Langsung ke konten utama

Analisis Putusan Hakim Dalam Putusan MA Nomor 3277 K/Pdt/2000 tentang Janji Mengawini Dalam Perspektif Metode Dan Aliran Penemuan Hukum


 oleh:
Cipto Prayitno
email: bukitshimla@gmail.com


Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Ini merupakan proses konkritisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum mengingat peristiwa konkrit.  Penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, penemuan hukum oleh hakim ini dianggap yang mempunyai wibawa. Ilmuan hukum pun mengadakan penemuan hukum. Hanya kalau hasil penemuan hukum oleh hakim itu adalah hukum, maka hasil penemuan hukum oleh ilmuan hukum bukanlah hukum melainkan ilmu atau doktrin. Sekalipun yang dihasilkan itu bukan hukum, namun disini digunakan istilah penemuan hukum juga oleh karena doktrin ini kalau diikuti dan diambilalih oleh hakim dalam putusannya, menjadi hukum.[1]
Penemuan hukum yang dilakukan hakim di pengadilan sangatlah penting, hal ini berkaitan dengan penegakan hukum oleh pejabat hukum. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakan. Melalui penegakan hukum inilah hukum ini menjadi kenyataan. Dalam penegakan hukum terdapat tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (Rechtssicherkeit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit).[2] Penemuan hukum erat kaitannya dengan pembentukan hukum oleh hakim.[3] Sehingga hakim harus mengetahui maksud dari undang-undang yang menjadi dasar perkara yang diajukan padanya, tiada undang-undang yang sempurna, tiap redaksi (perumusan) undang-undang adalah suatu pernyataan kehendak pembuatnya, dan sering kehendak itu karena beberapa hal tidak dinyatakan secara tepat.[4]
Dalam putusan hakim, seorang hakim tentu tidak akan bisa dilepaskan dari pandangan dia mengenai persepsinya apakah hukum itu? Apakah dia melihat hukum dalam perspektif positivisme atau melihat dalam kacamata bahwa hukum adalah kebiasan yang hidup salam masyarakat atau bahkan melihat hukum dalam perspektif yang moderat, bahwa aka kaitan dan hubungan antaran hukum dan moralitas. Yang pada  intinya hakim selalu memiliki cara pandang yang berbeda untuk pada akhirnya memutus suatu perkara dengan putusan yang berbeda pula sesuai dengan apa yang diyakininya. Oleh karena itu dalam konteks penemuan hukum munculnya metode dan aliran-aliran dalam penemuan hukum yang muncul adalah sebagai konsepsi sekaligus resultan dari fakta-fakta empiris dari pengalam hakim-hakim pada masa lampau tentang memposisikan hukum sebagai apa, tentang sumber hukum apakah materiil atau formil ataukeduanya bahkan menempatkan hukum kaitannya dengan masalah moralitas.
Pada akhirnya selalu dalam setiap tindakan hakim dalam memutus suatu perkara akan dapat ditelaah mengenai bagaimanakah perspektif aliran yang digunakan oleh hakim, metode apa yang digunakan. Tentu itu tidak sesaklek yang dibayangkan, dimana hakim hanya berpatok pada satu aliran atau satu metode saja, namun pada arahnya selalu hakim dalam memutus suatu perkara selalu ada aspek-aspek terkait dengan pandangan hakim mengenaik apa itu hukum dan bahkan ketika menghadapi kenyataan hakim dalam menemukan hukum, apakah akan berlandaskan pada undang-undang (peraturan tertulis) an sich atau berkiblat pada hukum kebiasaan atau bahkan moderat. Konsepsi inilah yang selalu ada kaitannya dengan penemuan hukum dalam setiap putusan hakim.
Konsepsi keberadaan aliran-aliran penemuan hukum dan metode penemuan hukum dalam penemuan hakim yang ada dalam putusan hakim juga mengemuka dalam Putusan MA Nomor 3277 K/Pdt/2000 tentang Janji Kawin yang melanggar Perbuatan Melawan Hukum. Dimana hakim-hakim yang ada dalam majelis yang terdiri dari Bagir Manan, SH., H. Parman Suparman, SH. , Arbijoto, SH. Menyatakan bahwa perbuatan menjanjikan akan menikahi dan kemudia hari tidak menepatinya, sedangkan dalam prosesnya terjadi kerugian baik materiil dan non-materiil dianggap melanggar ketentuan Perbuatan Melawan Hukum dalam konsep perdata dan dapat dituntut ganti rugi.
Ringkasnya bahwa putusan tersebut dinilai sebagai bentuk penemuan hukum yang sekaligus memiliki latar belakang keberpihakan pada aliran-aliran penemuan hukum tertentu yang berkaitan mendudukan hukuim dalam kepastian atau moralitas masyarakat. Selain itu juga bahwa dalam memutuskan suatu perkara yang memberikan tafsir mengenai Perbuatan Melawan Hukum dalam kaitannya dengan janji nikah tersebut tentu para hakim dalam majelis memiliki suatu metode tersendiri yang kita kenal dengan metode penemuan huku. Pada aspek keterkaitan dengan sistem hukum nasional, tentu ini menjadi yurisprudensi bahwa janji kawin adalah perbuatan melawan hukum dalam konsep keperdataan.
Maka dari itu kaitannya dengan Putusan MA Nomor 3277 K/Pdt/2000, dalam makalah ini akan dibicarakan bagaimanakah keterkaitan putusan tersebut dengan aliran-aliran dalam penemuan hukum, metode penemuan hukum dan bahkan akan dikaitkan dengan penemuan hukum dalam sistem hukum nasional.
Agar tercapainya sistematika yang baik demi mendapat pemahaman yang baik pula, maka dalam makalah ini akan dibahas terlebih dahulu konsepsi-konsepsi yang sifatnya teoritikal, seperti aliran-aliran penemuan hukum, metode penemuan hukum dan penemuan hukum dalam sistem hukum nasional. Baru kemudian akan dibahas mengenai kasus posisi terlebih kaitannya dengan pertimbangan hakim mengenai masalah penemuan hukumnya dalam janji kawin yang dipersamakan dengan Perbuatan Melawan Hukum. Yang terakhir adalah klasifikasi penemuan hukum dalam Putusan MA Nomor 3277 K/Pdt/2000 tersebut kedalam aliran penemuan hukum manakah, metode yang digunakan apa dan bagaimanakah kaitannya dengan penemuan hukum dalam sistem hukum nasional.

A.    Aliran dan Metode Penemuan Hukum
      1.      Metode Penemuan Hukum
Pada dasarnya penemuan hukum dilakukan untuk menemukan hukum yang dilakukan oleh fungsionaris hukum, baik oleh Hakim maupun fungsionaris hukum lainnya, seperti jaksa, polisi, bahkan sarjana hukum. Tapi dalam tulisan ini, akan dibahas mengenai metode penemuan hukum oleh hakim.
Tentu metode penemuan hukum pada tujuannya adalah untuk menemukan hukum yang tidak ada atau terjadi ketidak-jelasan hukum. Sehingga metode  ini sangat berkaitan dengan bagaimana hakim (atau fungsionaris hukum) dalam menemukan hukum dalam rangka menerapkan hukum yang bersifat abstrak kesuatu permasalahan yang konkrit.
Pada jenisnya, metode penemuan hukum dapat dibedakan menjadi dua (2), yaitu metode penemuan hukum untuk ketika terjadi hukumnyan tidak jelas jadi perlu di interpretasikan (tafsirkan) sehingga dibutuhkan penafsiran atau metode interpretasi dan ketika terjadi kekosongan hukum yang membutuhkan argumentasi hakim yang disebut sebagai metode argumentum.
a.       Metode Interpretasi
1)      Interpretasi menurut Bahasa
Metode interpretasi ini disebut dengan interpretasi gramatikal. Interpretasi ini merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susun kata atau bunyinya.
Contoh penggunaan interpretasi gramatikal, istilah menggelapkan dari pasal 41 KUHPidana ada kalanya ditafsirkan sebagai menghilangkan.
2)       Interpretasi teleologis atau sosiologis
Interpretasi teleologis yaitu apabila makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dngan interpretasi telelologis ini undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah using atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak peduli apakah hal ini semuanya pada waktu di undangkan peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru.
Contoh penggunaan Interpretasi telelologis penafsiran kata barang pada pasal 362 KUH Pidana juga termasuk aliran listrik karena bersifat mandiri dan mempunyai nilai tertentu. Padahal pada perumusan pasal tersebut perihal mengenai barang tidak menunjukkan kepada listrik.
3)      Interpretasi Sistematis
Interpretasi sistematis adalah menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkan dengan undang-undang lain.
Contoh penggunaan interpretasi sistematis adalah kalau hendak mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang dilahirkan di luar perkawinan oleh orang tuanya, tidak cukup hanya mencari ketentuan-ketentuan dalam BW saja, tetapi harus dihubungkan juga dengan pasal 278 KUH Pidana.
4)      Interpretasi Historis
Interpretasi historis ini dilakukan dengan cara meneliti sejarah terjadinya undang-undang tersebut. Jadi merupakan penjelasan menurut terjadinya undang-undang. Undang-undang itu tidak terjadi begitu saja. Undang-undang selalu merupakan reaksi terhadap kebutuhan sosial untuk mengatur, yang dapat dijelaskan secara historis. Namun bagi ahli hukum penafsiran ini makin lama makin berkurang kegunaannya jika umur undang-undang tersebut semakin tua, karena memang masyarakat terus berkembang.
Contoh penerapan intepretasi historis jika ingin mengerti makna undang-undang nomor 1 tahun 1974 hanya dapat dimengerti dengan meneliti sejarah tentang emansipasi wanita.
5)      Interpretasi Komparatif
Interpretasi komparatif atau penafsiran dengan jalan memperbandingkan adalah penjelasan berdasarkan perbandingan hukum. Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai suatu ketentuan undang-undang. Terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian international ini penting, karena dengan pelaksanaan yang seragam direalisir kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional sebagai hukum objektif atau kaedah hukum untuk beberapa Negara. Di luar hukum perjanjian internasional kegunaan metode ini terbatas.
6)      Interpretasi Futuristis
Interpretasi futuristis atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi adalah penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum. sebagai contoh adalah ketika hakim hendak memutus suatu perkara hakim sudah membayangkan bahwa undang-undang yang digunakan akan segara diganti dengan undang-undang baru yang masih menjadi rancangan undang-undang. Untuk mengantisipasi perubahan itu hakim berfikir futuristis jika ternyata rancangan undang-undang itu disahkan maka putusan ini akan berdampak berbeda, oleh karena itu hakim memutus berdasarkan pertimbangan-pertimbangan lain di luar undang-undang yang berlaku saat itu.
Interpretasi ini mempunyai banyak kekurangan karena tidak adanya jaminan bahwa RUU yang akan menggantikan undang-undang terkait benar-benar disahkan atau tidak, semua hanya bergantung pada keyakinan hakim saja.
Selain dari pada interpretasi-interpretasi yang dijelaskan diatas, ada juga interpretasi lainnya yaitu interpretasi reskriptif, interpretasi ekstensif. Yang sebenarnya bukan bagian dari metode penafsiran sebagaimana dalam metode interpretasi. Namun lebih kepada penafsiran yang ada dalam undang-undang yang bersifat perluasan maupun penyempitan makna gramatikal suatu aturan.
b.      Metode Argumentasi/ Konstruksi Hukum
Selain metode interpretasi, dalam penemuan hukum juga dikenal metode argumentasi atau lebih dikenal dengan konstruksi hukum. Berbeda dengan metode interpretasi metode ini digunakan ketika dihadapkan kepada situasi adanya kekosongan hukum (rechts vacuum) sedangkan pada metode interpretasi persitiwa tersebut sudah di atur di dalam undang-undang hanya saja pengaturannya masih belum jelas. Berdasarkan asas ius curia novit (hakim tidak boleh menolak perkara untuk diselesaikan dengan dalil hukumnya tidak ada atau belum mengaturnya) maka metode konstruksi hukum ini sangat penting demi menjamin keadilan. Metode-metode konstruksi hukum itu dapat dibagi sebagai berikut :
1)       Metode Argumentum Per Analogium (Analogi)
Analogi merupakan metode penemuan hukum di mana hakim mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum baik yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang belum ada peraturannya.
Sebagai contoh dapat dilihat pasal 1576 BW, yang mengatur bahwa jual beli tidak memutuskan hubungan sewa-menyewa. Kemudian dalam praktik, perkara yang di hadapi adalah apakah hibah juga tidak memutuskan hubungan sewa menyewa atau sebaliknya? Karena undang-undang hanya mengatur tentang jual beli dan tidak tentang hibah, maka hakim harus melakukan penemuan hukum agar dapat membuat putusan dalam perkara tersebut. Dengan metode analogi pertama-tama hakim mencari esensi dari perbuatan jual beli, yaitu peralihan hak, dan kemudia dicari esensi dari perbuatan hibah, yaitu juga peralihan hak. Dengan demikian, ditemukan bahwa peralihan hak merupakan genus (peristiwa umum), sedangkan jual beli dan hibah masing-masing adalah species (peristiwa khusus), sehingga metode analogi ini menggunakan penalarana induksi yaitu berfikir dari peristiwa khusus ke peristiwa umum. Keismpulannya, hibah juga tidak memutuskan hubungan sewa menyewa. Dengan analogi maka peristiwa yang serupa, sejenis, atau mirip dengan yang diatur dalam undang-undang diperlakukan sama.
2)      Metode Argumentum a Contrario
Metode ini memberikan kesempatan kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan bagi peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya. Karena ada kalanya suatu peristiwa tidak secara khusus diatur oleh undang-undang, tetapi kebalikan dari peristiwa tersebut diatur oleh undang-undang. Jadi metode ini mengedepankan cara penafsiran yang berlawanan pengertiannya antara peristiwa konkret yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang.
Sebagai contoh ketentuan adanya masa iddah dan waktu menunggu bagi seorang janda yang diatur dalam peraturan pemerintah nomor 9 yahun 1975. Namun bagaimana halnya dengan seorang duda? Apakah mempunyai masa iddah? Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan memang secara tegas tidak mengatur mengenai masa iddah bagi seorang duda, oleh karena itu dengan digunakannya logika a  contrario, yaitu memperlakukan kebalikannya dari peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 tersebut, sehingga seorang duda tidak perlu menunggu waktu tertentu apabila hendak kawin lagi.
3)      Metode Penyempitan Hukum
Kadang-kadang peraturan perundang-undangan itu ruang lingkupnya terlalu umum atau luas, maka perlu dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu. Dalam menyempitkan hukum dibentuklah pengecualian-pengecualian atau penyimpangan-penyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang sifatnya umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan member ciri-ciri.
Sebagai contoh penyempitan hukum adalah pengertian “perbuatan melawan hukum” yang tercantum dalam pasal 1365 BW yang cakupan maknanya luas apakah yang dimaksud dengan hukum itu sendiri? akibatnya ruang lingkupnya dipersempit menjadi apa yang kita jumpai dalam yurisprudensi putusan HR 31 Januari 1919 kasus Lindenbaum vs Cohen yaitu perbuatan melawan hukum dipersempit menjadi perbuatan melawan undang-undang dan kepatutan.

       2.      Aliran Penemuan Hukum Dalam Putusan
Untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan tiap aliran akan disajikan dengan model pemaparan dengan table, untuk mempermudah pemahaman mengenai masing-masing aliran.[5]
Aliran Hukum
Latar Belakang Sejarah
Sumber Hukum yang diakui
Asal Hukum yang Berlaku
Legisme
Reaksi atas ketidak-pastian hukum kebiasaan pada abad 19 di Eropa, sehingga dilakukan penyeragaman hukum melalui kodifikasi
Hanya undang-undang
Hukum yang berlaku adalah hukum dari kehendak penguasa tertinggi
Mahzab Historis
Kritik atas kekosongan aturan dan ketidak-jelasan undang-undang (legisme) pada abad 20 oleh Von Savigny
Hukum kebiasaan atau hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law), selain dari undang-undang sebagai bentuk kodifikasi hukum
Hukum yang berasal dari jiwa bangsa (volkgeist) – hukum ang hidup dalam masyarakat
Begriffsjurisprudence
Kritik atas undang-undang yang tidak mampu mengikuti perkembangan, sehingga diperlukan peranan Yurisprudensi (oleh Rudolf Von Jhering)
Undang-undang, hukum kebiasaan dan yurisprudensi sebagai titik tekan utama pandangan ini (namun bersifat tertutup)
Hukum dilihat sebagai sistem yang tertutup ynag mencakup segala-galanya dan mengatur semua perbuatan sosial dan bersifat ilmiah
Interresenjurisprudence
Reaksi atas Begriffsjurisprudence – dimana hukum merupakan friksi kepentingan
UU, kebiasaan dan yurispredensi sebagai titik tekan, dimana hakim dalam memutus tidak boleh hanya mendasar pada panafsiran UU yang formal-logis semata, akan tetapi karena hukum sebagai friksi kepentingan, hakim dalam memutus harus berdasarkan pada tujuannya.
Hukum adalah pertentangan kepentingan dimana segala peraturan (termasuk UU) dibuat memiliki tujuan tertentu, yaitu satu pilihan atas beberapa kepentingan lainnya.
Freirechtbewegung
Reaksi atas legisme di Jerman oleh Kantorowich (1877-1940)
UU, Kebiasaan, yurisprudensi sebagai titik tekan, dimana subyektifitas hakim sangat menonjol dalam aliran ini, karena menurut aliran ini bahwa hakim dapat melakukan Penemuan Hukum Bebas, yaitu penemuan hukum yang bisa menyimpangi UU dengan mengikuti perkembangan zaman.
Hukum merupakan gerak perkambangan zaman, sehingga subyektifitas hakim dalam memutus perkara dengan melihat perkembangan zaman sangat penting selain UU itu sendiri.
Penemuan Hukum Modern
Kritik atas hakim sebagai corong UU semata (Komen- 1988)
UU, kebiasaan, dan yurisprudensi sebagai titik tekan, dimana titik tekannya adalah masalah penyelesaian problem kemasyarakatan, bukan problem perundang-undangan semata. Sehingga hakim harus mampu menjadi menafsirkan suatu permasalahan untuk penyelesaian (biasanya digunakan metode teleologis)
Hukum adalah untuk kepentigan manusia, sehingga dalam setiap aspek penegakan hukum harus didasrkan pada untuk penyelesaian problem kemanusiaan, termasuk hakim dalam memutus harus mampu menimbang-nimbang setiap hal yang mendasari suatu perkara, dan demi kepentingan masyarakat.
Ditinjau dari putusan hakimnya, menurut Jose M. Monteiro bahwa putusan hakim dipengaruhi oleh dua (2) aliran yang berkaitan dengan perspektif hakim itu sendiri. Aliran ini mungkin bisa dkatakan penyederhanaan dari pada beragamnya aliran-aliran dalam penemuan hukum. Aliran tersebut adalah aliran konservatif dan aliran progresif. Yang pertama disebutkan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Aliran konservatif adalah keputusan hakim yang  didasakan semata-mata ada ketentuan tertulis (peraturan perundang-undangan). Legisme  yaitu  aliran dalam ilmu hukum  dan peradilan yang tidak mengakui hukum diluar yang tertulis/undang-undang. Menurut aliran ini hukum identic dengan undang-undang, sedangkan kebiasaan dan ilmu pengetahua hukum lainnya, dapat diakui sebagai hukum, apabila undang-undang menunjuknya.
b.      Selanjutnya aliran ini menyatakan bahwa undang-undang (kodifikasi), justru diadakan untuk membatas hakim, yang karena kebebasannya telah menjurus kearah kesewenang-wenangan atau tirani.
c.       Berdasarkan hal tersebut maka hakim dalam menjatuhkan putusannya harus mengikuti apa yang tertulis dalam hukum (lex dura tamesti suntscripta), biarpun in concreto menurut rasa keadilan masyarakat, putusan hakim tersebut dinilai merupakan suatu ketidakadilan.[6]
Aliran yang kedua adalah aliran progresif, dimana putusan hakim ini tidak didasarkan semata-mata hanya pada ketentuan hukum tertulis, tetapi hakim harus pula mendasrkan pada pengetahuan dan pengalaman empiris yang dialaminya.
Kemudian tentang aliran ini oleh sarjana hukum yang berbada, dikategorikan juga berbeda pula. Yaitu oleh Pontang Moerad yang mengklasifikasikan aliran dalam penemuan hukum menjadi tiga (3) jenis. Yaitu aliran Legisme dan Positivisme Hukum, Aliran Freie Rechtbewegung, dan Aliran Rechvinding.[7] Untuk aliran yang pertama dan kedua secara konsepsinya dan penjelasannya kurang lebih sama dengan konsepsi yang telah dijelaskan dalam pembagian aliran menurut Soedikno Mertokusumo. Sedangkan untuk aliran ketiga, yaitu aliran Rechtvinding adalah sebagai aliran tengah antara Legisme dan Freie Rechtbewegung dimana aliran ini memposisikan hakim tidak terikat begitu ketat layaknya dalam pandangan Legisme, hakim tetap mempunyai kebebasannya dalam pertimbangan dan putusannya. Akan tetapi kebebasannya ini juga tidak sebebas tanpa terikat selayaknya dalam aliran Freie Rechtbewegung, hakim tetap terikat pada aturan yang ada dan punya sisi kebebasan atas subyektifitas hakim itu sendiri. Sehingga seringkali aliran ini disebut-sebut memposisikan hakim dengan “kebebasan yang terikat” (Gebonded-vrijheid) atau “keterikatan yang bebas” (vrij-gebonheid). Dalam aliran ini dari penjelasan tersebut, maka posisi hakim adalah sebagai pembentuk hukum dalam upaya pembentukan hukum (Rechtvinding) nyang artinya menyeleraskan undang-undang dengan tuntan zaman. Ketika terjadi kekosongan hukum, maka hakim adalah sebagai pembentuk hukum dalam upaya pembentukan hukum (Rechtvinding).[8]

     3.      Putusan Hakim Dalam Perspektif Penemuan Hukum Yang Berdasar Pada Sistem Hukum Nasional
Latar belakang penjajahan Belanda terhadap bangsa Indonesia secara sejarahnya telah melekatkan padangan bahwa Indonesia secara tradisi hukumnya menganut paham civil law (selain karena adanya asas konkordansi). Dimana lebih mengutamakan kedudukan hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) sebagai landasan dalam menerapkan hukum didalam masyarakat. Pada akhirnya secara konsepsi kaitannya dengan penemuan hukum, maka kedudukan hakim sebagai salah satu fungsionaris yang melakukan penemuan hukum akan terikat dengan keberadaan hukum tertulis (peraturan perundang-undangan). Namun pada kenyataannya kelemahan hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) selalu tidak fleksibel dan tidak dinamis dalam menghadapi perkembangan masyarakat, pada akhirnya peran penemuan hukum dalam masyarakat yang menganut tradisi civil law sekalipun seperti Indonesia akan sangat dibutuhkan, agar tidak terjadi kekosongan hukum yang pada arasnya akan berujung pada kebangkrutan keadilan (bankrupty of juctice).[9] Secara sejarah bahwa penemuan hukum adalah bentuk protes atas pandangan legisme yang memandang bahwa hakim hanya sebatas corong undang-undang (ius curia novit). Landasan teoritis yang kedua adalah bahwa hakim sebagai seorang pemutus perkara dalam asasnya tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada dasar hukumnya (terjadi kekosongan hukum atau hukumnya tidak jelas), sehingga menjadi wajib dalam penerapan hukum baik oleh hakim maupun fungsionaris hukum lainnya ketika terjadi kekosongan hukum atau dasar hukum yang tidak jelas maka disitulah terjadi penemuan hukum. Secara teoritis berarti elemen atau dasar penemuan hukum terjadi karena:
1.      Hakim bukan sebagai corong undang-undang, sehingga hakim harus bisa memutuskan perkara tidak hanya berdasarkan pada undang-undang atau hukum tertulis (legisme).
2.      Asas hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak adanya dasar hukumnya (kekosongan hukum atau hukumnya tidak jelas).
Dasar berlakunya dan serta kedudukan penemuan hukum dalam hukum positif di Indonesia tentu tidak bisa dilepaskan tentang pengakuan bangsa Indonesia mengenai eksistensi hukum adat (kebiasaan) yang sudah sejak lama hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Dasar ini merujuk pada aturan yang ada dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945.
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan  perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Kemudian dari aturan yang memberikan ruang bagi eksistensi  hukum adat, kemudian posisi hakim sebagai tonggak dalam penemuan hukum diberikan ruang dan kewenangan untuk melakukan penemuan hukum berdasarkan pada kewenangannya diatur dalam undang-undang. Dalam bukum Penemuan Hukum oleh Sudikno Mertokusumo. Jika diringkas maka dasar penemuan hukum secara positif oleh Sudikno mertokusumo adalah:[10]
a.       Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 bahwa kekuasaan hakim adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum RI. Pasal ini adalah landasan “kebebasan” hakim untuk melakukan penemuan hukum.
b.      Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, bahwa hakim harus mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang. Pasal ini menetukan hakim tidak boleh keluar dari sistem hukum sehingga harus menemukan hukumnya.
c.       Pasal 16 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas.
d.      Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Namun kebebasan hakim ini bukan berarti tanpa ada batasan, kaitan dengan penemuan hukum hakim dalam menemukan huku demi mencapai keadilan dalam sistem hukum nasional Indonesia, hakim tetap harus mengacu pada konsep-konsep dasar yang dijadikan landasan atau prinsip dalam penemuan hukum. Dalam Asep Dedi Suwasta, prinsip tersebut antara lain:[11]
a.       Prinsip objektifitas, penafsiran hendaknya berdasarkan pada arti secara literal dari aturan hukum dan berdasarkan hakekat dari aturan hukum tersebut harus dibuat sejelas mungkin untuk perkembangan selanjutnya.
b.      Prinsip kesatuan, setiap norma harus dibaca dengan teks dan tidak secara terpisah. Bagian harus berasl dari keseluruhan dan keseluruhan  harus berasal dari bagiannya.
c.       Prinsip penafsiran genetis, selama melakukan penafsiran terhadap teks, keberadaan teks asli harus dijadikan pertimbangan, terutama dalam aspek objektifitas, tata bahasa, budaya dan kondisi sosial dari pembentukan hukum tersebut dan terutama dari pembuatn hukum tersebut.
d.      Prinsip perbandingan, prinsip ini adalah prinsip untuk membandingkan suatu teks hukum dengan teks hukum lainnya menyangkut hal yang sama disuatu waktu.

B.     Perbuatan Melawan Hukum dalam UU dan Sejarah Penafsiran Atasnya
Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam konteks perdata diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (“BW”), dalam Buku III BW, pada bagian “Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang”, yang berbunyi:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Menurut Rosa Agustina, dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum, terbitan Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia (2003), hal. 117, dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat:[12]

1.    Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
2.    Bertentangan dengan hak subjektif orang lain
3.    Bertentangan dengan kesusilaan
4.    Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.
Pada sejarah peradilan di Indonesia, pasal mengenai Perbuatan Melawan Hukum dalam konteks perdata yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata memang memiliki kecenderungan multitafsir atau terdapat ketidak jelasan maksud dari bunyi pasal tersebut. Sehingga kaitannya dengan penemuan hukum oleh hakim, kedudukan Pasal tersebut menjadi pasal yang paling banyak mendapatkan tafsiran oleh hakim kaitannya dengan kategorisasi apakah suatu perbuatan termasuk kedalam Perbuatan Melawan Hukum atau bukan. Sehingga pada sejarahnya banyak tafsiran oleh hakim terkait dengan pasal tersebut yang mengguncang dunia hukum karena dianggap sebagai tindakan yang luar biasa ditengah-tengah bobroknya sistem peradilan yang mendapat banyak kritik pedas dari semua kalangan. Putusan-putusan  tersebut dianggap sebagai angin segar sekaligus sebagai sisi lain hukum di Indonesia yang dinilai terlalu kejam bagi rakyat “jelata” dan begitu mengayomi kalangan-kalangan bermartabat.
Dari paparan tersebut bisa dilihat bagaimana begitu pentingnya peran dari penemuan hukum oleh hakim dalam sistem hukum nasional dalam rangka mencapai keadilan bagi semua kalangan demi terciptanya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Contoh kasus-kasus tersebut adalah Putusan Mahkamah Agung No. 3191 K/Pdt/1984 tentang mengingkari janji mengawini atau janji nikah yang dihukum sebagai Perbuatan Melawan Hukum. Dan yang dalam makalah ini akan dibahas juga adalah Putusan MA Nomor 3277 K/Pdt/2000 untuk kasus yang sama dengan para pihak yang berbeda.

C.    Analisi Pertimbangan Hakim dalam Putusan MA Nomor 3277 K/Pdt/2000
“Bahwa menurut kaidah hukum dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung melalui putusan Mahkamah Agung No. 3191 K/Pdt/1984 tanggal 8 Februari 1986, perbuatan Tergugat Asli yang tidak memenuhi perjanjian untuk melangsungkan perkawinan dikualifikasikan sebagai pelanggaran norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat, sekaligus merupakan perbuatan melawan  hukum, sehingga merugikan Penggugat Asli. Lebih-lebih Tergugal Asli adalah seorang guru, yang dengan demikian perbuatan Tergugat Asli amat tidak pantas dilakukan.”
Demikianlah pertimbangan hakim dalam putusan Putusan MA Nomor 3277 K/Pdt/2000, yang akan menjadi fokus kajian dalam makalah penemuan hukum ini. Aspek yang akan dikaji adalah berkaitan dengan bagaimana kedudukan putusan tersebut yang berkaitan dengan mengingkari janji kawin dalam perspektif aliran, metode penemuan hukum serta bagaimanakah kaitannya dengan perspektif penemuan hukum dalam sistem hukum nasional.
Pengkajian akan dimulai dari mengkonsepsikan janji kawin ini dalam perspektif hukum nasional untuk melihat dan menjawab pertanyaan, apakah putusan tersebut dikatakan sebagai penemuan hukum?
1.      Tentang Janji Kawin
Janji kawin, terminology ini bukanlah perjanjian kawin sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, janji kawin disini adalah konsepsi dimana ada janji untuk menikahi dari salah satu pihak kepada pihak lain dengan mana ketika tidak dipenuhi janji tersebut terjadi kerugian baik materiil maupun non-materiil dipihak kedua. Konsepsi tersebut sebenarnya adalah konsepsi yang ada pasca putusan Mahkamah Agung No. 3191 K/Pdt/1984.
Lantas, bagaimanakah kedudukan janji kawin tersebut dalam hukum nasional? Dan apakah dapat dituntut atas pengingkarannya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka akan dibahas mengenai konsepsi janji kawin dalam sistem hukum nasional. Secara ketentuannya dalam hukum nasional mengatur mengenai janji kawin tersebut dalam KUH Perdata, sedangkan dalam UU Perkawinan tidak ada satu pasal-pun yang mengatur mengenai janji kawin ini. Dalam KUH Perdata Pasal 58 menyebutkan bahwa:
“Janji-janji kawin  tidak menimbulkan hak guna  menuntut dimuka hakim akan berlangsungnya perkawinan, pun tidak guna menuntut penggantian biaya, dan bunga akibat kecederaan  yang dilakukan terhadapnya; segala persetujuan ganti rugi dalam hal ini adalah batal.”
Demikianlah bunyi pasal 58 KUHPerdata yang secara tegas menyatakan bahwa janji kawin tidak dapat dituntukan atas pengingkarannya. Tentu menurut pasal tersebut kesepakatan yang muncul dalam janji kawin antara dua sejoli tidaklah menjadi pacta sunt servanda bagi para pihak. Sehingga menjadi jelas bahwa janji kawin tidak dapat dituntutkan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 KUH Perdata.
Lantas bagaimanakah ketika nyata-nyata terjadi kerugian oleh pihak yang dijanjika kawin? Kerugiannya tidak hanya materiil, akan tetapi non-materiil yaitu hilang keperawanan atau bahkan hamil oleh pihak pertama? Bukankah nyata timbul kerugian yang bahkan berkaitan dengan kesusilaan dan kesopanan dalam masyarakat Indonesia?
Nah itulah yang menjadi titik sentral dari putusan Mahkamah Agung No. 3191 K/Pdt/1984 dan Putusan MA Nomor 3277 K/Pdt/2000, dimana janji kawin yang dimaksud dikaitkan dengan Perbuatan Melawan Hukum yang dimaksud dalam 1365 KUHPerdata. Disitulah aspek penemuan hukumnya, dimana hakim dengan interpretasinya berhasil mengkategorikan pengingkaran janji kawin yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain adalah Perbuatan Melawan Hukum. Suatu putusan yang memberikan kejelasan manakala terjadi kerugian atas janji kawin tersebut. Kepastian hukum yang ada dalam Pasal 58 KUH Perdata dinyatakan tidak memberikan jawaban atas suatu fakta bahwa terdapat kerugian atasnya.
Pertimbangan hakim yang menyatakan “Bahwa menurut kaidah hukum dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung melalui putusan Mahkamah Agung No. 3191 K/Pdt/1984 tanggal 8 Februari 1986, perbuatan Tergugat Asli yang tidak memenuhi perjanjian untuk melangsungkan perkawinan dikualifikasikan sebagai pelanggaran norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat, sekaligus merupakan perbuatan melawan  hukum, sehingga merugikan Penggugat Asli. Lebih-lebih Tergugal Asli adalah seorang guru, yang dengan demikian perbuatan Tergugat Asli amat tidak pantas dilakukan.” Memberikan gambaran pada kita bahwa hakim telah memberikan makna yang baik dengan mengkategorikan janji kawin yang melanggar kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat adalah suatu Perbuatan Melawan Hukum. Tentu hal ini adalah suatu hal baru (dimana sebelumnya tidak pernah janji kawin dikaitkan dengan Perbuatan Melawan Hukum).
Untuk memberikan pemahanaman yang baik tentu akan dipaparkan makna Perbuatan Melawan Hukum dalam 1365 KUH Perdata sebagaimana dijelaskan diatas. Bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Makna dari pasal tersebut tentu tidak begitu jelas, apalagi jika dikaitkan dengan janji kawin yng secara konsep keperdataan telah diatur dalam pasal 58 KUH Perdata dan dinyatakan tidak dapat dimintakan kerugian. Namun Perbuatan Melawan Hukum oleh Hakim dalam putusan Putusan MA Nomor 3277 K/Pdt/2000 termasuk janji kawin yang melanggar ketentuan kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat.
Kemudian setelah terjawab petanyaan apakah putusan tersebut merupakan penemuan hukum? Selanjutnya adalah metode apakah yang digunakan? Dan masuk dalam aliran manakah putusan tersebut dalam penemuan hukum?
2.      Aliran dan Metode Penemuan Hukum dalam Putusan
Metode Penemuan Hukumnya
Metode penemuan hukum sebagaimana telah dipaparkan diatas terdiri dari dua jenis, jenis yang pertama adalah interpretasi dengan banyak macamnya, serta jenis yang kedua adalah jenis konstruksi hukum atau argumentum.
Tentu untuk melakukan klasifikasi dalam jenis mana putusan MA Nomor 3277 K/Pdt/2000 maka perlu melakukan analisa, apakah pertimbangan dalam putusan tersebut adalah bentuk atas konstruksi hukum atau interpretasi hukum.
“Bahwa menurut kaidah hukum dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung melalui putusan Mahkamah Agung No. 3191 K/Pdt/1984 tanggal 8 Februari 1986, perbuatan Tergugat Asli yang tidak memenuhi perjanjian untuk melangsungkan perkawinan dikualifikasikan sebagai pelanggaran norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat, sekaligus merupakan perbuatan melawan  hukum, sehingga merugikan Penggugat Asli. Lebih-lebih Tergugal Asli adalah seorang guru, yang dengan demikian perbuatan Tergugat Asli amat tidak pantas dilakukan.”
Dalam pertimbangan, majelis hakim menetapkan bahwasanya tindakan dari tergugat yang mengingkari janjinya mengawini tergugat dan muncul kerugian materiil dan immaterial adalah sebagai Perbuatan Melawan Hukum. Jelas-jelas dalam KUHPerdata Pasal 58 disebutkan bahwa janji kawin tidak dapat dituntutkan kerugian. Namun hakim mengacu pada makna luas dari pasal Perbuatan Melawan Hukum yang diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata. Makna yang luas adalah bahwa Perbuatan Melawan Hukum termasuk mengingkari janji kawin yang menimbulkan kerugian. Artinya ada perluasan penafsiran disatu sisi atau yang kita kenal dengan metode penafsiran/interpretasi ekstensif. Disisi lain hakim juga mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat, kepatutan dan kesusilaan masyarakat. Pertimbangan ini bahkan menyampingkan aturan mengenai janji kawin yang tidak dapat dimintakan ganti rugi sebagaimana dalam pasal 58 KUH Perdata. Artinya bahwa hakim melakukan upaya untuk memberikan ruang terhadap nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sebagai hukum yang berlaku pula dalam masyarakat. Itu artinya pula hakim menggunakan metode penemuan hukum interpretasi teleologis/sosiologis, dimana makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Makna Perbuatan Melawan Hukum termasuk didalamnya adalah menjanjikan kawin dan mengingkarinya sehingga olehnya timbul kerugian materiil dan immaterial yang bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat.
Aliran Penemuan Hukumnya
Dari pertimbangan putusan, kemudian mengenai prioritas dasar berpikir hakim dapat dikemukakan beberapa aspke mengenai putusan majelis hakim, yaitu:
a.       Hakim lebih mengedepankan menggunakan yurisprudensi yang memiliki nilai keadilan daripada Pasal 58 KUH Perdata (aturan tertulis)
b.      Hakim lebih mengedepankan menggunakan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat mengenai kepatutan dan kesusilaan masyarakat sebagai sumber hukum yang nyata bagi masyarakat dan yang memiliki nilai keadilan daripada Pasal 58 KUH Perdata (aturan tertulis)
c.       Hakim melihat aspek keadilan masyarakat sebagai prioritass ketimbang kepastian hukum yang tidak mencerminkan keadilan dan membawa kerugian yang nyata dan bahkan bertentangan dengan norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat.
d.      Hakim sangat memperhatikan kepentingan dari penggugat yang nyata dirugikan oleh perbuatan tergugat mengingkari janji kawin. Hakim jelas mengedepankan bahwa putusan haru demi kepentingan manusia, bukan semata untuk kepentingan undang-undang.
e.       Pertimbangan hakim tidak undang-undang an sich tetapi juga melibatkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, kesusilaan dan kepatatutan dalam masyarakat dalam memutus perkara tersebut.
Aspek-aspek tersebut lah yang pada akhirnya memberikan landasan majelis hakim memutuskan bahwa janji kawin yang diumbar tergugat kepada penggugat demi mendapatkan keuntungan materiil dan immaterial (berhubungan badang dengan penggugat) adalah bertentangan dengan kepatutan dan kesusilaan dalam unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum dan dapat dimintakan ganti rugi atasnya.
Jika dibanding dengan aliran-aliran dalam penemuan hukum, maka aspek-aspek dalam putusan majelis hakim dalam putusan MA Nomor 3277 K/Pdt/2000 memenuhi unsur-unsur dalam aliran Penemuan Hukum Modern yang memiliki unsur-unsur antara lain:
a.       UU, kebiasaan, dan yurisprudensi sebagai titik tekan, dimana titik tekannya adalah masalah penyelesaian problem kemasyarakatan, bukan problem perundang-undangan semata. Sehingga hakim harus mampu menjadi menafsirkan suatu permasalahan untuk penyelesaian (biasanya digunakan metode teleologis)
b.      Putusan hakim selalu diarahkan untuk menyelesaikan problem kemanusiaan, bahkan jika putusan tersebut harus bertentangan dengan undang-undang yang tidak mampu menjawab persoalan kemasyarakatan.
c.       Hukum adalah untuk kepentigan manusia, sehingga dalam setiap aspek penegakan hukum harus didasrkan pada untuk penyelesaian problem kemanusiaan, termasuk hakim dalam memutus harus mampu menimbang-nimbang setiap hal yang mendasari suatu perkara, dan demi kepentingan masyarakat.
d.      Undang-undang bukanlah sesuatu yang penuh dengan kebenaran dan jawaban, yang paling tidak membutuhkan beberapa penafsiran untuk dapat dilaksanakan dalam situasi konkrit, tetapi lebih merupakan usulan untuk penyelesaian, suatu pedoman dalam penemuan hukum, dan dalam kaitan itu masih banyak faktor-faktor penting lainnya yang dapat digunakan untuk penyelesaian masalah-masalah hukum.
e.       Penemuan hukum harus menimbang-menimbang semua faktor yang mempengaruhi putusan-putusan akhirnya. Ia harus sadar bahwa putusan dalam arti positif dapat merupakan preseden untuk banyak hubungan-hubungan diwaktu mendatang. Fungsi hukum adalah melindungi kepentingan manusia. Dalam penemuan hukum yang problematik tersistemisasi   kepentingan justiciabele (pencari keadilan) lebih diutamakan.
f.       Pemecahan masalah dengan mendasarkan pada sistem (gesystematiseerd probleemdenken atau berpikir problemantik tersistemisasiini terjadi melalui beberapa tahap. Pertama hakim meneliti masalah yang diajukan kepadanya untuk diterjemahkan secara yuridis: apakah hukum dapat membantu memperoleh pemecahan yang diharapkan? Apabila begitu, maka ditetapkanlah fakta-fakta mana yang dianggapnya relevan dan peraturan yang dapat digunakan. Telah diketengahkan di muka bahwa ada hubungan antara peristiwa dan peraturan: peristiwa menentukan peraturan yang relevan, tetapi peraturannya menentukan sekaligus fakta mana yang penting. Sudah sejak seleksi dan analisis peristiwa dan peraturan penyelesaian akhir yang ada di dalam benak hakim memegang peranan. Apabila bagian pertama penelitian kearah penyelesaian hukum telah dilakukan maka selanjutnya semua nilai dan kepentingan yang berkaitan yang memegang peranan dalam masalah dan sampai pada putusan, dimana kita dapat menyesuaikan maksud pembentuk undang-undang dengan situasi konkrit, dilihat dari keadaan kemasyarakatan yang aktual.[13]
Dari aspek-aspek putusan majelis hakim dalam putusan MA Nomor 3277 K/Pdt/2000 dan unsur-unsur dalam aliran Penemuan Hukum Modern terdapat kesamaan, yang pada intinya bahwa dalam putusan hakim dalam Putusan MA Nomor 3277 K/Pdt/2000 mempunyai kesamaan dengan unsur dalam aliran Penemuan Hukum Modern. Yang artinya bahwa dalam Putusan MA Nomor 3277 K/Pdt/2000 tentang pengingkaran janji kawin yang menimbulkan kerugian dan bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat mendasarkan pada aliran Penemuan Hukum Modern yang bersifat problem solving dan berpihak pada kepentingan manusia dalam rangka mencari keadilan.
3.      Kaitan Putusan Hakim MA Nomor 3277 K/Pdt/2000 sebagai Penemuan Hukum dalam Sistem Hukum Nasional
Telah dijelaskan dalam bab seleumnya mengenai kedudukan penemuan hukum dalam sistem hukum nasional.  Artinya menempatkan posisi penemuan hukum dalam kerangka sistem hukum nasional. Aspek pembangunan hukum nasional tentulah menjadi prioritas dalam sistem hukum nasional. Hukum yang berkeadilan dan mempu memberikan setiap penyelesaian terhadap persoalan masyarakat adalah sebagaimana dicita-citakan dan dituangkan dalam Pancasila dan UUD 1945. Sila-sila dalam Pancasila menjadi suatu hal perlu dan wajib diimplementasikan dalam setiap butir pasal dalam perundang-undangan untuk mewujudkan hukum yang pancasilais.
Ada dua aspek yang perlu diperhatikan kaitannya dengan hubungan Putusan hakim dalam Putusan MA Nomor 3277 K/Pdt/2000, yang pertama adalah landasan hukum dari putusan hakim tersebut. Tentu sekalipun sebagai penemuan hukum, tidak boleh begitu saja menabrak ketentuan perundang-undangan yang telah diciptakan sebagai sebuah sistem demi tercapainya hukum nasional yang berkeadilan. Aspek yang pertama ini jelas bahwa dalam Putusan MA Nomor 3277 K/Pdt/2000 mendasarkan pada setiap kewenangan hakim yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, serta kewenangan hakim untuk menemukan hukum manakala terjadi ketidak-jelasan aturan dan berpotensi membawa ketidak-adilan. Yaitu mendasarkan pada:
a.       Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 bahwa kekuasaan hakim adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum RI. Pasal ini adalah landasan “kebebasan” hakim untuk melakukan penemuan hukum.
b.      Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, bahwa hakim harus mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang. Pasal ini menetukan hakim tidak boleh keluar dari sistem hukum sehingga harus menemukan hukumnya.
c.       Pasal 16 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas.
d.      Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Aspek yang kedua adalah aspek putusan hakim sebagai penemuan hukum yang sekaligus juga sebagai yurisprudensi yang akan membuka peluang makin terbukanya makna keadilan dalam sistem hukum nasional. Yurisprudensi ini akan menjadi preseden bagi setiap hakim dalam memutus persoalan yang sama yang pada saat dijatuhkan putusan ini belom memiliki kejelasan aturan dan tidak ada keberpihakan pada sisi keadilan dan kemanusiaan.
Sebagaimana tujuan daripada aliran Penemuan Hukum Modern yang berpendirian bahwa atas satu pertanyaan hukum dapat dipertahankan pelbagai jawaban dalam sistem yang sama. Penemuan hukum harus menimbang-menimbang semua faktor yang mempengaruhi putusan-putusan akhirnya. Ia harus sadar bahwa putusan dalam arti positif dapat merupakan preseden untuk banyak hubungan-hubungan diwaktu mendatang. Fungsi hukum adalah melindungi kepentingan manusia. Dalam penemuan hukum yang problematik tersistemisasi   kepentingan justiciabele (pencari keadilan) lebih diutamakan. Maka kedudukan putusan hakim dalam Putusan MA Nomor 3277 K/Pdt/2000 dimasa mendatang memiliki peranan yang sama pentingnya. Akan menjadi preseden bagi setiap permasalahan yang sama yang tentu membutuhkan keadilan dan penyelesaian problem kemanusiaan dalam hal ini adalah pelanggaran atas kepatutan dan kesusilaan.













[1] Sudikno Mertukusumo, A Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1993. Hlm 4-5
[2]  Ibid., Hlm. 1
[3] Bandingkan dengan Sudikno Mertukusumo, A Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1993 Hlm. 4
[4]   E Utrecht, Hukum Pidana I, Universitas Padjadjaran Bandung, 1958. Hlm. 201
[5] Table dikutip dari pandangan Sudikno Mertokusumo dalam Ibid., hal. 94-109
[6] Jose M. Monteiro, Putusan Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Jurnal Hukum Pro Justitia, April 2007, Volume 25 Nomor 2, hal. 133.
[7] Pontang Moerad, 2012, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana, Edisi Pertama Cetakan Kedua, Bandung: P.T. Aumni, hal. 118-127
[8] Loc. Cit.
[9] Asep Dedi Suwasta, 2012, Tafsir Hukum Positif Indonesia, Cetakan Pertama, Bandung: Alia Publising, hal 40.
[10] Sudikno Mertokusumo, 2009,  Penemuan Hukum Suatu Pengantar, cet. Ke-6, Yogyakarta: Liberty, hal. 46-47
[11] Asep Dedi Suwasta, Op. Cit., hal. 44

Komentar