Oleh:
Cipto Prayitno
“Ubi Societas ibi ius”(Cicero)
Pembicaraan dalam tulisan ini ada dimulai dari kita membahas
mengenai hukum secara esensial yang oleh Cicero disederhanakan dalam adagiumnya
yaitu ubi societas ibi ius (dimana ada masyarakat disitu ada
hukum).
Hukum Masyarakat
Masyarakatlah yang menjadi awal penentu kehadiran hukum sebagai
alat ketertiban sosial.[1]
Pandangan ini dapat dibenarkan ketika secara ringkas kita misalkan dalam hutan hidup
seorang manusia saja kita anggap A, entah apa yang akan ia perbuat dan ia
lakukan adalah menjadi hal yang tidak dipermasalahkan karena memang tidak ada
individu lain didalam hutan tersebut. Namun berbeda halnya ketika telah muncul
manusia lain kita angap B didalam hutan tersebut yang mengawali kemunculan
masyarakat dengan segala permasalahannya, maka jelaslah manusia pertama A dan B
akan melakukan interaksinya sesuai dengan kebutuhan mereka, dan yang semula A
dapat berbuat seenaknya dan semaunya dengan kehadiran B, A tidak akan bisa
berbuat semaunya dan seenaknya karena kebebasan yang dimiliki oleh A akan
selalu berbenturan dengan kebebasan yang dimiliki oleh B. Nah, posisi disinilah
muncul hukum yang akan mengatur hubungan antara A dan B agar ada ketertiban
dalam hubungan sosial mereka. Jelaslah hukum yang ada dalam hubungan sosial
antara A dan B adalah hukum yang muncul atas kehendak sadar atau tidak sadar A
dan B dengan berdasarkan kesepakatan yang baik sadar maupun tidak mereka
sepakati (kesepakatan dalam penentuan hukum antara A dan B adalah bentuk
keadilan dlam hukum A dan B).
Perkembangan hubungan sosial antara A dan B pun menjadikan hukum
yang digunakan untuk mengatur antara A dan B pun akan berkembang menyesuaikan
dengan kondisi hubungan A dan B. Misal pada awal pergaulan A dan B adalah
pergaulan layaknya masyarakat yang bersifat tradisional dengan permisalan A dan
B adalah petani tradisional, maka hukum yang ada pun adalah hukum yang
berkaitan dengan kehidupan petani yang tradisional pula (bukan hukum nelayan
ataupun hukum industri, karena A dan B tidak bekerja dalam bidang tersebut).
Namun dengan berkembangannya pemikiran mereka, yang awalnya hanya petani
tradisional dengan bekerja menggunakan alat-alat manual menjadi petani modern
dengan alat-alat yang modern pula, maka hukum yang ada-pun akan berkembang
menjadi hukum yang bersifat modern dengan tetap mengatur hubungan pertanian
antara A dan B. Perkembangan hukum yang muncul seiring dengan perkembangan
hubungan sosial antara A dan B pun adalah hukum yang oleh A dan B kehendaki
sadar atau tidak.
Perkembangan hukum didalam masyarakat sangat terpengaruh oleh
bagaimana keadaan atau kondisi sosial masyarakatnya, konstruksi tersebut
berakar pada hubungan individu satu dengan individu lainnya yang mempengaruhi
hukum yang berasal. Sehingga konstruksi hukum adalah bermula pada kesepakatan
(sadar atau tidak sadar) antara individu satu dengan individu lainnya atau
kesepakatan masyarakat (dalam konteks yang lebih luas). Dengan munculnya
kesepakatan tersebut baik dengan sadar ataupun tidak menandai telah muncul
adanya hukum didalam masyarakat tersebut. Ketika hukum yang ada adalah tidak
berawal dari sebuah keseapakatan, maka yang terjadi adalah pemaksaan dengan
kekuasaan hukum sepihak. Misal A membuat hukum AB dengan tanpa kesepakatan B,
maka A dalam menerapkan hukum ke B adalah sebagai sebuah pemaksaan hukum atau
penindasan hukum.
Yang selanjutnya setelah ada konstruksi kesepakatan dan terbentuk
hukum, maka yang selanjut muncul adalah kekuasaan hukum. Dimana hukum punya
kekuasaan untuk membatasi tindakan para individu didalam masyarakat yang
terikat oleh hukum tersebut. Kekuasaan yang dipaksakan kepada salah satu
anggota atau individu ketika ada pelanggaran hukum, tidak bisa dianggap sebagai
penindasan atau pemaksaaan. Karena kekuasaannya pun berasal dari
kesepakatan individu tersebut dengan masyarakat lainnya.
Demikianlah yang penulis maksud sebagai hukum yang esensial yang
memang muncul dalam kehidupan masyarakat (selanjutnya disebut sebagai hukum
masyarakat, dengan tahapan kesepakatan --> hukum ---> kekuasaan hukum untuk menerapkan hukum) dan yang selanjutnya
akan digunakan sebagai landasan berpikir dalam perdebatan selanjutnya.
Intervensi Negara dalam Masyarakat
Hubungan masyarakat yang secara sederhana dalam tulisan ini
digambarkan dalam hubungan A dan B telah mempengaruhi corak hukum dalam
masyarakat tersebut. A dan B yang akan semakin berkembang dalam hal kehidupan
sosialnya akan terus mempengaruhi hukum yang ada dalam kehidupan masyarakat A
dan B. Hingga pada akhirnya muncul suatu lembaga yang disebut sebagai negara,
yang melalukan intervensi dalam kehidupan pegaulan individu dengan
individu dalam masyarakat dan hubungan antar masyarakat.
Kemunculan negara[2] sebagai bentuk intervensi dalam
masyarakat ada dua kemungkinan, yang pertama adalah negara yang dikehendaki
oleh beberapa kelompok masyarakat itu sendiri sebagai lembaga yang akan
digunakan untuk mengatur hubungan individu satu dengan individu lain dalam
masyarakat dan mengatur hubungan antar masyarakat didalam negara tersebut. Yang
kedua adalah negara dengan kemunculannya tanpa kehendak dari beberapa kelompok masyarakat,
semisal negara dengan bentuk monarki absolut. Dengan kekuatannya, orang yang
nantinya aka memimpin melakukan sebuah tindakan penjajahan dengan kekuatannya
untuk memaksakan kepada masyarakat hingga akhirnya terciptalah sebuah negara
yang tidak dikehendaki oleh beberapa kelompok masyarakat tersebut.
Munculnya Hukum Positif Negara
Terkait dengan hubungan antara masyarakat dan negara dalam hal ini
juga ternyata ada sebuah hukum yang mengatur didalamnya yang kita sebut sebagai
hukum negara atau hukum positif dalam sebuah negara, yang mana ini senyatanya
digunakan untuk mengatur hubungan individu dengan individu didalam masyarakat
dan antar masyarakat didalam negara dan hubungan masyarakat dengan negara pula.
Sebagaimana kemunculan hukum yang telah dibahas diatas (yang berawal dari
adanya hubungan masyarakat atau dua individu atau lebih), maka seharusnya pula
hukum sebagai pengatur hubungan didalam kehidupan bernegara berawal dari
kehendak negara dan kehendak masyarakat yang nantinya akan mencerminkan keadilan.
Yang artinya pula seharusnya dalam penetuan hukum negara ini adalah berangkat
dari hubungan sosial antara negara dan masyarakat (gejala sosial) baik secara
sadar atau tidak sadar yang juga hukum ini adalah dikehendaki oleh negara dan
masyarakat.[3]
Yang
artinya pula kedudukan antara negara dan masyarakat harus mempunyai kedudukan
yang sama dan tidak saling menindas, agar hukum yang tercipta bukanlah sebuah
bentuk hukum yang menindas dan dikehendaki oleh kedua belah pihak (negara dan
masyarakat).
Namun dalam kenyataannya negara selalu mempunyai kedudukan dan
kekuatan yang lebih besar dari pada masyarakatnya. Sehingga sangat mungkin
terjadi penindasan hukum oleh negara terhadap masyarakat yaitu adanya
pemaksaan kehendak negara terhadap kehendak masyarakat untuk
mengikuti hukum yang telah dibuat secara sepihak oleh negara dengan tujuan
mempertahankan status quo negara terhadap masyarakat. Hal inil
adalah pengingkaran terhadap esensi hukum yang telah dibahas diatas, yaitu
hukum berasal dari kesepakatan (sadar atau tidak sadar).
Penindasan Hukum Negara oleh Legitimasi Negara terhadap Hukum
Masyarakat
Dianggap sebagai sebuah penindasan hukum oleh negara terhadap
masyarakat karena hukum yang dibuat secara sepihak oleh negara tanpa ada
kesepakatan dengan masyarakat memaksakan kehendaknya terhadap hukum yang ada
didalam masyarakat. Hukum masyarakat Madura misalnya, untuk tetap
mempertahankan harga diri dan kewibawaannya masyarakat hukum setempat melakukan
upaya carok (atau duel sampai ada yang mati). Keadaan hukum
yang seperti ini adalah keadaan dimana hukum yang dimasyarakat setempat
inginkan untuk menyelesaikan permasalahan mereka dengan tujuan tercapainya
ketertiban dan tetap mejaga keharmonisan serta keseimbangan didalam masyarakat.
Namun disisi lain negara dengan hukum positif negara mempersalahkan
tindakan carok masyarakat madura yang dianggap adalah sebagai
sebuah perbuatan yang tercela dan bahkan dianggap sebagai perbuatan kau
barbarism. Pertentangan ini lah yang manjadi awal penindasan hukum oleh negara
terhadap masyarakat, dimana masyarakat dituntut melaksanakan dan menjalankan
secara patuh hukum yang telah dibuat oleh negara meskipun secara kenyataannya
hukum negara yang ada adalah tidak sesuai dengan hukum yang berada
dimasyarakat.
Lalu bagaimana pertentangan antara hukum negara dan hukum yang ada
didalam masyarakat yang berlandaskan pada kebiasaan dan kesepakatan masyarakat
dapat terjadi? Hal ini harus diruntutkan secara jelas mengenai landasan apa
yang digunakan dalam merumuskan hukum negara dan hukum masyarakat.
Hukum masyarakat sebagaimana diatas telah dijelaskan berakar dari
kesepakatan dan kebiasaan yang ada didalam masyarakat. Hukum yang hidup didalam
masyarakat berlandaskan pada kepatutan atau yang disebut dengan norma
kesopanan.[4]
Disisi lain hukum yang dibuat oleh negara atau hukum positif dalam
sebuah negara berlandaskan pada dua kemungkinan. Kemungkinan yang pertama
adalah hukum yang akan diterapkan dan dipaksakan adalah hukum yang sudah ada
didalam masyarakat itu sendiri atau berlandaskan pada kepatutan didalam
masyarakat. Sehingga posisi negara adalah hanya sebagai alat pemaksa bagaimana
ketika ada seseorang atau beberapa kelompok orang melanggar hukum, maka negara
akan menghukum orang atau kelompok tersebut dengan hukum yang ada didalam
masyarakat itu pula atau posisi hukum hanyalah mendeskripsikan hukum yang ada
didalam masyarakat dan lalu bagaimana menerapkannya secara konsisten. Nah,
mengenai kemungkinan inipun sebenarnya masih menjadi pertanyaan, apakah
masyarakat butuh negara dalam menerapkan hukum yang ada didalam masyarakat
(karena posisi negara hanya mendeskripsikan hukum masyarakat dan menghukum si
pelanggar)? Dalam kasus carok yang terjadi di Madura,
masyarakat Madura tidak perlu meminta bantuan negara untuk mengkoordinir dan
memfasilitasi arena tarung untuk carok. Karena hal tersebut
senyatanya yang terjadi dimasyarakat. Atau dengan permisalan antara A, B dan C
punya hukum picis jika antara keduanya adayang mendapat
makanan dan tidak dibagikan, maka jika A mendapat makanan dan tidak dibagikan
kepada B dan C maka A telah melanggar hukum masyarakat tersebut, hingga
akhirnya A harus dihukum picis. Dalam menerapkan hukuman
kepada A, masyarakat atau dalam hal ini B dan C tidak membutuhkan intervensi
dari masyarakat luar atau negara, karena A adalah bagian dari warga masyarakat
A, B dan C.[5]
Kemungkinan kedua dalam perumusan adalah dengan model preskriptif
atau negara menentukan hukum baru yang berlandasarkan pada norma susila atau
norma yang kebenarannya dianggap bersifat universal dengan tetap memperhatikan
masyarakat atau dengan tanpa memperhatikan masyarakat (secara sepihak).
Sehingga posisi negara dalam model ini adalah sebagai penentu atau pembuat
hukum baru yang berbeda dengan hukum yang ada didalam masyarakat dan menegakkan
hukum tersebut dengan kekuatannya. Landasan mengapa negara membuat hukum baru
atau dengan melandaskan pada norma yang bersifat universal adalah dengan dalih
agar masyarakatnya tidak hidup dengan hanya berlandasakan pada kebiasaan yang terkadang
dalam sudut pandang norma susila adalah bertentangan (contoh: carok,
hukum picis, dll).
Sehingga dengan latar belakang atau landasan yang berbeda antara
penetuan hukum masyarakat yang lebih kearah muncul akibat gelaja sosial atau
sifatnya yang deskriptif (berlandaskan pada kebiasaan, kepatutan dan norma
kesopanan) dengan hukum negara yang berlandaskan pada sifatnya yang preskriptif
(berlandaskan pada norma-norma yang dianggap bersifat universal). Hal ini-lah
yang terkadang didalam realita-nya sering terjadi apa yang disebut kesenjangan
antara das solendengan das sein. Hal tersebut adalah
menjadi wajar, karena apa yang disebut sebagai das solen atau
hukum negara dengan landasannya norma susila coba diterapkan dan dipaksakan
dengan jalan sosial enginering didalam kehidupan masyarakat
senyatanya atau das sein. Karena latar belakang dan landasan yang
berbeda antara keduanya, dimana das sein yang bersifat
preskriptif ternyata menentukan hukum baru yang berbeda dengan yang ada didalam
masyarakat karena negara menganggap bahwa didalam masyarakat ada suatu
permasalahan hukum (hal ini wajar karena norma kepatutan dipandang dalam sudut
pandang norma susila atau dengan selain norma kepatutan). Sedangkan didalam
realitanya masyarakat tidak ada sebuah permasalahan hukum (dalam sudut pandang
norma kepatutan), jalan penyelesaian ketika A melanggar hukum yang telah dibuat
oleh A, B dan C sebenarnya telah ada didalm masyarakat itu sendiri yaitu dengan
jalan misal hukum picis.
Apa yang sekarang kita anggap sebagai permasalahan hukum adalah
ketika masyarakat tidak mengikuti hukum negara atau terjadi kesenjangan antara
hukum positif yang ada dengan tindakan masyarakat. Hal ini akan menjadi wajar
karena ternyata hukum negara yang bersifat preskriptif adalah tidak sebagai apa
yang masyarakat inginkan dan butuhkan. Karena pada dasarnya adalah masyarakat
akan bertindak sesuai dengan kebiasaannya (dan kebiasaan ini akan terus
berkembang seiring denga berkembangnya kondisi sosial masyarakat). Namun ketika
masyarakat dipaksa untuk berbuat diluar kebiasaannya, maka yang terjadi adalah
dua kemungkinan, yaitu masyarakat akan bergerak atau bertindak dengan paksaan
negara atau masyarakat akan menolak dan tetap dengan kebiasaanya. Namun, kedua
hal tersebut adalah masih dalam tahapan apa yang disebut sebagai penjajahan
hukum kepada masyarakat, karena pada dasarnya apa yang menjadi hukum untuk
mengatur masyarakat adalah bukan berasal dari kesepakatan dan kebiasaan didalam
masyarakat.
Penerapan hukum yang bersifat preskriptif ini adalah menjadi
sebuah hal yang wajar ketika masih ada intervensi diluar kelompok masyarakat
tersebut atau dengan jalan adanya negara dan negara berkehendak menerapkan
hukum yang memang benar-benar diluar dari kebiasaan masyarakat. Misalkan dalam
sebuah masyarakat A, B dan C yang padahal telah punya hukum pancung ketika
salah satu dari mereka melanggar kesepakatan, D atau negara akan menerapkan
hukum pidana kurungan penjara kepada si pelanggar. Hal ini adalah apa yang
disebut sebagai penjajahan hukum negara oleh legitimasi negara terhadap hukum
yang telah ada didalam masyarakat. (Dalam kasus tersebut padahal masyarakat A,
B dan C dapat menghukum pancung (sesuai dengan kesepakatan) bagi si pelanggar).
Sifat Preskriptif Hukum[6]
Hukum yang bersifat preskriptif yaitu hukum yang muncul akibat
adanya anggapan bahwa didalam masyarakat ada sebuah permasalahan hukum dan
bagaimana seolah hukum negara dapat men-solusikan-nya, hal iniadalah wajar
ketika masih ada anggapan adanya pertentangan antara das solen dengan das
seinatau pertentangan antara hukum negara dengan kenyataan didalam
masyarakat yang tindakannya berladaskan pada kebiasaan hidup didalam masyarakat. Dimana
telah dijelaskan diatas bahwa pertentangan antara das solen dengan das
seinadalah akibat dari penjajahan hukum negara oleh legitimasi negara
tehadap hukum masyarakat (masyarakat), masyarakat yang berjalan dengan
kebiasaan atau hukum masyarakat mereka sendiri dipaksa untuk melakukan yang
diluar kebiasaan mereka atau dipaksa untuk mengikuti perintah negara dengan
jalan adanya hukum negara. Hingga pada akhirnya ketika ada masyarakat yang
berbuat (das sein) dan tidak melaksanakan apa yang ada didalam hukum
negara (das sollen), ini dianggap sebagai sebuah permasalahan hukum dan
bagaimana dicarikan solusi dengan jalan menentukan hukum baru.Ditentukannya
hukum baru inipun adalah bagian dari sifat preskriptif ilmu hukum selanjutnta,
yang padahal dari awal adanya anggapan didalam masyarakat dan hukum negara
harus men-solusi-kannya telah dibantah dan pada akhirnya masyarakat sebenarnya
tidak membutuhkan negara. Sehingga ketika hukum yang baru ini tetap muncul
sebagai hukum negara atau hukum yang bersifat preskriptif, maka yang
selanjutnya terjadi-pun adalah penindasan hukum negara terhadap hukum
masyarakat karena perbedaan latar belakang dan landasan kedua hal tersebut.
Yang padahal didalam masyarakat sendiri, permasalahan yang
dilakukan oleh salah satu individu atau beberapa individu dalam masyarakat
dengan melakukan pelanggaran dan mengganggu keseimbangan masyarakat telah ada
hukum yang mengatur itu, yaitu hukum masyarakat mereka sendiri.[7]
Pandangan dalam sudut pandang ilmu hukum yang bersifat preskriptif
adalah hanya akan menjadikan selalu adanya sebuah kesenjangan antara das
sollen dan das sein, antara hukum negara yang dibuat
dengan sudut pandang norma susila dengan tindakan masyarakat atau hukum
masyarakat yang terbentuk atas dasar kebiasaan masyarakat atau norma kesopanan
dalam masyarakat. Atau yang oleh Peter Mahmud[8] sampaikan
mengenai penolakan kajian empiris dalam hukum atau ilmu hukum, karena kajian
daripada hukum atau ilmu hukum itu sendiri adalah aturan-aturan yang ditetapkan
oleh penguasa (pemerintahan negara), putusan-putusan yang diambil dari sengketa
yang timbul, dan doktrin-doktrin yang dikembangkan ilmu hukum, hal tersebut
muncul adalah sebagai konsekuensi adanya negara, kekuasaan negara, dan hukum
negara (hukum positif negara). Yang mana dalam penentuan dan perumusan hukum
negara ini seperti yang telah dijelaskan sebelumnya telah mengingkari hukum
yang bersifat esensial yang berasal dari kesepakatan dan kebiasaan masyarakat
dan juga hukum negara selalu bertentangan dengan keadaan yang ada didalam
masyarakat, karena apa yang dilakukan masyarakat dengan berlandaskan pada
kebiasaan berbeda dengan hukum negara yang berlandaskan dengan aturan atau
norma susila.
Selama masih dengan sudut pandang yang sangat sempit
dalam memandang ilmu hukum hanya dari sifat yang preskriptif (yang jelas ini bukan
yang diinginkan dan dibutuhkan masyarakat, karena masyarakat punya hukum
masyarakat yang mampu menyelesaikan permasalahan mereka), daripada melihat
hukum secara holistik atau secara menyeluruh, maka yang
terjadi adalah akan terus terjadinya penindasan hukum negara oleh negara itu
sendiri terhadap masyarakatnya. Yang padahal menurut Satjipto Rahadjo hukum
adalah untuk manusia itu sendiri, dengan kehadiran negara dan menerapkan hukum
yang preskriptif dan bahkan amat normatif, maka hukum hanya akan bermain
diranahnya sendiri (hukum) dan yang terjadi adalah penindasan hukum terhadap
masyarakat. Sehingga yang perlu dilakukan adalah dengan tetap menerapkan hukum
yang muncul secara esensial yang ada didalam masyarakat atau yang disebut
sebagai hukum masyarakat (adat, kebiasaan atau kesepakatan masyarakat).[9]
"Anarkisme adalah sebuah
sistem sosialis tanpa pemerintahan. Ia dimulai di antara manusia, dan
akan mempertahankan vitalitas dan kreativitasnya selama merupakan pergerakan
dari manusia." (Peter
Kropotkin)
[1] Dalam pandangan Marxistme: ekonomi, sosial dan politik adalah sebagai Basic Structur dan hukum (salah satunya) adalah sebagai Supra Structur didalam perkembangan masyarakat. Jelaslah bahwa hukum sebagai Supra Structurdalam masyarakat akan mengikuti atau dipengaruhi oleh ekonomi, sosial dan politik sebagai Basic Structur didalam masyarakat tersebut.
[2] Menurut
G. Jellinek, terjadinya negara melalui 4 tahapan (Fase) yaitu : 1). Fase
Persekutuan manusia, 2). Fase Kerajaan, 3). Fase Negara, 4). Fase Negara demokrasi
dan Diktatur. Disadur dari DimasTaufik, Asal Mula Terjadinya
Negara Berdasarkan Fakta dan Teoritis, http://dhimastaufik.wordpress.com/2013/06/11/asal-mula-terjadinya-negara-berdasarkan-fakta-dan-teoritis/, diakses pada 18 Desember 2013. Sedangkan dalam teori
kenegaran terjadinya negara berdasarkan: 1). Teori Ketuhanan (Theokrasi), 2).
Teori Kekuasaan, 3). Teori Perjanjian Masyarakat (Du Contract Sosial),
4). Teori Hukum Alam. Disadur dari Asal Mula Terjadinya Negara,http://fisipunsil.blogspot.com/2013/05/asal-mula-terjadinya-negara.html, diakses pada 20 Desember 2013.
[3] Mengenai kemunculan hukum negara atau hukum positif negara akan
dibahas lebih lanjut dalam bab selanjutnya tentang Sifat Preskriptif
Hukum.Dan dalam bab ini akan dijelaskan mengenai kesalahan dalam postulat
dasar penentuan hukum negara atau hukum positif negara.
[4] Sudikno Mertokusumo,Mengenal Hukum Suatu Pengantar, 2007,
Yogyakarta: Penerbit Liberty.
[5] Yang artinya dalam konteks penegakan hukum yang esensial yang ada
didalam masyarakat, negara tidak dibutuhkan sebagai penegak hukum didalam
masyarakat tersebut.
[6] Disiplin preskriptif adalah menyorot sesuatu (objek) yang
dicita-citakan atau yang seharusnya, sedangkan disiplin analitis menyorot
sesuatu (objek) sebagai kenyataan. Atas dasar itulah maka terdapat dua disiplin
hukum yaitu disiplin preskriptif dan disiplin analitis. Hukum yang dirumuskan
dalam undang-undang merupakan hukum dalam norma atau kaedah yang di dalamnya
memuat sesuatu yang dicita-citakan, sebaliknya hukum adat merupakan bentuk
kebiasaan yang hidup dalam masyarakat, merupakan kenyataan atau realitas hukum.
Disadur dari pendapat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian
Hukum Normatif, 1990, Jakarta: Rajawali Press, hal. 2.
[7] Dalam posisi ini sebenarnya masyarakat tidak membutuhkan negara
dalam menerapkan hukum masyarakat seperti yang telah dijelaskan diatas.
[8] Arbani Tenkeliwai, Ilmu Hukum, http://bani1989.blogspot.com/2012/11/ilmu-hukum.html, diakses pada 30 Desember 2013.
[9] Hukum masyarakat-lah yang merupakan solusi tepat terhadap
permasalahan yang ada didalam masyarakat dengan landasan hukum sebagai problem
solving. Karena pada dasarnya, masyarakatlah yang paling tahu keadaan
dan permasalahannya yang harus diselesaikan bagaimana. Sehingga mereka akan
tahu bagaimana corak dan bentuk hukum yang sangat pas untuk diterapkan didalam
masyarakat mereka.
Komentar
Posting Komentar