I.
Pendahuluan
Masyarakat
merupakan suatu kumpulan yang terdiri dari beberapa individu dimana
masing-masing individu tersebut memiliki masing-masing kepentingannya yang
tentu sangat dimungkinkan untuk terjadinya perbenturan kepentingan, perbenturan
masing-masing kepentingan yang terjadi di dalam masyarakat disebut sebagai
konflik. Dalam rangka menanggulangi konflik tersebut, dibutuhkanlah hukum.
Hukum dapat dikatakan sebagai peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia
itu seyogyanya berperilaku dan bersikap di dalam masyarakat agar kepentingannya
dan kepentingan orang lain terlindungi[1].
Penggunaan kata “dapat dikatakan”
tersebut sesungguhnya merupakan penegasan bahwa masih banyak
pengertian-pengertian lain mengenai hukum yang disampaikan oleh sarjana atau
pakar hukum lainnya, hal ini disebabkan karena hingga pada saat ini masih belum
terdapat konsensus mengenai pengertian dari hukum itu sendiri.
Hukum
berdasarkan kepentingannya dibedakan menjadi hukum publik dan hukum privat.
Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dan warga
negaranya, sedangkan hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan sesama
warga negara. Salah satu contoh konflik di bidang hukum publik adalah
pembunuhan, sedangkan salah satu contoh di bidang hukum privat adalah
wanprestasi atau ingkar janji. Dalam makalah ini, contoh konflik yang
dipergunakan adalah pembunuhan.
Berbicara
mengenai hukum tentu tidak akan pernah lepas dari penegakan hukum, hal ini
disebabkan karena pada hakikatnya hukum hanyalah sebagas aturan yang bentuknya
ada yang tertulis maupun tidak tertulis. Operasionalisasi atau penerapan hukum
tidaklah mungkin dapat dilakukan oleh hukum itu sendiri, oleh karenanya hukum
memerlukan penegak hukum untuk dapat mengoperasionalisasikan hukum tertutama
ketika mengahadapi konflik. Dalam konteks pidana, aparat penegak hukumnya
terdiri dari polisi, jaksa, hakim, dan sipir. Kesemua penegak hukum di bidang
pidana tersebut merupakan kesatuan dalam sistem peradilan pidana[2].
Makalah
ini memandang suatu putusan pidana yang dijatuhkan oleh hakim dengan nomor Putusan
No. 1630/Pid.B/PN. BKS, putusan tersebut perlu dipandang dalam konteks filsafat
hukum karena dengan filsafat hukum mampu memahami hukum hingga ke akar-akarnya.
Sebagaimana Muhadi mengatakan bahwa filsafat hukum ialah filsafat tentang hukum
yakni filsafat tentang segala sesuatu di bidang hukum secara mendalam sampa ke
akar-akarnya secara sistematis[3].
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, mengemukakan bahwa terdapat beberapa aliran atau
mazhab di dalam filsafat hukum, yakni[4]:
1. Aliran
hukum alam
2. Positivisme
hukum
3. Utilitarianisme
4. Mazhab
sejarah
5. Sociological
yurisprudence
6. Realisme
Masing-masing
dalam mazhab ini memiliki pandangan yang berbeda dalam memandang filsafat
hukum. Sehingga oleh karenanya makalah ini disusun dengan judul Pandangan Mazhab-Mazhab dalam Filsafat
Hukum terhadap Putusan No. 1630/Pid.B/PN. BKS.
Berdasarkan
hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang, disusunlah perumusan masalah
sebagai berikut: “Bagaimana perspektif Penalaran Hukum dari Putusan No.
1630/Pid.B/PN. BKS?”
II.
Pembahasan
A.
Putusan
Perkara Pidana No. 1630/Pid.B/Pn. Bks
Kasus Posisi
Pada
hari Minggu tanggal 31 Juli 2011 sekitar jam 10.00 WIB Terdakwa yang bernama
Raymon Fnal bin Agus pergi dari rumah menuju Pasar Proyek Bekasi Timur untuk
membeli Sparepart Computer, setelah itu Terdakwa pulang kerumahnya dan tidak
menemukan korban Wahyuningsih (isteri terdakwa). Pada sekitar jam 17.00 WIB
korban Wahyuningsih baru pulang sehingga Terdakwa berpikiran buruk bahwa korban
telah jalan dengan seorang laki-laki. Pada sekitar jam 17.30 WIB Terdakwa
keluar rumah untuk makan di sebuah warung, dan setelah makan dengan perasaan
marah Terdakwa berencana hendak membakar korban Wahyuningsih, beberapa menit
kemudian Terdakwa membeli 2 (dua) liter bensin di pedagang eceran di Jalan Baru
Bekasi Timur, setelah itu Terdakwa langsung pulang dan meletakan bensin
tersebut di teras depan rumah, kemudain Terdakwa masuk rumah dan menonton TV di
kamar, dan pada sekitar jam 23.00 WIB terdakwa mengambil botol plastik yang
berisikan bensin tersebut dan membawanya ke dalam kamar tidur Terdakwa.
Pada
dini hari sekitar jam 02.00 WIB Terdakwa keluar dari kamar tidurnya menuju
ruang tamu tempat korban Wahyuningsih sedang tidur sambil membawa cairan bensin
dan korek api kayu yang telah dipersiapkan dan langsung saja Terdakwa
menyiramkan bensin tersebut ke seluruh tubuh korban yang sedang tidur
beralaskan kasur busa, spontan korban Wahyuningsih terbangun dan berteriak
minta tolong, namun Terdakwa tidak peduli bahkan langsung menyalakan korek api
kayu dan melemparnya ke arah tubuh korban sehingga tubuh korbanpun terbakar,
melihat kejadian tersebut anak korban yaitu saksi Susanti Binti Raymond
langsung menuju kamar mandi untuk mengambil ember yang berisi air dan
disiramkan ke tubuh korban sambil berteriak “tolong...tolong...” Oleh karenanya
kasur ikut terbakar dan api semakin membesar di ruang tamu tersebut,
tetanggapun ikut berdatangan dan membantu memadamakan api tersebut.
Setelah
api padam korban Wahyuningsih di bawa ke rumah sakit Thamrin Jakarta Pusat, dan
Terdakwa dapat diamankan serta diserahkan ke Polres Metro Bekasi untuk diproses
lebih lanjut. Akibat perbuatan Terdakwa korban Wahyuningsih mengalami luka di
sekujur tubuh dan wajahnya sesuai dengan Visum Et Repertum tanggal 4 Agustus
2011 yang ditandatangani oleh Dr. Yefta Moenadjat SpBPCK dari Rumah Sakit MH.
Thamrin Jakarta dengan kesimpulan bahwa korban Wahyuningsih mengalami lika
bakar derajat 2-3- Kritis 51%, Cedera Inhalasi (Gangguan Pernapasan), Gangguan
Sirkulasi Sistemik, kelainan-kelainan tersebut disebabkan oleh kontak dengan
sumber panas (api). Mengakibatkan oleh karena hal-hal tersebut terjadilah
bahaya maut, penyakit (luka) yang tidak diharapkan akan sembuh, tak mungkin
melakukan pekerjaan dan jabatan untuk selamanya, kehilangan panca indera dan
setelah dirawat beberapa hari pada tanggal 06 Agustus 2011 sekitar jam 05.00
WIB korban Wahyuningsih meninggal dunia di Rumah Sakit MH. Thamrin sesuai
dengan Sertifikat Medis Penyebab Kematian No. Rekam Medis 147859 tanggal 06 Agustus 2011 yang ditandatangani
oleh Dr. Ronal dari Rumah Sakit MH. Thamrin Salemba (MHTS).
Amar Putusan[5]
M E N G A D I L I :
1. Menyatakan
Terdakwa yaitu Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “Pembunuhan
Berencana” ;
2. Menjatuhkan
putusan terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama :
13 (tiga belas) tahun ;
3. Menetapkan
masa tahanan yang telah pernah dijalankan oleh Terdakwa dikurangkan segenapnya
dari pidana yang dijatuhkan ;
4. Memerintahkan
Terdakwa tetap berada dalam tahanan ;
5. Memerintahkan
agar barang bukti berupa
-
1 (satu) buah korek api
kayu dirampas untuk dimusnahkan ;
-
2 (dua) buah botol
bekas bensin dirampas untuk dimusnahkan ;
-
2 (dua) buah akta nikah
dikembalikan kepada keluarga Terdakwa ;
6. Menghukum
supaya Terdakwa membayar ongkos perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) ;
B.
Analisa
Putusan NO.
1630/PID.B/PN. BKS Menurut Filsafat Hukum
Dalam
bab ini akan dijelaskan mengenai korelasi antara jenis-jenis penalaran hukum
(paradigma hukum) dalam melihat putusan NO. 1630/PID.B/PN. BKS. Akan tetapi
sebelum masuk pada penjelasan tentang hubungan atau korelasi antara penalaran
hukum dan kasus tersebut, akan terlebih dahulu dijelaskan tentang apa yang dimaksud
dengan jenis-jenis penalaran hukum atau lebih tepatnya paradigma hukum.
a.
Aliran
Lex Naturalis (Hukum Alam)
Para pemikir zaman dahulu umumnya
menerima suatu hukum, yaitu hukum alam atau hukum kodrat. Berbeda dengan hukum
positif sebagaimana diterima oleh orang dewasa ini, hukum alam yang diterima
sebagai hukum tersebut bersifat tidak tertulis. Hukum alam ditanggapi tiap-tiap
orang sebagai hukum oleh sebab menyatakan apa yang termasuk alam manusia
sendiri, yaitu kodratnya. Huijbers membedakan penggunaan stilah hukum alam
dengan hukum kodrat, menurutnya istilah yang benar untuk menyatakan hukum
adalah hukum kodrat bukan hukum alam. Dasar pendapatnya adalah pengertian
istilah latin lex naturalis apabila diterjemahkan daam bahasa Indonesia adalah
hukum kodrat, sedangkan bahasa latin dari hukum alam adalah lex naturae.[6]
Oleh karenanya sebaiknya lex naturalis diterjemahkan sebagai hukum kodrat untuk
penyusunan literatur selanjutnya.
Hukum kodrat memiliki kekuatan yang
lebih daripada hukum positif karena menyangkut makna kehidupan manusia sendiri.
Karenanya hukum itu mendahului hukum positif atau hukum yang dirumuskan dalam
undang-undang dan berfungsi sebagai azas bagi hukum yang dirumuskan dalam
undang-undang tersebut[7].
Sarjana yang mempergunakan istilah hukum alam berpandangan yang sama, dimana
hukum alam dalam masa modern ini lebih dikenal sebagai asas-asas hukum yang
umum[8].
Pembunuhan yang dilakukan oleh raymon
merupakan kasus pidana, oleh karenanya kita perlu memandang asas-asas yang
berlaku dalam sistem hukum pidana Indonesia. Asas yang berlaku tersebut adalah Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege
poenali) Terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Tidak dapat dipidana
seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan
yang telah ada terlebih dahulu. Dalam catatan sejarah asas ini dirumuskan oleh
Anselm von Feuerbach dalam teori : “vom
psychologishen zwang (paksaan psikologis)” dimana adagium : nullum delictum
nulla poena sine praevia lege poenali yang mengandung tiga prinsip dasar :
- Nulla
poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang)
- Nulla
Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)
- Nullum
crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana
yang terlebih dulu ada)
Perbuatan
yang dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan yang telah dirumuskan secara
tegas dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana
terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan
rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau selama waktu
tertentu paling lama 20 tahun.
Oleh karena hal tersebut, maka Putusan
Nomor No. 1630/Pid.B/PN. BKS sudah benar karena telah menerapkan asas legalitas
dimana pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa merupakan perbuatan yang secara tegas telah dirumuskan
dalam undang-undang.
b.
Positivisme
Hukum
Sebelum lahirnya mazhab ini, telah
berkembang suatu pemikiran dalm ilmu hukum yang dikenal sebagai legisme. Pemikiran
hukum ini berkembang semenjak abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh di
berbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia. Aliran ini mengidentikkan hukum
dengan undang-undang. Tidak ada hukum diluar undang-undang.mazhab ini
dipelopori oleh August Comte dan Cours de Philosopie Positieve, banyak kalangan
berpendapat bahwa mazhab ini mematikan minat orang untuk berfilsafat hukum
karena kurangnya perhaian terhadap hukum yang dicita-citakan (ius consituendum)
serta dijauhkannya dari nilai-nilai baik dan buruk dan hal-hal yang menyangkut
keadilan[9].
Prof H.L.A. Hart[10]
menguraikan ciri-ciri pengertian positivisme sebagai berikut:
· Hukum
adalah perintah dari manusia (command of human being);
· Tidak
ada hubungan mutlak atau penting antara hukum dan moral, atau hukum sebagaimana
yang berlaku atau ada dan hukum yang seharusnya;
· Analsis
konsepsi hukum adalah:
1) Mempunyai
arti penting,
2) Harus
dibedakan dari penyelidikan:
-
Historis mengenai
sebab-musabab dan sumber-sumber hukum,
-
Sosiologis mengenai
hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya, dan
-
Penyelidikan hukum
secara kritis atau penilaian, baik yang didasarkan moral, tujuan sosial, fungsi
hukum dan lain-lainnya.
·
Sistem hukum adalah
sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup dalam mana keputusan-keputusan
hukum yang benar atau tepat biasanya dapat diperolah dengan alat-alat logika
dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa
memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik, dan ukuran-ukuran moral,
·
Pertimbangan-pertimbangan
moral tidak dapat dibuat atau dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus
dibuktikan dengan argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian atau percobaan.
Putusan hakim pada perkara Nomor
1630/Pid.B/PN Bks apabila kita lihat memiliki aspek-aspek moral sebagaimana
tercantum dalam pertimbangan hakim seperti:
Hal
yang meringankan:
-
Terdakwa mengakui terus
terang segala perbuatannya sehingga memperlancar jalannya persidangan;
-
Terdakwa bersikap
sopan;
-
Terdakwa belum pernah
dihukum dan Terdakwa sudah tua;
Dengan
melihat pernyataan tiada hukum dilur undang-undang, seharusnya putusan tersebut
berdasarkan Pasal 340 KUHP dilaksanakan secara konsisten dan kosekuen dimana
terdakwa dijatuhi hukuman setidak-tidaknya penjara selama 20 tahun.
Pertimbangan dalam putusan hakim tersebut membuktkan bahwa hukum bukan
merupakan sistem yang tertutup karena putusan tersebut dipengaruhi oleh aspek
moral. Pertimabangan hukum dari hakim yang demikian telah menunjukan bahawa
putusan No. 1630/pid.B/PN. Bks tidaklah menerapkan mazhab positivisme hukum.
c.
Utilitarianisme
Tokoh terkemuka dari Mazhab ini adalah
Jeremy Bentham (1748-1832), John Stuart Mill (1806-1873) dan Rudolf von Jhering
(1818-1889). Jeremy Bentham mengemukakan prinsip mazhab utilitarianisme dalam
lingkungan hukum, yaitu manusia akan bertindak untuk mendapatkan kebahagiaan
yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan. Ukuran baik buruknya suatu
perbuatan manusia tergantung pada apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan
atau tidak. Pemidanaan, menurut Bentham harus bersifat spesifik untuk tiap
kejahatan, dan berapa kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah yang
dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu.
Pemidanaan hanya bisa diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya
kejahatan yang lebih besar[11].
Bentham selanjutnya berpendapat bahwa
pembentuk undang-undang hendaknya dapat melahirkan undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua
individu. Dengan berpegang pada prinsip tersebut, perundangan itu hendaknya
dapat memberikan kebahagiaan yang terbesar bagi sebagian besar masyarakat (the greats happines for the greates
number).
Dalam putusan No.
1630/Pid.B/2011/PN.BKS hakim menjatuhkan pidana penjara selama 13 Tahun kepada
terdakwa karena pembunuhan berencana terhadap isterinya. Menurut pandangan
mazhab utilitarianisme, pemidanaan harus bersifat spesifik untuk tiap
kejahatan, dan berapa kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah yang
dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu.
Pemidanaan hanya bisa diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya
kejahatan yang lebih besar. Kejahatan yang dilakukan terdakwa dengan pembunuhan
berencana terhadap isterinya telah menyebabkan keresahan dalam masyarakat,
terlebih lagi seharusnya terdakwa melindungi dan menjaga isterinya tersebut,
bukan malah menghabisi nyawanya. Pidana penjara yang diberikan hakim berupa
pidana penjara selama 13 tahun diharapkan dapat mencegah orang lain agar tidak
melakukan kejahatan yang sama.
d.
Mazhab
Sejarah
ada dua pengaruh terhadap lahirnya
mazhab ini, yaitu pengaruh Montesqueu dalam bukunya L’esprit de Lois yang telah terlebih dahulu mengemukakan tentang
adanya hubungan antara jiwa suatu bangsa dengan hukumnya, dan pengaruh paham
nasionalisme yang mulai timbul pada abad ke-19. Lahirnya mazhab ini juga
merupakan suatu reaksi langsung terhadap suatu pendapat yang diketengahkan oleh
Thibaut dalam pamfletnya yang berbunyi Uber
Die Notwendigkeit Eines Allegeminen Burgelichen Recht Fur Deutschland,
keperluan akan adanya kodifikasi hukum perdata bagi Jerman. Ahli hukum perdata
Jerman ini menghendaki agar di Jerman diperlakukan kodifikasi perdata dengan
dasar hukum Prancis (Code Napoleon).
Pada bagian lain von Savigny lewat
karangannya menegaskan inti ajarannya bahwa hukum itu tidak di buat, tetapi
tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Pandangannya bertitik tolak bahwa di
dunia ini terdapat banyak bangsa, dan tiap-tiap bangsa tadi memiliki suatu
Volksgeist (jiwa rakyat). Jiwa ini berbeda, baik menurut waktu maupun tempat.
Pencerminannya nampak pada kebudayaannya masing-masing yang berbeda-beda. Hukum
bersumber dar jiwa rakyat ini; oleh karena itu tidaklah masuk akal kalau
terdapat hukum yang sifatnya universal dan abadi[12].
Savigny juga mengatakan bahwa isi hukum itu ditentukan dari pergaulan hidup
manusia dari masa ke masa. Hukum berkembang dari suatu masyarakat sederhana
yang tercermin dari setiap tingkahlaku individu-individu kepada masyarakat yang
lebih kompleks, dimana kesadaran hukum rakyat nampak pada ucapan-ucapan para
ahli hukumnya. Savigny memandang rendah kekaguman pada kodifikasi hukum, yang
modern di Prusia, Austria dan Perancis (yang meniru Kodifikasi Romawi).
Menurutnya perlu studi ilmiah tentang system hukum tertentu, dalam perkembangan
yang kontinyu dan tiap-tiap generasi mengadaptasikan hukum itu sesuai dengan
kebutuhannya (contoh: “corpus juris”
di Romawi sebelum terbentuk disesuaikan dengan kebutuhannya)[13].
Adapun kelemahan dari ajaran Savigny
adalah suatu aspek yang ironis dari ajaran Savigny dan Puchta, bahwa sementara
menekankan “watak kebangsaan dari segala hukum”, mereka sendiri mengambil
inspirasi dari hukum Romawi dan dalam karya-karya utamanya menyesuaikan (hukum
Romawi) dengan kondisi modern.
Jika dilihat penerapan hukum dalam
Putusan No. 1630/Pid.B/2011/PN.BKS, maka tidak sesuai dengan mazhab sejarah.
Karena putusan pidana penjara selama 13 tahun yang dijatuhkan oleh hakim
terhadap terdakwa mengacu pada hukum yang telah ikodifikasi yaitu Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dakwaan Penuntut Umum pun berdasarkan KUHP,
yaitu pada pasal-pasal yang terdapat pada KUHP diantaranya Pasal 338 dan 340
serta Pasal 44 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. Sedangkan jika ingin menerapkan hukuman yang sesuai dengan
Mazhab Sejarah tersebut maka dengan kata lain pemidanaan yang dijatuhkan
terhadap terdakwa harus sesuai dengan hukum adat yang menjadi kebiasaan dan
hukum yang tidak terkodifikasi, pemidanaan tersebut harus sesuai dengan waktu
dan tempat di mana terjadinya kejahatan tersebut.
e.
Sociological
Yurisprudence
Menurut
mashab sociological Jurisprudence hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai
dengan hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Mashab ini dopelopori oleh Eugen Ehrlich, ahli hukum
dari Austria. Pokok ajarannya adalah pembedaan antara hukum positif (the positif law) dengan hukum yang
hidup (the living law), atau dengan
kata lain pembedaan antara kaidah-kaidah hukum dengan kaidah-kaidah sosial yang
lainnya.
Teori
dari mashab ini mengemukakan bahwa titik pusat perkembangan hukum tidak
terletak pada undang-undang, putusan hakim, atau ilmu hukum, tetapi pada
masyarakat itu sendiri. Hukum adalah “hukum sosial” ia lahir dalam dunia
pengalaman manusia yang bergumul dengan kehidupan sehari-hari. Ia terbentuk lewat
kebiasaan. Kebiasaan itu lambat laun mengikat dan menjadi tatanan yang efektif.
Kekuatan mengikat “hukum yang hidup” itu tidak ditentukan oleh kewibawaan
negara.[14]
Jika
mashab sosiological jurisprudence diterapkan dalam kasus diatas maka dapat kita
analisis dari putusan pidana yang diberikan oleh majelis hakim kepada
tersangaka yang menjatuhkan pidana penjara selama 13 (tiga belas) tahun. Hal
yang paling penting yang harus kita ingat adalah hukum tidak terletak pada
putusan hakim tetapi pada masyarakat. Maka jika mashab ini diterapkan yang
seharusnya berlaku adalah hukum adat dari masyarakat setempat.
Namun
jika ketentuan hukum adat yang dipergunakan akan muncul banyak kontroversi. Hal
tersebut dikarenakan locus delikti
atau tempat terjadinya perkara pidana berada di Indonesia yang sudah pasti
merupakan negara hukum dan khusunya dilakukan di Bekasi yang merupakan kota
besar dengan masyarakatnya yang heterogen sehingga mayoritas dari penduduknya
tidak menggunakan hukum adat melainkan hukum negara. Selain hal itu akan sulit
untuk menentukan ukuran apa yang dipakai untuk menentukan bahwa suatu kaidah
hukum merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga mashab sociological
jurisprudent tidak tepat digunakan dalam kasus tersebut.
f.
Realisme
Realisme hukum berkembang
bersamaan dengan sociological yurisprudence. Realisme Hukum berpendapat bahwa tidak ada hukum yang mengatur suatu
perkara sampai ada putusan hakim terhadap perkara
itu. Apa yang dianggap sebagi hukum dalam buku-buku, baru merupakan taksiran tentang
bagaimana hakim akam memutus. Realisme dapat dibedakan dalam dua kelompok,
yaitu :
·
Realisme Amerika oleh
Oliver Wendel Holmes Jr yang berpendapat bahwa yang disebut sebagai hukum
adalah dugaan-dugaan tentang apa yang diputuskan oleh pengadilan. Aturan hukum
di meta Holmes, hanya menjadi satu faktor yang patut dipertimbangkan dalam
keputusan yang berbobot. Faktor moral, kemanfaatan, dan keutamaan kepentingan
sosial menjadi faktor yang tidak kalah penting dalam mengambil keputusan ‘yang
berisi’.[15]
·
Realisme Skandinavia
oleh Herbert Lionel Adolphus Hart. HLA. Yamg berpendapat bahwa hukum harus
dilihat baik dari aspek internal maupun dari aspek ekternalnya. Materi hukum
diturunkan dari prinsip-prinsip moral, termasuk prinsip dari kenyataan hidup.
Selain itu yang disebut hukum, hanyalah menyangkut aspek formal, atinya suatu
hukum dapat saja disebut hukum, walaupun secara material tidak layak untuk
ditaati karena bertentangan dengan prinsip moral.
Jika kita menganalisis putusan diatas dengan menggunakan
mahsab realisme maka yang harus dikaji adalah pertimbangan-pertimbangan majelis
hakim dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa. Dalam hal ini, hakim diharap
tidak hanya menjadi corong undang-undang yang hanya mengikuti ketentuan yang
tertulis dalam undang-undang namun lebih dari itu hakim juga harus
memperhatikan faktor-faktor lain seperti faktor eksternal seperti rasa keadilan
masyarakat dan faktor internal seperti keadaan mental terdakwa guna menhasilkan
putusan yang berbobot.
Dalam putusan kasus tersebut majelis
hakim telah mempertimbangkan hukuman baik dari segi peraturan
perundang-undangan yaitu Pasal 44 Ayat 3 UU No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, hal-hal yang memberatkan, yaitu
perbuatan terdakwa merasahkam masyarakat dan perbuatan terdakwa dilakukan
terhadap istrinya sendiri, dan hal-hal yang meringankan, yaitu terdakwa
mengakui terusterang segala perbuatannya, terdakwa bersikap sopan, terdakwa
belum pernah dihukum, serta usia terdakwa yang sudah tua.
Sehingga dapat
disimpulkan bahwa hakim telah berusaha untuk memberikan putusan yang memenuhi
rasa kepastian hukum, kemanfaatan, dan rasa keadilan yaitu dengan pidana penjara
selama 13 (tiga belas) tahun. Walaupun masih banyak masyarakat yang menilai
bahwa hukuman tersebut masih terlalu ringan untuk terdakwa, namun satu hal yang
perlu kita ingat dalam hukum pidana yaitu tujuan dari pemidanaan adalah bukan
sebagai ajang untuk balas dendam terhadap terdakwa melainkan untuk menghukum
perbuatan jahat terdakwa dan memberi
efek jera kepada terdakwa sehingga dikemudian hari terdakwa tidak akan
mengulangi perbuatannya.
III.
Penutup
Kesimpulan
Masing-masing
mazhab dalam filsafat hukum memandang berbeda Putusan Nomor 1360/Pid.B/PN. BKS
dimana menurut mazhab lex naturalis (hukum alam), mazhab utilitarianisme, dan
mazhab pragmatic legal realisme memandang baha Putusan Nomor 1360/Pid.B/PN. BKS
sudah tepat, sedangkan mazhab positivisme hukum, mazhab sejarah, dan mazhab
sociological yurisprudence memandang Putusan Nomor 1360/Pid.B/PN. BKS tidak
tepat.
Saran
Hakim
dalam memutus suatu perkara kiranya memperhatikan aspek filsafat hukum dalam
rangka penyusunan putusan yang tepat karena filsafat hukum dapat filsafat hukum
mampu memahami hukum hingga ke akar-akarnya, sehingga putusan hakim yang
dijatuhkan dapat meminimalisir terjadinya kekeliruan.
IV.
Daftar Pustaka
Ghofur Anshori,
Abdul, 2009, Filsafat Hukum,
Yogyakarta: UGM Press.
Hart, H.L.A.,
1975, The Concept of Law, England:
Oxford Uiverity Press.
Huijbers,
Theo, 1985, Filsafat Hukum dalam Lintasan
Sejarah, Yogyakarta: Kanisius.
L.Tanya,
Bernard dkk, 2010, Teori Hukum Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
Yogyakarta: Genta Publishing.
Mertokusumo,
Sudikno, 2007 Penemuan Hukum: Sebuah
Pengantar, Yogyakata: Liberty.
Nawawi Arief, Barda, 2007, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem
Peradilan Terpadu (Integrated Criminal Justice System), Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
Rahardjo,
Sajipto, 1982, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni.
Rasjidi,
Lil, 1988, Filsafat Hukum, Apakah Hukum
itu?, Bandung: Remadja Karya.
Rasjidi,
Lili dan Rasjidi, Ira, 2001, Dasar-Dasar
dan Teori Filsafat Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti.
[1] Sudikno
Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah
Pengantar, Liberty, Yogyakata, 2007, hal 11.
[2] Sistem peradilan pidana terdiri dari sub
sistem penyidikan yang kewenangannya dimiliki oleh Polisi, sub sistem
penuntutan yang kewenangannya dimiliki oleh Polisi, sub sistem pemeriksaan di
pengadilan yang kewenangannya dimiliki oleh hakim, dan sub sistem eksekusi
(pelaksanaan sanksi hukum pidana) yang kewenangannya dimilki oleh lembaga
pemasyarakatan. Lihat Barda Nawawi Arief, 2007, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Terpadu
(Integrated Criminal Justice System), Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, hal 9.
[3] Dalam
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar
dan Teori Filsafat Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001, hal 3.
[4] Ibid,, hal 46 – 47.
[5]
Diucapkan pada Senin tanggal 21 November 2011.
[6] Theo
Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan
Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1985, hal 82
[7] Abdul Ghofur
Anshori, Filsafat Hukum, UGM Press,
Yogyakarta, 2009, hal 88.
[8] Lili
Rasjidi dan Ira Rasjidi, Op. Cit, hal
56.
[9] Ibid, hal 56 & 57.
[10] H.L.A.
Hart, The Concept of Law, Oxford Uiverity
Press, England, 1975 dalam Ibid, hal
57 & 56.
[11] Sajipto
Rahardjo. Ilmu Hukum., Alumni, Bandung,
1982, hal 239.
[12] Lili
Rasjidi. Filsafat Hukum, Apakah Hukum
itu?, Remadja Karya, Bandung, 1988, hal 53-54.
[13] Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1995.
[14] Bernard
L.Tanya, Yoan N.Simanjuntak, dkk, Teori
Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010, hlm 142.
[15] Ibid, hlm 167.
Komentar
Posting Komentar