oleh:
Cipto Prayitno
email: bukitshimla@gmail.com
Peristilahan,
Pengertian dan Tujuan Penemuan Hukum
Latar
Belakang Penemuan Hukum dalam tataran praktek dan sejarahnya adalah bentuk
paling riil dari penolakan atas gagasan trias
politica tentang sistem kekuasaan dalam Negara yang digagas oleh Montesque.
Dalam gagasan trias politica a la Montesque bahwa kekuasaan kehakiman
sebagai representasi lembaga yudikatif hanyalah sebagai corong undang-undang
saja atau atau pelaksana undang undang saja (ius curia novit).[1]
Gagasan ini juga diperkuat oleh aliran positivisme hukum ketat yaitu legisme hukum yang melihat bahwa tidak ada hukum
diluar undang-undang. Dimana legisme
memandang bahwa hukum dan undang-undang adalah dua entitas yang identik dan
tugas hakim tidaklah menciptakan hukum.[2]
Penemuan
hukum dalam konteks peristilahannya amat erat dengan pelaksanaan hukum,
penerapan hukum, pembentukan hukum maupun penciptaan hukum. Selain itu juga
sering diperdebatkan mengenai penggunaan terminologi yang tepat, sehingga
menjadi penting untuk mengetahui pengertian masing masing konsep yang disebutkan
tadi.
Menurut
Sudikno Mertokusumo dalam buku Penemuan Hukum Pelaksanan hukum adalah proses menjalankan hukum tanpa adanya
sengketa atau pelanggaran. Penerapan Hukum adalah proses menerapkan (peraturan)
hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwanya (peristiwa konkrit). Pembentukan
hukum adalah merumuskan peraturan-peraturan umum yang berlaku umum, bagi setiap
orang. Sedangkan penciptaan hukum adalah proses membentuk hukum dari yang tidak
ada menjadi ada (meskipun ini menurut Soedikno Mertokusumo dinilai tidak tepat
karena hukum bukan hanya kaedah tertulis maupun tidak, tetapi juga dapat berupa
perilaku atau peristiwa).[3] Dari
paparan tersebut dapat dilihat secara gambling mengenai perbedaan dalam setiap
peristilahan yang digunakan di dalam penemuan hukum baik secara teori maupun
prakteknya.
Menurut
Sudikno Mertokusumo dalam Munafrizal Manan,
Penemuan Hukum atau dalam bahasa Belanda Rechtsvinding adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau
aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan hukum umum pada peristiwa
konkrit.[4]
Dalam pengertian tentang penemuan hukum ada kecenderungan bahwa penemuan hukum
identik dengan hakim sebagai pemutus suatu perkara dalam pengadilan. Hal ini
menjadi wajar bila melihat sejarah bahwa rechtsvinding
ini selalu muncul dalam peran hakim sebagai judge made law (sebagai pemutus perkara). Meskipun pada prakteknya
bahwa tugas penemuan hukum ini juga dilakukan oleh pengacara ketika beracara
dan ilmuan hukum dalam doktrin yang dikemukakannya.[5]
Penemuan
hukum menjadi suatu hal keharusan manakala dalam praktek penerapan hukum
ditemukan hal-hal yang mengharuskan adanya penemuan hukum. Inilah tujuan adanya
penemuan hukum yang didasarkan perannya pada para praktisi-praktisi hukum
seperti hakim, advokat atau pengacara, bahkan ilmuan hukum (sarjana hukum).
Bahwa tujuan penemuan hukum adalah memeberikan kepastian atau kejelasan
manakala ada suatu kekosongan hukum atau ketidak-jelasan suatu aturan hukum
dalam ranah penerapan hukum. Dijelaskan pula oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa
fungsi pembentukan hukum oleh pengadilan (hakim) memiliki peran yang sangat
penting untuk mengisi kekosaongan dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya
suatu perkara karena hukum (tertulis) tidak jelas atau tidak ada.[6] Dasar
pemikiran dari adanya penemuan hukum (tujuan
dari penemuan hukum) menurut Marwan Mas dalam Munafrizal Manan adalah sebagai
berikut:[7]
1.
Karena
peraturannya tidak ada, tetapi esensi perkara sama atau mirip dengan suatu
peraturan lain yang dapat diterapkan pada kasusu tertentu.
2.
Peraturannya
memang ada, tetapi kurang jelas sehingga hakim perlu menafsirkan peraturan
tersebut untuk diterapkan pada perkara yang ditangani.
3.
Peraturannya
juga ada, tetapi peraturan itu sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dan
kebutuhan warga masyarakat, sehingga wajib disesuaikan dengan perkara yang
sedang ditangai.
Hakim
sebagai judge made law secara khusus
sebagai aktor utama dalam penemuan hukum secara sah diberikan kewenangannya
oleh undang-undang, yaitu dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman.
“Pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Dalam praktek
penemuan hukum oleh hakim yang dilator-belakangi oleh penerapan aturan hukum
untuk kasus konkrit tertentu mempunyai kekuatan hukum, meskipun pada dasarnya
putusan hakim ini untuk suatu kasus yang belun ada dasar hukumnya atau terjadi
kekosongan aturan maupun aturan yang ada tidak jelas, selain karena berdasarkan
pada Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman teresebut, juga karena apa yang diputuskan
hakim dituangkan dalam bentuk putusan yang mengikat.[8]
Daftar Pustaka
Kusumaatmadja, Mochtar dan Arief Sidharta, 2016, Pengantar
Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku
I, Bandung: Alumni
Manan,
Munafrizal, 2012, Penemuan
Hukum oleh Mahkamah Konstitusi, Bandung: Mandar Maju
Mertokusumo,
Sudikno, 2009, Penemuan
Hukum, Cet. Ke-6, Yogyakarta: Liberty
[1]
Munafrizal Manan, 2012, Penemuan Hukum oleh Mahkamah Konstitusi, Bandung:
Mandar Maju, hal. 17.
[2]
Loc. Cit.
[3]
Sudikno Mertokusumo, 2009, Penemuan Hukum, Yogyakarta: Liberty,
hal. 36-37.
[4]
Sudikno Mertokusumo dalam Ibid., hal.
16.
[5]
Ibid., hal. 16.
[6]
Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, 2016,
Pengantar Ilmu Hukum Suatu
Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, Bandung:
Alumni, hal. 99.
[7]
Op. Cit., Munafrizal Manan…, hal. 16.
[8]
Op. Cit., Sudikno Mertokusumo, hal.
36.
Komentar
Posting Komentar