
oleh:
Cipto Prayitno
email: bukitshimla@gmail.com
I.
Pendahuluan
Didalam diktum Peraturan Menteri Agraria
Nomor 13 Tahun 1961 disebutkan dalam bahwa ketentuan- ketentuan dalam ”Ordonnatie Noodvoorzieningen overschijiving
en teboekstelling 1948”, yang dimuat dalam S. 1948 – 54 sejak tanggal 24
September 1960 tidak berlaku lagi, karena sejak tanggal itu tidak ada lagi
hak-hak eigendom, opstal dan erfpacht, yang disebut dalam Buku II Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, dimana itu berarti pula bahwa berlakunya
hukum agararia yang mendasarkan pada hukum barat berhenti dan sudah tidak
berlaku lagi dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Pokok – Pokok Agraria atau yang selanjutnya disebut sebagai UUPA.
Tidak berlakunya hukum barat dalam tata hukum
agraria di Indonesia selain memberikan keuntungan bagi bangsa Indonesia, juga
berdampak pada penerapan hukum agaria di Indonesia, termasuk masalah penguasaan
dan kepemilikan tanah yang ada di Indonesia.
Jika menilik pada masa berlakunya hukum barat
(termasuk hukum adat) pada masa kolonial, terdapat hak eiendom, hak erfpacht, hak
opstal dan hak gebruik, dll. Dengan ditetapkannya UUPA dan berdampak pada
adanya ketentuan konversi tanah oleh
pemerintah dengan mendasarkan pada Pasal 55 (1) UUPA:
“Hak-hak asing yang menurut Ketentuan
Konversi pasal I, II, III, IV dan V dijadikan hak guna usaha dan hak guna
bangunan hanya berlaku untuk sementara selama sisa waktu hak-hak tersebut,
dengan jangka waktu paling lama 20 tahun”.
Dari adanya konversi yang didasarkan pada
aturan-aturan hukum yang ada, sebenarnya mempunya latar belakang atau filosofi
tersendiri, sehingga perlu diadakannya suatu penerapan konversi, selain
daripada bahwa konversi adalah sebagai akibat atau konsekuensi hukum
diterapkannya UUPA khususnya didalam pasal 54 UUPA.
Dari uraian diatas, dapat ditarik suatu
permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini yaitu Bagaimanakah tujuan dan fungsi konversi tanah di dalam UUPA?
II.
Pembahasan
A. Pengertian Konversi Hak Atas Tanah
Sebelum masuk pada pemaparan mengenai tujuan dan fungsi adanya konversi
hak atas tanah, perlu diketahui lebih dahulu apa itu konversi hak atas tanah
dan dasar hukumnya.
Beberapa
ahli hukum memberikan pengertian konversi yaitu, antara lain:
A.P. Parlindungan menyatakan : “Konversi itu sendiri
adalah pengaturan dari hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk
masuk dalam sistem dari UUPA”.
Boedi Harsono menyatakan : “Konversi adalah
perubahan hak yang lama menjadi satu hak yang baru menurut UUPA”.
Dari rumusan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa konversi hak-hak atas disimpulkan bahwa konversi hak-hak atas hak atas
tanah dari status yang lama yaitu sebelum berlakunya UUPA menjadi status yang
baru, sebagaimana diatur menurut UUPA itu sendiri, adapun yang dimaksud dengan
hak-hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA adalah hak-hak atas tanah.
B. Dasar Hukum Konversi Hak Atas Tanah
Adapun yang menjadi landasan hukum konversi
terhadap hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA tanggal 24
September 1960 adalah bagian kedua dari UUPA “tentang ketentuan-ketentuan
konversi yang terdiri IX pasal yaitu dari pasal I sampai dengan pasal IX”,
khususnya untuk konversi tanah-tanah yang tunduk kepada hukum adat dan
sejenisnya diatur dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII ketentuan-ketentuan konversi,
di samping itu untuk pelaksanaan konversi yang dimaksud oleh UUPA dipertegaskan
lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2
tahun 1962 dan SK Menteri Dalam Negeri Nomor 26/DDA/1970 yaitu “tentang
penegasan konversi dan pendaftaran bekas hak-hak Indonesia atas tanah”.
C. Ketentuan Konversi Berdasarkan UUPA
Berikut akan dipaparkan ketentuan-ketentuan
konversi yang ada di dalam UUPA,
Pasal I
(1) Hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai
berlakunya Undang-undang ini sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali
jika yang mempunyai tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21.
(2) Hak eigendom kepunyaan Pemerintah Negara Asing, yang
dipergunakan untuk keperluan rumah kediaman Kepala Perwakilan dan gedung
kedutaan, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut
dalam pasal 41 ayat (1), yang akan berlangsung selama tanahnya dipergunakan
untuk keperluan tersebut di atas.
(3) Hak eigendom kepunyaan orang asing, seorang
warganegara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai
kewarga-negaraan asing dan badan-badan hukum, yang tidak ditunjuk oleh
Pemerintah sebagai dimaksud dalam pasal 21 ayat (2) sejak mulai berlakunya
Undang-undang ini menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat (1)
dengan jangka waktu 20 tahun.
(4) Jika hak eigendom tersebut dalam ayat (1) pasal ini
dibebani dengan hak opstal atau hak erfpacht, maka hak opstal dan hak erfpacht
itu sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak guna bangunan tersebut
dalam pasal 35 ayat (1), yang membebani hak milik yang bersangkutan selama sisa
waktu hak opstal atau hak erfpacht tersebut di atas, tetapi selama-lamanya 20
tahun.
(5) Jika hak eigendom tersebut dalam ayat (3) pasal ini
dibebani dengan hak opstal atau hak erfpacht, maka hubungan antara yang
mempunyai hak eigendom tersebut dan pemegang hak opstal atau hak erfpacht
selanjutnya diselesaikan menurut pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Agraria.
(6) Hak-hak hypotheek, servituut, vruchtgebruik dan
hak-hak lain yang membebani hak eigendom tetap membebani hak milik dan hak guna
bangunan tersebut dalam ayat (1) dan
(3) pasal ini, sedang hak-hak tersebut menjadi suatu hak
menurut Undang-undang ini.
Pasal II
(1) Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana
atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 20 ayat 1 seperti yang disebut
dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini,
yaitu : hak agrarisch eigendom, milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak
atas druwe desa, pesini, grant Sultan, landerinjbezitrecht, altijddurende
erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir dan hak- hak
lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri
Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi
hak milik tersebut dalam
pasal 20 ayat (1), kecuali jika yang mempunyainya tidak
memenuhi syarat sebagai
tersebut dalam pasal 21.
(2) Hak-hak tersebut dalam ayat (1) kepunyaan orang
asing, warganegara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai
kewarganegaraan asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah
sebagai yang dimaksud dalam pasal 21 ayat (2) menjadi hak guna usaha atau hak
guna bangunan sesuai dengan peruntukan tanahnya, sebagai yang akan ditegaskan
lebih lanjut oleh Menteri Agraria.
Pasal III
(1) Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar, yang ada
pada mulai berlakunya Undang- undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak
guna usaha tersebut dalam pasal 28 ayat (1) yang akan berlangsung selama sisa
waktu hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun.
(2) Hak erfpacht untuk pertanian kecil yang ada pada
mulai berlakunya Undang-undang ini, sejak saat tersebut hapus, dan selanjutnya
diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan yang diadakan oleh Menteri Agraria.
Pasal IV
(1) Pemegang concessie dan sewa untuk perusahaan kebun
besar dalam jangka waktu satu tahun sejak mulai berlakunya Undang-undang ini
harus mengajukan permintaan kepada Menteri Agraria agar haknya diubah menjadi
hak guna usaha.
(2) Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau permintaan
itu tidak diajukan, maka concessie dan sewa yang bersangkutan berlangsung terus
selama sisa waktunya, tetapi paling lama lima tahun dan sesudah itu berakhir
dengan sendirinya.
(3) Jika pemegang concessie atau sewa mengajukan
permintaan termaksud dalam ayat (1) pasal ini tetapi tidak bersedia menerima
syarat-syarat yang ditentukan oleh Menteri Agraria, ataupun permintaannya itu
ditolak oleh Menteri Agraria, maka concessie atau sewa itu berlangsung terus
selama sisa waktunya, tetapi paling lama lima tahun sesudah itu berakhir dengan
sendirinya.
Pasal V
Hak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan, yang ada
pada mulai berlakunya Undang- undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak
guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat (1) yang berlangsung selama sisa
waktu hak opstal dan hak erfpacht tersebut, tetapi selama- lamanya
20 tahun.
Pasal VI
Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau
mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) seperti yang disebut
dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini,
yaitu : hak vruchtgebruik, gebruik, grant controleur, bruikleen, ganggam
bauntuik,, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak- hak
lain dengan nama apapun juga, yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri
Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut
dalam pasal 41 ayat (1), yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana yang
dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini,
sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang
ini.
Pasal VII
(1) Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap
yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut
pada pasal 20 ayat (1).
(2) Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang tidak bersifat
tetap menjadi hak pakai tersebut pada pasal 41 ayat (1), yang memberi wewenang
dan kewajiban sebagai yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya
Undang-undang ini.
(3) Jika ada keragu-raguan apakah sesuatu hak gogolan,
pekulen atau sanggan bersifat tetap atau tidak tetap, maka Menteri Agrarialah
yang memutuskan.
Pasal VIII
(1) Terhadap hak guna bangunan tersebut pada pasal I ayat
(3) dan (4), pasal II ayat (2) dan pasal V berlaku ketentuan dalam pasal 36
ayat (2).
(2) Terhadap hak guna usaha tersebut pada pasal II ayat
(2), pasal III ayat (1) dan (2) dan pasal IV ayat (1) berlaku ketentuan dalam
pasal 30 ayat (2).
Pasal IX
Hal-hal yang perlu untuk menyelenggarakan ketentuan-ketentuan
dalam pasal-pasal di atas diatur lebih lanjut oleh Menteri Agraria
D. Tujuan dan Fungsi Konversi
Dalam penerapan konversi hak atas tanah, mempunyai
tujuan dan fungsi sebagaimana dipaparkan oleh UUPA maupun oleh para ahli
sarjana.
1. Berdasarkan Doktrin
Sebelum masuk dalam
pembahasan mengenai tujuan dan fungsi adanya konversi, oleh Prof. DR. A.P. Parlindungan, SH memberikan
komentar yang berkaitan dengan konversi hak atas tanah. Dimana di dalam
komentarnya ini juga memberikan pandangannya berkaitan dengan tujuan dan fungsi
dari konversi hak atas tanah.
Bahwa pelaksanaan konversi itu sendiri merupakan
sesuatu yang boleh dikatakan sangat drastis, oleh karena sekaligus ingin
diciptakan berkembangnya suatu unifikasi hukum keagrariaan di tanah air kita,
sungguhpun harus diakui persiapan dan peralatan, perangkat hukum maupun tenaga
trampil belumlah ada sebelumnya”.
2. Berdasarkan UUPA[1]
Tujuan dari konversi hak atas tanah tidak lepas dari
tujuan yang hendak dicapai UUPA yakni unifikasi dan kesederhanaan dalam hukum
pertanahan serta untuk memberikan jaminan kepastian hukum mengenai hak-hak atas
tanah dan terciptanya kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan
rakyat. Secara lebih khusus konversi bertujuan untuk mengadakan unifikasi
hak-hak atas tanah, sehingga kelak tidak ada lagi hak-hak atas tanah produk
Hukum yang lama yakni Hak-hak atas tanah yang tunduk pada KUH perdata yang
lebih mengutamakan kepentingan individu maupun hak-hak atas tanah menurut Hukum
adat dengan keanekaragamannya itu.
Dengan diberlakukannya UUPA (UU No. 5/1960) yang
menganut asas unifikasi hukum agraria, maka hanya ada satu sistem hukum untuk
seluruh wilayah tanah air, oleh karena itu hak-hak atas tanah yang ada sebelum
UUPA harus disesuaikan atau dicari padanannya yang terdapat di dalam UUPA
melalui lembaga konversi.
Jadi dengan demikian tujuan dikonversinya hak-hak atas
tanah pada hak-hak atas tanah menurut sistem UUPA di samping untuk terciptanya
unifikasi hukum pertanahan di tanah air dengan mengakui hak-hak atas tanah
terdahulu untuk disesuaikan menurut ketentuan yang terdapat didalam UUPA dan
untuk menjamin kepastian hukum, juga bertujuan agar hak-hak atas tanah itu
dapat berfungsi untuk mempercepat terwujudnya masyarakat adil dan makmur
berdasarkan pada UUD 1945.
Keseluruhan dari hak-hak atas tanah dari produk
hukum yang lama tersebut disesuaikan, dialihkan atau dirobah kedalam salah satu
hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 UUPA yaitu :
a. Hak milik,
b. Hak Guna Usaha,
c. Hak Guna Bangunan,
d. Hak Pakai,
e. Hak Sewa,
f. Hak Membuka Hutan,
g. Hak Memungut Hasil Hutan,
h. Dll.
Tentunya hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam pasal
16 Undang-Undang Pokok Agraria huruf (a) sampai dengan (g) tersebut tidak
bersifat Limitatif, dalam
pengertian bahwa masih dimungkinkannya untuk pengembangan hak-hak atas tanah
lainnya, misalnya hak pengelolaan.
Untuk mewujudkan tujuan dari konversi tersebut, dalam
proses konversi hak atas tanah di Indonesia harus punya 5 prinsip, dari kelima
prinsip tersebut akan semakin jelas terlihat tujuan yang hendak dicapai dan
cara penyelesaian dari konversi yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia
dengan kepribadian Indonesia
Prinsip-prinsip tersebut adalah :
a. Prinsip Nasionalitas
b. Prinsip Pengakuan hak-hak atas tanah
c. Prinsip Kepentingan Hukum
d. Prinsip Penyesuaian pada Kepentingan Konversi
e. Prinsip Status Quo hak-hak tanah terdahulu
a. Prinsip Nasionalitas
Prinsip ini dapat dibaca/ditemui dalam pasal 9, 21, 30
dan 36 UUPA. Menurut pasal 9 bahwa warga Negara Indonesia dapat mempunyai
hubungan yang sepenuhnya dengan bumi air dan ruang angkasa, tanpa membedakan
antara laki-laki dan perempuan, mereka mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
hak-hak atas tanah.
Ketentuan dari Prinsip Nasionalitas ini lebih dirinci
dalam pasal 21 UUPA yang berbunyi :
1. Hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak
milik
2. Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan yang dapat
mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.
3. Orang asing yang sesudah berlakunya UU ini memperoleh
hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran harta karena
perkawinan, demikian pula warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan
setelah berlakunya UU ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak
itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau
hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau, hak
milik tersebut tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena Hukum dan
tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebani
tetap berlangsung.
4. Selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesia
mempunyai kewarganegaraan asing maka Ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak
milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini.
Dari ketentuan pasal 21 UUPA dapat diketahui bahwa
betapa konsekwennya Indonesia terhadap prinsip Nasionalitas, maka hak milik
sebagai hak terpenuh dan terkuat hanya di peruntukan bagi warga negara
Indonesia, orang asing tidak diperkenankan mempunyai tanah walau pun karena
pewarisan.
Begitu pula halnya dengan orang-orang yang melakukan
pencampuran harta, kewarganegaraan rangkap yakni berkewarganegaraan asing
disamping ia warga Negara Indonesia bagi mereka dikenankan sanksi untuk
melepaskan hak miliknya itu, dalam jangka waktu 1 tahun jika tidak tanahnya
akan jadi milik Negara.
Pasal 30 UUPA memuat prinsip Nasionalitas dari hak
guna usaha dan pasal 36 UUPA tentang Hak Guna Bangunan. Dari ketentuan pasal
tersebut terlihat bahwa:
UUPA telah mengIndonesiakan kembali hak-hak atas tanah
yang terdapat di Indonesia . Di Zaman berlakunya BW hak-hak atas tanah yang
pernah kita kenal seperti hak Eigendom, opstal, Erfacht tidak
mempersoalkan kewarganegaraan / kependudukan seseorang asal saja mau tunduk
kepada BW dapat saja memiliki tanah di Indonesia .
b. Prinsip pengakuan hak-hak tanah
terdahulu
Berlakunya UUPA terjadilah Unifikasi Hukum di Bidang
pertanahan. Namun bukan berarti hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum yang
lama, yakni Hukum Perdata Barat dan Hukum Adat menjadi hilang begitu saja, terhadap
tanah, yang tunduk pada sistem hukum lama masih diakui keberadaanya. Untuk
kemudian melalui Lembaga Konversi disesuaikan kedalam salah satu hak atas tanah
menurut sistem UUPA.
Hal demikian memperlihatkan kepribadian dari bangsa
Indonesia yang berkeprimanusiaan dalam melaksanakan ketentuan konversi ini.
Berlainan dengan Negara-negara penjajah maupun Negara–negara komunis yang
mengambil alih daerah pada umumnya.
c. Prinsip Kepentingan Hukum
Dengan adanya ketentuan konversi maka ada kepastian
Hukum mengenai status Hak-hak atas tanah yang tunduk pada sistem Hukum yang
lama. Apakah hak tersebut akan dihapuskan atau disesuaikan kedalam hak-hak
menurut sistem UUPA dan kepastian berakhirnya masa-masa konversi hak-hak atas
tanah bekas tunduk pada KUH Perdata dinyatakan telah berakhir
d. Penyesuaian
kepada kepentingan konversi
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa ketentuan
konversi Indonesia mengakui hak-hak atas tanah, yang lama yang pernah ada
sebelum berlaku UUPA, maka terhadap hak-hak yang lama tersebut melalui
Lembaga konversi disesuaikan atau dipadankan dengan hak-hak atas tanah menurut
UUPA.
Dalam Hal ini tidak terlepas dari prinsip terdahulu
yakni prinsip nasionalitas, masalah kewarganegaraan sangat menentukan dalam
penyesuaian atau pemadanan tersebut.
e. Status quo hak-hak tanah terdahulu
Setelah berlaku nya UUPA maka tidak mungkin lagi di
terbitkan hak-hak baru atas tanah yang tunduk pada Hukum Barat maupun Adat.
Dengan demikian setiap ada perbuatan suatu hak baru atas tanah yang tunduk atau
yang akan ditundukkan pada sistim hukum yang lama adalah batal dan tidak
berkekuatan Hukum.
III.
Penutup
Berdasarkan apa yang disampaikan berkaitan
dengan tujuan dan fungsi konversi hak atas tanah yang diamanatkan di dalam UUPA
adalah sebagai adanya upaya unifikasi hukum, hal ini didasarkan pada masa
sebelumnya masih berlakunya hukum barat dan hukum adat di dalam hukum agararia
Indonesia, selain daripada itu bahwa konversi hak atas tanah ada sebagai upaya
adanya penyatuan hukum agar berlaku satu hukum yang mengatur masalah agaria,
dimana ini didasarkan pada asas-asas yang ada di dalam UUPA dimana antara
lainnya adalah asas nasionalitas.
Selain daripada tujuan penyatuan dan
unifikasi hukum, bahwa adanya konversi hak atas tanah bertujuan untuk
tercapainya kepastian hukum terkait keberlakuan masalah agraria di Indonesia.
IV.
Daftar Pustaka
Harsono, Budi,
1999, Hukum Agraria Indonesia
( Sejarah Pembentukan UUPA), Djambatan,
Jakarta
Hermayulis,
1999, Penerapan Hukum
Pertanahan dan Pengaruhnya Terhadap Hubungan Kekerabatan Pada Sistem
Kekerabatan Matrilineal Minangkabau di Sumatera Barat
Konsorsium
Reformasi Hukum Nasional ( KRHN ) dan Konsorsium Pembaharuan Hukum Agraria (
KPA ), 1998, Usulan Revisi (
Menuju Penegakan Hak-Hak Rakyat Atas Sumber-Sumber Agraria )
Kartasapoetra,
G Dkk, 1986, Masalah
Pertanahan di Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta
----------------,
1984, Hukum Tanah Jaminan
UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah,Rineka Cipta
Parlindungan
A.P, 1991, Pedoman Pelaksanaan
UUPA dan Tata Cara PPAT, Mandar Maju, Bandung
--------------------,
1999, Politik Pertanahan
Nasional Sampai Orde Reformasi, Bandung
Fakultas Hukum Andalas, Konversi Hak Atas Tanah Menurut UU No. 5
Tahun 1960, http://fhuk.unand.ac.id/en/kerjasama-hukum/menuartikeldosen-category/942-konversi-hak-atas-tanah-di-indonesia-menurut-uu-no5-tahun-1960-article.html, diakses pada 25 Oktober 2014.
[1] Fakultas Hukum Andalas, Konversi
Hak Atas Tanah Menurut UU No. 5 Tahun 1960, http://fhuk.unand.ac.id/en/kerjasama-hukum/menuartikeldosen-category/942-konversi-hak-atas-tanah-di-indonesia-menurut-uu-no5-tahun-1960-article.html, diakses pada 25 Oktober 2014.
Komentar
Posting Komentar