oleh:
Cipto Prayitno
email: bukitshimla@gmail.com
I.
Pendahuluan
Beberapa bulan kebelakang
telah terjadi gejolak kelembagaan Negara yang terjadi antara Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Gejolak ini bermula
dengan adanya penyelidikan kasus mega-korupsi E-KTP yang disinyalir melibatkan
beberapa anggota DPR. Dari proses penyidikan KPK tersebut dalam perjalanannya
memunculkan gejolak ketatanegaran khususnya masalah kewenangan lembaga Negara
dalam hal ini KPK yang terlalu absolut dalam hal pemberantasan korupsi di
Indonesia. Sehingga berdasarkan pada hak DPR yang diatur dalam UUD 1945 pasal
20 A Ayat (2), DPR melakukan hak angket terhadap KPK dan melakukan pembentukan
Panitia Khusus (Pansus) untuk menilai kinerja KPK. Tapi pelaksanaan hak angket
terhadap KPK ditengah proses penyelidikan kasus E-KTP yang disinyalir
melibatkan anggota DPR dianggap terlalu politis dan menghambat pemberantasan
korupsi di Indonesia. Lantas bagaimanakah
keabsahan hak angket DPR dalam perspektif ketatanegaraan mengenai kasus ini?
Politis?
Ya, memang judul dan deskripsi latar belakang memang cenderung politis, paper
ini memang dimaksdukan untuk melihat aspek tidak hanya hukum, namun sekilas
aspek politik terkait dengan hak angket DPR terhadap KPK. Untuk memberikan
pemahaman yang urut maka tulisan ini akan dimulai dari penjelasan Hak Angket DPR dalam Konstitusi,
kemudiaan beranjak pada Legalitas Hak
Angket Terhadap KPK, dan kemudian Permasalahan
Hak Angket dan Politik Atasnya, terakhir adalah Penutup.
Pada prinsipnya bahwa pengaturan mengenai Hak angket
oleh DPR diatur didalam Pasal 20 A UUD 1945 jo
Pasal 79 Undang-Undang tentang MPR,
DPR, DPD dan DPRD atau yang selanjutnya disebut UU MD3 yang pada intinya
memberikan kewenangan kepada DPR untuk memiliki hak angket. Hak angket sendiri
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 79 UU MD3 dalam Ayat 3 menyebutkan bahwa Hak
angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk
melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau
kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Secara
problematika berkaitan dengan kasus penyidikan oleh KPK terhadap
anggota-anggota DPR yang diduga terlibat dalam kasus korupsi E-KTP bahwa
kemudia makna dari pasal ini yang menjadi bermasalah. Apakah kemudian KPK masuk
dalam kategori subyek yang bisa dikenakan penyidikan dalam hak angket ataukah
tidak. Terdapatnya perbedaan pandangan ini secara ilmiah menjadi wajar karena
dalam praktek sejarahnya bahwa pengertian Pemerintah sebagaimana menjadi subyek
yang dapat dikenakan hak angket dalam sejarah terminologi mengandung dua
pengertian, yaitu pemerintah dalam makna luas dan pemerintah dalam makna
sempit. Akan tetapi kemudian perdebatan makna “pemerintah” ini dalam Pasal 79
Ayat (3) UU MD3 menjadi lain manakala dikaitkan dengan masalah politis yang
mengemuka antara anggota DPR yang terlibat dalam kasus korupsi dengan pengajuan
hak angket yang secara kesannya adalah untuk melemahkan KPK yang sedang dalam
posisi melakukan penyelidikan terhadap kasus ini.
Kembali
pada pemaknaan mengenai arti pemerintah yang diatur dalam Pasal 79 Ayat (3) UU
MD3, bahwa makna pemerintah dalam pasal ini harus dilihat secara tepat dalam
konteks penafsiran dari makna pasalnya. Problematika yang amat politis memang
sangat mengemuka dalam pertimbangan yang digunakan oleh DPR untuk tetap membentuk
Panitia Khusus Hak Angket terhadap KPK tersebut. Namun demikian, hal ini perlu
ditinjau secara ilmiah dalam perspektif hukum agar bisa dilihat mengenai
legalitas dari pelaksanaan Hak Angket oleh DPR terhadap KPK ini. Apakah legal ataukah memang harus dinilai
politis?
Dari
paparan permasalahan itulah sehingga penulis tertarik untuk melihat makna
perdebatan yang mendukung adanya hak angket oleh DPR terhadap KPK dan yang
kontra atasnya, dimana fokus kajiannya adalah mengenai pemaknaan Pasal 79 Ayat
(3) UU MD3 yang menjadi landasan pelaksanaan dari Hak Angket oleh DPR yang
diatur juga didalam UUD 1945. Sehingga dalam tulisan ini, penulis memberi judul
permasalahan yaitu Hak
Angket DPR terhadap KPK: Antara Hak dan
Politik Kekuasaan.
Dari uraian latar belakang
yang memuat problematika pelaksanaan Hak Angket oleh DPR terhadap KPK dalam
nuansa penyelidikan kasus korupsi E-KTP, maka dapat ditarik beberapa
identifikasi masalah, antara lain:
1.
Bagaimanakah
batasan pelaksanaan hak angket DPR yang diatur dalam UU?
2.
Bagaimanakah
tinjauan politis atas pelaksanaan Hak Angket oleh DPR dalam kasus Hak Angket
oleh DPR terhadap KPK dalam kasus korupsi E-KTP?
II.
Pembahasan
A. Tinjauan
Hukum Pelaksanaan Hak Angket DPR
Untuk mengetahui secara jelas
bagaimanakah legalitas pelaksanaan atas hak angket DPR terhadap KPK yang
bernuansa politis, maka perlu dijelaskan secara sistematis mengenai hak-hak
yang dimiliki oleh DPR termasuk hak angket DPR dan penjelasan atasnya
sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945 dan UU.
Hak-Hak Dewan Pertimbangan Rakyat
Dalam menjalankan tugas dan
fungsinya, khususnya terkait pelaksanaan fungsi pengawasan, DPR dibekali 3
(tiga) hak, yakni:[1]
1. Hak Interpelasi: hak DPR untuk meminta keterangan
kepada Pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis
serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2. Hak Angket: hak DPR untuk melakukan
penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang
berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
3. Hak Menyatakan Pendapat: hak DPR untuk menyatakan pendapat
atas:
a.
kebijakan
pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di
dunia internasional;
b.
tindak
lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; atau
c.
dugaan
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Hak-hak DPR sebagaimana
dijelaskan diatar mengenai dasar hukumnya diatur didalam UUD 1945 yaitu dalam
Pasal 20 A yang menyebutkan bahwa:
Pasal 20A
1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki
fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
2) Dalam melaksanakan fungsinya,
selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan
Perwakilan Rakyat mempunyai hak interplasi, hak angket, dan hak menyatakan
pendapat.
3) Selain hak yang diatur dalam
pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan
Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat,
serta hak imunitas.
4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak
Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam
undang-undang.
Kemudian mengenai hak-hak
yang dimiliki oleh DPR sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945, dalam UU Nomor 17
Tahun 2014 atau UU MD3 sebagai aturan yang lanjutan dibawah UUD 1945 yang
mengatur mengenai kedudukan dan hak-hak dari MPR, DPR, DPD dan DPRD menyebutkan
mengenai hak-hak yang dimiliki oleh DPR yang diatur dalam Pasal 79. Dalam Pasal
79 menyebutkan bahwa:
Hak DPR
Pasal 79
1)
DPR
mempunyai hak:
a.
interpelasi;
b.
angket;
dan
c.
menyatakan
pendapat.
2)
Hak
interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak DPR untuk
meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting
dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
3)
Hak
angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk
melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau
kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
4)
Hak
menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPR
untuk menyatakan pendapat atas:
a.
kebijakan
pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di
dunia internasional;
b.
tindak
lanjut pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan hak
angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
c.
dugaan
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat
UUD
1945 sebagai Konstitusi bangsa Indonesia secara tegas memberikan hak-hak kepada
Dewan Perwakilan Rakyat termasuk Hak Angket yang diatur di dalam Pasal 20 A UUD
1945 jo Pasal 79 Undang-Undang
tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD
menyebutkan bahwa:
Pasal 20A UUD 1945
1)
Dewan
Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan.
2)
Dalam
melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain
Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak
angket, dan hak menyatakan pendapat.
3)
Selain
hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota
Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul
dan pendapat, serta hak imunitas.
4)
Ketentuan
lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan
Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang.
Pasal
79 UU MD3
1) DPR mempunyai hak:
a.
interpelasi;
b.
angket; dan
c. menyatakan pendapat.
3)
Hak
angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk
melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau
kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Hak
angket DPR sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945 dan UUMD3 merupakan hak yang
dimiliki oleh DPR sebagai hak yang mengikuti pelaksanaan fungsi-fungsi DPR khususnya
fungsi pengawasan oleh DPR terhadap Pemerintah.
Dalam
Ayat (3) secara tegas bahwa UUD 1945 memberikan hak angket sebagai hak yang
dimilik oleh DPR. Hak angket sendiri dalam pengertiannya adalah hak DPR untuk
melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau
kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Jika
dilihat secara detail bahwa ada beberapa unsur dalam hak angket yang dimiliki
oleh DPR, yaitu:
1. Merupakan
penyelidikan;
2. Terhadap
pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah;
3. Berkaitan
dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara;
4. Diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Terkait dengan unsur nomor 2 (dua) bahwa
penyelidikan dilakukan kepada undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah
diartikan bahwasanya penyelidikan dalam hak angket hanya boleh dilakukan
terhadap pelaksanaan suatu undang-undang yang dinilai bertentangan dengan
undang-undang dan kepada kebijakan pemerintah.
Ada batasan terhadap pelaksanan dari hak angket
tersebut, yakni pertama hak angket
tidak bisa ditujukan untuk meninjau suatu undang-undang (review) karena yang diselidiki hanyalah pelaksanaan suatu
undang-undang yang dinilai bertentangan dengan undang-undang yang dijalankan
maupun undang-undang lainnya. Batasan yang kedua
adalah bahwa hanyalah kebijakan pemerintah (pemerintah dalam pengertian UUD 1945)
yang boleh dilakukan penyelidikan menggunakan hak angket DPR. Batasan ketiga adalah bahwa hak angket ini hanya
terkait dengan hal yang benar-benar tertentu, artinya tidak semua kondisi, atau
bisa dikatakan kondisi luar bisa yaitu berkaitan dengan hal penting, strategis,
dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dan batasan keempat adalah hal tersebut secara nyata
bertentangan dengan undang-undang, jadi selama tidak bertentangan dengan
undang-undang tidak boleh diadakan adanya hak angket DPR tersebut.
Ketika terjadi hak angket yang mana hak angket
tersebut tidak memenuhi empat (4) batasan diatas, misakan hak angket terhadap
undang-undang (substansi undang-undang), maka DPR telah melanggar UUD 1945
serta UU MD3, karena hak angket ditujukan bukan kepada pelaksanaan
undang-undang, akan tetapi kepada undang-undang itu sendiri, maka hak angket
DPR tersebut dinilai tidak sah.
Makna
Pemerintah dalam Pasal 79 Ayat (3) UU MD3
Dalam perdebatan yang terjadi dalam pelaksanaan hak
angket oleh DPR terhadap KPK sebagaimana telah dijelaskan dalam latar belakang
adalah konsepsi yang tidak jelas mengenai pengertian “pemerintah” dalam Pasal
79 Ayat (3) UU MD3 yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pembentukan Panitian
Khsusus penyelidikan KPK sebagai tindakan pelaksanaan hak angket oleh DPR itu
sendiri. Bahwa terjadi dua penafsiran yang berkembang dalam menafsirkan makna
pemerintah dalam Pasal 79 Ayat (3) UU MD3. Oleh para anggota DPR, pemerintah
dalam Pasal 79 Ayat (3) UU MD3 dimaknai secara luas sehingga KPK juga termasuk
didalamnya dan dapat dilakukan penyidikan atas kinerjanya, namun oleh kalangan
yang menentang dianggap makna pemerintah adalah makna yang sempit yang tidak
mencakup pengertian KPK, sehingga hak angket DPR tidak dapat menjangkau kinerja
KPK sebagai lembaga anti-rusuah.
Definisi pemerintah dalam buku Pengantar Hukum Administrasi Indonesia dimaknai dalam dua
pengertian, yaitu dalam arti fungsi pemerintahan (kegiatan memerintah) dan
pemerintah dalam artu organisasi pemerintahan (kumpulan dari kesatuan-kesatuan
pemerintahan). Yang pertama menempatkan pemerintah dalam kaitannya fungsinya
yang terdiri fungsi perundang-undangan, fungsi kehakiman dan pelaksanaan
(eksekutif). Oleh Philipus M. Hadjon pemerintah dimaknai secara luas termasuk
eksekutif, legislative dan yudikatif dan secara sempit hanya eksekutif semata.[2]
Dalam buku Hukum
Administrasi Negara oleh Ridwan HR. lebih sempit memberikan makna
pengertian pemerintah yang hanya berkaitan dengan fungsi pelaksanaan
adminitrasi pemerintahan (eksekutif).[3]
Terminologi
“pemerintah” sebagaimana diatur dalam Pasal 79 Ayat (3) UU MD3 dalam rumusannya
tentu akan mengacu pada dua pemaknaan yang luas dan sempit sebagaimana telah
dijelaskan dimuka. Itulah landasan yang menjadi polemik perdebatan pelaksanaan
hak angket DPR yang memiliki kesan sangat politis, apalagi jika
dikontekstualisasikan dengan proses penyidikan oleh KPK dalam kasus korupsi
E-KTP yang melibatkan anggota DPR. Hak
angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk
melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau
kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Oleh
Mahfud MD bahwa makna pemerintah dalam Pasal 79 Ayat (3) tidaklah bermakna luas
sebagaimana yang diklaim oleh DPR dalam melaksanakan hak angket terhadap KPK.
Menurutnya makna pemerintah dalam pasal ini adalah bermakna sepit dan terbatas,
hal ini sebagaimana dijelaskan dalam detiknews.com[4] bahwa:
“Pasal
79 ayat 3 UU MD3 dipenjelasanya menyebutkan bahwa hak angket untuk menyelidiki
pelaksanaan UU atau kebijakan pemerintah. Kebijakan penting dan luar biasa juga
sangat berpengaruh terhadap kehidupan bangsadan Negara yang dilakukan oleh
presiden, wapres, polri, jaksa agung dan lembaga pemerintahan non-deparetemen.
Dalam pandangan kami, itu tidak bisa dijadikan subyek untuk diangket termasuk
KPK.”
Legalitas
Hak Angket DPR terhadap KPK
Terkait dengan kasus hak angket DPR
terhadap KPK yang sedang hangat diperbincangkan dalam ketatanegaraan di
Indonesia, perlu dilihat secara detail dan dalam analisis legal yang tepat pula,
agar tidak adanya pemahaman yang justru cenderung kepada pendapat yang
non-hukum dan bahkan cenderung politis semata.
Pertama adalah mengenai alasan
pengajuan hak angket sendiri oleh DPR yang dikutip dari detik.com bahwa pada intinya hak angket diajukan karena ingin
menyelidiki kinerja KPK hingga urusan anggaran belanja.[5]
Mengenai alasan DPR mengajukan hak angket yang ditujukan terhadap kinerja KPK
yang dinilai bertentang dengan undang-undang berdasarkan pada pengertian dan
batasan hak angket sebagaimana telah dipaparkan diatas jelas bertentangan dan
tidak sesuai.
Bahwa dalam pengertian dan batasan
hak angket berdasarkan pada Pasal 20A UUD 1945 jo. Pasal 79 UU MD3 bahwa hak angket hanya boleh diajukan terhadap
kinerja (kebijakan) pemerintah saja. Sedangkan KPK tidak bisa dikategorikan
sebagai pemerintah dalam pengertian sebagaimana pemerintah dalam arti sempit
dan pemerintah sebagaimana dijelaskan di dalam pengertian hak angket.
Pengertian pemerintah sebagaimana
dalam pengertian hak angket adalah pemerintahan dalam arti sempit, karena
berkaitan dengan pelaksana tugas pemerintahan sebagai pembuat kebijakan. Jelas
bahwa kebijakan dalam pengertian hak angket ini berkaitan erat dengan tugas
pemerintahan dalam kerangka pengertian pemerintah sebagai eksekutif, bukan
dalam pengertian yang luas mencakup eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Pemegang kekuasaan eksekutif (pemerintah dalam arti
sempit) berdasarkan pada UUD 1945 adalah Presiden dengan dibantu oleh
Menteri-Menterinya. Jelaslah sudah bahwa
Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK bukanlah yang dimaksud dengan
pemerintah sebagaimana dalam pengertian hak angket dalam pasal 79 ayat (3) UU
MD3.
Secara
jelas dan tegas bahwa dalam batasan pengertian hak angket oleh DPR sebagai hak
yang diberikan oleh UUD 1945 adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan
terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang
berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan (Pasal 79 Ayat (3) UU MD3). Sedangkan dalam kasus
Hak Angket DPR terhadap kinerja KPK telah jelas-jelas bahwa DPR tidak
berlandaskan pada pengertian hak angket dalam pasal ini. Dimana hak angket
malah ditujukan kepada KPK yang secara jelas bukanlah pemerintah. Hal ini tentu
menjadikan jelas bahwa DPR kaitannya dengan masalah pengajuan hak angket telah
melanggar ketentuan dalam Pasal 20A UUD 1945 jo. Pasal 79 UU MD3, atau dengan kata lain bahwa hak angket DPR
terhadap kinerja KPK adalah tidak sah. Pernyataan ini sesuai dengan apa yang
disampaikan oleh Mahfud MD dalam detiknews.com[6] bahwa:
“Pasal
79 ayat 3 UU MD3 dipenjelasanya menyebutkan bahwa hak angket untuk menyelidiki
pelaksanaan UU atau kebijakan pemerintah. Kebijakan penting dan luar biasa juga
sangat berpengaruh terhadap kehidupan bangsadan Negara yang dilakukan oleh
presiden, wapres, polri, jaksa agung dan lembaga pemerintahan non-deparetemen.
Dalam pandangan kami, itu tidak bisa dijadikan subyek untuk diangket termasuk
KPK.”
B. Permasalahan Hak Angket dan Politik
Atasnya
Hak angket oleh DPR sebagaimana
telah dijelaskan diatas dimana dalam kesimpulannya dijalankan secara tidak sah karena
bertentangan dengan UUD 1945 dan UU MD3, jauh sebelumnya juga secara prakteknya
terus bermasalah, permasalahan itu tidak lepas dari isu-isu politik yang
terjadi tiap masanya. Permasalahan hak angket oleh DPR jika diringkas antara
lain:[7]
Sebelum amandemen UUD 1945
Ada 2 kasus yang terjadi mengenai hak angket pada
masa DPR 1950-1956 dan masa DPR 1956-1959.
Setelah Amandemen UUD 1945
- DPR Era 1999-2004 : Hak Angket terhadap pelanggaran hukum Presidean Abdurahman Wahid terkait kasus Bulog dan Dana dari Brunei Darussalam.
- DPR Era 2004-2009: Kasus penjualan dua tangker milik pertamina, Kebijakan pemeintah menaikkan harga BBM, pelaksanaan penyelenggaraan ibadah Haji pada 1429 H.
- DPR Era 2009-2014: kasus bailout century.
Bisa dilihat bahwa ternyata sebelum kasus hak angket
terhadap KPK, sejarah hak angket oleh DPR selalu bermasalah, dan pangkal
permasalahannya selalu berkaitan dengan isu politis antara DPR dengan pihak
tertentu. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Akbar Tanjung bahwa dalam
pelaksanaan Hak Angket oleh DPR seringkali terjadi karena adanya tendensi
politik terhadap pihak tertentu.[8]
Atas landasan sejarah yang selalu bermasalah dan
pelaksanaan hak angket DPR terhadap KPK yang tetap dilanjutkan sekalipun tidak
sah atau bertentangan dengan UUD 1945, semakin memperkuat pandangan bahwa dalam
pelaksanaan hak angket DPR terhadap KPK benar-benar tidak dilandaskan pada
hukum, yang mana pun bertentangan dengan Indonesia sebagai Negara hukum (Pasal
1 Ayat (3) UUD 1945). Sehingga tentu jika tidak dilandaskan pada hukum, bahwa
pelaksanaan hak angket oleh DPR terhadap KPK tentu adalah untuk melemahkan KPK
karena secara terang menyerang kenyamanan anggot-anggota DPR yang seolah
menjadi target dari perburuan tersangka untuk kasus-kasus korupsi termasuk
kasus mega-korupsi E-KTP.
Pemahaman kita mengenai konsep pembagian kekuasaan
dalam Negara yaitu legislatif, eksekutif dan Yudikatif sebagai upaya untuk
menjauhkan kekuasaan dari kesewenang-wenangan dengan melihat DPR sebagai legislatif
dalam sistem pemerintahan Indonesia berdasarkan pada UUD 1945 tentu menjadi hal
yang tentu kontradiktif dengan maksud agar tiadanya kesewenang-wenangan. DPR
bahkan melakukan hal yang bertentangan dengan UUD 1945 dengan mengajukan hak
angket dalam upayanya melemahkan KPK dan menghampat proses penyidikan oleh KPK
terhadap kasus korupsi yang sedang berjalan, yaitu kasus E-KTP.
Kondisi yang demikian dimana DPR sebagai legislative
dalam sistem pemerintahan Indonesia yang juga memiliki hak angket namun tidak
digunakan sesuai dengan aturan dan demi kepentingan politiknya adalah sejalan
dengan kesewenang-wenangan yang timbul karena adanya kekuasaan. Dimana begitu
terkenal pendapat Lord Acton yang mengatakan,”power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”. Dan
juga pendapat Steven Lukes memahami kekuasaan sebagai kemampuan untuk
memproduksi pengaruh dan kekayaan. [9]
III.
Penutup
Hak angket DPR sebagaimana diatur didalam Pasal 20A
UUD 1945 jo. Pasal 79 UU MD3 adalah
hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang
dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Hak angket DPR
sebagaimana dalam pengertiannya diajukan untuk menyelidiki suatu pelaksanaan
undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah, namun dalam prakteknya terkait
dengan kasus pelemahan KPK melalui hak angket yang diajukan oleh DPR, bahwa hak
angket oleh DPR bertentangan dengan UUD 1945 dan UU MD3. Dimana DPR telah
memaksakan melakukan pengajuan hak angket dan melaksanakan hak angket kepada
KPK yang jelas-jelas berdasarkan pada UUD 1945 bukanlah sebagai pemerintah
sebagaimana dimaksudkan didalam pengertian hak angket dalam Pasal 79 Ayat (3)
UUMD3.
Atas dasar hal tersebut jelaslah bahwa pengajuan hak
angket oleh DPR terhadap KPK adalah sebagai pelanggaran terhadap konstitusi
atau dengan kata lain bahwa hak angket DPR terhadap KPK adalah tidak sah.
Tetap dilaksanakannya hak angket oleh DPR yang
secara jelas bertentangan dengan UUD 1945 merupakan tindakan yang tentu tidak
dilandaskan pada hukum sebagaimana dimanatkan oleh UUD 1945 bahwa Indonesia
adalah Negara hukum dengan konsekuensi bahwa tindakan setiap pejabat Negara
harus berdasarkan hukum. Tindakan DPR semata-mata merupakan tindakan politis
yang digunakan untuk mempertahankan kekuasaannya. Sebagaimana dikutip oleh Lord
Acton yang mengatakan,”power tends to
corrupt, absolute power corrupt absolutely”.
IV.
Daftar
Pustaka
Buku
dan Jurnal
Muhtar Haboddin, Kekuasaan
dan Korupsi di Tingkat Lokal, Jurnal
Interaktif Vol. 4 Nomor 2 tahun 2011,
Fakultas Ilmu Politik dan Sosial, Universitas Brawijaya
Philipus
M. Hadjon, dkk, 2005, Pengantar Hukum
Administrasi Indonesia, Cet. Ke-5, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Ridwan
HR., 2016, Hukum Administrasi Negara, Edisi
Revisi, Jakarta: PT. RajaGrafindo, hal. 79-85
Roma Rizky Elhadi, “Permasalahan Hak Angket Dewan
Perwakilan Rakyat Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945”, Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Syarif
Hidayatullah, 2014
Internet
http://www.dpr.go.id/tentang/hak-dpr,
diakses pada 4 Desember 2017
https://m.detik.com/news/berita/d-3489773/mahfud-md-hak-angket-tidak-berlaku-untuk-kpk,
diakses pada 4 Oktober 2017
https://m.detik.com/news/berita/d-3486828/ini-sederet-alasan-dpr-gulirkan-hak-angket-kpk,
diakses pada 4 Oktober 2017
[1] http://www.dpr.go.id/tentang/hak-dpr, diakses pada 4 Desember 2017
[2] Philipus M. Hadjon, dkk, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cet.
Ke-5, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal. 6-7
[3] Ridwan HR., 2016, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi,
Jakarta: PT. RajaGrafindo, hal. 79-85
[4] https://m.detik.com/news/berita/d-3489773/mahfud-md-hak-angket-tidak-berlaku-untuk-kpk, diakses pada 4 Oktober 2017.
[5] https://m.detik.com/news/berita/d-3486828/ini-sederet-alasan-dpr-gulirkan-hak-angket-kpk, diakses pada 4 Oktober 2017.
[6] https://m.detik.com/news/berita/d-3489773/mahfud-md-hak-angket-tidak-berlaku-untuk-kpk, diakses pada 4 Oktober 2017.
[7] Roma Rizky Elhadi, “Permasalahan Hak
Angket Dewan Perwakilan Rakyat Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945”, Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Syarif Hidayatullah, 2014, hal. 52-56.
[8] Akbar Tanjung dalam Ibid., hal. 67.
[9] Steven Lukes dalam Muhtar Haboddin, Kekuasaan dan Korupsi di Tingkat Lokal, Jurnal Interaktif Vol. 4 Nomor 2 tahun 2011, Fakultas Ilmu Politik dan Sosial, Universitas
Brawijaya, hal. 1.
Komentar
Posting Komentar