Langsung ke konten utama

Hak Angket DPR terhadap KPK: Antara Hak dan Politik Kekuasaan


oleh:
Cipto Prayitno
email: bukitshimla@gmail.com

I.            Pendahuluan
Beberapa bulan kebelakang telah terjadi gejolak kelembagaan Negara yang terjadi antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Gejolak ini bermula dengan adanya penyelidikan kasus mega-korupsi E-KTP yang disinyalir melibatkan beberapa anggota DPR. Dari proses penyidikan KPK tersebut dalam perjalanannya memunculkan gejolak ketatanegaran khususnya masalah kewenangan lembaga Negara dalam hal ini KPK yang terlalu absolut dalam hal pemberantasan korupsi di Indonesia. Sehingga berdasarkan pada hak DPR yang diatur dalam UUD 1945 pasal 20 A Ayat (2), DPR melakukan hak angket terhadap KPK dan melakukan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) untuk menilai kinerja KPK. Tapi pelaksanaan hak angket terhadap KPK ditengah proses penyelidikan kasus E-KTP yang disinyalir melibatkan anggota DPR dianggap terlalu politis dan menghambat pemberantasan korupsi di Indonesia. Lantas bagaimanakah keabsahan hak angket DPR dalam perspektif ketatanegaraan mengenai kasus ini?
            Politis? Ya, memang judul dan deskripsi latar belakang memang cenderung politis, paper ini memang dimaksdukan untuk melihat aspek tidak hanya hukum, namun sekilas aspek politik terkait dengan hak angket DPR terhadap KPK. Untuk memberikan pemahaman yang urut maka tulisan ini akan dimulai dari penjelasan Hak Angket DPR dalam Konstitusi, kemudiaan beranjak pada Legalitas Hak Angket Terhadap KPK, dan kemudian Permasalahan Hak Angket dan Politik Atasnya, terakhir adalah Penutup.
Pada prinsipnya bahwa pengaturan mengenai Hak angket oleh DPR diatur didalam Pasal 20 A UUD 1945 jo Pasal 79 Undang-Undang tentang  MPR, DPR, DPD dan DPRD atau yang selanjutnya disebut UU MD3 yang pada intinya memberikan kewenangan kepada DPR untuk memiliki hak angket. Hak angket sendiri sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 79 UU MD3 dalam Ayat 3 menyebutkan bahwa Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.  
Secara problematika berkaitan dengan kasus penyidikan oleh KPK terhadap anggota-anggota DPR yang diduga terlibat dalam kasus korupsi E-KTP bahwa kemudia makna dari pasal ini yang menjadi bermasalah. Apakah kemudian KPK masuk dalam kategori subyek yang bisa dikenakan penyidikan dalam hak angket ataukah tidak. Terdapatnya perbedaan pandangan ini secara ilmiah menjadi wajar karena dalam praktek sejarahnya bahwa pengertian Pemerintah sebagaimana menjadi subyek yang dapat dikenakan hak angket dalam sejarah terminologi mengandung dua pengertian, yaitu pemerintah dalam makna luas dan pemerintah dalam makna sempit. Akan tetapi kemudian perdebatan makna “pemerintah” ini dalam Pasal 79 Ayat (3) UU MD3 menjadi lain manakala dikaitkan dengan masalah politis yang mengemuka antara anggota DPR yang terlibat dalam kasus korupsi dengan pengajuan hak angket yang secara kesannya adalah untuk melemahkan KPK yang sedang dalam posisi melakukan penyelidikan terhadap kasus ini.
Kembali pada pemaknaan mengenai arti pemerintah yang diatur dalam Pasal 79 Ayat (3) UU MD3, bahwa makna pemerintah dalam pasal ini harus dilihat secara tepat dalam konteks penafsiran dari makna pasalnya. Problematika yang amat politis memang sangat mengemuka dalam pertimbangan yang digunakan oleh DPR untuk tetap membentuk Panitia Khusus Hak Angket terhadap KPK tersebut. Namun demikian, hal ini perlu ditinjau secara ilmiah dalam perspektif hukum agar bisa dilihat mengenai legalitas dari pelaksanaan Hak Angket oleh DPR terhadap KPK ini. Apakah legal ataukah memang harus dinilai politis?
            Dari paparan permasalahan itulah sehingga penulis tertarik untuk melihat makna perdebatan yang mendukung adanya hak angket oleh DPR terhadap KPK dan yang kontra atasnya, dimana fokus kajiannya adalah mengenai pemaknaan Pasal 79 Ayat (3) UU MD3 yang menjadi landasan pelaksanaan dari Hak Angket oleh DPR yang diatur juga didalam UUD 1945. Sehingga dalam tulisan ini, penulis memberi judul permasalahan yaitu Hak Angket DPR terhadap KPK:  Antara Hak dan Politik Kekuasaan.
Dari uraian latar belakang yang memuat problematika pelaksanaan Hak Angket oleh DPR terhadap KPK dalam nuansa penyelidikan kasus korupsi E-KTP, maka dapat ditarik beberapa identifikasi masalah, antara lain:
1.      Bagaimanakah batasan pelaksanaan hak angket DPR yang diatur dalam UU?
2.      Bagaimanakah tinjauan politis atas pelaksanaan Hak Angket oleh DPR dalam kasus Hak Angket oleh DPR terhadap KPK dalam kasus korupsi E-KTP?
           
II.            Pembahasan
A.    Tinjauan Hukum Pelaksanaan Hak Angket DPR
Untuk mengetahui secara jelas bagaimanakah legalitas pelaksanaan atas hak angket DPR terhadap KPK yang bernuansa politis, maka perlu dijelaskan secara sistematis mengenai hak-hak yang dimiliki oleh DPR termasuk hak angket DPR dan penjelasan atasnya sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945 dan UU.
Hak-Hak Dewan Pertimbangan Rakyat
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, khususnya terkait pelaksanaan fungsi pengawasan, DPR dibekali 3 (tiga) hak, yakni:[1]
1.      Hak Interpelasi: hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2.      Hak Angket: hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
3.      Hak Menyatakan Pendapat: hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:
a.       kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional;
b.      tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; atau
c.       dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Hak-hak DPR sebagaimana dijelaskan diatar mengenai dasar hukumnya diatur didalam UUD 1945 yaitu dalam Pasal 20 A yang menyebutkan bahwa:
Pasal 20A
1)      Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
2)      Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interplasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
3)      Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.
4)      Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang.

Kemudian mengenai hak-hak yang dimiliki oleh DPR sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945, dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 atau UU MD3 sebagai aturan yang lanjutan dibawah UUD 1945 yang mengatur mengenai kedudukan dan hak-hak dari MPR, DPR, DPD dan DPRD menyebutkan mengenai hak-hak yang dimiliki oleh DPR yang diatur dalam Pasal 79. Dalam Pasal 79 menyebutkan bahwa:
Hak DPR
Pasal 79
1)      DPR mempunyai hak:
a.      interpelasi;
b.      angket; dan
c.       menyatakan pendapat.
2)      Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
3)      Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
4)      Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:
a.      kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional;
b.      tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
c.       dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat
            UUD 1945 sebagai Konstitusi bangsa Indonesia secara tegas memberikan hak-hak kepada Dewan Perwakilan Rakyat termasuk Hak Angket yang diatur di dalam Pasal 20 A UUD 1945 jo Pasal 79 Undang-Undang tentang  MPR, DPR, DPD dan DPRD menyebutkan bahwa:
Pasal 20A UUD 1945
1)      Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
2)      Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
3)      Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.
4)      Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang.


Pasal 79 UU MD3
1)      DPR mempunyai hak:
a. interpelasi;
b. angket; dan
c. menyatakan pendapat.
3)      Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.  

Hak angket DPR sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945 dan UUMD3 merupakan hak yang dimiliki oleh DPR sebagai hak yang mengikuti pelaksanaan fungsi-fungsi DPR khususnya fungsi pengawasan oleh DPR terhadap Pemerintah.
Dalam Ayat (3) secara tegas bahwa UUD 1945 memberikan hak angket sebagai hak yang dimilik oleh DPR. Hak angket sendiri dalam pengertiannya adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Jika dilihat secara detail bahwa ada beberapa unsur dalam hak angket yang dimiliki oleh DPR, yaitu:
1.      Merupakan penyelidikan;
2.      Terhadap pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah;
3.      Berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
4.      Diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Terkait dengan unsur nomor 2 (dua) bahwa penyelidikan dilakukan kepada undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah diartikan bahwasanya penyelidikan dalam hak angket hanya boleh dilakukan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang yang dinilai bertentangan dengan undang-undang dan kepada kebijakan pemerintah.
Ada batasan terhadap pelaksanan dari hak angket tersebut, yakni pertama hak angket tidak bisa ditujukan untuk meninjau suatu undang-undang (review) karena yang diselidiki hanyalah pelaksanaan suatu undang-undang yang dinilai bertentangan dengan undang-undang yang dijalankan maupun undang-undang lainnya. Batasan yang kedua adalah bahwa hanyalah kebijakan pemerintah (pemerintah dalam pengertian UUD 1945) yang boleh dilakukan penyelidikan menggunakan hak angket DPR. Batasan ketiga adalah bahwa hak angket ini hanya terkait dengan hal yang benar-benar tertentu, artinya tidak semua kondisi, atau bisa dikatakan kondisi luar bisa yaitu berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dan batasan keempat adalah hal tersebut secara nyata bertentangan dengan undang-undang, jadi selama tidak bertentangan dengan undang-undang tidak boleh diadakan adanya hak angket DPR tersebut. 
Ketika terjadi hak angket yang mana hak angket tersebut tidak memenuhi empat (4) batasan diatas, misakan hak angket terhadap undang-undang (substansi undang-undang), maka DPR telah melanggar UUD 1945 serta UU MD3, karena hak angket ditujukan bukan kepada pelaksanaan undang-undang, akan tetapi kepada undang-undang itu sendiri, maka hak angket DPR tersebut dinilai tidak sah.

Makna Pemerintah dalam Pasal 79 Ayat (3) UU MD3
Dalam perdebatan yang terjadi dalam pelaksanaan hak angket oleh DPR terhadap KPK sebagaimana telah dijelaskan dalam latar belakang adalah konsepsi yang tidak jelas mengenai pengertian “pemerintah” dalam Pasal 79 Ayat (3) UU MD3 yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pembentukan Panitian Khsusus penyelidikan KPK sebagai tindakan pelaksanaan hak angket oleh DPR itu sendiri. Bahwa terjadi dua penafsiran yang berkembang dalam menafsirkan makna pemerintah dalam Pasal 79 Ayat (3) UU MD3. Oleh para anggota DPR, pemerintah dalam Pasal 79 Ayat (3) UU MD3 dimaknai secara luas sehingga KPK juga termasuk didalamnya dan dapat dilakukan penyidikan atas kinerjanya, namun oleh kalangan yang menentang dianggap makna pemerintah adalah makna yang sempit yang tidak mencakup pengertian KPK, sehingga hak angket DPR tidak dapat menjangkau kinerja KPK sebagai lembaga anti-rusuah.
Definisi pemerintah dalam buku Pengantar Hukum Administrasi Indonesia dimaknai dalam dua pengertian, yaitu dalam arti fungsi pemerintahan (kegiatan memerintah) dan pemerintah dalam artu organisasi pemerintahan (kumpulan dari kesatuan-kesatuan pemerintahan). Yang pertama menempatkan pemerintah dalam kaitannya fungsinya yang terdiri fungsi perundang-undangan, fungsi kehakiman dan pelaksanaan (eksekutif). Oleh Philipus M. Hadjon pemerintah dimaknai secara luas termasuk eksekutif, legislative dan yudikatif dan secara sempit hanya eksekutif semata.[2]
Dalam buku Hukum Administrasi Negara oleh Ridwan HR. lebih sempit memberikan makna pengertian pemerintah yang hanya berkaitan dengan fungsi pelaksanaan adminitrasi pemerintahan (eksekutif).[3]
Terminologi “pemerintah” sebagaimana diatur dalam Pasal 79 Ayat (3) UU MD3 dalam rumusannya tentu akan mengacu pada dua pemaknaan yang luas dan sempit sebagaimana telah dijelaskan dimuka. Itulah landasan yang menjadi polemik perdebatan pelaksanaan hak angket DPR yang memiliki kesan sangat politis, apalagi jika dikontekstualisasikan dengan proses penyidikan oleh KPK dalam kasus korupsi E-KTP yang melibatkan anggota DPR. Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.  
Oleh Mahfud MD bahwa makna pemerintah dalam Pasal 79 Ayat (3) tidaklah bermakna luas sebagaimana yang diklaim oleh DPR dalam melaksanakan hak angket terhadap KPK. Menurutnya makna pemerintah dalam pasal ini adalah bermakna sepit dan terbatas, hal ini sebagaimana dijelaskan dalam detiknews.com[4]  bahwa:
“Pasal 79 ayat 3 UU MD3 dipenjelasanya menyebutkan bahwa hak angket untuk menyelidiki pelaksanaan UU atau kebijakan pemerintah. Kebijakan penting dan luar biasa juga sangat berpengaruh terhadap kehidupan bangsadan Negara yang dilakukan oleh presiden, wapres, polri, jaksa agung dan lembaga pemerintahan non-deparetemen. Dalam pandangan kami, itu tidak bisa dijadikan subyek untuk diangket termasuk KPK.”

Legalitas Hak Angket DPR terhadap KPK
            Terkait dengan kasus hak angket DPR terhadap KPK yang sedang hangat diperbincangkan dalam ketatanegaraan di Indonesia, perlu dilihat secara detail dan dalam analisis legal yang tepat pula, agar tidak adanya pemahaman yang justru cenderung kepada pendapat yang non-hukum dan bahkan cenderung politis semata.
            Pertama adalah mengenai alasan pengajuan hak angket sendiri oleh DPR yang dikutip dari detik.com bahwa pada intinya hak angket diajukan karena ingin menyelidiki kinerja KPK hingga urusan anggaran belanja.[5] Mengenai alasan DPR mengajukan hak angket yang ditujukan terhadap kinerja KPK yang dinilai bertentang dengan undang-undang berdasarkan pada pengertian dan batasan hak angket sebagaimana telah dipaparkan diatas jelas bertentangan dan tidak sesuai.
            Bahwa dalam pengertian dan batasan hak angket berdasarkan pada Pasal 20A UUD 1945 jo. Pasal 79 UU MD3 bahwa hak angket hanya boleh diajukan terhadap kinerja (kebijakan) pemerintah saja. Sedangkan KPK tidak bisa dikategorikan sebagai pemerintah dalam pengertian sebagaimana pemerintah dalam arti sempit dan pemerintah sebagaimana dijelaskan di dalam pengertian hak angket.
            Pengertian pemerintah sebagaimana dalam pengertian hak angket adalah pemerintahan dalam arti sempit, karena berkaitan dengan pelaksana tugas pemerintahan sebagai pembuat kebijakan. Jelas bahwa kebijakan dalam pengertian hak angket ini berkaitan erat dengan tugas pemerintahan dalam kerangka pengertian pemerintah sebagai eksekutif, bukan dalam pengertian yang luas mencakup eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Pemegang kekuasaan eksekutif (pemerintah dalam arti sempit) berdasarkan pada UUD 1945 adalah Presiden dengan dibantu oleh Menteri-Menterinya. Jelaslah sudah bahwa  Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK bukanlah yang dimaksud dengan pemerintah sebagaimana dalam pengertian hak angket dalam pasal 79 ayat (3) UU MD3.
Secara jelas dan tegas bahwa dalam batasan pengertian hak angket oleh DPR sebagai hak yang diberikan oleh UUD 1945 adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 79 Ayat (3) UU MD3). Sedangkan dalam kasus Hak Angket DPR terhadap kinerja KPK telah jelas-jelas bahwa DPR tidak berlandaskan pada pengertian hak angket dalam pasal ini. Dimana hak angket malah ditujukan kepada KPK yang secara jelas bukanlah pemerintah. Hal ini tentu menjadikan jelas bahwa DPR kaitannya dengan masalah pengajuan hak angket telah melanggar ketentuan dalam Pasal 20A UUD 1945 jo. Pasal 79 UU MD3, atau dengan kata lain bahwa hak angket DPR terhadap kinerja KPK adalah tidak sah. Pernyataan ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Mahfud MD dalam detiknews.com[6]  bahwa:
“Pasal 79 ayat 3 UU MD3 dipenjelasanya menyebutkan bahwa hak angket untuk menyelidiki pelaksanaan UU atau kebijakan pemerintah. Kebijakan penting dan luar biasa juga sangat berpengaruh terhadap kehidupan bangsadan Negara yang dilakukan oleh presiden, wapres, polri, jaksa agung dan lembaga pemerintahan non-deparetemen. Dalam pandangan kami, itu tidak bisa dijadikan subyek untuk diangket termasuk KPK.”

B.     Permasalahan Hak Angket dan Politik Atasnya
            Hak angket oleh DPR sebagaimana telah dijelaskan diatas dimana dalam kesimpulannya dijalankan secara tidak sah karena bertentangan dengan UUD 1945 dan UU MD3, jauh sebelumnya juga secara prakteknya terus bermasalah, permasalahan itu tidak lepas dari isu-isu politik yang terjadi tiap masanya. Permasalahan hak angket oleh DPR jika diringkas antara lain:[7]
Sebelum amandemen UUD 1945
Ada 2 kasus yang terjadi mengenai hak angket pada masa DPR 1950-1956 dan masa DPR 1956-1959.
Setelah Amandemen UUD 1945
  1. DPR Era 1999-2004 : Hak Angket terhadap pelanggaran hukum Presidean Abdurahman Wahid terkait kasus Bulog dan Dana dari Brunei Darussalam.
  2. DPR Era 2004-2009: Kasus penjualan dua tangker milik pertamina, Kebijakan pemeintah menaikkan harga BBM, pelaksanaan penyelenggaraan ibadah Haji pada 1429 H.
  3. DPR Era 2009-2014: kasus bailout century.
Bisa dilihat bahwa ternyata sebelum kasus hak angket terhadap KPK, sejarah hak angket oleh DPR selalu bermasalah, dan pangkal permasalahannya selalu berkaitan dengan isu politis antara DPR dengan pihak tertentu. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Akbar Tanjung bahwa dalam pelaksanaan Hak Angket oleh DPR seringkali terjadi karena adanya tendensi politik terhadap pihak tertentu.[8]
Atas landasan sejarah yang selalu bermasalah dan pelaksanaan hak angket DPR terhadap KPK yang tetap dilanjutkan sekalipun tidak sah atau bertentangan dengan UUD 1945, semakin memperkuat pandangan bahwa dalam pelaksanaan hak angket DPR terhadap KPK benar-benar tidak dilandaskan pada hukum, yang mana pun bertentangan dengan Indonesia sebagai Negara hukum (Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945). Sehingga tentu jika tidak dilandaskan pada hukum, bahwa pelaksanaan hak angket oleh DPR terhadap KPK tentu adalah untuk melemahkan KPK karena secara terang menyerang kenyamanan anggot-anggota DPR yang seolah menjadi target dari perburuan tersangka untuk kasus-kasus korupsi termasuk kasus mega-korupsi E-KTP.
Pemahaman kita mengenai konsep pembagian kekuasaan dalam Negara yaitu legislatif, eksekutif dan Yudikatif sebagai upaya untuk menjauhkan kekuasaan dari kesewenang-wenangan dengan melihat DPR sebagai legislatif dalam sistem pemerintahan Indonesia berdasarkan pada UUD 1945 tentu menjadi hal yang tentu kontradiktif dengan maksud agar tiadanya kesewenang-wenangan. DPR bahkan melakukan hal yang bertentangan dengan UUD 1945 dengan mengajukan hak angket dalam upayanya melemahkan KPK dan menghampat proses penyidikan oleh KPK terhadap kasus korupsi yang sedang berjalan, yaitu kasus E-KTP.
Kondisi yang demikian dimana DPR sebagai legislative dalam sistem pemerintahan Indonesia yang juga memiliki hak angket namun tidak digunakan sesuai dengan aturan dan demi kepentingan politiknya adalah sejalan dengan kesewenang-wenangan yang timbul karena adanya kekuasaan. Dimana begitu terkenal pendapat Lord Acton yang mengatakan,”power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”. Dan juga pendapat Steven Lukes memahami kekuasaan sebagai kemampuan untuk memproduksi  pengaruh dan kekayaan. [9]

III.            Penutup
Hak angket DPR sebagaimana diatur didalam Pasal 20A UUD 1945 jo. Pasal 79 UU MD3 adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Hak angket DPR sebagaimana dalam pengertiannya diajukan untuk menyelidiki suatu pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah, namun dalam prakteknya terkait dengan kasus pelemahan KPK melalui hak angket yang diajukan oleh DPR, bahwa hak angket oleh DPR bertentangan dengan UUD 1945 dan UU MD3. Dimana DPR telah memaksakan melakukan pengajuan hak angket dan melaksanakan hak angket kepada KPK yang jelas-jelas berdasarkan pada UUD 1945 bukanlah sebagai pemerintah sebagaimana dimaksudkan didalam pengertian hak angket dalam Pasal 79 Ayat (3) UUMD3.
Atas dasar hal tersebut jelaslah bahwa pengajuan hak angket oleh DPR terhadap KPK adalah sebagai pelanggaran terhadap konstitusi atau dengan kata lain bahwa hak angket DPR terhadap KPK adalah tidak sah.
Tetap dilaksanakannya hak angket oleh DPR yang secara jelas bertentangan dengan UUD 1945 merupakan tindakan yang tentu tidak dilandaskan pada hukum sebagaimana dimanatkan oleh UUD 1945 bahwa Indonesia adalah Negara hukum dengan konsekuensi bahwa tindakan setiap pejabat Negara harus berdasarkan hukum. Tindakan DPR semata-mata merupakan tindakan politis yang digunakan untuk mempertahankan kekuasaannya. Sebagaimana dikutip oleh Lord Acton yang mengatakan,”power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”.

IV.            Daftar Pustaka
Buku dan Jurnal
Muhtar Haboddin, Kekuasaan dan Korupsi di Tingkat Lokal,  Jurnal Interaktif Vol. 4 Nomor 2 tahun 2011,  Fakultas Ilmu Politik dan Sosial, Universitas Brawijaya
Philipus M. Hadjon, dkk, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cet. Ke-5, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Ridwan HR., 2016, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Jakarta: PT. RajaGrafindo, hal. 79-85
Roma Rizky Elhadi, “Permasalahan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”, Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Syarif Hidayatullah, 2014
Internet
http://www.dpr.go.id/tentang/hak-dpr, diakses pada 4 Desember 2017




[1] http://www.dpr.go.id/tentang/hak-dpr, diakses pada 4 Desember 2017
[2] Philipus M. Hadjon, dkk, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cet. Ke-5, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal. 6-7
[3] Ridwan HR., 2016, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Jakarta: PT. RajaGrafindo, hal. 79-85
[7] Roma Rizky Elhadi, “Permasalahan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”, Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Syarif Hidayatullah, 2014, hal. 52-56.
[8] Akbar Tanjung dalam Ibid., hal. 67.
[9] Steven Lukes dalam Muhtar Haboddin, Kekuasaan dan Korupsi di Tingkat Lokal,  Jurnal Interaktif Vol. 4 Nomor 2 tahun 2011,  Fakultas Ilmu Politik dan Sosial, Universitas Brawijaya, hal. 1.

Komentar