Langsung ke konten utama

Tentang Penemuan Hukum (Bag.III-Peristilahan, Pengerian dan Tujuan Hukum)


oleh:
Cipto Prayitno
email: bukitshimla@gmail.com

Peristilahan, Pengertian dan Tujuan Penemuan Hukum
Latar Belakang Penemuan Hukum dalam tataran praktek dan sejarahnya adalah bentuk paling riil dari penolakan atas gagasan trias politica tentang sistem kekuasaan dalam Negara yang digagas oleh Montesque. Dalam gagasan trias politica a la Montesque bahwa kekuasaan kehakiman sebagai representasi lembaga yudikatif hanyalah sebagai corong undang-undang saja atau atau pelaksana undang undang saja (ius curia novit).[1] Gagasan ini juga diperkuat oleh aliran positivisme hukum ketat yaitu legisme  hukum yang melihat bahwa tidak ada hukum diluar undang-undang. Dimana legisme memandang bahwa hukum dan undang-undang adalah dua entitas yang identik dan tugas hakim tidaklah menciptakan hukum.[2]
Penemuan hukum dalam konteks peristilahannya amat erat dengan pelaksanaan hukum, penerapan hukum, pembentukan hukum maupun penciptaan hukum. Selain itu juga sering diperdebatkan mengenai penggunaan terminologi yang tepat, sehingga menjadi penting untuk mengetahui pengertian masing masing konsep yang disebutkan tadi.
Menurut Sudikno Mertokusumo dalam buku Penemuan Hukum Pelaksanan hukum adalah proses menjalankan hukum tanpa adanya sengketa atau pelanggaran. Penerapan Hukum adalah proses menerapkan (peraturan) hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwanya (peristiwa konkrit). Pembentukan hukum adalah merumuskan peraturan-peraturan umum yang berlaku umum, bagi setiap orang. Sedangkan penciptaan hukum adalah proses membentuk hukum dari yang tidak ada menjadi ada (meskipun ini menurut Soedikno Mertokusumo dinilai tidak tepat karena hukum bukan hanya kaedah tertulis maupun tidak, tetapi juga dapat berupa perilaku atau peristiwa).[3] Dari paparan tersebut dapat dilihat secara gambling mengenai perbedaan dalam setiap peristilahan yang digunakan di dalam penemuan hukum baik secara teori maupun prakteknya.
Menurut Sudikno Mertokusumo dalam Munafrizal Manan,  Penemuan Hukum atau dalam bahasa Belanda Rechtsvinding adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan hukum umum pada peristiwa konkrit.[4] Dalam pengertian tentang penemuan hukum ada kecenderungan bahwa penemuan hukum identik dengan hakim sebagai pemutus suatu perkara dalam pengadilan. Hal ini menjadi wajar bila melihat sejarah bahwa rechtsvinding ini selalu muncul dalam peran hakim sebagai judge made law (sebagai pemutus perkara). Meskipun pada prakteknya bahwa tugas penemuan hukum ini juga dilakukan oleh pengacara ketika beracara dan ilmuan hukum dalam doktrin yang dikemukakannya.[5]
Penemuan hukum menjadi suatu hal keharusan manakala dalam praktek penerapan hukum ditemukan hal-hal yang mengharuskan adanya penemuan hukum. Inilah tujuan adanya penemuan hukum yang didasarkan perannya pada para praktisi-praktisi hukum seperti hakim, advokat atau pengacara, bahkan ilmuan hukum (sarjana hukum). Bahwa tujuan penemuan hukum adalah memeberikan kepastian atau kejelasan manakala ada suatu kekosongan hukum atau ketidak-jelasan suatu aturan hukum dalam ranah penerapan hukum. Dijelaskan pula oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa fungsi pembentukan hukum oleh pengadilan (hakim) memiliki peran yang sangat penting untuk mengisi kekosaongan dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara karena hukum (tertulis) tidak jelas atau tidak ada.[6] Dasar pemikiran  dari adanya penemuan hukum (tujuan dari penemuan hukum) menurut Marwan Mas dalam Munafrizal Manan adalah sebagai berikut:[7]
1.      Karena peraturannya tidak ada, tetapi esensi perkara sama atau mirip dengan suatu peraturan lain yang dapat diterapkan pada kasusu tertentu.
2.      Peraturannya memang ada, tetapi kurang jelas sehingga hakim perlu menafsirkan peraturan tersebut untuk diterapkan pada perkara yang ditangani.
3.      Peraturannya juga ada, tetapi peraturan itu sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dan kebutuhan warga masyarakat, sehingga wajib disesuaikan dengan perkara yang sedang ditangai.
Hakim sebagai judge made law secara khusus sebagai aktor utama dalam penemuan hukum secara sah diberikan kewenangannya oleh undang-undang, yaitu dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
            Dalam praktek penemuan hukum oleh hakim yang dilator-belakangi oleh penerapan aturan hukum untuk kasus konkrit tertentu mempunyai kekuatan hukum, meskipun pada dasarnya putusan hakim ini untuk suatu kasus yang belun ada dasar hukumnya atau terjadi kekosongan aturan maupun aturan yang ada tidak jelas, selain karena berdasarkan pada Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman teresebut, juga karena apa yang diputuskan hakim dituangkan dalam bentuk putusan yang mengikat.[8]


Daftar Pustaka
Kusumaatmadja,  Mochtar dan Arief Sidharta, 2016,  Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, Bandung: Alumni
Manan, Munafrizal,  2012,  Penemuan Hukum oleh Mahkamah Konstitusi, Bandung: Mandar Maju
Mertokusumo, Sudikno,  2009,  Penemuan Hukum, Cet. Ke-6, Yogyakarta: Liberty



[1] Munafrizal Manan, 2012,  Penemuan Hukum oleh Mahkamah Konstitusi, Bandung: Mandar Maju, hal. 17.
[2] Loc. Cit.
[3] Sudikno Mertokusumo, 2009,  Penemuan Hukum, Yogyakarta: Liberty, hal. 36-37.
[4] Sudikno Mertokusumo dalam Ibid., hal. 16.
[5] Ibid., hal. 16.
[6] Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, 2016,  Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, Bandung: Alumni, hal. 99.
[7] Op. Cit., Munafrizal Manan…, hal. 16.
[8] Op. Cit., Sudikno Mertokusumo, hal. 36.

Komentar