atau hukum kodrat. Berbeda dengan hukum positif sebagaimana diterima oleh orang dewasa ini, hukum alam yang diterima sebagai hukum tersebut bersifat tidak tertulis. Hukum alam ditanggapi tiap-tiap orang sebagai hukum oleh sebab menyatakan apa yang termasuk alam manusia sendiri, yaitu kodratnya. Huijbers membedakan penggunaan stilah hukum alam dengan hukum kodrat, menurutnya istilah yang benar untuk menyatakan hukum adalah hukum kodrat bukan hukum alam. Dasar pendapatnya adalah pengertian istilah latin lex naturalis apabila diterjemahkan daam bahasa Indonesia adalah hukum kodrat, sedangkan bahasa latin dari hukum alam adalah lex naturae.[6] Oleh karenanya sebaiknya lex naturalis diterjemahkan sebagai hukum kodrat untuk penyusunan literatur selanjutnya.
Hukum kodrat memiliki kekuatan yang lebih daripada hukum positif karena menyangkut makna kehidupan manusia sendiri. Karenanya hukum itu mendahului hukum positif atau hukum yang dirumuskan dalam undang-undang dan berfungsi sebagai azas bagi hukum yang dirumuskan dalam undang-undang tersebut[7]. Sarjana yang mempergunakan istilah hukum alam berpandangan yang sama, dimana hukum alam dalam masa modern ini lebih dikenal sebagai asas-asas hukum yang umum[8].
Pembunuhan yang dilakukan oleh raymon merupakan kasus pidana, oleh karenanya kita perlu memandang asas-asas yang berlaku dalam sistem hukum pidana Indonesia. Asas yang berlaku tersebut adalah Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali) Terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu. Dalam catatan sejarah asas ini dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach dalam teori : “vom psychologishen zwang (paksaan psikologis)” dimana adagium : nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang mengandung tiga prinsip dasar :
-       Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang)
-       Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)
-       Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana yang terlebih dulu ada)
Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan yang telah dirumuskan secara tegas dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau selama waktu tertentu paling lama 20 tahun.
Oleh karena hal tersebut, maka Putusan Nomor No. 1630/Pid.B/PN. BKS sudah benar karena telah menerapkan asas legalitas dimana pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa merupakan  perbuatan yang secara tegas telah dirumuskan dalam undang-undang.
b.      Positivisme Hukum
Sebelum lahirnya mazhab ini, telah berkembang suatu pemikiran dalm ilmu hukum yang dikenal sebagai legisme. Pemikiran hukum ini berkembang semenjak abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh di berbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia. Aliran ini mengidentikkan hukum dengan undang-undang. Tidak ada hukum diluar undang-undang.mazhab ini dipelopori oleh August Comte dan Cours de Philosopie Positieve, banyak kalangan berpendapat bahwa mazhab ini mematikan minat orang untuk berfilsafat hukum karena kurangnya perhaian terhadap hukum yang dicita-citakan (ius consituendum) serta dijauhkannya dari nilai-nilai baik dan buruk dan hal-hal yang menyangkut keadilan[9].
Prof H.L.A. Hart[10] menguraikan ciri-ciri pengertian positivisme sebagai berikut:
·      Hukum adalah perintah dari manusia (command of human being);
·      Tidak ada hubungan mutlak atau penting antara hukum dan moral, atau hukum sebagaimana yang berlaku atau ada dan hukum yang seharusnya;
·      Analsis konsepsi hukum adalah:
1)      Mempunyai arti penting,
2)      Harus dibedakan dari penyelidikan:
-        Historis mengenai sebab-musabab dan sumber-sumber hukum,
-        Sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya, dan
-        Penyelidikan hukum secara kritis atau penilaian, baik yang didasarkan moral, tujuan sosial, fungsi hukum dan lain-lainnya.
·         Sistem hukum adalah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup dalam mana keputusan-keputusan hukum yang benar atau tepat biasanya dapat diperolah dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik, dan ukuran-ukuran moral,
·         Pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian atau percobaan.
Putusan hakim pada perkara Nomor 1630/Pid.B/PN Bks apabila kita lihat memiliki aspek-aspek moral sebagaimana tercantum dalam pertimbangan hakim seperti:


Hal yang meringankan:
-        Terdakwa mengakui terus terang segala perbuatannya sehingga memperlancar jalannya persidangan;
-        Terdakwa bersikap sopan;
-        Terdakwa belum pernah dihukum dan Terdakwa sudah tua;
Dengan melihat pernyataan tiada hukum dilur undang-undang, seharusnya putusan tersebut berdasarkan Pasal 340 KUHP dilaksanakan secara konsisten dan kosekuen dimana terdakwa dijatuhi hukuman setidak-tidaknya penjara selama 20 tahun. Pertimbangan dalam putusan hakim tersebut membuktkan bahwa hukum bukan merupakan sistem yang tertutup karena putusan tersebut dipengaruhi oleh aspek moral. Pertimabangan hukum dari hakim yang demikian telah menunjukan bahawa putusan No. 1630/pid.B/PN. Bks tidaklah menerapkan mazhab positivisme hukum.
c.       Utilitarianisme
Tokoh terkemuka dari Mazhab ini adalah Jeremy Bentham (1748-1832), John Stuart Mill (1806-1873) dan Rudolf von Jhering (1818-1889). Jeremy Bentham mengemukakan prinsip mazhab utilitarianisme dalam lingkungan hukum, yaitu manusia akan bertindak untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan. Ukuran baik buruknya suatu perbuatan manusia tergantung pada apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan atau tidak. Pemidanaan, menurut Bentham harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan, dan berapa kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya bisa diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar[11].
Bentham selanjutnya berpendapat bahwa pembentuk undang-undang hendaknya dapat melahirkan undang-undang  yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu. Dengan berpegang pada prinsip tersebut, perundangan itu hendaknya dapat memberikan kebahagiaan yang terbesar bagi sebagian besar masyarakat (the greats happines for the greates number).
Dalam putusan No. 1630/Pid.B/2011/PN.BKS hakim menjatuhkan pidana penjara selama 13 Tahun kepada terdakwa karena pembunuhan berencana terhadap isterinya. Menurut pandangan mazhab utilitarianisme, pemidanaan harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan, dan berapa kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya bisa diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar. Kejahatan yang dilakukan terdakwa dengan pembunuhan berencana terhadap isterinya telah menyebabkan keresahan dalam masyarakat, terlebih lagi seharusnya terdakwa melindungi dan menjaga isterinya tersebut, bukan malah menghabisi nyawanya. Pidana penjara yang diberikan hakim berupa pidana penjara selama 13 tahun diharapkan dapat mencegah orang lain agar tidak melakukan kejahatan yang sama.
d.      Mazhab Sejarah
ada dua pengaruh terhadap lahirnya mazhab ini, yaitu pengaruh Montesqueu dalam bukunya L’esprit de Lois yang telah terlebih dahulu mengemukakan tentang adanya hubungan antara jiwa suatu bangsa dengan hukumnya, dan pengaruh paham nasionalisme yang mulai timbul pada abad ke-19. Lahirnya mazhab ini juga merupakan suatu reaksi langsung terhadap suatu pendapat yang diketengahkan oleh Thibaut dalam pamfletnya yang berbunyi Uber Die Notwendigkeit Eines Allegeminen Burgelichen Recht Fur Deutschland, keperluan akan adanya kodifikasi hukum perdata bagi Jerman. Ahli hukum perdata Jerman ini menghendaki agar di Jerman diperlakukan kodifikasi perdata dengan dasar hukum Prancis (Code Napoleon).
Pada bagian lain von Savigny lewat karangannya menegaskan inti ajarannya bahwa hukum itu tidak di buat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Pandangannya bertitik tolak bahwa di dunia ini terdapat banyak bangsa, dan tiap-tiap bangsa tadi memiliki suatu Volksgeist (jiwa rakyat). Jiwa ini berbeda, baik menurut waktu maupun tempat. Pencerminannya nampak pada kebudayaannya masing-masing yang berbeda-beda. Hukum bersumber dar jiwa rakyat ini; oleh karena itu tidaklah masuk akal kalau terdapat hukum yang sifatnya universal dan abadi[12]. Savigny juga mengatakan bahwa isi hukum itu ditentukan dari pergaulan hidup manusia dari masa ke masa. Hukum berkembang dari suatu masyarakat sederhana yang tercermin dari setiap tingkahlaku individu-individu kepada masyarakat yang lebih kompleks, dimana kesadaran hukum rakyat nampak pada ucapan-ucapan para ahli hukumnya. Savigny memandang rendah kekaguman pada kodifikasi hukum, yang modern di Prusia, Austria dan Perancis (yang meniru Kodifikasi Romawi). Menurutnya perlu studi ilmiah tentang system hukum tertentu, dalam perkembangan yang kontinyu dan tiap-tiap generasi mengadaptasikan hukum itu sesuai dengan kebutuhannya (contoh: “corpus juris” di Romawi sebelum terbentuk disesuaikan dengan kebutuhannya)[13].
Adapun kelemahan dari ajaran Savigny adalah suatu aspek yang ironis dari ajaran Savigny dan Puchta, bahwa sementara menekankan “watak kebangsaan dari segala hukum”, mereka sendiri mengambil inspirasi dari hukum Romawi dan dalam karya-karya utamanya menyesuaikan (hukum Romawi) dengan kondisi modern.
Jika dilihat penerapan hukum dalam Putusan No. 1630/Pid.B/2011/PN.BKS, maka tidak sesuai dengan mazhab sejarah. Karena putusan pidana penjara selama 13 tahun yang dijatuhkan oleh hakim terhadap terdakwa mengacu pada hukum yang telah ikodifikasi yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dakwaan Penuntut Umum pun berdasarkan KUHP, yaitu pada pasal-pasal yang terdapat pada KUHP diantaranya Pasal 338 dan 340 serta Pasal 44 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sedangkan jika ingin menerapkan hukuman yang sesuai dengan Mazhab Sejarah tersebut maka dengan kata lain pemidanaan yang dijatuhkan terhadap terdakwa harus sesuai dengan hukum adat yang menjadi kebiasaan dan hukum yang tidak terkodifikasi, pemidanaan tersebut harus sesuai dengan waktu dan tempat di mana terjadinya kejahatan tersebut.
e.       Sociological Yurisprudence
Menurut mashab sociological Jurisprudence hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Mashab  ini dopelopori oleh Eugen Ehrlich, ahli hukum dari Austria. Pokok ajarannya adalah pembedaan antara hukum positif (the positif law) dengan hukum yang hidup (the living law), atau dengan kata lain pembedaan antara kaidah-kaidah hukum dengan kaidah-kaidah sosial yang lainnya.
Teori dari mashab ini mengemukakan bahwa titik pusat perkembangan hukum tidak terletak pada undang-undang, putusan hakim, atau ilmu hukum, tetapi pada masyarakat itu sendiri. Hukum adalah “hukum sosial” ia lahir dalam dunia pengalaman manusia yang bergumul dengan kehidupan sehari-hari. Ia terbentuk lewat kebiasaan. Kebiasaan itu lambat laun mengikat dan menjadi tatanan yang efektif. Kekuatan mengikat “hukum yang hidup” itu tidak ditentukan oleh kewibawaan negara.[14]
Jika mashab sosiological jurisprudence diterapkan dalam kasus diatas maka dapat kita analisis dari putusan pidana yang diberikan oleh majelis hakim kepada tersangaka yang menjatuhkan pidana penjara selama 13 (tiga belas) tahun. Hal yang paling penting yang harus kita ingat adalah hukum tidak terletak pada putusan hakim tetapi pada masyarakat. Maka jika mashab ini diterapkan yang seharusnya berlaku adalah hukum adat dari masyarakat setempat.
Namun jika ketentuan hukum adat yang dipergunakan akan muncul banyak kontroversi. Hal tersebut dikarenakan locus delikti atau tempat terjadinya perkara pidana berada di Indonesia yang sudah pasti merupakan negara hukum dan khusunya dilakukan di Bekasi yang merupakan kota besar dengan masyarakatnya yang heterogen sehingga mayoritas dari penduduknya tidak menggunakan hukum adat melainkan hukum negara. Selain hal itu akan sulit untuk menentukan ukuran apa yang dipakai untuk menentukan bahwa suatu kaidah hukum merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga mashab sociological jurisprudent tidak tepat digunakan dalam kasus tersebut.
f.       Realisme
                        Realisme hukum berkembang bersamaan dengan sociological yurisprudence. Realisme Hukum berpendapat  bahwa tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai ada            putusan hakim terhadap perkara itu. Apa yang dianggap sebagi hukum dalam buku-buku, baru merupakan taksiran tentang bagaimana hakim akam memutus. Realisme dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu :
·      Realisme Amerika oleh Oliver Wendel Holmes Jr yang berpendapat bahwa yang disebut sebagai hukum adalah dugaan-dugaan tentang apa yang diputuskan oleh pengadilan. Aturan hukum di meta Holmes, hanya menjadi satu faktor yang patut dipertimbangkan dalam keputusan yang berbobot. Faktor moral, kemanfaatan, dan keutamaan kepentingan sosial menjadi faktor yang tidak kalah penting dalam mengambil keputusan ‘yang berisi’.[15]
·      Realisme Skandinavia oleh Herbert Lionel Adolphus Hart. HLA. Yamg berpendapat bahwa hukum harus dilihat baik dari aspek internal maupun dari aspek ekternalnya. Materi hukum diturunkan dari prinsip-prinsip moral, termasuk prinsip dari kenyataan hidup. Selain itu yang disebut hukum, hanyalah menyangkut aspek formal, atinya suatu hukum dapat saja disebut hukum, walaupun secara material tidak layak untuk ditaati karena bertentangan dengan prinsip moral.
            Jika kita menganalisis putusan diatas dengan menggunakan mahsab realisme maka yang harus dikaji adalah pertimbangan-pertimbangan majelis hakim dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa. Dalam hal ini, hakim diharap tidak hanya menjadi corong undang-undang yang hanya mengikuti ketentuan yang tertulis dalam undang-undang namun lebih dari itu hakim juga harus memperhatikan faktor-faktor lain seperti faktor eksternal seperti rasa keadilan masyarakat dan faktor internal seperti keadaan mental terdakwa guna menhasilkan putusan yang berbobot.
         Dalam putusan kasus tersebut majelis hakim telah mempertimbangkan hukuman baik dari segi peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 44 Ayat 3 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, hal-hal yang memberatkan, yaitu perbuatan terdakwa merasahkam masyarakat dan perbuatan terdakwa dilakukan terhadap istrinya sendiri, dan hal-hal yang meringankan, yaitu terdakwa mengakui terusterang segala perbuatannya, terdakwa bersikap sopan, terdakwa belum pernah dihukum, serta usia terdakwa yang sudah tua.
         Sehingga dapat disimpulkan bahwa hakim telah berusaha untuk memberikan putusan yang memenuhi rasa kepastian hukum,  kemanfaatan,  dan rasa keadilan yaitu dengan pidana penjara selama 13 (tiga belas) tahun. Walaupun masih banyak masyarakat yang menilai bahwa hukuman tersebut masih terlalu ringan untuk terdakwa, namun satu hal yang perlu kita ingat dalam hukum pidana yaitu tujuan dari pemidanaan adalah bukan sebagai ajang untuk balas dendam terhadap terdakwa melainkan untuk menghukum perbuatan  jahat terdakwa dan memberi efek jera kepada terdakwa sehingga dikemudian hari terdakwa tidak akan mengulangi perbuatannya.
III.            Penutup
Kesimpulan
Masing-masing mazhab dalam filsafat hukum memandang berbeda Putusan Nomor 1360/Pid.B/PN. BKS dimana menurut mazhab lex naturalis (hukum alam), mazhab utilitarianisme, dan mazhab pragmatic legal realisme memandang baha Putusan Nomor 1360/Pid.B/PN. BKS sudah tepat, sedangkan mazhab positivisme hukum, mazhab sejarah, dan mazhab sociological yurisprudence memandang Putusan Nomor 1360/Pid.B/PN. BKS tidak tepat.

Saran
Hakim dalam memutus suatu perkara kiranya memperhatikan aspek filsafat hukum dalam rangka penyusunan putusan yang tepat karena filsafat hukum dapat filsafat hukum mampu memahami hukum hingga ke akar-akarnya, sehingga putusan hakim yang dijatuhkan dapat meminimalisir terjadinya kekeliruan.

IV.            Daftar Pustaka
Ghofur Anshori, Abdul, 2009, Filsafat Hukum, Yogyakarta: UGM Press.

Hart, H.L.A., 1975, The Concept of Law, England: Oxford Uiverity Press.

Huijbers, Theo, 1985, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius.

L.Tanya, Bernard dkk, 2010, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,  Yogyakarta: Genta Publishing.

Mertokusumo, Sudikno, 2007 Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar,  Yogyakata: Liberty.

Nawawi Arief, Barda, 2007, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Terpadu (Integrated Criminal Justice System), Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Rahardjo, Sajipto, 1982,  Ilmu Hukum, Bandung: Alumni.

Rasjidi, Lil, 1988, Filsafat Hukum, Apakah Hukum itu?, Bandung: Remadja Karya.

Rasjidi, Lili dan Rasjidi, Ira, 2001, Dasar-Dasar dan Teori Filsafat Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti.




[1] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakata, 2007, hal 11.
[2] Sistem peradilan pidana terdiri dari sub sistem penyidikan yang kewenangannya dimiliki oleh Polisi, sub sistem penuntutan yang kewenangannya dimiliki oleh Polisi, sub sistem pemeriksaan di pengadilan yang kewenangannya dimiliki oleh hakim, dan sub sistem eksekusi (pelaksanaan sanksi hukum pidana) yang kewenangannya dimilki oleh lembaga pemasyarakatan. Lihat Barda Nawawi Arief, 2007, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Terpadu (Integrated Criminal Justice System), Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, hal 9.
[3] Dalam Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar dan Teori Filsafat Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001, hal 3.
[4] Ibid,, hal 46 – 47.
[5] Diucapkan pada Senin tanggal 21 November 2011.
[6] Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1985, hal 82
[7] Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, UGM Press, Yogyakarta, 2009, hal 88.
[8] Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Op. Cit, hal 56.
[9] Ibid, hal 56 & 57.
[10] H.L.A. Hart, The Concept of Law, Oxford Uiverity Press, England, 1975 dalam Ibid, hal 57 & 56.
[11] Sajipto Rahardjo. Ilmu Hukum., Alumni, Bandung, 1982, hal 239.
[12] Lili Rasjidi. Filsafat Hukum, Apakah Hukum itu?, Remadja Karya, Bandung, 1988, hal 53-54.
[13] Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1995.
[14] Bernard L.Tanya, Yoan N.Simanjuntak, dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,  Yogyakarta, Genta Publishing, 2010, hlm 142.
[15] Ibid, hlm  167.

Komentar