Oleh:
Ramdani Laksono, S.H.[1]
Lonceng kemenangan pada satu sisi telah berkumandang dan tap outsebagai pertanda kekalahan sudah
terlihat pada sisi yang lain. Meraih sokongan legitimasi publik terhadap
kemenangan adalah urusan tersier yang bisa diakali nantinya, namun meneduhkan
hal-hal apa saja yang telah diperjanjikan oleh pemenang adalah “sesuatu” yang
patut ditagih. Penting untuk mengingat kembali visi dan misi yang disodorkan
pada debat-debat yang tersaji dalam beberapa episode. Terutama terkait dengan
diskursus masyarakat hukum adat, mengapa masyarakat hukum adat? Iya, karena
mereka masih bagian dari kesatuan masyarakat yang juga berkehendak satu untuk dipanggil warga negara
Indonesia. Mereka punya hak sebagai warga negara layaknya warga negara yang
lain namun memiliki kekhususan dikarenakan faktor historis terkait esksistensi
mereka yang senantiasa berubah dalam tata hukum nasional.
Pada debat episode pertama Pilpres yang
mengusung tema Hukum, HAM, Korupsi dan Terorisme, kedua pasangan calon tidak
sedikitpun berbicara perihal masyarakat hukum adat serta masalah-masalah yang
melingkupinya. Patut dikemukakan bahwa masyarakat hukum adat diatur dalam UUD
1945, setidaknya dalam 3 Pasal.[2] Berdasarkan
sifatnya yang khusus dan keberadaannya yang lebih dahulu ada sebelum Indonesia
menyatakan kemerdekaan maka masyarakat hukum adat dirasa berhak untuk diatur
dalam UUD 1945. Singkatnya, masyarakat hukum adat merupakan aspek penting
karena diatur dalam norma tertinggi negara yakni UUD 1945 sebagai konstitusi
tertulis sekaligus aturan main utama dalam bernegara.
Diskursus tentang siapa masyarakat asli
yang otonom dalam menentukan nasibnya sendiri serta bertempat tinggal di suatu
wilayah di Indonesia, memantik kajian-kajian yang bersifat terminologis.
Pergulatan pemikiran ini memberikan warna kuat pada berbagai peraturan hukum
positif yang secara tidak langsung dan terpotong-potong aspek kehidupan
mengatur masyarakat adat.[3] Kondisi
tersebut di atas merupakan conditie sie
quanonketika berbicara terkait masyarakat hukum adat. Pasalnya sampai saat
ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus tentang
masyarakat hukum adat, terminolgi masyarakat hukum adat tersebar ke dalam
berbagai peraturan, baik yang secara tegas mendefinisikan maupun yang bersifat
sumir atau sekedar memberi batasan-batasan.
Karena terlalu banyaknya pengaturan
terkait masyarakat hukum adat, maka penulis tidak akan memaparkan
keseluruhannya, melainkan hanya menguraikan beberapa peraturan yang memiliki
kapasitas untuk menilai sejauh mana dan apa itu masyarakat hukum adat. Berikut
ini akan diuraikan sejumlah peraturan di bawah UUD 1945 yang memiliki materi
muatan perihal masyarakat hukum adat;
· Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil “Bermukim di wilayah geografis tertentu karena
adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan sumber
daya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta adanya sistem bilai yang menentukan
pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum;
· Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
“Kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu
karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan
lingkungan hiduo, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi,
politik, sosial, dan hukum.”
· Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi: “Masyarakat Hukum
Adat sebagai satu kesatuan merupakan salah satu pihak yang dapat menjadi
pemohon dalam persidangan”
· Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
31/PUU-V/2007; adanya masyarakat yang
warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling), adanya pranata
pemerintahan adat, adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan adanya
perangkat norma hukum adat khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang
bersifat teritorial, harus memiliki unsur adanya wilayah tertentu.
· RUU Masyarakat Hukum Adat “Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang
hidup secara turun-menurun dalam bentuk kesatuan ikatan asal usul leluhur
dan/atau kesamaan tempat tinggal di wilayah geografis tertentu, identitas
budaya, hukum adat yang masih ditaati, hubungan yang kuat dengan tanah dan
lingkungan hidup, serta sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik,
sosial, budaya dan hukum.”
Konsepsi masyarakat hukum adat juga
dapat ditemukan dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
pertambangan. Pengelolaan pertambangan di Indonesia diatur dalam UU №22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, serta UU №4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara. Setidaknya terdapat tiga pasal dalam UU №22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi yang menyinggung masyarakat hukum adat, yakni Pasal
11, 33, dan 34. Pada Pasal 11 diatur bahwa Kontrak Kerja Sama selanjutnya
disebut (KKS) dalam usaha hulu migas harus membuat beberapa ketentuan pokok,
salah satunya adalah mengenai pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan
hak-hak masyarakat adat. Dengan ketentuan ini, maka semua KKS yang dipegang
oleh perusahaan Migas harus berisi tentang bagaimana perlindungan terhadap hak
masyarakat adat apabila wilayah konsesi dari perusahaan Migas tersebut di atas
atau berada di dekat wilayah kehidupan masyarakat adat. Dalam Pasal 33 dan 34
UU №22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi mengatur terkait dengan
pengelolaan Migas dalam kaitannya dengan hak atas tanah. Pasal 33 ayat (3) UU
Migas menyatakan bahwa kegiatan usaha
Minyak dan Gas Bumi tidak dapat dilaksanakan pada tempat pemakaman, tempat yang
dianggap suci, tempat umum, sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar
budaya, serta tanah milik masyarakat adat. Dengan demikian nampak jelas
bahwa pada prinsipnya kegiatan usaha Migas tidak dapat dilakukan di atas tanah
masyarakat adat.
Berdasarkan uraian yang disajikan di
atas bahwa pengaturan terkait masyarakat hukum adat tersebar dalam beberapa
peraturan perundang-undangan yang bersinggungan dengan pemanfaatan sumber daya
alam. Masyarakat hukum adat menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
kebijakan-kebijakan pembagunan yang ditetapkan oleh negara. Oleh karena
posisinya yang cukup sentral dalam pembangunan tentunya hal ini membuat posisi
masyarakat hukum adat cukup rentan akan pelanggaran hak asasi manusia.
Lemahnya kepastian hukum terkait dengan
masyarakat hukum adat tentu memberikan dampak negatif bagi kelangsungan
hidupnya. Menurut Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), konflik agraria
sepanjang 2018 tercatat sebanyak 410 yang berdampak pada 87.568 Kepala Keluarga
(KK) dengan total luas lahan 807.177,613Ha.[4] Sementara
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menerima 1123 berkas pengaduan pada 2013 dan
jumlah berkas pengaduan di Komnas HAM terkait isu masyarakat hukum adat 117
berkas pengaduan pada 2012, 113 berkas pengaduan pada 2013, dan 213 berkas pada
2014. Meski masih dalam ukuran kecil, pada 2014 terjadi peningkatan dua kali jumlah
berkas pengaduan.[5]
Berdasarkan laporan yang dihimpun oleh
kedua institusi tersebut di atas bahwa konflik agraria (dengan berbagai
jenisnya) disatu sisi dan konflik agaria yang melibatkan masyarakat hukum adat
disisi yang lain telah mewarnai perjalanan eksistensi masyarakat hukum adat
dalam tata hukum nasional. Penting untuk mengingat bahwa pengaturan fundamental
masyarakat hukum adat dalam hukum positif Indonesia lahir dari kompromi antara
bapak bangsa dalam merumuskan konstitusi.[6] Pasal
18 UUD 1945 yang identik dengan pengaturan masyarakat hukum adat sebelum dan
sesudah amandemen jelas memiliki konsekuensi hukumnya masing-masing.
Singkatnya, Pasal 18 UUD 1945 sesudah amandemen merupakan kompromi negara demi
mengukuhkan eksistensi masyarakat hukum adat dalam kerangka bernegara dengan
dasar perjalanan sosio historis masyarakat hukum adat yang telah lebih dahulu
ada ketimbang lahirnya negara Indonesia.
Setelah ditelusuri lebih jauh
pengaturan masyarakat hukum adat dalam aturan pelaksana yang bersumber pada UUD
1945 maka tidak ditemukannya pengaturan pengakuan yang komperhensif terkait
masyarakat hukum adat beserta sumberdaya alamnya yang tunduk pada pranata adat
masing-masing masyarakat hukum adat. Ketentuan seperti terbelah pada dua
kelompok yaitu pengaturan yang berhubungan dengan kelembagaan masyarakat adat
dan pengaturan tentang sumberdaya alam masyarakat adat.[7] Keadaan
ini semakin melemahkan eksistensi masyarakat hukum adat ketika berhadapan
dengan negara melalui berbagai kebijakan pembangunannya yang abai pada
keberadaan masyarakat hukum adat dan dihadapan korporasi dengan program
investasinya.
Dewasa ini masyarakat hukum adat
diseluruh wilayah Indonesia mengalami degradasi ruang hidup dan pemiskinan
terhadap keanekaragaman hayati serta sumber daya alam yang terkait dengan
kehidupan mereka. Apabila negara dan/atau korporasi mendapatkan profit yang
besar dari hasil eksploitasi sumber daya alam yang menyangkut masyarakat hukum
adat maka masyarakat hukum adat mengalami kemiskinan ditengah kelimpahan.
Keterasingan masyarakat hukum adat terkait sosial dan ekonomi tentu lahir
karena beberapa faktor, dan faktor yang paling menyudutkan mereka menjadi
pesakitan adalah konfigurasi hukum dan politik yang enggan memposisikan mereka
sebagai subjek hukum layaknya individu atau badan hukum.
RUU Masyarakat Hukum Adat juga nyatanya
terjebak dalam kemacetan lalu lintas legislasi dalam beberapa tahun kebelakang.
Tiga periode anggota DPR nyatanya tidak mampu menyelesaikan RUU ini. Tentunya
banyak faktor yang menyebabkan itu, namun satu hal yang menjadi benang merah
dalam hal ini, yakni, tidak adanya political
will dari pemerintah dan DPR terkait dengan masyarakat hukum adat.
Namun, sejak tahun 2018 berebut informasi yang keluar untuk menyebutkan bahwa
RUU Masyarakat Hukum Adat akan segera disahkan dalam waktu dekat. Seluruh
fraksi partai politik di Badan Legislasi menyekapati RUU Masyarakat Hukum Adat
untuk masuk dalam rapat paripurna.[8]
Tentunya jika RUU Masyarakat Hukum Adat
berhasil menjadi sebuah undang-undang maka beberapa peraturan yang terkait
dengan pengakuan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya dapat dikatakan tidak
memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Karena RUU Masyarakat Hukum Adat sudah
mengakomodir mekanisme pengakuan atas masyarakat hukum adat yang menempati
wilayah tertentu. Sebut saja Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014
Tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan MHA yang memberikan sebuah
alternatif jalan demi pengakuan suatu masyarakat hukum adat. Lainnya adalah
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional Nomor 10
Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum
Adat Dan Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu yang pada dasarnya mencoba
mengakomodir hak-hak masyarakat hukum adat dan mengakomodir masyarakat dalam
kawasan hutan yang tidak dikategorikan sebagai masyarakat hukum adat.
[1]
Penulis adalah sarjana
lulusan Ilmu Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Sekarang aktif sebagai
anggota Magang di Lokataru Law and Human Right Office jalan Balai Pustaka I No.14 3 10, RT.13/RW.1, Rawamangun, Kec.
Pulo Gadung, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 13220.
[2] Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3), dan Pasal 32
ayat (1) dan (2) UUD 1945
[3] Achmad Surambo, dkk, HGU & HAM, Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia Sawit Watch, hlm. 19
[4] Catatan Tahunan Konsorsium Pembaharuan Agraria 2018,
hlm. 17
[5] Inkuiri Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: Hak
Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya Di Kawasan Hutan, Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia. Jakarta, 2016, hlm. 2
[6] Perdebatan ini terutama terjadi antara BPUPKI yang
mengusung federasi dan yang mengusung negara kesatuan. Salah satu ulasan
mengenai pendapat pendiri bangsa yang menyebutkan “…berdasarkan ide
totaliterisme ketiga ahli negara tersebut, terang saja Soepomo merasa cocok,
sebab seperti yang dikemukakan dalam pidato politiknya dalam BPUPKI bahwa
negara harus didirikan berdasarkan riwayat hukum dan lembaga sosial yang hidup
di negara tersebut. Hal ini tidak lain adalah sistem feodalistik kekuasaan Jawa
yang sangat totaliter dalam kekuasaan. Lebih jelas baca Syahda Guruh LS,
Menimbang Otonomi VS Federal Mengembangkan Wacana Federalisme dan Otonomi Luas
Menuju Masyarakat Madani Indonesia, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000, hlm. 38
[7] Achmad Surambo, dkk, Op. Cit, hlm. 24
Boleh dong saya ngirim tulisan kesini hekeke
BalasHapusBoleh boleh saja kok. Ruang bebas untuk siapapun
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus