Oleh:
Cipto Prayitno[1]
“Apakah manusia adalah makhluk yang bebas sebebas-bebasnya?”[2]
Namun, adanya pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang selalu
muncul ketika seseorang dalam keadaan terkekang dalam sebuah keadaan tertentu
(misal: kehidupan organisasi atau kehidupan kenegaraan) dan ada sebuah
keinginan dalam dirinya untuk lepas dari kekangan tersebut, “saya adalah
manusia bebas, tidak terikat pada apapun”. Dan juga pertanyaan
tersebut kemungkinan merupakan sebuah klaim bahwa dirinya adalah manusia bebas
yang tidak terikat pada apapun didunia ini.
Dalam keadaan yang jenuh tehadap ketidak-bebasan atau dalam
kekangan sesuatu hal adalah menjadi wajar jika seseorang menobatkan dirinya
adalah menusia bebas yang tidak terikat pada apapun. Namun, bagaimanakah
jawaban atas pertanyaan tersebut serta analisanya?
Manusia Makhluk yang Bebas?
Dalam bukunya Du Contract Social, Jean Jacques
Rousseau[3] menyatakan
bahwa manusia terlahir sebagai makhluk yang bebas, yang seharusnya tidak
terkekang disana-sini. Lalu apakah pernyataan J.J. Rousseau ini ada kaitannya
dengan pertanyaan diatas mengenai klaim atas dirinya sebagai manusia yang bebas
sebebas-bebasnya?
Pernyataan manusia adalah makhluk bebas oleh J.J. Rousseau ini
adalah dalam ranah hubungan manusia satu dengan manusia lain yang tereduksi
dalam hukum. Sehingga mengenai pendapatnya bahwa manusia adalah makhluk yang
bebas adalah sependapat, karena dalam hal ini manusia punya kebebasan baik
dalam hal melakukan sesuatu hal atau dalam memilih. Namun, adanya tidaklah
sepakat ketika kebebasan yang dimiliki manusia dalam hubungannya dengan manusia
lain adalah sebebas-bebasnya, yang mana manusia dapat berbuat semaunya dengan
dasar kebebasannya tadi. Karena pada hakikatnya berdasar penyataan Cicero bahwa
dimana ada masyarakat disitu ada hukum (Ubi societas ibi ius), yang
artinya telah ada hukum yang mengikat ketika manusia melakukan hubungannya
dengan manusai lainnya. Sehingga dalam melakukan sesuatu hal atau dalam hal
melakukan pilihannya manusia terikat pada hukum yang telah ada sejak ada
manusia lain (masyarakat), karena pada hakikatnya hukum dalam konteks adanya
masyarakat muncul adalah untuk membatasi kebebasan dan kekuasaan seseorang
didalam masyarakat tersebut.
Sehingga, dalam konteks bermasyarakat dan dalam hubungannya manusia
tidaklah sebebas sebebas-bebasnya sesuai dengan kehendaknya karena terikat pada
hukum yang telah disepakati dalam masyarakat tertentu dimana manusia tersebut
berada.
Lalu dalam konteks hukum yang lebih luas, yaitu mencakup
pengertian hukum pada umumnya (hukum dalam ilmu hukum sebagai kaidah
bermasyarakat) dan hukum dalam pengertian prinsip-prinsip dasar dalam ilmu
pengetahuan (misal: Hukum Newton, Hukum Gravitasi, dll), apakah manusia-pun
tetap bebas seperti pertanyaan pada awal pembicaraan? “bahwa saya
(manusia) adalah makhluk yang bebas sebebas-bebasnya”.
Ketika dalam bermasyarakat manusia tidak memiliki kebebasan yang
sebebas-bebasnya karena terikat pada hukum masyarakat tersebut, lalu bagaimana
ketika seorang manusia hidup tidak bermasyarakat? Atau hidup seorang diri
didalam hutan atau ditengah pulau yang tidak ada apapun kecuali tanah, pantai,
pasir dan lautan. Apakah ketika manusia hidup tidak bermasyarakat bisa disebut
sebagai makhluk yang bebas sebebas-bebasnya?
Mungkin tidak, ketika berbicara dalam konteks hukum secara luas
yang meliputi juga hukum dalam pengertian prinsip-prinsip dasar dalam ilmu
pengetahuan (misal: Hukum Newton, Hukum Gravitasi, dll) yang kita sebut saja
hukum alam, manusia-pun tidak memiliki kebebasan yang sebebas-bebasnya atau
tetap terikat pada hukum tersebut. Dalam hal manusia terikat pada hukum alam
ini berbeda dengan ketika manusia terikat pada hukum masyarakat dimana dia
hidup. Perbedaanya adalah pada pilihan kesepakatannya, ketika dalam hukum
masyarakat manusia dapat memilih bersepakat dan hidup bermasyarakat atau
memilih tidak bersepakat atau hidup seorang diri. Sedangkan dalam keterikatan
dengan hukum alam, manusia tidak mempunyai pilihan meskipun hidup seorang diri
ditengah pulau yang yang tidak ada apapun kecuali tanah, pantai, pasir dan
lautan. Karena keterikatan manusia pada hukum alam ini adalah mutlak ada saat
manusia terlahir didunia. Manusia akan terikat pada hukum gravitasi bumi,
sehingga manusia tidak melayang-layang diatas bumi dan bisa menginjakkan tanah
dengan mudah dibumi. Manusia akan lapar ketika dalam beberapa saat tidak ada
asupan energi yang dapat dicerna tubuhnya. Manusia akan makan (memberi tubuhnya
asupan energi) ketika dia mulai lapar. Sehingga dalam konteks keterikatan
dengan hukum alam-pun, manusia tidak bebas sebebas-bebasnya seperti apa yang
telah diinginkan.
Semisal ada seorang manusia anggap saja A, pada saat itu dia hidup
ditengah pulau yang yang tidak ada apapun kecuali tanah, pantai, pasir dan
lautan dengan manusia lain yaitu B. Ketika ada B (masyarakat), A mau tidak mau
harus berbuat sesuai apa yang telah disepaati dengan B (sadar atau tidak
sadar). Dimana semisal A dan B tidak boleh saling berebut makanan, maka A pun
tidak boleh merebut makanan B. Ketika A merebut makanan B, maka A telah
mengingkari kesepakatannya yang tereduksi dalam hukum antara A dan B. (dalam
hal ini A memilih untuk tidak terikat hukum tersebut yang pada awalnya terikat)
Dan ketika B telah meninggal, yang mana A hidup seorang diri
dipulau itu, artinya A telah terlepas dari hukum masyarakat A dan B. Namun A
tidak sepenuhnya menjadi manusia bebas, karena A akan tetap lapar, A akan tetap
mencari makan ketika lapar, A tetap terikat pada gravitasi bumi, A tetap
terikat ruang dan waktu, A akan tetap mati dikemudian hari. Sehingga dalam hal
keterikatan dengan hukum alam, A bukanlah manusia yang bebas sebebas-bebasnya
dari keterikatan dengan hukum alam.
Manusia Kebal Hukum?
Dari penjelasan dan dari contoh diatas mengenai keterikatan
manusia dengan hukum masyarakat dan hukum alam dapat disimpulkan bahwa manusia
bukanlah manusia bebas sebebas-bebasnya yang tidak terikat pada hukum
masyarakat maupun hukum alam. Lalu apakah manusia bisa melakukan pilihan untuk
menjadi manusia bebas (tidak terikat pada hukum masyarakat dan hukum alam)?
Jawaban yang memungkinkan untuk jawaban diatas ketika kita
bandingkan dari penjelasan bahwa manusia selalu terikat dengan hukum masyarakat
dan hukum alam adalah “manusia harus menjadi makhluk yang kebal hukum”[4]. Pertanyaan
yang selanjutnya adalah “apakah mungkin manusia menjadi makhluk yang kebal
hukum (dari hukum masyarakat dan hukum alam). Mungkin dari hukum masyarakat
bisa menjadi makhluk yang kebal hukum, namun apakah bisa menjadi makhluk yang
kebal hukum dan tidak terikat pada hukum alam?
[1] Tulisan ini pernah diunggah di blog resmi LKHS FH Unsoed
[2] Pertanyaan itu muncul dalam diskusi santai
antara penulis dengan Panji Mulkillah Ahmad (teman satu kontrakan).
[3] Jean Jacques
Rousseau, Du Contract Social, Cetakan Kedua, 2009, VisiMedia,
Jakarta Selatan, Hal. 4.
[4] Jawaban yang
ditawarkan oleh Panji Mulkillah Ahmad ketika berdiskusi dengan penulis, tentang
manusia ingin menjadi manusia yang bebas sebebas-bebasnya.
Komentar
Posting Komentar