Oleh:
Adhi Bangkit
Saputra
Divisi Non Litigasi LBH SIKAP Banyumas
Prolog: Kronologi Izin
Memasuki tahun
2010 areal gunung slamet ditetapkan sebagai wilayah kerja pertambangan
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB). Luasannya 24.660 Hektare mencakup 90% kawasan hutan lindung meliputi
wilayah Baturraden,
Kabupaten Banyumas. Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kabupaten Purbalingga,
dan Kabupaten Pemalang, Provinsi Jawa Tengah. Landasannya diatur dalam SK Menteri ESDM No. 1557 K/30/MEM/2010.
Pada 11
April
2011 PT. Sejahtera Alam Energi (PT. SAE) diberikan Izin Usaha Pertambangan
(IUP) Panas Bumi berdasarkan SK Gubernur Jawa Tengah No. 541.1/27/2011. Setelah keluarnya IUP, tahap eksplorasi untuk membangun
landasan sumur, jalan, pembukaan lahan untuk pemasangan pipa, area dispossal,
embung, dan bangunan sementara
dilakukan selama 3 tahun dan diperpanjang 1 tahun selama 2 kali berdasarkan
Surat Rekomendasi Gubernur Jawa Tengah No. 541.1/004341 Tahun 2014. Jadi tahap eksplorasi berlangsung 5 tahun dan seharusnya
habis jangka waktu pada 11 April 2016 sebagaimana diatur dalam
Pasal
22 ayat 1 huruf (a) UU No. 27/2003 tentang Panas Bumi.
Habisnya jangka
waktu eksplorasi tidak menyurutkan berjalannya proyek PLTPB yang ambisius
bernilai 7 Trilliun. Setelah berlakunya UU No. 21/2014 tentang Panas Bumi (menggantikan UU No. 27/2003) terdapat penyesuaian izin. Izinnya bukan lagi IUP yang
dikeluarkan oleh Gubernur, melainkan Izin Panas Bumi (IPB) yang kewenangannya oleh menteri
ESDM sehingga PT. SAE mendapat izin lewat Keputusan Menteri ESDM No. 4577k/30/MEM/2015.
Perpanjangan
Jangka Waktu Eksplorasi
Pasal 31 ayat (1) UU No. 21/2014 memberikan jangka waktu eksplorasi lebih lama yakni 7
tahun, 5 tahun setelah izin
diterbitkan ditambah 1 tahun perpanjangan selama 2 kali. Perlu menjadi catatan, bahwa adanya perubahan UU Panas
Bumi merupakan penyesuaian izin, artinya IUP dipersamakan dengan IPB. Oleh
karenanya total hitungan jangka waktu seharusnya tetap maksimal 7 tahun, dihitung
sejak eksplorasi awal dilakukan yakni 11 April 2011 (setelah IUP diterbitkan)
dan berakhir 11 April 2018.
Saat ini tahap
eksplorasi belum juga selesai karena masih dilakukan uji
coba pengeboran sejak
tanggal 15 Desember 2017. Uji coba pengeboran tersebut dilakukan di dua titik (wallpad H & F) dengan luas
masing-masing 1,5 hektar. Menteri
ESDM kembali memperpanjang waktu eksplorasi selama 26 bulan (TAMBANG.co.id, 28
Maret 2018. Pemerintah Perpanjang Izin
Eksplorasi WKP Baturraden 26 Bulan). Perpanjangan ini tentunya melanggar aturan
UU No. 21/2014 tentang Panas Bumi. Seharusnya PT. SAE tidak lagi mempunyai hak
melakukan eksplorasi karena sudah terhitung 7 tahun.
Kebijakan Menteri
ESDM memberikan hak eksplorasi kepada PT. SAE tentu bertentangan dengan
Undang-Undang dan dapat dikatakan ilegal atau melawan hukum. Menteri ESDM
sebagai pejabat publik seharusnya tunduk pada Asas-Asas Umum Pemerintahan yang
Baik (AAUPB) dalam mengambil kebijakan, salah satunya asas kepastian hukum sebagaimana
diatur dalam Pasal 3 angka 1 UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas KKN. Menteri ESDM justru melanggar Asas kepastian hukum karena
tidak mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan
keadilan dalam kebijakan Penyelenggara Negara. Hal ini merupakan tindakan
maladministrasi, bahkan abuse of power/sewenang-wenang.
Dampak
Eksplorasi PLTPB dan Jalan Keluarnya
Fakta empiris
membuktikan, eksplorasi yang dilakukan PT. SAE menimbulkan kerugian di tengah masyarakat.
Sejak eksplorasi dilakukan, dampak yang timbul antara lain keruhnya air sejak
November 2016 hingga saat ini di beberapa bantaran sungai di daerah banyumas
termasuk objek wisata curug cipendok.
Dampak lainnya ialah jalan yang rusak di daerah kab. Brebes akibat keluar masuk kendaraan
yang mengangkut alat berat, serta
mata
air yang rusak, ditambah lagi defragmentasi
habitat karena pembabatan hutan lindung yang berujung pada perusakan tanaman
produksi kaum tani oleh satwa seperti babi hutan dan lutung, serta kerugian yang dialami pengrajin tahu. Bahkan, kerugian peternak ikan (346 orang) di Desa Panembangan Kecamatan Cilongok
mencapai 5 Ton ikan atau setara 1,5 Milyar (Hasil Investigasi LBH SIKAP
Banyumas).
Kerugian yang
timbul akibat berlangsungnya proyek PLTPB seharusnya menjadi tanggungjawab bersama
antara Pemda banyumas, Pemda Jawa Tengah, pemerintah pusat, dan sekaligus
perusahaan (PT. SAE). Pemda banyumas dan Pemda Jateng justru cenderung abai
terhadap kerugian yang dialami masyarakat, padahal terdapat tanggungjawab
berupa Pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan panas bumi sebagaimana
diatur Pasal 8 huruf c dan Pasal 7 huruf c UU No. 21/2014 Tentang Panas Bumi
sekaligus tanggungjawab Pemda dalam Pasal 65 ayat (2) huruf d UU No. 23/2014
Tentang Pemda yang memberi kewenangan Pemda untuk mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat
dibutuhkan oleh Daerah dan/atau masyarakat.
Saat
ini masyarakat banyumas dalam keadaan mendesak karena lebih dari 2 tahun hidup
tanpa air bersih, terenggut mata pencahariannya, dan terancam bencana. Jika
pemerintah daerah masih saja kolot
menghadapi persoalan PLTPB dengan alasan tidak memiliki wewenang, bahkan Pasal
90 UU No. 32/1999 tentang PPLH memberi wewenang Pemerintah daerah yang
bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup untuk mengajukan gugatan ganti rugi
dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian
lingkungan hidup.
Kesewenang-weanangan
Pemerintah pusat dan Abainya pemerintah daerah terhadap proyek PLTPB yang
ilegal dan merusak lingkungan serta kehidupan masyarakat bukan hanya menjadi bukti
pelanggaran hukum, pelanggaran hak, atau pelanggaran lingkungan. Melainkan
bukti atas sikap pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat dan justru
berpangku tangan dengan PT. SAE. Jika hal ini yang terus terjadi, maka
masyarakat sendiri yang perlu mengorganisir diri dan memperkuat perjuangan
merebut hak-hak nya serta memperbaiki penghidupan. Upaya memperjuangkan hak
dapat dilakukan melalui advokasi massal dan kampanye besar-besaran seperti
melakukan Public hearing atau
Audiensi dengan pihak PT. SAE, DPRD dan Pemerintah Eksekutif, melakukan
pengaduan ke Komnas HAM, Ombudsman RI, atau upaya litigasi (PTUN, Perdata, Pidana Lingkungan) dan lain sebagainya.
Semua upaya tersebut dapat dilakukan dengan partisipasi
masyarakat yang luas baik di desa-desa, kampus maupun perkotaan.
Mantap bung, sudah saat nya olugarki yang menguasai negara dihukum dengan mosi tidak percaya.
BalasHapus