oleh:
Cipto Prayitno
email: bukitshimla@gmail.com
I.
Pendahuluan
Korupsi
menurut asal kata latin yaitu corupttio yang
artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok.[1]
Sedangkan, berdasarkan Ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).”[2]
Tindak pidana korupsi bukanlah hal yang baru
dan hangat untuk diperbincangkan didalam permasalahan hukum di Indonesia,
karena adanya budaya korup di Indonesia berdasarkan salah satu blog di internet
dikatakan bahwa budaya korup di Indonesia sudah ada sejak zaman sebelum
kemerdekaan dan oleh blog tersebutpun diklasifikasikan kedalam 4 (empat) era/zaman,
yaitu Era sebelum kemerdekaan Indonesia, Era pasca kemerdekaan, Era Orde Baru
dan Era Orde Reformasi.[3]
Namun ketika melihat fakta diatas yang
mengatakan bahwa budaya korupsi dimulai sejak Era sebelum kemerdekaan dan
dikaitkan dengan masa sekarang dimana masalah-masalah mengenai kasus korupsi di
Indonesia semakin banyak dan menjamur. Maka, yang dapat dilihat adalah sejak
munculnya kasus korupsi pertama kali sampai sekarang, belumlah ada suatu
pembelajaran mengenai bahaya-bahaya baik langsung maupun laten dari korupsi.
Harusnya ketika budaya korupsi di Indonesia
sejak pra kemerdekaan sudah ada maka pembelajaran yang dapat diambil adalah
agar pada masa berikutnya atau masa sekarang janganlah sampai ada kasus-kasus
mengenai tindak pidana korupsi. Namun, yang terjadi faktanya sekarang adalah
kasus-kasus tindak pidana korupsi di Indonesia pada masa sekarang atau era
reformasi adalah semakin baanyak muncul, mulai dari kasus Bank Century, kasus
Hambalang, Kasus mafia pajak oleh Gayus Tambunan dan masih banyak lagi lainnya.
Ketika melihat koherensi antara fakta bahwa
korupsi sudah ada sejak pra kemerdekaan sampai sekarang serta fakta sekarang
yang menunjukkan bahwa korupsi makin marak, dapat ditarik sebuah analisa
mengenai sebenarnya apakah yang menyebabkan hal itu terjadi? Ketika melihat
fakta diatas hal-hal yang membuat korupsi tetap ada dan makin banyak adalah
masalah pencegahan dan penanganannya.
Dalam hal penanganan masalah korupsi di
Indonesia dan penegakannya yang patut disoroti adalah masalah pembuktiannya.
Dalam kasus tindak pidana korupsi dalam hal pembuktiannya amatlah sulit,
sehingga bisa dikatakan bahwa masalah pembuktian dalam hal penangana kasus
korupsi di Indonesia adalah menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
masalah-masalah yang telah dikemukakan diawal.
Karena pembuktian yang sulit dalam kasus
korupsi dan menjadi hambatan pula, maka kaitannya dengan pembuktian dalam kasus
tindak pidana korupsi oleh para penegak hukum dibuatlah variasi agar memudahkan
dalam proses pembuktian tindak pidana korupsi saat persidangan, yaitu mekanisme
pembuktian terbalik dalam kasus tindak pidana korupsi.
Pembalikan beban pembuktian atau yang
lebih dikenal sebagai sistem pembuktian terbalik merupakan mekanisme yang
dianggap merupakan suatu solusi untuk mengungkap tindak pidana suap. Sistem
pembuktian terbalik didefinisikan sebagai suatu mekanisme pembuktian dimana
pihak yang dianggap bersalah yang mempunyai kewajiban untuk membuktikan bahwa
dirinya tidak bersalah. Mekanisme pembuktian terbalik sebenarnya bukan
merupakan suatu hal yang benar – benar baru dalam sistem hukum pidana
Indonesia. Mekanisme ini telah disebutkan dalam beberapa kebijakan legislasi
yaitu UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No.15 tahun 2003 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang. Khusus untuk kebijakan legislasi yang mengatur tentang
korupsi dan suap, mekanisme ini diatur dalam UU No.20 tahun 2001 tentang
Perubahan Atas UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
walaupun sejak UU No.5 tahun 1960 dan UU No.3 tahun 1971 telah menyebutkan
mengenai sistem pembuktian terbalik. Pada dasarnya, dalam setiap pemeriksaan di
persidangan untuk kasus korupsi maupun suap terdakwa diberi hak (kesempatan) untuk
membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Sistem
pembuktian terbalik merupakan suatu kewajiban bagi Terdakwa penerima
gratifikasi 10 juta rupiah atau lebih dan untuk membuktikan harta benda yang
belum didakwakan bukan merupakan hasil tindak pidana korupsi. Kebijakan
legislasi yang telah diatur
sedemikian rupa tidak serupa pada tatanan aplikatifnya. Sistem pembuktian terbalik
hingga saat ini belum pernah diterapkan baik dalam kasus tindak pidana korupsi maupun suap karena pelaksanaannya masih tergantung pada wewenang hakim untuk menerapkannya atau tidak dalam persidangan.[4]
sedemikian rupa tidak serupa pada tatanan aplikatifnya. Sistem pembuktian terbalik
hingga saat ini belum pernah diterapkan baik dalam kasus tindak pidana korupsi maupun suap karena pelaksanaannya masih tergantung pada wewenang hakim untuk menerapkannya atau tidak dalam persidangan.[4]
Namun yang menjadi masalah selanjutnya adalah
perbenturan prinsip dalam sistem pembuktian terbalik dengan asas praduga tak
bersalah dari si terdakwa. Dimana dalam hal pembuktian terbalik posisi terdakwa
yang seharusnya adalah dianggap tak bersalah sebelum ada putusan hakim yang
bersifat tetap, namun oleh sistem pembuktian terbalik seolah terdakwa di justifikasi bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi dan punya hak untuk membuktikan bahwa dia tak
bersalah dan ketika dia tak mampu membuktikan dia dianggap bersalah.
Dari uraian latar belakang masalah diatas
dapat ditarik sebuah permasalahan, yaitu:
1. Bagaimanakah pengaturan pembuktian terbalik didalam
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia?
2. Dapatkah sistem pembuktian terbalik diterapkan terhadap
tindak pidana korupsi?
II.
Pembahasan
A. Pengaturan Pembuktian Terbalik dalam Peraturan
Perundang-Undangan[5]
Ketentuan mengenai pembuktian terbalik
sebenarnya sudah dicantumkan di dalam Pasal 12B, 37, 37A, 38 Undang-undang
Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan ini merupakan penyimpangan dari
sistem pembuktian konvensional yang diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana). KUHAP menentukan bahwa yang harus membuktikan kesalahan
terdakwa adalah jaksa penuntut umum bukan terdakwa. Disamping itu penerapan
pembuktian terbalik juga merupakan penyimpangan dari asas praduga tidak
bersalah (presumption of innocence), melalui pembuktian terbalik terdakwa
dianggap bersalah melakukan tindak pidana korupsi sampai dapat membuktikan
sebaliknya. Dengan diterapkannya pembuktian terbalik akan memberikan efek
jera kepada pelaku tindak pidana korupsi, karena ia yang harus membuktikan
bahwa ia tidak bersalah, artinya kalau ia tidak mampu membuktikan, maka
otomatis ia dianggap bersalah melakukan tindak pidana korupsi.[6]
B.
Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Kasus Tindak
Pidana Korupsi
Tindak pidana korupsi merupakan
salah satu jenis dari berbagai jenis tindak pidana. pengertian korupsi, menurut
arti katanya “korupsi” berasal dari Bahasa Latin Corruptio atau Corruptus yang
artinya busuk, buruk, bejat, dapat disuap, menyimpang dari kesucian, perkataan
yang menghina atau memfitnah. Dalam perkembangan selanjutnya kata “korupsi”
dalam perbendaharaan Bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan curang dan
dapat disuap. Mengenai pengertian tindak pidana sendiri sejak dulu telah banyak
diciptakan oleh para sarjana, salah satunya yaitu yang diungkapkan oleh Prof. Muljatno
dengan menggunakan istilah perbuatan pidana yaitu : “Perbuatan yang oleh aturan
hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar
aturan tersebut”.
Menurut wujudnya atau
sifatnya perbuatan pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum.
Perbuatan-perbuatan ini juga masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau
menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap
baik dan adil.” (K Wantjik Saleh, 1983 : hal. 16). Sedangkan mengenai Menurut K
Soeparto, perkataan Corruptio mempunyai banyak makna, yaitu bederven (merusak),
schenden (melanggar), dan omkopen (menyuap). Pers acapkali memakai istilah
korupsi dalam arti yang luas, mencakup masalah-masalah tentang penggelapan.(M
Sudradjat Bassar, 1983 : hal.77) Upaya penanggulangan tindak pidana korupsi,
seperti juga upaya penanggulangan kejahatan pada umumnya dapat meliputi upaya
penal dan upaya penal. Upaya penal atau melalui sarana Hukum Pidana
operasionalnya melalui beberapa tahap, yaitu :
1. Formulasi, atau
perumusan hukum pidana yang merupakan kebijakan legislatif,
2. Aplikasi, atau
penerapan hukum pidana yang merupakan kebijakan yudikatif,
3. Eksekusi, atau
pelaksanaan hukum pidana yang merupakan kebijakan eksekutif atau administratif.
(Barda Nawawi Arif, 2000 : hal. 3)
Penanggulangan tindak pidana
korupsi melalui upaya penal di Indonesia sudah dimulai sejak dikeluarkannya
Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf angkatan Darat tanggal 16 April
1958 No. Prt/Peperpu/013/1958 beserta peraturan pelaksanannya dan Peraturan
Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.I/I/7 tanggal 17
April 1958. Peraturan tersebut kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 24 Prp
Tahun 1960 jo. Undang-Undang No. 1 Tahun 1961, atau yang dikenal dengan Undang-
undang tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi.
Pada masa kabinet Ampera, sarana
UU No. 24 Prp. Tahun 1960 diperlengkapi dengan Keputusan Presiden No. 228/1967
tanggal 2 Desember 1967 yang memberikan tambahan kekuatan hukum yang represif
dan efisien untuk pemberantasan korupsi agar mampu mempercepat prosedur
penyelesaian perkara dan mempermudah penuntutan perkara korupsi yang dilakukan
oleh orang sipil dan atau orang dari kalangan ABRI.
Peraturan-peraturan tersebut
digantikan lagi dengan UU No. 3 Tahun 1971 dan terakhir diperbaiki dengan UU
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut UU No.
31 Tahun 1999 yang termasuk Tindak Pidana Korupsi yaitu :
·
Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara,
·
(Pasal 2 Ayat (1)) Setiap orang yang dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara,
·
(Pasal
3) Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan
mengingat kekuasaan atau wewenang yang ada melekat pada jabatan atau
kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan
atau kedudukan tersebut,
·
(Pasal 13) Setiap orang yang melanggar
ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakanbahwa pelanggaran terhadap
ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi.
Sedangkan mengenai kekhususan
atau keistimewaan UU No. 31 Tahun 1999 antara lain yaitu :
1. Unsur “secara melawan hukum”
mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan dalam arti materiil,
artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, manun jika perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak
sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan social dalam masyarakat,
maka perbuatan tersebut dapat dipidana. (penjelasan Pasal 2 Ayat(1)).
2. Percobaan,
pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana melakukan delik selesai/delik sui
generis.(Pasal 15)
3. Perampasan
barang bukti diperluas tidak hanya hal-hal yang ditentukan oleh Pasal 39 KUHAP,
(Pasal 18)
4. Jika
Penyidik tidak menemukan cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian
keuangan negara, maka Penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil
penyidikan kepada Jaksa Pengacara Negara atau kepada instansi yang dirugikan
untuk melakukan gugatan perdata (Pasal 32)
5. Pembebasan dari
kewajiban menjadi saksi dibatasi hanya terhadap mereka yang mempunyai hubungan
keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah, saudara kandung dan istri atau
suami (Pasal 35),
6. Terdakwa wajib
memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya, harta benda keluarganya
dan setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara
yang bersangkutan (Pasal 37 Ayat (3)),
7. Terdakwa berhak
untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, tanpa
mengurangi kewajiban Penuntut Umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa (Pasal
37 Ayat (1)),
8. Dalam hal terdakwa
telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang
sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya/in- absentia
(Pasal 38).
Di atas telah dijelaskan bahwa
salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya mengusut tindak pidana korupsi
adalah sulitnya menemukan bukti atau membuktikan adanya tindak pidana korupsi.
Membuktikan menurut Martiman Prodjohamidjojo mengandung maksud dan usaha untuk
menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal
terhadap kebenaran peristiwa tersebut. (Martiman Prodjohamidjojo, 1983 : hal.
11). Sedangkan Bambang Poernomo menyatakan bahwa : “Hukum pembuktian adalah
keseluruhan aturan hukum atau peraturan undang-undang mengenai kegiatan untuk
rekonstruksi suatu kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa lalu yang
relevan dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan
pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku
untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana.
Pembuktian tentang benar tidaknya
terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting
acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi dapat dipertaruhkan . Untuk inilah
maka Hukum Acara Pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil berbeda
dengan Hukum Acara Perdata yang cukup puas dengan kebenaran formil. Kebenaran
dalam perkara pidana merupakan kebenaran yang disusun dan didapatkan dari
jejak, kesan, dan refleksi dari keadaan dan/atau benda yang berdasarkan ilmu
pengetahuan dapat berkaitan dengan kejadian masa lalu yang diduga menjadi
perbuatan pidana.(Bambang Poernomo, 1986 : hal.38). Suatu pembuktian yang
benar-benar sesuai dengan kebenaran tidak mungkin dicapai. Maka Hukum Acara
Pidana sebenarnya hanya hanya menunjukkan jalan untuk berusaha mendekati
sebanyak mungkin persesuaian dengan kebenaran. Hukum pembuktian memberi
petunjuk bagaimana hakim dapat menetapkan sesuatu hal cenderung kepada
kebenaran. Dalam menilai kekuatan pembuktian tersebut dikenal beberapa sistem
atau teori pembuktian, yaitu :
1. Teori
pembuktian yang hanya berdasarkan kepada alat-alat pembuktian yang disebut oleh
undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie). Artinya jika
telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh
undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Teori ini
disebut juga teori pembuktian formil (formele bewijstheorie). Teori ini
berusaha menyingkirkan segala pertimbangan hakim yang bersifat subyektif, oleh
karena itu mengikat secara tegas supaya hakim hanya tergantung pada ada atau
tidak adanya sejumlah alat bukti yang formel tercantum dalam undang-undang
cukup untuk menjatuhkan putusan. (Bambang Poernomo, 1986 : hal. 40) Wirjono
Prodjodikoro menolak teori ini untuk dianut di Indonesia, karena menurutnya
hakim hanya dapat menetapkan kebenaran dengan cara mengatakan kepada
keyakinannya tentang kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang
jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.
(Andi Hamzah, 1996 : hal. 259)
2. Teori
pembuktian berdasar keyakinan hakim semata-mata (conviction intime). Artinya
jika dalam pertimbangan keputusan hakim telah menganggap terbukti sesuatu
sesuai dengan keyakinan yang timbul dari hati nurani seorang hakim, maka dapat
dijatuhkan putusan. Sistem ini menurut Martiman Prodjohamidjojo tidak dianut
dalam peradilan umum ataupun dalam KUHAP. Contoh dari sistem ini dipergunakan
dalam peradilan yuri. (Martiman Prodjohamidjojo, 1983 : hal. 16). Sedangkan menurut
Wirjono Prodjodikoro sistem pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia
yaitu pada peradilan distrik dan peradilan Kabupaten. Sistem ini memungkinkan
hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan
medium atau dukun.(Andi Hamzah, 1996 : hal. 260)
3. Teori
pembuktian berdasar keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang
logis (conviction raisonee). Teori ini disandarkan pada keyakinan hakim atas
dasar pertimbangan akal atau menurut logika yang tepat (berendeneerde
overtuiging) dan memberikan keleluasaan kepada hakim secara bebas untuk
menggunakaan alat bukti yang lain.
4. Teori
pembuktian berdasar keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam
undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheori). Dalam sistem
ini ada dua hal yang merupakan syarat, yaitu:
a. wettelijk, yaitu alat-alat
bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang,
b. negatief, maksudnya dengan
alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan undang-undang saja, belum cukup untuk
memaksa hakim pidana menganggap bukti sudah diberikan, tapi masih dibutuhkan
adanya keyakinan hakim. (Martiman Prodjohamidjojo, 1983 : hal. 14)
Dari keempat teori pembuktian di
atas, ketentuan Hukum Acara Pidana Indonesia mengikuti prinsip dari teori
negatief wettelijk bewijstheorie. Hal ini bisa dilihat dari ketentuan Pasal 183
KUHAP : “Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya.”
Berdasar ketentuan di atas, maka
dalam Pasal 183 KUHAP terdapat dua unsur, yaitu :
1. Sekurang-kurangnya
ada dua alat bukti yang sah,
2. Dengan dasar
alat bukti yang sah itu hakim yakin bahwa :
· tindak
pidana telah terjadi,
· terdakwa
telah bersalah.
Sehingga dengan demikian antara alat-alat bukti dan
keyakinan hakim harus ada hubungan causal (sebab-akibat). Hal tersebut sama
dengan ketentuan dalam Pasal 294 Ayat (1) HIR yang menyatakan : “Tidak seorang
pun boleh dikenakan pidana selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat
bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan
bahwa orang-orang yang didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu.”
Ketentuan yang sama juga telah
diatur dalam Pasal 6 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman : “Tiada seorang juga pun dapat dijatuhi pidana kecuali
apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang
mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah
bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.”
Selain itu, asas negatief
wettelijk ini juga tercermin dalam Pasal 189 Ayat (4) KUHAP : “Keterangan
terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti
yang lain”. Sedangkan mengenai kewajiban pembuktian, atau siapa yang harus
membuktikan, menurut KUHAP adalah dibebankan kepada Penuntut Umum. Hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 66 KUHAP : “Tersangka atau terdakwa tidak
dibebani kewajiban pembuktian.”
Menurut penjelasan Pasal 66
tersebut, ketentuan ini adalah penjelmaan dari asas “praduga tak bersalah”, di
mana mengenai asas tersebut diatur dalam penjelasan umum butir 3 c KUHAP :
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan
di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Asas praduga tak bersalah ini juga telah diakui oleh dunia internasional.
Antara lain diatur dalam Pasal 14 Ayat (2) Perjanjian Internasional tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik Tahun 1996 : “Setiap orang yang dituduh melakukan
pelanggaran pidana akan berhak atas praduga tak bersalah sampai terbukti
bersalah menurut hukum.”
Sebagai komponen dasar dari hak
atas suatu peradilan yang fair, asas praduga tak bersalah antara lain berarti
bahwa beban pembuktian dalam suatu peradilan pidana tergantung pada penuntutan
dan si tertuduh mempunyai keuntungan sebagai orang yang diragukan. (Lawyer
Commitee for Human Right, 1997 : hal. 23) Selain itu dalam Pasal 14 Ayat (3)
huruf g Perjanjian Internasional tersebut dinyatakan bahwa : “Dalam penentuan
tuduhan pelanggaran pidana terhadapnya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa
memberikan kesaksian terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah.”
Ketentuan ini sering disebut juga
dengan asas non self incrimination. Meskipun ketentuan ini tidak secara tegas
mengatur tentang bukti yang didapat dengan cara pemaksaan, namun telah lama
ditafsirkan bahwa bukti tersebut tidak dapat diterima di pengadilan. Di samping
itu diamnya tersangka atau terdakwa tidak dapat digunakan sebagai bukti untuk
menyatakan bersalah dan tidak ada konsekuensi yang negatif dapat ditarik dari
pelaksanaan hak untuk diam dari seorang tersangka. (Lawyer Committee for Human
Right, 1997 : hal. 33)
Dari penjelasan di atas terlihat
bahwa asas praduga tak bersalah secara tegas telah diatur oleh peraturan
perundang-undangan, yang tidak hanya diakui di Indonesia, tetapi juga diakui di
dunia internasional. Asas praduga tak bersalah ini merupakan salah satu bentuk
jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Penerapan asas pembuktian
terbalik dalam suatu perkara pidana jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap
asas praduga tak bersalah ini. Istilah pembuktian terbalik telah dikenal luas
oleh masyarakat sebagai bahasa yang dengan mudah dapat dicerna pada masalah dan
salah satu solusi pemberantasan korupsi. Istilah ini sebenarnya kurang tepat, dari sisi bahasa dikenal sebagai omkering van het
bewijslat atau reversal burden of proof yang bila
diterjemahkan secara bebas menjadi “pembalikan beban pembuktian. Sebagai asas
universal, memang akan menjadi pengertian yang bias apabila diterjemahkan
sebagai pembuktian terbalik.
Di sini ada suatu beban pembuktian yang diletakkan kepada salah satu pihak, yang universalis terletak pada penuntut umum. Namun, mengingat adanya sifat kehususan yang sangat mendesak, beban pembuktian tersebut diletakkan tidak lagi kepada penuntut umum tetapi kepada terdakwa. Proses pembalikan beban dalam pembuktian inilah yang kemudian dikenal awam dengan istilah “pembuktian terbalik”. Dalam asas pembuktian terbalik hakim berangkat dari praduga bahwa terdakwa telah bersalah melakukan suatu pelanggaran hukum atau presumption of guilt. Kemudian terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, dan jika dia tidak dapat membuktikan hal itu, maka ia dinyatakan bersalah tanpa perlu pembuktian lagi dari pihak Penuntut Umum. Bila tersangka atau terdakwa ditahan maka hampir mustahil hal itu bisa dilakukan. Dalam sistem pembuktian seperti tersebut di atas, tampak bahwa hak-hak seorang terdakwa tidak dijamin, bahkan dilanggar. Padahal dalam Pasal 183 KUHAP, sebagaimana telah dijelaskan di atas telah diatur secara tegas bahwa : “Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Di sini ada suatu beban pembuktian yang diletakkan kepada salah satu pihak, yang universalis terletak pada penuntut umum. Namun, mengingat adanya sifat kehususan yang sangat mendesak, beban pembuktian tersebut diletakkan tidak lagi kepada penuntut umum tetapi kepada terdakwa. Proses pembalikan beban dalam pembuktian inilah yang kemudian dikenal awam dengan istilah “pembuktian terbalik”. Dalam asas pembuktian terbalik hakim berangkat dari praduga bahwa terdakwa telah bersalah melakukan suatu pelanggaran hukum atau presumption of guilt. Kemudian terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, dan jika dia tidak dapat membuktikan hal itu, maka ia dinyatakan bersalah tanpa perlu pembuktian lagi dari pihak Penuntut Umum. Bila tersangka atau terdakwa ditahan maka hampir mustahil hal itu bisa dilakukan. Dalam sistem pembuktian seperti tersebut di atas, tampak bahwa hak-hak seorang terdakwa tidak dijamin, bahkan dilanggar. Padahal dalam Pasal 183 KUHAP, sebagaimana telah dijelaskan di atas telah diatur secara tegas bahwa : “Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Dalam asas pembuktian terbalik
ketentuan tersebut secara terang-terangan disimpangkan, karena Hakim dapat saja
menjatuhkan putusan pidana tanpa adanya suatu alat bukti, yaitu jika terdakwa
tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Jadi di sini hanya dengan
adanya keyakinan hakim sudah cukup untuk menyatakan kesalahan terdakwa, tanpa
perlu adanya alat bukti. Hal ini sama dengan sistem dalam teori pembuktian
conviction intime (pembuktian berdasar keyakinan hakim semata) yang telah
dijelaskan di atas. Hal ini tentu saja sangat merugikan terdakwa.
Menurut Luhut MP Pangaribuan,
bila sistem pembuktian terbalik ini diterapkan maka akan membawa implikasi
negatif yang luar biasa yaitu :
·
Pertama,
secara umum kita akan kembali pada satu zaman yang disebut dengan ancient
regime. Pada zaman ini berkuasa The Holy Inqusition yang kemudian dikenal dalam
hukum acara pidana dengan sistem inkuisitoir. Tersangka dan Terdakwa menjadi
obyek. Sebab pengakuan merupakan alat bukti yang penting.
·
Kedua,
dalam situasi rendahnya kapabilitas dan integritas aparatur penegak hokum
dewasa ini maka sistem pembuktian terbalik bisa menjadi alat black-mailing yang
efektif untuk memperkaya diri dan bentuk penyalahgunaan penegakan hukum yang
lain.
·
Ketiga,
usaha untuk meningkatkan profesionalitas dan integritas penegak hukum akan
menjadi tidak perlu bila sistem pembuktian terbalik diterima. Sebab ia cukup
mengandalkan perasaan maka bila orang itu gagal narapidanalah ia. Jadi aparatur
penegak hukum itu cukup setingkat debt collector.” (Luhut MP Pangaribuan, 2001
: hal.1)
Akan tetapi meskipun asas
pembuktian terbalik mengandung banyak kelemahan seperti di atas, hal ini bukan
berarti asas pembuktian terbalik tidak dapat diterapkan. Penerapan sistem
pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi ini sudah dianut di
Hongkong, Malaysia, dan Singapura. Di Hongkong misalnya, pembuktian terbalik
ini diatur dalam Pasal 10 (1b) Prevention of Bribery Ordonance 1970, Added 1974
: “or is in control of pecuniary resources of property disproportionate to his
present or past official emoluments, shall, unless he gives satisfactory
explanation to the court as to how he was able to maintain such a standard of
living or how such pecuniary resources came under his control, be guilty of an
offence.”
Dari ketentuan tersebut terlihat
bahwa menguasai sumber-sumber pendapatan atau harta yang tidak sebanding dengan
gajinya pada saat ini atau pendapatan resmi di masa lalu, akan dinyatakan
bersalah melakukan pelanggaran, kecuali kalau ia dapat memberikan suatu
penjelasan yang memuaskan kepada pengadilan mengenai bagaimana ia mampu
memperoleh standar hidup yang demikian itu atau bagaimana sumber-sumber
pendapatan atau harta itu dapat ia kuasai. Penerapan sistem pembuktian terbalik
ini menurut keterangan seorang pejabat Independent Comission Against Corruption
Hongkong cukup efektif untuk memberantas tindak pidana korupsi, karena seseorang
akan takut melakukan korupsi. Sebab akan sulit baginya memberikan penjelasan
yang memuaskan tentang sumber kekayaannya kalau memang kekayaannya itu
diperoleh dengan cara yang tidak sah.
Mengingat “merajalelanya” tindak
pidana korupsi di Indonesia, maka tidak salah jika pemerintah kemudian juga
mengusulkan untuk mengamandemen UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dengan menerapkan pembuktian terbalik terhadap perkara
korupsi, terlepas dari alasan yang mendorong pemerintah untuk mengeluarkan
usulan tersebut.
Dalam UU No. 31 Tahun 1999 memang
telah diatur mengenai pembuktian terbalik, tetapi ketentuan tersebut bersifat
terbatas, artinya terdakwa berhak untuk membuktikan, tetapi, karena Penuntut
Umum tetap wajib membuktikan dakwaannya. Sedangkan dalam RUU yang baru
pembuktian terbalik tersebut bersifat murni, di mana terdakwa wajib membuktikan
bahwa ia tidak melakukan korupsi, jika ia tidak berhasil membuktikan maka
berarti ia terbukti melakukan korupsi. Sistem ini digunakan terhadap setiap
pemberian kepada pegawai negeri (dalam arti luas) yang nilainya di atas Rp 10
juta, sedangkan yang nilainya di bawah Rp 10 juta masih menggunakan system
pembuktian biasa.
Meskipun penerapan sistem
pembuktian terbalik bertentangan dengan asas praduga tak bersalah yang telah
diatur dalam KUHAP, dalam hal ini berlaku asas lex specialist derogat lex
genealis. Selain itu hal ini merupakan salah satu sarana yang dapat ditempuh
untuk memberantas korupsi yang sudah mengakar di Indonesia. Hal ini sesuai
dengan tujuan hukum menurut Jeremy Bentham dalam bukunya Introduction to the
Morals and Legislation, yaitu bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan
semata-mata berfaedah bagi orang. Karena apa yang berfaedah bagi seseorang
mungkin saja merugikan orang lain, maka tujuan hukum adalah menjamin
kebahagiaan sebanyak-banyaknya bagi orang sebanyak-banyaknya. (C.S.T Kansil,
1989 : hal 44)
Penerapan pembuktian terbalik
terhadap tindak pidana korupsi memang di satu pihak akan merugikan terdakwa,
karena hak-haknya kurang terlindungi, tetapi di lain pihak hal ini akan membawa
kebahagiaan atau kemanfaatan bagi banyak orang, karena dapat mengurangi tindak
pidana korupsi yang telah begitu banyak merugikan negara. Meskipun demikian,
untuk dapat menerapkan pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi perlu
dikaji terlebih dahulu, karena menurut Topo Santoso, Direktur Pusat Studi
Peradilan Pidana Indonesia, dalam hal ini terdapat beberapa masalah, yaitu :
·
Pertama,
bagaimana pihak kejaksaan membiasakan diri dari pola yang sebelumnya.
·
Kedua,
apakah perangkat penegak hukum sudah siap dengan itu (pembuktan terbalik),
mulai dari pengacaranya, hakimnya, jaksa penuntut umumnya.
·
Ketiga,
jangan sampai pembuktian terbalik ini justru menjadi alat pemerasan baru, di
mana semua orang dapat saja disudutkan melakukan korupsi. Dan pihak kejaksaan
tidak akan merasa bersalah dengan menuduhkan berbagai macam-macam korupsi.
Orang yang dituduh korupsi disuruh membuktikan bahwa ia tidak melakukan
korupsi, sehingga banyak sekali orang yang akan "diperas" karena
dituduh melakukan korupsi.
Selain itu menurut Todung Mulia
Lubis penerapan asas pembuktian terbalik ini tidak mudah, karena selama ini
laporan kekayaan pejabat tidak dibuat. Jadi sulit dipisahkan antara kekayaan
pribadi dengan kekayaan-kekayaan “haram” yang dia peroleh. Seharusnya
disyaratkan laporan kekayaan pejabat sebelum menjabat dan diumumkan kekayaannya
setiap tahun, sehingga si pejabat bisa diinvestigasi.
III.
Penutup
Ketentuan mengenai pembuktian terbalik
diatur di dalam Pasal 12B, 37, 37A, 38 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001
tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Masalah korupsi memang merupakan
masalah yang besar dan menarik sebagai persoalan hukum yang menyangkut jenis
kejahatan yang rumit penanggulangannya. Salah satu penyebab sulitnya
pemberantasan korupsi adalah sulitnya pembuktian, karena para pelaku tindak
pidana ini melakukan kejahatannya dengan sangat rapi. Untuk memecahkan masalah
sulitnya pembuktian terhadap tindak pidana korupsi tersebut maka salah satu
upaya yang dapat ditempuh oleh pemerintah melalui sarana penal yaitu dengan
menerapkan pembuktian terbalik terhadap perkara-perkara korupsi.
Meskipun penerapan pembuktian
terbalik ini bertentangan dengan asas presumption of innocent atau praduga tak
bersalah yang telah diakui secara internasional dan diatur pula dalam KUHAP,
namun demi tegaknya hukum di Indonesia dan sesuai dengan tujuan hukum untuk
mencapai kebahagiaan sebanyak-banyaknya bagi masyarakat banyak, maka hal
tersebut dapat saja diterapkan terhadap perkara tindak pidana korupsi.
IV.
Daftar Pustaka
KPK, Pahami dulu Baru Lawan, Komisi
Pemberantas Korupsi.
Atmalib, Perpustakaan
Unika Atma Jaya, Pengaturan Sistem
Pembuktian Terbalik dalam Kasus Tindak Pidana Suap, http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=k&id=149836, diakses
pada 27 Desember 2012.
Dunia Kontraktor, Pengertian Korupsi Berdasarkan Pasal 3 UU
No. 31 Tahun 1999, http://www.duniakontraktor.com/pengertian-korupsi-berdasarkan-pasal-3-uu-no-311999/.html, diakses
pada 27 Desember 2012.
Firman Barrust, Sistem Pembuktian Terbalik dalam Tindak
Pidana Korupsi, http://barrustrecht.blogspot.com/2011/06/sistem-pembuktian-terbalik-dalam-tindak.html, diakses
pada 27 Desember 2012.
Fakultas Syariah IAIN
Sunan Ampel Surabaya, Upaya Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Melalui Pembuktian Terbalik dan Hukuman Mati, http://syariah.sunan-ampel.ac.id/?p=1323,
diakses pada 27 Desember 2012.
Maula (Masyarakat
Universal Lintas Agama), Sejarah Korupsi
Di Indonesia, http://maulanusantara.wordpress.com/2009/12/09/sejarah-korupsi-di-indonesia/, diakses
pada 27 Desember 2012.
Undang-undang
Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
[1] KPK, Pahami dulu Baru Lawan, Komisi
Pemberantas Korupsi.
[2] Dunia Kontraktor, Pengertian
Korupsi Berdasarkan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999, http://www.duniakontraktor.com/pengertian-korupsi-berdasarkan-pasal-3-uu-no-311999/.html, diakses pada 27 Desember 2012.
[3] Maula (Masyarakat Universal Lintas Agama), Sejarah Korupsi Di Indonesia, http://maulanusantara.wordpress.com/2009/12/09/sejarah-korupsi-di-indonesia/, diakses pada 27 Desember 2012.
[4] Atmalib, Perpustakaan Unika Atma Jaya, Pengaturan Sistem Pembuktian Terbalik dalam Kasus Tindak Pidana Suap, http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=k&id=149836, diakses pada 27 Desember 2012.
[5] Disadur dari Firman Barrust, Sistem
Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Korupsi, http://barrustrecht.blogspot.com/2011/06/sistem-pembuktian-terbalik-dalam-tindak.html, diakses pada 27 Desmber 2012.
[6] Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Melalui Pembuktian Terbalik
dan Hukuman Mati, http://syariah.sunan-ampel.ac.id/?p=1323,
diakses pada 27 Desember 2012.
Komentar
Posting Komentar