Langsung ke konten utama

Ngudud : Harmonisasi Alam Dan Manusia


Oleh :
Adhi Bangkit Saputra

"Bagi wong cilik, merokok dapat melupakan sejenak beban hidup yang ada. Bisa jadi hanya dengan rokok murahan, rokok tingwe, atau puntung sekali pun, wong cilik di Jawa dapat terus berdiri dan mandiri tanpa harus merengek kepada negara untuk mengatasi penderitaannya akibat himpitan ekonomi. Dari situ pula, mereka mampu terus bertahan dan membangun sejarah di tanah kelahirannya sendiri" (Iman Budhi S)

Senja hari di kota purwokerto, sambil menikmati segarnya udara serta melepas sedikit penat karena segala aktivitas sejak pagi. Aku dan seorang kawan beranjak ke alun-alun kota dan mampir ke sebuah toko buku. Walaupun memang tujuan kami sore itu bukan ke toko buku. Masuklah aku ke dalam toko buku itu. Kugapai anak tangga menuju lantai dua. Dari begitu banyak buku yang kulihat. Ada satu buku yang membuatku terpikat. Buku tulisan iman budhi santosa yang judulnya (Ngudud : cara orang jawa menikmati hidup). Dari buku itupun aku terinspirasi untuk menikmati tembakau lintingan sendiri. Beranjak dari toko buku, aku langsung bergegas ke pasar wage membeli beberapa tembakau, menyan, cengkeh dan papir (kertas rokok) untuk menikmatinya bersama kawan-kawan di kontrakan.
Sesampai di kontrakan, beberapa kawan pun ikut bersamaku untuk menjajal rokok dengan melinting sendiri (Istilah popularnya adalah Tingwe : ngelinting dhewe). Hisapan pertama membuatku sadar mengapa rokok  banyak digemari orang Indonesia, lebih khususnya orang-orang di tanah Jawa. Ternyata dengan ngudud (bahasa jawa: merokok) kita terpaut dengan kondisi ketenangan, sehingga dapat melepaskan sejenak kepalsuan duniawi dan membasahi jiwa yang kering karena tuntutan hidup yang kadang kala terlalu kita Tuhankan.
Setelah hisapan pertama hingga terakhir, mengingatkanku kembali bahwa Tuhan menciptakan alam dan manusia untuk sejalan berdampingan, dan bukan sebaliknya. Kebanyakan manusia mengeksploitasi alam tanpa melihat keseimbangan sehingga berujung pada kerusakan. Tembakau yang kita hisap dan nikmati, sejatinya adalah hasil dari alam yang kadang kala kita lupakan. Karena kebanyakan dari kita lebih sering menikmati rokok secara instan (terlalu konsumtif) dengan mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli rokok di warung, yang sudah siap di hisap. Mungkin karena alasan kepraktisan dan iklan-iklan rokok yang membahana, sehingga membuat kita lebih memilih rokok instan. Tapi berbeda dengan orang-orang dahulu kala pada saat kaum kapital belum begitu menguasai pasar, mereka dengan hati yang tulus, melinting rokok sendiri (Tingwe) untuk dinikmati, tanpa harus bergantung kepada pabrik –pabrik rokok yang kapitalistik.
Dengan melinting rokok sendiri untuk dinikmati, paling tidak dapat membuat kita sadar bahwa tembakau adalah apa yang di berikan alam kepada kita, sehingga kita dapat lebih menghargai alam. Agar tercipta harmonisasi alam dan manusia.  

*Penulis adalah Sekjend Unit Kerohanian Islam FH Unsoed, Ketua Divisi Pengkaderan Lembaga Kajian Hukum dan Sosial, Pendiri Komunitas Mahasiswa Paralel Kampus Merah (Kompak), Anggota Teater Timbang, Kader Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, dan Kaum Anshor Bukit Shimla.

Komentar