Analisis Putusan Hakim Dalam Putusan MA Nomor 3277 K/Pdt/2000 tentang Janji Mengawini Dalam Perspektif Metode Dan Aliran Penemuan Hukum
Penemuan
hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau
petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap
peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Ini merupakan proses konkritisasi dan
individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum mengingat peristiwa
konkrit. Penemuan hukum terutama
dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, penemuan hukum
oleh hakim ini dianggap yang mempunyai wibawa. Ilmuan hukum pun mengadakan
penemuan hukum. Hanya kalau hasil penemuan hukum oleh hakim itu adalah hukum,
maka hasil penemuan hukum oleh ilmuan hukum bukanlah hukum melainkan ilmu atau
doktrin. Sekalipun yang dihasilkan itu bukan hukum, namun disini digunakan
istilah penemuan hukum juga oleh karena doktrin ini kalau diikuti dan
diambilalih oleh hakim dalam putusannya, menjadi hukum.[1]
Penemuan
hukum yang dilakukan hakim di pengadilan sangatlah penting, hal ini berkaitan
dengan penegakan hukum oleh pejabat hukum. Hukum berfungsi sebagai perlindungan
kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus
dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi
dapat terjadi juga pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar
itu harus ditegakan. Melalui penegakan hukum inilah hukum ini menjadi
kenyataan. Dalam penegakan hukum terdapat tiga unsur yang selalu harus diperhatikan,
yaitu: kepastian hukum (Rechtssicherkeit),
kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan
keadilan (Gerechtigkeit).[2]
Penemuan hukum erat kaitannya dengan pembentukan hukum oleh hakim.[3] Sehingga hakim harus mengetahui maksud
dari undang-undang yang menjadi dasar perkara yang diajukan padanya, tiada
undang-undang yang sempurna, tiap redaksi (perumusan) undang-undang adalah
suatu pernyataan kehendak pembuatnya, dan sering kehendak itu karena beberapa
hal tidak dinyatakan secara tepat.[4]
Dalam
putusan hakim, seorang hakim tentu tidak akan bisa dilepaskan dari pandangan
dia mengenai persepsinya apakah hukum
itu? Apakah dia melihat hukum dalam perspektif positivisme atau melihat
dalam kacamata bahwa hukum adalah kebiasan yang hidup salam masyarakat atau
bahkan melihat hukum dalam perspektif yang moderat, bahwa aka kaitan dan
hubungan antaran hukum dan moralitas. Yang pada
intinya hakim selalu memiliki cara pandang yang berbeda untuk pada
akhirnya memutus suatu perkara dengan putusan yang berbeda pula sesuai dengan
apa yang diyakininya. Oleh karena itu dalam konteks penemuan hukum munculnya
metode dan aliran-aliran dalam penemuan hukum yang muncul adalah sebagai
konsepsi sekaligus resultan dari fakta-fakta empiris dari pengalam hakim-hakim
pada masa lampau tentang memposisikan hukum sebagai apa, tentang sumber hukum
apakah materiil atau formil ataukeduanya bahkan menempatkan hukum kaitannya
dengan masalah moralitas.
Pada
akhirnya selalu dalam setiap tindakan hakim dalam memutus suatu perkara akan
dapat ditelaah mengenai bagaimanakah perspektif aliran yang digunakan oleh
hakim, metode apa yang digunakan. Tentu itu tidak sesaklek yang dibayangkan,
dimana hakim hanya berpatok pada satu aliran atau satu metode saja, namun pada
arahnya selalu hakim dalam memutus suatu perkara selalu ada aspek-aspek terkait
dengan pandangan hakim mengenaik apa itu hukum dan bahkan ketika menghadapi
kenyataan hakim dalam menemukan hukum, apakah akan berlandaskan pada
undang-undang (peraturan tertulis) an
sich atau berkiblat pada hukum kebiasaan atau bahkan moderat. Konsepsi
inilah yang selalu ada kaitannya dengan penemuan hukum dalam setiap putusan
hakim.
Konsepsi
keberadaan aliran-aliran penemuan hukum dan metode penemuan hukum dalam
penemuan hakim yang ada dalam putusan hakim juga mengemuka dalam Putusan MA
Nomor 3277 K/Pdt/2000 tentang Janji Kawin yang melanggar Perbuatan
Melawan Hukum. Dimana hakim-hakim yang ada dalam majelis yang terdiri dari Bagir
Manan, SH., H. Parman Suparman, SH. , Arbijoto, SH. Menyatakan bahwa perbuatan
menjanjikan akan menikahi dan kemudia hari tidak menepatinya, sedangkan dalam
prosesnya terjadi kerugian baik materiil dan non-materiil dianggap melanggar
ketentuan Perbuatan Melawan Hukum dalam konsep perdata dan dapat dituntut ganti
rugi.
Ringkasnya bahwa putusan tersebut
dinilai sebagai bentuk penemuan hukum yang sekaligus memiliki latar belakang
keberpihakan pada aliran-aliran penemuan hukum tertentu yang berkaitan
mendudukan hukuim dalam kepastian atau moralitas masyarakat. Selain itu juga bahwa
dalam memutuskan suatu perkara yang memberikan tafsir mengenai Perbuatan
Melawan Hukum dalam kaitannya dengan janji nikah tersebut tentu para hakim
dalam majelis memiliki suatu metode tersendiri yang kita kenal dengan metode
penemuan huku. Pada aspek keterkaitan dengan sistem hukum nasional, tentu ini
menjadi yurisprudensi bahwa janji kawin adalah perbuatan melawan hukum dalam
konsep keperdataan.
Maka dari itu kaitannya dengan Putusan
MA Nomor 3277 K/Pdt/2000, dalam makalah ini akan dibicarakan bagaimanakah
keterkaitan putusan tersebut dengan aliran-aliran dalam penemuan hukum, metode
penemuan hukum dan bahkan akan dikaitkan dengan penemuan hukum dalam sistem
hukum nasional.
Agar
tercapainya sistematika yang baik demi mendapat pemahaman yang baik pula, maka
dalam makalah ini akan dibahas terlebih dahulu konsepsi-konsepsi yang sifatnya
teoritikal, seperti aliran-aliran penemuan hukum, metode penemuan hukum dan
penemuan hukum dalam sistem hukum nasional. Baru kemudian akan dibahas mengenai
kasus posisi terlebih kaitannya dengan pertimbangan hakim mengenai masalah
penemuan hukumnya dalam janji kawin yang dipersamakan dengan Perbuatan Melawan
Hukum. Yang terakhir adalah klasifikasi penemuan hukum dalam Putusan MA
Nomor 3277 K/Pdt/2000 tersebut kedalam aliran penemuan hukum manakah, metode
yang digunakan apa dan bagaimanakah kaitannya dengan penemuan hukum dalam
sistem hukum nasional.
A.
Aliran
dan Metode Penemuan Hukum
1. Metode
Penemuan Hukum
Pada dasarnya penemuan hukum dilakukan untuk
menemukan hukum yang dilakukan oleh fungsionaris hukum, baik oleh Hakim maupun
fungsionaris hukum lainnya, seperti jaksa, polisi, bahkan sarjana hukum. Tapi
dalam tulisan ini, akan dibahas mengenai metode penemuan hukum oleh hakim.
Tentu metode penemuan hukum pada tujuannya adalah
untuk menemukan hukum yang tidak ada atau terjadi ketidak-jelasan hukum.
Sehingga metode ini sangat berkaitan
dengan bagaimana hakim (atau fungsionaris hukum) dalam menemukan hukum dalam
rangka menerapkan hukum yang bersifat abstrak kesuatu permasalahan yang
konkrit.
Pada jenisnya, metode penemuan hukum dapat dibedakan
menjadi dua (2), yaitu metode penemuan hukum untuk ketika terjadi hukumnyan
tidak jelas jadi perlu di interpretasikan (tafsirkan) sehingga dibutuhkan
penafsiran atau metode interpretasi dan ketika terjadi kekosongan hukum yang
membutuhkan argumentasi hakim yang disebut sebagai metode argumentum.
a. Metode
Interpretasi
1) Interpretasi
menurut Bahasa
Metode interpretasi ini disebut dengan
interpretasi gramatikal. Interpretasi ini merupakan cara penafsiran atau
penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang
dengan menguraikannya menurut bahasa, susun kata atau bunyinya.
Contoh penggunaan interpretasi
gramatikal, istilah menggelapkan dari pasal 41 KUHPidana ada kalanya
ditafsirkan sebagai menghilangkan.
2) Interpretasi
teleologis atau sosiologis
Interpretasi teleologis yaitu apabila
makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dngan
interpretasi telelologis ini undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah
using atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan,
kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak peduli apakah hal ini semuanya pada
waktu di undangkan peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan
situasi sosial yang baru.
Contoh penggunaan Interpretasi
telelologis penafsiran kata barang pada pasal 362 KUH Pidana juga
termasuk aliran listrik karena bersifat mandiri dan mempunyai nilai tertentu.
Padahal pada perumusan pasal tersebut perihal mengenai barang tidak menunjukkan
kepada listrik.
3) Interpretasi
Sistematis
Interpretasi sistematis adalah
menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem
perundang-undangan dengan jalan menghubungkan dengan undang-undang lain.
Contoh penggunaan interpretasi
sistematis adalah kalau hendak mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang
dilahirkan di luar perkawinan oleh orang tuanya, tidak cukup hanya mencari
ketentuan-ketentuan dalam BW saja, tetapi harus dihubungkan juga dengan pasal
278 KUH Pidana.
4) Interpretasi
Historis
Interpretasi historis ini dilakukan
dengan cara meneliti sejarah terjadinya undang-undang tersebut. Jadi merupakan
penjelasan menurut terjadinya undang-undang. Undang-undang itu tidak terjadi
begitu saja. Undang-undang selalu merupakan reaksi terhadap kebutuhan sosial
untuk mengatur, yang dapat dijelaskan secara historis. Namun bagi ahli hukum
penafsiran ini makin lama makin berkurang kegunaannya jika umur undang-undang
tersebut semakin tua, karena memang masyarakat terus berkembang.
Contoh penerapan intepretasi historis
jika ingin mengerti makna undang-undang nomor 1 tahun 1974 hanya dapat
dimengerti dengan meneliti sejarah tentang emansipasi wanita.
5) Interpretasi
Komparatif
Interpretasi komparatif atau penafsiran
dengan jalan memperbandingkan adalah penjelasan berdasarkan perbandingan hukum.
Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai suatu ketentuan
undang-undang. Terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian international
ini penting, karena dengan pelaksanaan yang seragam direalisir kesatuan hukum
yang melahirkan perjanjian internasional sebagai hukum objektif atau kaedah
hukum untuk beberapa Negara. Di luar hukum perjanjian internasional kegunaan
metode ini terbatas.
6) Interpretasi
Futuristis
Interpretasi futuristis atau metode
penemuan hukum yang bersifat antisipasi adalah penjelasan ketentuan
undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai
kekuatan hukum. sebagai contoh adalah ketika hakim hendak memutus suatu perkara
hakim sudah membayangkan bahwa undang-undang yang digunakan akan segara diganti
dengan undang-undang baru yang masih menjadi rancangan undang-undang. Untuk
mengantisipasi perubahan itu hakim berfikir futuristis jika ternyata rancangan
undang-undang itu disahkan maka putusan ini akan berdampak berbeda, oleh karena
itu hakim memutus berdasarkan pertimbangan-pertimbangan lain di luar
undang-undang yang berlaku saat itu.
Interpretasi ini mempunyai banyak
kekurangan karena tidak adanya jaminan bahwa RUU yang akan menggantikan
undang-undang terkait benar-benar disahkan atau tidak, semua hanya bergantung
pada keyakinan hakim saja.
Selain dari pada interpretasi-interpretasi yang
dijelaskan diatas, ada juga interpretasi lainnya yaitu interpretasi reskriptif,
interpretasi ekstensif. Yang sebenarnya bukan bagian dari metode penafsiran sebagaimana
dalam metode interpretasi. Namun lebih kepada penafsiran yang ada dalam
undang-undang yang bersifat perluasan maupun penyempitan makna gramatikal suatu
aturan.
b. Metode
Argumentasi/ Konstruksi Hukum
Selain metode interpretasi, dalam penemuan hukum
juga dikenal metode argumentasi atau lebih dikenal dengan konstruksi hukum.
Berbeda dengan metode interpretasi metode ini digunakan ketika dihadapkan
kepada situasi adanya kekosongan hukum (rechts vacuum) sedangkan pada metode
interpretasi persitiwa tersebut sudah di atur di dalam undang-undang hanya saja
pengaturannya masih belum jelas. Berdasarkan asas ius curia novit (hakim tidak boleh menolak perkara
untuk diselesaikan dengan dalil hukumnya tidak ada atau belum mengaturnya) maka
metode konstruksi hukum ini sangat penting demi menjamin keadilan.
Metode-metode konstruksi hukum itu dapat dibagi sebagai berikut :
1) Metode Argumentum Per Analogium (Analogi)
Analogi merupakan metode penemuan hukum
di mana hakim mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau
perbuatan hukum baik yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang belum ada
peraturannya.
Sebagai contoh dapat dilihat pasal 1576
BW, yang mengatur bahwa jual beli tidak memutuskan hubungan sewa-menyewa.
Kemudian dalam praktik, perkara yang di hadapi adalah apakah hibah juga tidak
memutuskan hubungan sewa menyewa atau sebaliknya? Karena undang-undang hanya
mengatur tentang jual beli dan tidak tentang hibah, maka hakim harus melakukan
penemuan hukum agar dapat membuat putusan dalam perkara tersebut. Dengan metode
analogi pertama-tama hakim mencari esensi dari perbuatan jual beli, yaitu
peralihan hak, dan kemudia dicari esensi dari perbuatan hibah, yaitu juga
peralihan hak. Dengan demikian, ditemukan bahwa peralihan hak
merupakan genus (peristiwa umum), sedangkan jual beli dan hibah
masing-masing adalah species (peristiwa khusus), sehingga metode
analogi ini menggunakan penalarana induksi yaitu berfikir dari peristiwa khusus
ke peristiwa umum. Keismpulannya, hibah juga tidak memutuskan hubungan sewa
menyewa. Dengan analogi maka peristiwa yang serupa, sejenis, atau mirip dengan
yang diatur dalam undang-undang diperlakukan sama.
2)
Metode Argumentum a Contrario
Metode ini memberikan kesempatan kepada
hakim untuk melakukan penemuan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila
undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti
peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan bagi peristiwa di
luarnya berlaku kebalikannya. Karena ada kalanya suatu peristiwa tidak secara
khusus diatur oleh undang-undang, tetapi kebalikan dari peristiwa tersebut
diatur oleh undang-undang. Jadi metode ini mengedepankan cara penafsiran yang
berlawanan pengertiannya antara peristiwa konkret yang dihadapi dengan
peristiwa yang diatur dalam undang-undang.
Sebagai contoh ketentuan adanya
masa iddah dan waktu menunggu bagi seorang janda yang diatur
dalam peraturan pemerintah nomor 9 yahun 1975. Namun bagaimana halnya dengan
seorang duda? Apakah mempunyai masa iddah? Undang-undang nomor 1 tahun
1974 tentang perkawinan memang secara tegas tidak mengatur mengenai
masa iddah bagi seorang duda, oleh karena itu dengan digunakannya
logika a contrario, yaitu memperlakukan kebalikannya dari peraturan
pemerintah nomor 9 tahun 1975 tersebut, sehingga seorang duda tidak perlu
menunggu waktu tertentu apabila hendak kawin lagi.
3) Metode
Penyempitan Hukum
Kadang-kadang peraturan
perundang-undangan itu ruang lingkupnya terlalu umum atau luas, maka perlu
dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu. Dalam
menyempitkan hukum dibentuklah pengecualian-pengecualian atau
penyimpangan-penyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang sifatnya umum
diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan
atau konstruksi dengan member ciri-ciri.
Sebagai contoh penyempitan hukum adalah
pengertian “perbuatan melawan hukum” yang tercantum dalam pasal 1365 BW yang
cakupan maknanya luas apakah yang dimaksud dengan hukum itu sendiri? akibatnya
ruang lingkupnya dipersempit menjadi apa yang kita jumpai dalam yurisprudensi
putusan HR 31 Januari 1919 kasus Lindenbaum vs Cohen yaitu perbuatan
melawan hukum dipersempit menjadi perbuatan melawan undang-undang dan
kepatutan.
2. Aliran
Penemuan Hukum Dalam Putusan
Untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan tiap aliran
akan disajikan dengan model pemaparan dengan table, untuk mempermudah pemahaman
mengenai masing-masing aliran.[5]
Aliran
Hukum
|
Latar
Belakang Sejarah
|
Sumber
Hukum yang diakui
|
Asal
Hukum yang Berlaku
|
Legisme
|
Reaksi
atas ketidak-pastian hukum kebiasaan pada abad 19 di Eropa, sehingga
dilakukan penyeragaman hukum melalui kodifikasi
|
Hanya
undang-undang
|
Hukum
yang berlaku adalah hukum dari kehendak penguasa tertinggi
|
Mahzab
Historis
|
Kritik
atas kekosongan aturan dan ketidak-jelasan undang-undang (legisme) pada abad
20 oleh Von Savigny
|
Hukum
kebiasaan atau hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law), selain dari undang-undang sebagai bentuk
kodifikasi hukum
|
Hukum
yang berasal dari jiwa bangsa (volkgeist)
– hukum ang hidup dalam masyarakat
|
Begriffsjurisprudence
|
Kritik
atas undang-undang yang tidak mampu mengikuti perkembangan, sehingga
diperlukan peranan Yurisprudensi (oleh Rudolf Von Jhering)
|
Undang-undang,
hukum kebiasaan dan yurisprudensi sebagai titik tekan utama pandangan ini
(namun bersifat tertutup)
|
Hukum
dilihat sebagai sistem yang tertutup ynag mencakup segala-galanya dan
mengatur semua perbuatan sosial dan bersifat ilmiah
|
Interresenjurisprudence
|
Reaksi
atas Begriffsjurisprudence – dimana
hukum merupakan friksi kepentingan
|
UU,
kebiasaan dan yurispredensi sebagai titik tekan, dimana hakim dalam memutus
tidak boleh hanya mendasar pada panafsiran UU yang formal-logis semata, akan
tetapi karena hukum sebagai friksi kepentingan, hakim dalam memutus harus
berdasarkan pada tujuannya.
|
Hukum
adalah pertentangan kepentingan dimana segala peraturan (termasuk UU) dibuat
memiliki tujuan tertentu, yaitu satu pilihan atas beberapa kepentingan
lainnya.
|
Freirechtbewegung
|
Reaksi
atas legisme di Jerman oleh Kantorowich (1877-1940)
|
UU,
Kebiasaan, yurisprudensi sebagai titik tekan, dimana subyektifitas hakim
sangat menonjol dalam aliran ini, karena menurut aliran ini bahwa hakim dapat
melakukan Penemuan Hukum Bebas, yaitu penemuan hukum yang bisa menyimpangi UU
dengan mengikuti perkembangan zaman.
|
Hukum
merupakan gerak perkambangan zaman, sehingga subyektifitas hakim dalam
memutus perkara dengan melihat perkembangan zaman sangat penting selain UU
itu sendiri.
|
Penemuan
Hukum Modern
|
Kritik
atas hakim sebagai corong UU semata (Komen- 1988)
|
UU,
kebiasaan, dan yurisprudensi sebagai titik tekan, dimana titik tekannya
adalah masalah penyelesaian problem kemasyarakatan, bukan problem
perundang-undangan semata. Sehingga hakim harus mampu menjadi menafsirkan
suatu permasalahan untuk penyelesaian (biasanya digunakan metode teleologis)
|
Hukum
adalah untuk kepentigan manusia, sehingga dalam setiap aspek penegakan hukum
harus didasrkan pada untuk penyelesaian problem kemanusiaan, termasuk hakim dalam
memutus harus mampu menimbang-nimbang setiap hal yang mendasari suatu
perkara, dan demi kepentingan masyarakat.
|
Ditinjau dari putusan hakimnya, menurut Jose M. Monteiro
bahwa
putusan hakim dipengaruhi oleh dua (2) aliran yang berkaitan dengan perspektif
hakim itu sendiri. Aliran ini mungkin bisa dkatakan penyederhanaan dari pada
beragamnya aliran-aliran dalam penemuan hukum. Aliran tersebut adalah aliran
konservatif dan aliran progresif. Yang pertama disebutkan memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
a. Aliran
konservatif adalah keputusan hakim yang
didasakan semata-mata ada ketentuan tertulis (peraturan
perundang-undangan). Legisme yaitu aliran dalam ilmu hukum dan peradilan yang tidak mengakui hukum
diluar yang tertulis/undang-undang. Menurut aliran ini hukum identic dengan
undang-undang, sedangkan kebiasaan dan ilmu pengetahua hukum lainnya, dapat
diakui sebagai hukum, apabila undang-undang menunjuknya.
b. Selanjutnya
aliran ini menyatakan bahwa undang-undang (kodifikasi), justru diadakan untuk
membatas hakim, yang karena kebebasannya telah menjurus kearah
kesewenang-wenangan atau tirani.
c. Berdasarkan
hal tersebut maka hakim dalam menjatuhkan putusannya harus mengikuti apa yang
tertulis dalam hukum (lex dura tamesti
suntscripta), biarpun in concreto menurut
rasa keadilan masyarakat, putusan hakim tersebut dinilai merupakan suatu
ketidakadilan.[6]
Aliran yang kedua adalah aliran progresif, dimana
putusan hakim ini tidak didasarkan semata-mata hanya pada ketentuan hukum
tertulis, tetapi hakim harus pula mendasrkan pada pengetahuan dan pengalaman
empiris yang dialaminya.
Kemudian tentang aliran ini oleh sarjana hukum yang
berbada, dikategorikan juga berbeda pula. Yaitu oleh Pontang Moerad yang
mengklasifikasikan aliran dalam penemuan hukum menjadi tiga (3) jenis. Yaitu
aliran Legisme dan Positivisme Hukum, Aliran Freie Rechtbewegung, dan Aliran
Rechvinding.[7]
Untuk aliran yang pertama dan kedua secara konsepsinya dan penjelasannya kurang
lebih sama dengan konsepsi yang telah dijelaskan dalam pembagian aliran menurut
Soedikno Mertokusumo. Sedangkan untuk aliran ketiga, yaitu aliran Rechtvinding adalah sebagai aliran
tengah antara Legisme dan Freie Rechtbewegung dimana aliran ini
memposisikan hakim tidak terikat begitu ketat layaknya dalam pandangan Legisme, hakim tetap mempunyai
kebebasannya dalam pertimbangan dan putusannya. Akan tetapi kebebasannya ini
juga tidak sebebas tanpa terikat selayaknya dalam aliran Freie Rechtbewegung, hakim tetap terikat pada aturan yang ada dan
punya sisi kebebasan atas subyektifitas hakim itu sendiri. Sehingga seringkali
aliran ini disebut-sebut memposisikan hakim dengan “kebebasan yang terikat” (Gebonded-vrijheid) atau “keterikatan
yang bebas” (vrij-gebonheid). Dalam
aliran ini dari penjelasan tersebut, maka posisi hakim adalah sebagai pembentuk
hukum dalam upaya pembentukan hukum (Rechtvinding)
nyang artinya menyeleraskan undang-undang dengan tuntan zaman. Ketika terjadi
kekosongan hukum, maka hakim adalah sebagai pembentuk hukum dalam upaya
pembentukan hukum (Rechtvinding).[8]
3. Putusan
Hakim Dalam Perspektif Penemuan Hukum Yang Berdasar Pada Sistem Hukum Nasional
Latar belakang penjajahan Belanda terhadap bangsa
Indonesia secara sejarahnya telah melekatkan padangan bahwa Indonesia secara
tradisi hukumnya menganut paham civil law
(selain karena adanya asas konkordansi).
Dimana lebih mengutamakan kedudukan hukum tertulis (peraturan
perundang-undangan) sebagai landasan dalam menerapkan hukum didalam masyarakat.
Pada akhirnya secara konsepsi kaitannya dengan penemuan hukum, maka kedudukan
hakim sebagai salah satu fungsionaris yang melakukan penemuan hukum akan
terikat dengan keberadaan hukum tertulis (peraturan perundang-undangan). Namun
pada kenyataannya kelemahan hukum tertulis (peraturan perundang-undangan)
selalu tidak fleksibel dan tidak dinamis dalam menghadapi perkembangan
masyarakat, pada akhirnya peran penemuan hukum dalam masyarakat yang menganut
tradisi civil law sekalipun seperti
Indonesia akan sangat dibutuhkan, agar tidak terjadi kekosongan hukum yang pada
arasnya akan berujung pada kebangkrutan keadilan (bankrupty of juctice).[9] Secara
sejarah bahwa penemuan hukum adalah bentuk protes atas pandangan legisme yang
memandang bahwa hakim hanya sebatas corong undang-undang (ius curia novit). Landasan teoritis yang kedua adalah bahwa hakim
sebagai seorang pemutus perkara dalam asasnya tidak boleh menolak suatu perkara
dengan alasan tidak ada dasar hukumnya (terjadi kekosongan hukum atau hukumnya
tidak jelas), sehingga menjadi wajib dalam penerapan hukum baik oleh hakim
maupun fungsionaris hukum lainnya ketika terjadi kekosongan hukum atau dasar
hukum yang tidak jelas maka disitulah terjadi penemuan hukum. Secara teoritis
berarti elemen atau dasar penemuan hukum terjadi karena:
1. Hakim
bukan sebagai corong undang-undang, sehingga hakim harus bisa memutuskan
perkara tidak hanya berdasarkan pada undang-undang atau hukum tertulis
(legisme).
2. Asas
hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak adanya dasar
hukumnya (kekosongan hukum atau hukumnya tidak jelas).
Dasar berlakunya dan serta kedudukan penemuan hukum
dalam hukum positif di Indonesia tentu tidak bisa dilepaskan tentang pengakuan
bangsa Indonesia mengenai eksistensi hukum adat (kebiasaan) yang sudah sejak
lama hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Dasar ini merujuk pada
aturan yang ada dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945.
“Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.”
Kemudian dari aturan yang memberikan ruang bagi
eksistensi hukum adat, kemudian posisi
hakim sebagai tonggak dalam penemuan hukum diberikan ruang dan kewenangan untuk
melakukan penemuan hukum berdasarkan pada kewenangannya diatur dalam undang-undang.
Dalam bukum Penemuan Hukum oleh
Sudikno Mertokusumo. Jika diringkas maka dasar penemuan hukum secara positif
oleh Sudikno mertokusumo adalah:[10]
a. Pasal
1 UU No. 4 Tahun 2004 bahwa kekuasaan hakim adalah kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum RI. Pasal ini adalah landasan
“kebebasan” hakim untuk melakukan penemuan hukum.
b. Pasal
5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, bahwa hakim harus mengadili menurut hukum
dengan tidak membedakan orang. Pasal ini menetukan hakim tidak boleh keluar
dari sistem hukum sehingga harus menemukan hukumnya.
c. Pasal
16 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas.
d. Pasal
28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat.
Namun kebebasan hakim ini bukan berarti tanpa ada
batasan, kaitan dengan penemuan hukum hakim dalam menemukan huku demi mencapai
keadilan dalam sistem hukum nasional Indonesia, hakim tetap harus mengacu pada
konsep-konsep dasar yang dijadikan landasan atau prinsip dalam penemuan hukum.
Dalam Asep Dedi Suwasta, prinsip tersebut antara lain:[11]
a. Prinsip
objektifitas, penafsiran hendaknya berdasarkan pada arti secara literal dari
aturan hukum dan berdasarkan hakekat dari aturan hukum tersebut harus dibuat
sejelas mungkin untuk perkembangan selanjutnya.
b. Prinsip
kesatuan, setiap norma harus dibaca dengan teks dan tidak secara terpisah.
Bagian harus berasl dari keseluruhan dan keseluruhan harus berasal dari bagiannya.
c. Prinsip
penafsiran genetis, selama melakukan penafsiran terhadap teks, keberadaan teks
asli harus dijadikan pertimbangan, terutama dalam aspek objektifitas, tata
bahasa, budaya dan kondisi sosial dari pembentukan hukum tersebut dan terutama
dari pembuatn hukum tersebut.
d. Prinsip
perbandingan, prinsip ini adalah prinsip untuk membandingkan suatu teks hukum
dengan teks hukum lainnya menyangkut hal yang sama disuatu waktu.
B.
Perbuatan
Melawan Hukum dalam UU dan Sejarah Penafsiran Atasnya
Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige
daad) dalam konteks perdata diatur dalam Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (“BW”),
dalam Buku III BW, pada bagian “Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan
demi Undang-Undang”, yang berbunyi:
“Tiap
perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut.”
Menurut Rosa Agustina, dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum,
terbitan Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia (2003), hal. 117, dalam
menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan
4 syarat:[12]
1. Bertentangan
dengan kewajiban hukum si pelaku
2. Bertentangan
dengan hak subjektif orang lain
3. Bertentangan
dengan kesusilaan
4. Bertentangan
dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.
Pada sejarah peradilan di Indonesia,
pasal mengenai Perbuatan Melawan Hukum dalam konteks perdata yang diatur dalam
Pasal 1365 KUHPerdata memang memiliki kecenderungan multitafsir atau terdapat
ketidak jelasan maksud dari bunyi pasal tersebut. Sehingga kaitannya dengan
penemuan hukum oleh hakim, kedudukan Pasal tersebut menjadi pasal yang paling
banyak mendapatkan tafsiran oleh hakim kaitannya dengan kategorisasi apakah
suatu perbuatan termasuk kedalam Perbuatan Melawan Hukum atau bukan. Sehingga
pada sejarahnya banyak tafsiran oleh hakim terkait dengan pasal tersebut yang
mengguncang dunia hukum karena dianggap sebagai tindakan yang luar biasa
ditengah-tengah bobroknya sistem peradilan yang mendapat banyak kritik pedas
dari semua kalangan. Putusan-putusan tersebut
dianggap sebagai angin segar sekaligus sebagai sisi lain hukum di Indonesia
yang dinilai terlalu kejam bagi rakyat “jelata” dan begitu mengayomi
kalangan-kalangan bermartabat.
Dari paparan tersebut bisa dilihat
bagaimana begitu pentingnya peran dari penemuan hukum oleh hakim dalam sistem
hukum nasional dalam rangka mencapai keadilan bagi semua kalangan demi
terciptanya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Contoh kasus-kasus tersebut adalah Putusan
Mahkamah Agung No. 3191 K/Pdt/1984 tentang mengingkari janji mengawini atau
janji nikah yang dihukum sebagai Perbuatan Melawan Hukum. Dan yang dalam
makalah ini akan dibahas juga adalah Putusan
MA Nomor 3277 K/Pdt/2000 untuk
kasus yang sama dengan para pihak yang berbeda.
C.
Analisi
Pertimbangan Hakim dalam Putusan MA Nomor 3277
K/Pdt/2000
“Bahwa menurut kaidah hukum dalam
Yurisprudensi Mahkamah Agung melalui putusan Mahkamah Agung No. 3191 K/Pdt/1984
tanggal 8 Februari 1986, perbuatan Tergugat Asli yang tidak memenuhi perjanjian
untuk melangsungkan perkawinan dikualifikasikan sebagai pelanggaran norma
kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat, sekaligus merupakan perbuatan
melawan hukum, sehingga merugikan
Penggugat Asli. Lebih-lebih Tergugal Asli adalah seorang guru, yang dengan
demikian perbuatan Tergugat Asli amat tidak pantas dilakukan.”
Demikianlah
pertimbangan hakim dalam putusan Putusan
MA Nomor 3277 K/Pdt/2000, yang akan menjadi fokus kajian dalam makalah
penemuan hukum ini. Aspek yang akan dikaji adalah berkaitan dengan bagaimana
kedudukan putusan tersebut yang berkaitan dengan mengingkari janji kawin dalam
perspektif aliran, metode penemuan hukum serta bagaimanakah kaitannya dengan
perspektif penemuan hukum dalam sistem hukum nasional.
Pengkajian akan dimulai dari mengkonsepsikan janji
kawin ini dalam perspektif hukum nasional untuk melihat dan menjawab
pertanyaan, apakah putusan tersebut
dikatakan sebagai penemuan hukum?
1. Tentang
Janji Kawin
Janji kawin, terminology ini bukanlah perjanjian
kawin sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, janji kawin disini adalah konsepsi dimana ada janji untuk menikahi
dari salah satu pihak kepada pihak lain dengan mana ketika tidak dipenuhi janji
tersebut terjadi kerugian baik materiil maupun non-materiil dipihak kedua. Konsepsi
tersebut sebenarnya adalah konsepsi yang ada pasca putusan Mahkamah Agung No.
3191 K/Pdt/1984.
Lantas, bagaimanakah
kedudukan janji kawin tersebut dalam hukum nasional? Dan apakah dapat dituntut
atas pengingkarannya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka akan dibahas
mengenai konsepsi janji kawin dalam sistem hukum nasional. Secara ketentuannya
dalam hukum nasional mengatur mengenai janji kawin tersebut dalam KUH Perdata,
sedangkan dalam UU Perkawinan tidak ada satu pasal-pun yang mengatur mengenai
janji kawin ini. Dalam KUH Perdata Pasal 58 menyebutkan bahwa:
“Janji-janji
kawin tidak menimbulkan hak guna menuntut dimuka hakim akan berlangsungnya
perkawinan, pun tidak guna menuntut penggantian biaya, dan bunga akibat
kecederaan yang dilakukan terhadapnya;
segala persetujuan ganti rugi dalam hal ini adalah batal.”
Demikianlah bunyi pasal 58 KUHPerdata yang secara
tegas menyatakan bahwa janji kawin tidak dapat dituntukan atas pengingkarannya.
Tentu menurut pasal tersebut kesepakatan yang muncul dalam janji kawin antara
dua sejoli tidaklah menjadi pacta sunt
servanda bagi para pihak. Sehingga menjadi jelas bahwa janji kawin tidak
dapat dituntutkan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 KUH
Perdata.
Lantas bagaimanakah ketika nyata-nyata terjadi
kerugian oleh pihak yang dijanjika kawin? Kerugiannya tidak hanya materiil,
akan tetapi non-materiil yaitu hilang keperawanan atau bahkan hamil oleh pihak
pertama? Bukankah nyata timbul kerugian yang bahkan berkaitan dengan kesusilaan
dan kesopanan dalam masyarakat Indonesia?
Nah itulah yang menjadi titik sentral dari putusan Mahkamah Agung No. 3191 K/Pdt/1984 dan Putusan MA Nomor 3277 K/Pdt/2000,
dimana janji kawin yang dimaksud
dikaitkan dengan Perbuatan Melawan Hukum yang dimaksud dalam 1365 KUHPerdata.
Disitulah aspek penemuan hukumnya, dimana hakim dengan interpretasinya berhasil
mengkategorikan pengingkaran janji kawin yang menimbulkan kerugian bagi pihak
lain adalah Perbuatan Melawan Hukum. Suatu putusan yang memberikan kejelasan
manakala terjadi kerugian atas janji kawin tersebut. Kepastian hukum yang ada
dalam Pasal 58 KUH Perdata dinyatakan tidak memberikan jawaban atas suatu fakta
bahwa terdapat kerugian atasnya.
Pertimbangan hakim yang
menyatakan “Bahwa menurut
kaidah hukum dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung melalui putusan Mahkamah Agung
No. 3191 K/Pdt/1984 tanggal 8 Februari 1986, perbuatan Tergugat Asli yang tidak
memenuhi perjanjian untuk melangsungkan perkawinan dikualifikasikan sebagai
pelanggaran norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat, sekaligus
merupakan perbuatan melawan hukum,
sehingga merugikan Penggugat Asli. Lebih-lebih Tergugal Asli adalah seorang
guru, yang dengan demikian perbuatan Tergugat Asli amat tidak pantas
dilakukan.” Memberikan gambaran pada kita bahwa
hakim telah memberikan makna yang baik dengan mengkategorikan janji kawin yang
melanggar kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat adalah suatu Perbuatan
Melawan Hukum. Tentu hal ini adalah suatu hal baru (dimana sebelumnya tidak
pernah janji kawin dikaitkan dengan Perbuatan Melawan Hukum).
Untuk memberikan pemahanaman yang baik tentu akan dipaparkan
makna Perbuatan Melawan Hukum dalam 1365 KUH Perdata sebagaimana dijelaskan
diatas. Bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.” Makna
dari pasal tersebut tentu tidak begitu jelas, apalagi jika dikaitkan dengan
janji kawin yng secara konsep keperdataan telah diatur dalam pasal 58 KUH
Perdata dan dinyatakan tidak dapat dimintakan kerugian. Namun Perbuatan Melawan
Hukum oleh Hakim dalam putusan Putusan
MA Nomor 3277 K/Pdt/2000 termasuk janji kawin yang melanggar ketentuan
kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat.
Kemudian setelah terjawab petanyaan apakah putusan tersebut
merupakan penemuan hukum? Selanjutnya
adalah metode apakah yang digunakan? Dan masuk dalam aliran manakah putusan
tersebut dalam penemuan hukum?
2. Aliran
dan Metode Penemuan Hukum dalam Putusan
Metode Penemuan Hukumnya
Metode penemuan hukum sebagaimana telah dipaparkan
diatas terdiri dari dua jenis, jenis yang pertama adalah interpretasi dengan
banyak macamnya, serta jenis yang kedua adalah jenis konstruksi hukum atau
argumentum.
Tentu untuk melakukan klasifikasi dalam jenis mana
putusan MA Nomor 3277 K/Pdt/2000 maka perlu melakukan analisa, apakah pertimbangan
dalam putusan tersebut adalah bentuk atas konstruksi hukum atau interpretasi
hukum.
“Bahwa menurut
kaidah hukum dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung melalui putusan Mahkamah Agung
No. 3191 K/Pdt/1984 tanggal 8 Februari 1986, perbuatan Tergugat Asli yang tidak
memenuhi perjanjian untuk melangsungkan perkawinan dikualifikasikan sebagai
pelanggaran norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat, sekaligus
merupakan perbuatan melawan hukum,
sehingga merugikan Penggugat Asli. Lebih-lebih Tergugal Asli adalah seorang
guru, yang dengan demikian perbuatan Tergugat Asli amat tidak pantas
dilakukan.”
Dalam pertimbangan, majelis hakim menetapkan
bahwasanya tindakan dari tergugat yang mengingkari janjinya mengawini tergugat
dan muncul kerugian materiil dan immaterial adalah sebagai Perbuatan Melawan
Hukum. Jelas-jelas dalam KUHPerdata Pasal 58 disebutkan bahwa janji kawin tidak
dapat dituntutkan kerugian. Namun hakim mengacu pada makna luas dari pasal
Perbuatan Melawan Hukum yang diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata. Makna yang
luas adalah bahwa Perbuatan Melawan Hukum termasuk mengingkari janji kawin yang
menimbulkan kerugian. Artinya ada perluasan penafsiran disatu sisi atau yang
kita kenal dengan metode penafsiran/interpretasi ekstensif. Disisi lain hakim
juga mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam
masyarakat, kepatutan dan kesusilaan masyarakat. Pertimbangan ini bahkan
menyampingkan aturan mengenai janji kawin yang tidak dapat dimintakan ganti rugi
sebagaimana dalam pasal 58 KUH Perdata. Artinya bahwa hakim melakukan upaya
untuk memberikan ruang terhadap nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sebagai
hukum yang berlaku pula dalam masyarakat. Itu artinya pula hakim menggunakan
metode penemuan hukum interpretasi teleologis/sosiologis, dimana makna
undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Makna Perbuatan
Melawan Hukum termasuk didalamnya adalah menjanjikan kawin dan mengingkarinya
sehingga olehnya timbul kerugian materiil dan immaterial yang bertentangan
dengan kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat.
Aliran Penemuan Hukumnya
Dari pertimbangan putusan, kemudian mengenai
prioritas dasar berpikir hakim dapat dikemukakan beberapa aspke mengenai
putusan majelis hakim, yaitu:
a. Hakim
lebih mengedepankan menggunakan yurisprudensi yang memiliki nilai keadilan
daripada Pasal 58 KUH Perdata (aturan tertulis)
b. Hakim
lebih mengedepankan menggunakan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
mengenai kepatutan dan kesusilaan masyarakat sebagai sumber hukum yang nyata
bagi masyarakat dan yang memiliki nilai keadilan daripada Pasal 58 KUH Perdata
(aturan tertulis)
c. Hakim
melihat aspek keadilan masyarakat sebagai prioritass ketimbang kepastian hukum
yang tidak mencerminkan keadilan dan membawa kerugian yang nyata dan bahkan
bertentangan dengan norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat.
d. Hakim
sangat memperhatikan kepentingan dari penggugat yang nyata dirugikan oleh
perbuatan tergugat mengingkari janji kawin. Hakim jelas mengedepankan bahwa putusan
haru demi kepentingan manusia, bukan semata untuk kepentingan undang-undang.
e. Pertimbangan
hakim tidak undang-undang an sich tetapi
juga melibatkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, kesusilaan dan
kepatatutan dalam masyarakat dalam memutus perkara tersebut.
Aspek-aspek tersebut lah yang pada akhirnya
memberikan landasan majelis hakim memutuskan bahwa janji kawin yang diumbar
tergugat kepada penggugat demi mendapatkan keuntungan materiil dan immaterial
(berhubungan badang dengan penggugat) adalah bertentangan dengan kepatutan dan
kesusilaan dalam unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum dan dapat dimintakan ganti
rugi atasnya.
Jika dibanding dengan aliran-aliran dalam penemuan
hukum, maka aspek-aspek dalam putusan majelis hakim dalam putusan MA Nomor 3277 K/Pdt/2000 memenuhi unsur-unsur dalam aliran Penemuan Hukum
Modern yang memiliki unsur-unsur antara lain:
a. UU,
kebiasaan, dan yurisprudensi sebagai titik tekan, dimana titik tekannya adalah
masalah penyelesaian problem kemasyarakatan, bukan problem perundang-undangan
semata. Sehingga hakim harus mampu menjadi menafsirkan suatu permasalahan untuk
penyelesaian (biasanya digunakan metode teleologis)
b. Putusan
hakim selalu diarahkan untuk menyelesaikan problem kemanusiaan, bahkan jika
putusan tersebut harus bertentangan dengan undang-undang yang tidak mampu
menjawab persoalan kemasyarakatan.
c. Hukum
adalah untuk kepentigan manusia, sehingga dalam setiap aspek penegakan hukum
harus didasrkan pada untuk penyelesaian problem kemanusiaan, termasuk hakim
dalam memutus harus mampu menimbang-nimbang setiap hal yang mendasari suatu
perkara, dan demi kepentingan masyarakat.
d. Undang-undang
bukanlah sesuatu yang penuh dengan kebenaran dan jawaban, yang paling tidak
membutuhkan beberapa penafsiran untuk dapat dilaksanakan dalam situasi konkrit,
tetapi lebih merupakan usulan untuk penyelesaian, suatu pedoman dalam penemuan
hukum, dan dalam kaitan itu masih banyak faktor-faktor penting lainnya yang
dapat digunakan untuk penyelesaian masalah-masalah hukum.
e. Penemuan
hukum harus menimbang-menimbang semua faktor yang mempengaruhi putusan-putusan
akhirnya. Ia harus sadar bahwa putusan dalam arti positif dapat merupakan
preseden untuk banyak hubungan-hubungan diwaktu mendatang. Fungsi hukum adalah
melindungi kepentingan manusia. Dalam penemuan hukum yang problematik
tersistemisasi kepentingan justiciabele (pencari
keadilan) lebih diutamakan.
f.
Pemecahan masalah dengan mendasarkan pada sistem (gesystematiseerd probleemdenken atau berpikir
problemantik tersistemisasi) ini terjadi
melalui beberapa tahap. Pertama hakim meneliti masalah yang diajukan kepadanya
untuk diterjemahkan secara yuridis: apakah hukum dapat membantu memperoleh
pemecahan yang diharapkan? Apabila begitu, maka ditetapkanlah fakta-fakta mana
yang dianggapnya relevan dan peraturan yang dapat digunakan. Telah
diketengahkan di muka bahwa ada hubungan antara peristiwa dan peraturan:
peristiwa menentukan peraturan yang relevan, tetapi peraturannya menentukan
sekaligus fakta mana yang penting. Sudah sejak seleksi dan analisis peristiwa
dan peraturan penyelesaian akhir yang ada di dalam benak hakim memegang
peranan. Apabila bagian pertama penelitian kearah penyelesaian hukum telah
dilakukan maka selanjutnya semua nilai dan kepentingan yang berkaitan yang
memegang peranan dalam masalah dan sampai pada putusan, dimana kita dapat
menyesuaikan maksud pembentuk undang-undang dengan situasi konkrit, dilihat
dari keadaan kemasyarakatan yang aktual.[13]
Dari aspek-aspek putusan majelis hakim dalam putusan
MA Nomor 3277 K/Pdt/2000 dan unsur-unsur dalam aliran Penemuan Hukum Modern
terdapat kesamaan, yang pada intinya bahwa dalam putusan hakim dalam Putusan MA Nomor 3277 K/Pdt/2000 mempunyai kesamaan dengan unsur dalam aliran
Penemuan Hukum Modern. Yang artinya bahwa dalam Putusan MA Nomor 3277 K/Pdt/2000 tentang pengingkaran janji kawin yang menimbulkan
kerugian dan bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat
mendasarkan pada aliran Penemuan Hukum Modern yang bersifat problem solving dan berpihak pada
kepentingan manusia dalam rangka mencari keadilan.
3. Kaitan Putusan Hakim MA
Nomor 3277
K/Pdt/2000 sebagai Penemuan Hukum
dalam Sistem Hukum Nasional
Telah dijelaskan dalam
bab seleumnya mengenai kedudukan penemuan hukum dalam sistem hukum
nasional. Artinya menempatkan posisi
penemuan hukum dalam kerangka sistem hukum nasional. Aspek pembangunan hukum
nasional tentulah menjadi prioritas dalam sistem hukum nasional. Hukum yang
berkeadilan dan mempu memberikan setiap penyelesaian terhadap persoalan
masyarakat adalah sebagaimana dicita-citakan dan dituangkan dalam Pancasila dan
UUD 1945. Sila-sila dalam Pancasila menjadi suatu hal perlu dan wajib diimplementasikan
dalam setiap butir pasal dalam perundang-undangan untuk mewujudkan hukum yang
pancasilais.
Ada dua aspek yang
perlu diperhatikan kaitannya dengan hubungan Putusan hakim dalam Putusan MA Nomor 3277 K/Pdt/2000,
yang pertama adalah landasan hukum
dari putusan hakim tersebut. Tentu sekalipun sebagai penemuan hukum, tidak
boleh begitu saja menabrak ketentuan perundang-undangan yang telah diciptakan
sebagai sebuah sistem demi tercapainya hukum nasional yang berkeadilan. Aspek
yang pertama ini jelas bahwa dalam Putusan MA
Nomor 3277
K/Pdt/2000 mendasarkan pada setiap
kewenangan hakim yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, serta
kewenangan hakim untuk menemukan hukum manakala terjadi ketidak-jelasan aturan
dan berpotensi membawa ketidak-adilan. Yaitu mendasarkan pada:
a. Pasal
1 UU No. 4 Tahun 2004 bahwa kekuasaan hakim adalah kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum RI. Pasal ini adalah landasan
“kebebasan” hakim untuk melakukan penemuan hukum.
b. Pasal
5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, bahwa hakim harus mengadili menurut hukum
dengan tidak membedakan orang. Pasal ini menetukan hakim tidak boleh keluar
dari sistem hukum sehingga harus menemukan hukumnya.
c. Pasal
16 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas.
d. Pasal
28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat.
Aspek yang kedua adalah aspek putusan hakim sebagai
penemuan hukum yang sekaligus juga sebagai yurisprudensi yang akan membuka
peluang makin terbukanya makna keadilan dalam sistem hukum nasional.
Yurisprudensi ini akan menjadi preseden bagi setiap hakim dalam memutus
persoalan yang sama yang pada saat dijatuhkan putusan ini belom memiliki
kejelasan aturan dan tidak ada keberpihakan pada sisi keadilan dan kemanusiaan.
Sebagaimana tujuan daripada aliran Penemuan Hukum
Modern yang berpendirian bahwa atas satu pertanyaan hukum dapat dipertahankan
pelbagai jawaban dalam sistem yang sama. Penemuan hukum harus
menimbang-menimbang semua faktor yang mempengaruhi putusan-putusan akhirnya. Ia
harus sadar bahwa putusan dalam arti positif dapat merupakan preseden untuk
banyak hubungan-hubungan diwaktu mendatang. Fungsi hukum adalah melindungi
kepentingan manusia. Dalam penemuan hukum yang problematik tersistemisasi
kepentingan justiciabele (pencari keadilan) lebih diutamakan. Maka
kedudukan putusan hakim dalam Putusan MA Nomor 3277 K/Pdt/2000 dimasa mendatang memiliki peranan yang sama
pentingnya. Akan menjadi preseden bagi setiap permasalahan yang sama yang tentu
membutuhkan keadilan dan penyelesaian problem kemanusiaan dalam hal ini adalah
pelanggaran atas kepatutan dan kesusilaan.
[1] Sudikno
Mertukusumo, A Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan
Hukum, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1993. Hlm 4-5
[2] Ibid.,
Hlm. 1
[3]
Bandingkan dengan Sudikno Mertukusumo, A Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1993 Hlm. 4
[4] E Utrecht, Hukum Pidana I, Universitas Padjadjaran Bandung, 1958. Hlm. 201
[5] Table
dikutip dari pandangan Sudikno Mertokusumo dalam Ibid., hal. 94-109
[6] Jose M.
Monteiro, Putusan Hakim dalam Penegakan
Hukum di Indonesia, Jurnal Hukum Pro Justitia, April 2007, Volume 25 Nomor
2, hal. 133.
[7] Pontang
Moerad, 2012, Pembentukan Hukum Melalui
Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana, Edisi Pertama Cetakan Kedua,
Bandung: P.T. Aumni, hal. 118-127
[8] Loc. Cit.
[9] Asep Dedi
Suwasta, 2012, Tafsir Hukum Positif
Indonesia, Cetakan Pertama, Bandung: Alia Publising, hal 40.
[10] Sudikno
Mertokusumo, 2009, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, cet. Ke-6, Yogyakarta: Liberty,
hal. 46-47
[11]
Asep Dedi Suwasta, Op. Cit., hal. 44
[13]
https://logikahukum.wordpress.com/tag/penemuan-hukum-modern/,
diakses pada 2 November 2017
Komentar
Posting Komentar