oleh:
Cipto Prayitno
email: bukitshimla@gmail.com
Hukum Sebagai
Kaidah/Norma
Mata
kuliah penemuan hukum dipertemuan kedua masih membicarakan pengertian, fungsi
dan tujuan hukum. Dimana hal itu perlu diketahui dan dipahami secara tepat
untuk memberikan gambaran yang baik tentang ilmu hukum, khususnya dalam
keberlanjutan matakuliah penemuan hukum .
Pengertian
hukum menurut Mochtar sebenarnya secara unsur memiliki dua unsur pokok, yaitu:
- Hukum dilihat sebagai kaidah/norma
- Hukum dilihat sebagai gejala sosial
Fungsi
hukum (law as a tool sosial engineering)
memastikan tercapainya Arti Hukum (asas, kaidah, lembaga dan proses) menuju
tujuan hukum (keadilan, kepastian, ketertiban, kemanfaatan).
Fungsi
Hukum menurut Mochtar adalah sebagai law
as aa tool sosial engineering (hukum sebagai sarana perubah masyarakat).
Pandangan ini berbeda dengan Roscoe Pound, meskipun secara garis besar teori
tersebut adalah penerapan dari teorinya Roscoe Pound. Perbedaan itu terletak di
pengartian tentang tool, dimana oleh
Roscoe Pound diartikan sebagai alat (bermakna perubaha lahiriah) sedangkan oleh
Mochtar diartikan sebagai sarana (bermakna perubahan lahirian dan batiniah).
Dijelaskan pula tentang dasar-dasar yang
harus dipahami untuk mengetahui ilmu hukum secara komprhensif, yaitu:
1)Arti
hukum, 2) Tujuan hukum, 3) Fungsi hukum, 4) Hukum sebagai kaidah/norma, 5) Hukum
sebagai gejala soial, 6) Sumber hukum 7) Hukum sebagai kesatuan sistem 8) Sistem
hukum anglo saxon 9) Sistem hukum eropa continental, dan 10) Aliran-aliran
hukum.
Menurut
Soerjono Soekanto bahwa di dalam masyarakat tentang efektivitas hukum dapat
diukur dari beberapa faktor, yaitu:
- Aturan hukum - peraturan
- Sumber daya manusia – penegak hukum
- Fasilitas – sarana dan prasarana
- Budaya hukum – kesadaran masyarakat
Hukum Sebagai Kaidah/Norma
Hukum sebagai kaidah tidak bisa
diartikan bahwasanya di dalam masyarakat hanya lah diatur semata oleh
hukum. Akan tetapi juga
individu-individu di dalam masyarakat dan masyarakat itu sendiri juga diatur
oleh moral manusia itu sendiri, agama, kaidah kesusilaan, dan kaidah kesopanan. Hubungan antara hukum dan kaidah-kaidah sosial
ini disatu sisi saling memperkuat, namun disatu sisi hukum terkadang bertentangan
dengan kaidah sosial lainnya.[1]
Ciri khas dari hukum itu sendiri
sebagai bagian norma/kaidah yang berbeda dengan kaidah lainnya adalah bahwa
hukum ini tentang penataan ketentuan-ketentuannya dapat dipaksakan dengan cara
yang teratur. Artinya, pemaksaan ini
guna menjamin penataan ketentuan-ketentuan hukum tunduk pada aturan-aturan
tertentu, baik mengenai bentuk, cara maupun alat pelaksanaannya.[2]
Penjelasan
tentang hukum sebagai kaidah searah dengan pengertian hukum menurut Mochtar
Kusumaatmadja bahwa hukum adalah keseluruhan asas-asas, kaidah-kaidah yang
mengatur pergaulan hidup manusia didalam masyarakat, meliputi pada
lembaga/institusi serta proses penerapannya.
Pengertian itu ketika disederhanakan maka akan dapat dilihat dari dua
aspek, yaitu:
1. Hukum
dilihat sebagai kaidah/norma
2. Hukum
dilihat sebagai gejala sosial
Bisa
dimengerti akhirnya bahwa pengertian Mochtar Kusumaatmadja tentang hukum
menempatkan hukum sebagai bagian dari kaidah-kaidah yang berlaku yang ada di
dalam masyarakat. Perbedaannya tentu
pada titik keberlakuan dari kaidah hukum adalah sebagaimana telah dijelakan
didalam paragraf sebelumnya bahwa hukum dapat dipaksakan penataan
ketentuan-ketentuannya dengan cara yang teratur. Hal ini berbeda dengan kaidah-kaidah lainnya
yang memang juga mengatur kehidupan individu dalam masyarakat dan masyarakat
itu sendiri, akan tetapi tidak bisa dipaksakan dengan cara yang teratur seperti
yang dilakukan oleh hukum. Selain itu
pula dalam pemaksaan penerapannya didalam masyarakat hukum membutuhkan lembaga
atau instansi (masuk kategori hukum sebagai gejala sosial) yang dilakukan oleh
Negara dengan alat kelengkapannya.[3] Sehingga dalam pembahasan hukum sebagai
kaidah/norma selalu juga mensyaratkan tentang hukum dan kekuasaan sebagai
sumber dari kewenangan Negara untuk memaksakan hukum kepada masyarakat (termasuk
individu didalamnya). Secara singkatnya
menurut Mochtar bahwa hukum agar dapat dipatuhi oleh masyarakat membutuhkan
kekuasaan (Negara) dan disisi lain kekuasaan ditentukan batasanya oleh hukum.[4]
Kaidah
sebagai aturan hidup masyarakat termasuk didalamnya ada kaidah hukum terbagi
menjadi beberapa kaidah, yaitu: kaidah agama, kaidah sosial, kaidah kesopanan,
kaidah kesusilaan dan kaidah hukum. Prof.
Soediman membedakan kaidah menjadi 2 jenis berdasarkan terbentuknya, yaitu
kaidah sosial dan bukan kaidah sosial.
Kaidah sosial adalah kaidah yang terbentuk melalui proses interaksi manusia dalam masyarakat, yang termasuk
kaidah sosial ini adalah kaidah
kesopanan, kaidah kesusilaan, kaidah kebiasaan, dan kaidah hukum. Sedangkan
kaidah agama bukan merupakan
kaidah sosial karena terbentuknya melalui proses pewahyuan dan bersifat
transenden.[5] Antara kaidah hukum dengan kaidah lainnya
memiliki perbedaan selain yang sudah dijelaskan oleh Mochtar Kusumaatmadja
diparagraf sebelumnya. Perbedaan itu
jika disederhanakan dalam tabel, maka akan seperti dibawah ini.[6]
Segi
|
Agama
|
Kesusilaan
|
Kesopanan
|
Hukum
|
Tujuan
|
Umat manusia:
Manusia sempurna;
Mencegah manusia menjadi jahat.
|
Pribadi yan gkongkrit;
Tertib masyarakat;
Kesedepan bersama;
Menghindari jatuhnya korban.
|
||
Sasaran
|
Aturan yang ditunjukan kepada sikap
batin.
|
Aturan yang ditunjukan kepada
perbuatan lahiriah (konkrit)
|
||
Asasl-usul
|
Tuhan
|
Diri sendiri
|
Kekuasaan luar yang memaksa.
|
|
Sanksi
|
Tuhan
|
Diri Sendiri
|
Kekuasaan luar yang memaksa
|
Resmi
|
Isi
|
Memberi kewajiban
|
Memberi hak dan kewajiban
|
Hukum
sebagai kaidah juga memilki kekhasan daripada kaidah lainnya, kekhasan lainnya
sebagaimana dijelaskan oleh Sudikno Mertokusumo dalam Mengenal Hukum adalah bahwa dalam kaidah hukum terjadi dualisme
antara das sollen (yang seharusnya)
dengan das sein (yang
senyatanya). Menurut Sudikno Mertokusumo
bahwa hukum sebagai kaidah berisi kenyataan normatif, dan bagi hukum tidaklah penting tentang apa
yang senyatanya terjadi. Sehingga dalam kaidah hukum tidak mengenal
sebab-akibat, dimana orang yang mencuri (sein) berakibat dihukumnya si pencuri
(sollen). Namun yang terjadi adalah
bahwa dihukumnya si pencuri adalah karena keharusan
yang diperintahkan oleh hukum, sehingga menurut Sudikno Mertokusumo bahwa
hukum bersifat memerintah, mengharuskan atau preskriptif.[7]
Dijelaskan
oleh Marwan Mas dalam Grace Juanita[8]
bahwa keberadaan kaidah atau norma merupakan sesuatu yang inheren pada saat manusia berinteraksi dengan manusia lain dalam
masyarakat. Kaidah atau norma itu selalu
berisi atau memuat ketentuan tentang keharusan
berperilaku dengan cara tertentu. Isi dari kaidah itu adalah berupa ketentuan
tentang perilaku apa dan atau bagaimana yang boleh, yang tidak boleh, dan yang
harus dijalankan oleh manusia di dalam
pergaulan hidup dengan sesamanya. Kaidah-kaidah yang mengatur sikap dan
perilaku manusia, pada hakikatnya untuk
menjaga keseimbangan dan keteraturan kepentingan dalam kehidupan bermasyarakat.
Antara
kaidah hukum dengan kaidah bukan hukum lainnya tentu mempunyai hubungan satu
sama lain, khususnya dalam pembentukan kaidah hukum. Dimana hubungan ini adalah kaidah-kaidah lain
mendukung dalam substansi aturan yang akan dijadikan menjadi kaidah hukum untuk
kemudian diterapkan.[9] Akan tetapi, pemahaman mengenai hubungan
antara kaidah hukum dan kaidah lainnya jangan sampai disalah mengerti dengan
selalu me-norma-kan (menjadikan kaidah hukum) setiap kaidah yang berlaku
dimasyarakat. Justru menurut Garce
Juanita hal ini bisa menjadikan over
legislation yang malah memasung kebebasan didalam masyarakat.[10]
“Untuk mendukung
efektifitas bekerjanya hukum hendaknya hubungan tersebut (hubungan
antara kaidah hukum dan kaidah lainnya) adalah hubungan yang bersifat saling menguatkan, dalam arti kaidah hukum mendapat
dukungan kaidah lain. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa kaidah hukum
dapat mengambil alih dan menggantikan kaidah-kaidah lain
dengan merumuskan substansi kaidah lain menjadi kaidah hukum.”
Mengenai
isi dan sifat kaidah hukum, kaidah hukum ditinjau dari segi isinya dibagi atas
beberapa, yaitu: 1. kaidah hukum yang berisikan perintah, 2. kaidah hukum yang berisikan larangan
dan, 3. kaidah hukum yang berisikan kebolehan.
Selanjutnya sifat kaidah hukum dapat dibedakan antara kaidah hukum yang
bersifat imperatif dan yang bersifat fakultatif. Apabila isi kaidah hukum di hubungkan dengan
sifat kaidah hukum, maka kaidah hukum yang berisikan perintah dan larangan
adalah irnperatit sedangkan kaidah hukum yang berisikan kebolehan adalah
fakultatif.[11]
Daftar Pustaka
Ananda, Suadarma,
Tentang Kaidah Hukum, Jurnal Hukum
Pro Justitia, Januari 2008, Volume 26 Nomor 1
Duswara
Machmudin, Dudu, Pengantara Ilmu Hukum, Bandung:
Refika Aditama, 2013
Juanita, Grace, Pengaruh Kaidah Bukan Hukum dalam Proses Pembentukan Kaidah Hukum, Jurnal
Hukum Pro Justitia, april 2007, Volume 25 Nomor 2
Kusumaatmadja,
Mochtar dan Arief Sidharta, Pengantar
Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku
I, Bandung: P.T. alumni
Kusumaatmadja, Mochtar, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam
Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitain Hukum dan Kriminologi Fakultas
Hukum – Universitas Padjajaran, Bandung: Penerbit Binacipta
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty,
2002
[1]
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan
Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitain Hukum dan
Kriminologi Fakultas Hukum – Universitas Padjajaran, Bandung: Penerbit Binacipta, hal. 3-4.
[2]
Loc. Cit.
[3]
Loc. Cit.
[4]
Ibid., hal. 5.
[5]
Grace Juanita, Pengaruh Kaidah Bukan
Hukum dalam Proses Pembentukan Kaidah Hukum, Jurnal Hukum Pro Justitia,
april 2007, Volume 25 Nomor 2, hal. 120-121.
[6]
Tebel dikutip dari Dudu Duswara Machmudin, Pengantara
Ilmu Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2013, hal. 19.
[7]
Sudikno Mertokusumo, Mengenal
Hukum, Yogyakarta: Liberty, 2002, hal. 16.
[8]
Ibid., hal. 120.
[9]
Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar
Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku
I, Bandung: P.T. alumni, hal. 30.
[10]
Ibid., hal. 125.
[11]
Suadarma Ananda, Tentang Kaidah Hukum, Jurnal
Hukum Pro Justitia, Januari 2008, Volume 26 Nomor 1, hal. 77.
Komentar
Posting Komentar