PENAFSIRAN SISTEMATIS TERHADAP KONSEP “SETIAP ANAK” BERHAK UNTUK MENGETAHUI ORANG TUANYA DALAM PASAL 1 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
oleh:
Cipto Prayitno
email: bukitshimla@gmail.com
I.
Pendahuluan
Anak
dalam pengertian manusia dapat disamakan dengan keturunan manusia. Jika dalam
konteks yang lebih luas, anak adalah mahluk hidup yang diberikan Tuhan
kepada manusia melalui hasil pernikahan guna meneruskan kehidupan selanjutnya[1].
Selanjutnya pengertian anak dalam penjelasan umum Undang-undang No. 23 Tahun
2002 Tentang perlindungan anak, yang selanjutnya ditulis UU No. 23 Tahun 2002 adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang
senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan
hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.
Dibentuknya
suatu Undang-Undang pastilah ada maksud dan tujuan tertentu. Sama halnya dengan
diundangkannya UU No. 23 Tahun 2002 yang dimana atas dasar pertimbangan bahwa
perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan
pembangunan nasional, khususnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara[2],
maka pada tanggal 22 Oktober 2002 UU No. 23 Tahun 2002 disahkan[3].
Menurut
Soedikno Mertokusumo[4], bahwa
hukum pada dasarnya mengatur hubungan hukum, dimana hubungan hukum itu sendiri
terdri dari ikatan-ikatan yang didalamnya ada hak dan kewajiban. Dimana setiap
individu punya kedua unsur tersebut yaitu hak dan kewajiban. Pengertian hak sendiri
adalah kepentingan yang dilindungi oeh hukum[5].
Sehingga oleh negara ada suatu alat sebagai pelindung untuk melindungi hak-hak
perseorangan yang bisa dikatakan adalah hukum dan lebih spesifiknya lagi adalah
undang-undang.
Didalam UU
No. 23 Tahun 2002 dijelaskan bahwa anak sebagai individu punya hak atau yang
disebut sebagai hak anak[6],
salah satu haknya diatur didalam pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002, dimana
hak tersebut adalah hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh
oleh orang tuanya sendiri. Yang didalam penjelasan pasal 7 ayat (1) UU No. 23
Tahun 2002 dijelaskan bahwa ketentuan mengenai setiap anak berhak untuk
mengetahui siapa orang tuanya, dalam arti asal-usulnya (termasuk ibu susunya)[7],
dimaksudkan untuk menhindari terputusnya silsiah dan hubungan antara anak
dengan orang tua kandungnya, sedangkan hak untuk dibesarkandan diasuh orang
tuanya, dimaksudkan agar anak dapat patuh dan menghormati orang tuanya.
Didalam
sebuah undang-undang dapat dipastkan punya apa yang disebut sebagai adreesat hukum atau alamat hukum. Ketika
melihat didalam pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 disitu dapat dilihat
bahwa adreesat atau alam hukum dari
pasal tersebut adalah ”setiap anak”. Namun, didalam ketentuan UU No. 23 Tahun
2002 tidak dijelaskan interpretasi “setiap anak”, tidak dijelaskan siapa saja
yang tergolong anak yang dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002.
Sedangkan didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perawinan yang
selanjutnya disebut UU No. 1 Tahun 1974, didalam pasal 42 sampai dengan pasal
44 mengatur mengenai anak dan kedudukannya didalam keluarga. Oleh UU No. 1
Tahun 1974, anak dikualifikasikan menjadi dua (2), yaitu anak sah dan anak
tidak sah yang terdiri dari anak luar kawin, anak zinah, dan anak sumbang. Penggolongan
anak didalam UU No. 1 Tahun 1974 berdasarkan lahirnya anak dilihat dari sebuah
perkawinan. Sebenarnya konsep anak ada dua yaitu konsep biologis dan konsep
yuridis. Sedangkan oleh UU No. 1 Tahun 1974 yang diakui hanya konsep yuridis
semata[8].
Menurut
Sudikno Mertokusumo[9],
bahwa hukum bukanlah sekedar kumpulan atau penjumlahan peraturan-peraturan yang
masing-masing berdiri sendiri. Namun, arti penting suatu peraturan hukum ialah
karena hubungannya yang sistematis dengan peraturan-peraturan hukum lainnya.
Mengacu pada hal tersebut, dimana didalam UU No. 23 Tahun 2002 mengatur hak
“setiap anak”, namun tidak menjelaskan klasifikasi-klasifikasi anak. Sedangkan,
didalam UU No. 1 Tahun 1974 mengatur masalah kualifikasi. Sehingga antara UU
No. 23 Tahun 2003 dan UU No. 1 Tahun 1974 menurut Sudikno Mertokusumo adalah
punya hubungan sistematis diantara kedua peraturan tersebut, yang artinya
klasifikasi anak didalam UU No. 1 Tahun 1974 bisa dijadikan landasan untuk
menafsirkan konsep “setiap anak” didalam pasal 7 (1) UU No. 23 Tahun 2002.
Karena jika nantinya ada pemahaman secara partial
mengenai anak dan hak-haknya menurut UU No. 23 Tahun 2002 dan UU No. 1
Tahun 1974, justru akan membingungkan[10]. Namun ketika konsep “setiap anak” berhak
mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri
didalam pasal 7 (1) UU No.23 Tahun 2002 dihubungkan didalam salah satu pasal
mengenai ketentuan konsep anak tidak sah dalam UU No. 1 Tahun 1974, maka akan
timbul permasalahan apakah seorang anak tidak sah dalam kualifikasi anak zinah,
dapat ditafsirkan termasuk kualifikasi “setiap anak” yang dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan dengan berdasarkan UU No. 23 Tahun 2002, padahal bapaknya
telah terikat perkawinan dengan perempuan lain[11].
Sehingga dalam hal ini perlu ada pembahasan secara mendalam mengenai
permasalahan penafsiran “setiap anak” apakah mencakup klasifikasi anak zinah
didalam UU No. 1 Tahun 1974 ataukah tidak? Bagaimanakah hakim memutuskan
perkara tersebut melihat UU No. 23 Tahun 2002 dan UU No. 1 Tahun 1974?
Dari
penjelasan didalam pendahuluan diatas dapat ditarik beberapa rumusan masalah, yaitu antara lain:
- Apakah yang dimaksud dengan penafsiran hukum sebagai metode penemuan hukum?
- Bagaimakah kualifikasi dan kedudukan anak didalam UU No. 1 Tahun 1974?
- Bagaimanakah penafsiran sistematis terhadap konsep “setiap anak” berhak untuk mengetahui orang tuanya dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan lainnya?
II.
Pembahasan
1. Penafsiran Hukum
sebagai metode menemukan hukum
Berbicara mengenai masalah
penafsiran hukum tidak lepas dari peran hakim sebagai seorang praktisi dibidang
hukum dan sebagai pemutus akhir dalam sebuah perkara. Penafsiran hukum
merupakan salah satu metode didalam penemuan hukum yang memberikan penjelasan
yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat
ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu[12].
Dimana menurut Sudikno Mertokusumo[13]
bahwa penemuan hukum adalah kegiatan terutama dari hakim dalam melaksanakan
undang-undang bila terjadi peristiwa konkrit. Penafsiran hukum oleh hakim
merupakan upaya yang dilakukan haim sebagai akibat dari asas “hakim dilarang
menolak suatu perkara dengan dalih tidak ada hukumnya”, oleh karena tidak ada
hukumnya atau belum terang mengenai penjelasan suatu pasal, maka hakim
melakukan sebuah interpretasi atau penafsiran hukum untuk memutus sebuah
perkara. Namun dalam hal penafsiran tidak hanya dilakukan oleh hakim saja,
namun oleh para sarjana, praktisi, dll.
Penafsiran yang dilakukan oleh hakim sebagai konsekuensinya atas kedudukannya sebagai penegak hukum dan keadilan merupakan suatu upaya memahami maksud dan isi suatu pasal undang-undang[14].
Menurut Sudikno Mertokusumo[15] dalam hal penafsiran ada enam (6) macam metode dalam penafsira, antara lain;
Penafsiran yang dilakukan oleh hakim sebagai konsekuensinya atas kedudukannya sebagai penegak hukum dan keadilan merupakan suatu upaya memahami maksud dan isi suatu pasal undang-undang[14].
Menurut Sudikno Mertokusumo[15] dalam hal penafsiran ada enam (6) macam metode dalam penafsira, antara lain;
- Penafsiran menurut bahasa atau gramatikal
Merupakan cara penafsiran atau penjelasa
yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan
menguraikan menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Namun penafsiran
menurut bahasa ini bukanlah hanya sekedar “membaca undng-undang” saja. Nama
lain dari penafsiran gramatikal atau bahasa adalah metode obyektif.
- Penafsiran menurut teleologis atau sosiologis
Yaitu
penafsiran yang mana makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan
masyarakat.
- Penafsiran sitematis
Terjadinya suatu undang-undang
selalu berkaitan dan berhubungan dengan peratuaran perundang-undangan lain, dan
tida ada undang-undang yang berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan
perundang-undangan seperti yang telah dijelaskan didalam pendahuluan. Setiap
undang-undang merupakan bagian dari keseluaruhan sistem perundag-undangan.
Jadi, penafsiran undang-undang tidak boleh lepas dari peraturan lainnya atau
dengan kata lain tidak boleh keluar dari jalur sistem perundang-undangan,
karena peraturan perundang-undangan adalah sebuah sistem. Penafsiran sistematis
secara singkat adalah menafsirkan undanga-undang sebagai bagian dari
keseluruhan sistem perundang-undangan lain.
- Penafsiran historis, Adalah penafsiran dengan jalan meneliti sejarah terjadinya hukum. Didalam penafsiran historis ada dua (2) jenis penafsiran, yaitu penafsiran menurut sejarah undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum.
- Penafsiaran Komparatif
Penafsiran
komparatif atau penafsiran dengan jalan memperbandaingkan adalah penjelasan
berdasarkan perbandingan hukum. Penafsiran ini umumnya digunakan didalam hukum
yang imbul didalam perjanjian internasional. Diluar hukum internasional
kegunaan metode ini terbatas.
- Penafsiran Futuristis
Interpretasi
futuristis atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi adalah
penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang yang
belum mempunyai kekuatan hukum.
Undang-undang sebagai kaedah hukum
yang merupakan pedoman tentang bagaimana seyogyanya manusia bertingkah laku
didalam masyarakat. Kaedah hukum merupakan ketentuan tentang perilaku[16].
Pada hakikatnyaapa yang dinamakan kaedah adalah nilai, karena berisi apa yang
seyogyanya dilakukan[17], namun
nilai atau kaedah berbeda dengan asas hukum. Oleh The Liang Gie[18]
asas hukum dikatakan sebagai suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah
umum tanpa menyarankan cara-cara khusus mengenai pelaksanaanya, yang diterpakan
pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan
itu. Atau lebih jelasnya oleh Bellefroid[19]
mengartikan bahwa asas hukum secara umu adalah norma dasar yang dijabarkan dari
hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari
aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum merupakan pengendapan hukum positif
dalam suatu masyarakat. Berdasarkan pendapat Bellefroid dan The Liang Gie,
dapat dikatakan bahwa asas hukum adalah sebagai pembentuk sistem, sedangkan
yang berperan sebagai sistem itu adalah peraturaan prundang-undangannya. Maka
dari itu dapat dikatakan bahwa asas hukum berperan sebagai pembentuk peraturan
perundang-undangan. Sedangkan hubungan kaedah hukum dengan asas hukum oleh Ron
Jue[20]
bahwa asas hukum adalah nilai-nilai yang melandasi kaidah hukum. Karena itu,
kaidah-kaidah hukum dapat dipandang sebagai operasionalisasi atau pengolahan
lebih lanjut dari asas-asas hukum.
2.
Kualifikasi
Anak dan Kedudukan Hukumnya
Ketika akan membahas permasalahan
mengenai penafsiran konsep “setiap anak” didalam pasal 7 (1) UU No. 23 Tahun
2002 dengan obyek formanya adalah kualifikasi anak da kedudukan hukumnya
didalam UU No. 1 Tahun 1974, maka secara sistematisnya sebelum masuk kedalam
pembahasan penafsiran dengan obyek materia konsep “setiap anak” didalam UU No.
23 Tahun 2002 dan UU No. 1 Tahun 1974 sebagai obyek formanya harus terlebih
dahulu mengetahui apa itu kualifikasi anak dan kedudukannya didalam UU No. 1
Tahun 1974.
Didalam UU No. 1 Tahun 1974,
pengaturan mengenai kedudukan anak diatur didalam tiga (3) pasal saja, yaitu
didalam pasal 42, pasal 43, dan pasal 44. Kedudukan secara aspek bahasa
memiliki arti sebagai letak atau tempat suatu benda[21]
atau dalam hak ini letak atau tempat seseorang. Sedangkan dari aspek hukumnya
keduduka anak berarti suatu posisi (status)
anak dalam keluarga, dalam aspek hubungannya dengan orang tua atau sebaliknya,
sebagai akibat adanya perkawinan[22]. Hubungan
orang tua dan anak didalam hukum perdata disebut juga sebagai ouderlijke macht[23].
Mengenai kedudukan anak dapat
dijelaskan, sebagai berikut:
a. Kedudukan
Anak Sah
Kedudukan
seorang anak sebagai anak sah menurut KUH Perdata, Hukum Islam, dan Hukum adat:
1). Didalam KUH Perdata pengaturan tentang
anak-anak sah diatur dalam Bab kedua belas (12) tentang kebapakan dan keturuna
anak-anak, bagian kesatu (1), pasal 250, yang berbunyi:
“Anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama
perkawinan, memperoleh suami sebagai bapaknya”.
Maksud dari pasal tersebut adalah bahwa anak
yang dilahirkan atau anak yang dibesarkan selama perkawinan antara ibu dan
suami ibunya (baik ayah anak secara biologis maupun bukan), oleh undang-undang
dianggap sebagai anak dari suami ibunya.
Menurut Wirjono Prodjodikoro[24] bahwa berdasar
atas Pasal 255 KUHPerdata seorang anak yang lahir setelah lampau 300 hari
sesudah perkawinan terputus, adalah tidak sah (unwettig), dengan kata
lain anak yang lahir dalam tengang waktu 300 hari sesudah perkawinan putus
adalah anak yang sah.
2).
Menurut Yuynboll dalam Wirjono Prodjodikoro[25] dikatakan
bahwa menurut Hukum Islam, si anak itu supaya dapat dianggap anak dari suami
ibunya, harus lahir sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di
dalam tenggang iddah sesudah perkawinan putus.
3).
Seorang anak yang lahir sesudah perkawinan putus tetapi dalam tengang
yang sama dengan tenggang hamil yang biasa (8 atau 9 bulan), tetap dianggap
anak dari bekas suami ibunya[26].
b. Kedudukan Anak Tidak Sah
Anak tidak sah menurut UU No. 1 Tahun 1974 adalah anak yang dilahirkan
diluar perkawinan yang sah, yang meliputi anak luar kawin, anak zinah dan anak
sumbang; dan berdasar pada pasl 43 UU No. 1 Tahun 1974 bagi anak tidak sah ini
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya (single parent) dan
keluarga ibunya saja[27]. UU No. 1
Tahun 1974 menganut prinsip bahwa hubungan hukum antara anak yang dilahirkannya
dengan ibunya adalah terjadi secara otomatis, artinya tidak lagi memerlukan
pengakuan anak; sedangkan terhadap anak luar kawin ini hubungan hukum antara
anak tersebut dengan bapak biologisnya secara yuridis harus dilakukan melalui
pengakuan anak[28].
Fungsi pengakuan anak oleh bapak biologisnya dijelaskan oleh J. Satrio[29], sebagai
berikut:
i. Teori Pembuktian (Bewijsrechtelijke
Theorie)
Pengakuan anak menimbulkan bukti adanya
hubungan biologis antara si anak luar kawin dan sekaligus akan memberikan
akibat hukum kepadanya dan sifat pengakuan ini adalah declaratief; dengan
demikian pengakuan anak hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar
“ayah” dari si anak tersebut. Jadi orang yang bukan ayah sebenarnya dalam
artian biologis, berdasarkan teori ini tidak bisa melakukan suatu perbuatan
pengakuan.
ii. Teori
Materiil (Materieel Rechtelijke Theorie)
Pengakuan anak sebetulnya merupakan tindakan
hukum (rechtshandeling) yang menimbulkan hubungan darah secara hukum (juridische
bloodverwantschap) antara si orang yang mengakui dengan si anak luar kawin.
Disini pengakuan merupakan unsur constitutif yang menimbulkan hubungan
darah dan karenanya hubungan hukum antara yang mengakui dan yang diakui. Disini
orang yang meskipun bukanlah ayah sebenarnya si anak dalam artian biologis,
bisa melakukan pengakuan. Akan tetapi, dalam hal ini ketika ada pengakuan
terhadap seorang anak oleh orang yang bukan bapak biologisnya dan ternya bapak
biologisnya masih hidup. Maka dalam hal ini ada pelanggaran hak oleh orang yang
mengakui terhadap hak ayah biologis anak[30].
Didalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak ada pengaturan lainnya mengenai anak
diluar kawin, namun berdasarkan pasal 43 selanjutnya akan diatur dalam Peraturan
pemerintah. Konsekuensinya adalah sepanjang belum diterbitkannya peraturan
pemerintah, maka dalam hal anak diluar kawin tunduk terhadap peraturan lama[31].
Pengakuan anak pada saat perkawinan dilangsungkan, berdasarkan KUH
Perdata dianggap disahkan, selama ada pengakuan dari suami isteri tersebut[32]. Mengacu pada
pasal 283 jo. Pasal 272 KUH Perdata untuk hal pengakuan setelah adanya
pengakuan dari suami isteri selanjutanya adalah pengakuan dilakukan dengan
surat kawin (akta perkawinan), dan konsekuensi hukumnya adalah anak tersebut
tidak hanya sebagai anak yang dianggap saja, akan tetapi juga menjadi anak sah
(menurut KUH Perdata)[33].
Ketika pengakuan anak didalam sebuah perkawinan yang dilangsungkan, begitu
juga didalam pengakuan anak diluar kawin dapat diupayakan lewat prosedural
Pengadilan dengan memenuhi persyaratan[34].
a. Harus
ada pengakuan dari bapak dan ibunya (pasal 274 KUHP).
b. Pengakuan
anak seperti ini dapat pula dilakukan dalam hal antara si bapak dan si ibu
tidak dapat melakukan perkawinan, karena salah seorang dari mereka telah
meninggal dunia, atau karena ada keberatan pemerintah (hukum) apabila dilakukan
perkawinan di antara mereka (pasal 275 KUH Perdata).
Hal ini berarti dalam
hal pengakuan anak tanpa ada perkawinan karena sebab tertentu.
Diatas telah dijelaskan syarat-syarat
pengakuan anak, selanjutnya masalah jenis-jenis pengakuan yang diatur dalam KUH
Perdata. Didalam KUH Perdata dikenal dua (2) macam pengakuan anak, yaitu[35]:
-
Pengakuan scara
sukarela, artinya pengakuan atas inisiatif si ayah biologis itu sendiri dan
dilakukan secara tegas tidak boleh atas dasar disimpulkan (ditafsirkan). Dalam
artian untuk pengakuan secara sukarela harus benar-benar dari inisiatif si ayah
biologis dan dalam pengakuaanya dilakukan secara tegas oleh si ayah biologis
tersebut, bukan atas dasar tafsiran pihak manapun.
-
Pengakuan secara
terpaksa, artinya pengakuan yang didasarkan atas keputusan Pengadilan bahwa
orang tersebut adalah ayah anak diluar kawin yang bersangkutan.
Sebenarnya konsep
pengakuan yang kedua ini disisi lain melanggar hak si pihak yang dipaksa
sebagai ayah biologisnya. Namun disisi lain juga, ini melindungi hak-hak anak
seperti yang dijelasan didalam pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002, dimana
setiap anak berhak mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang
tuanya sendiri.
c.
Pembuktian Asal-Usul Anak
Kelahiran seorang anak akan menimbulkan
akibat hukum bagi anak yang dilahirkan itu[36].
Kelahiran selain menimbulkan hubungan hukum antara anak dengan orangtuanya juga
menyebabkan anak memperoleh kedudukan sebagai subyek hukum, yang konsekuensinya
adalah ketika anak adalah sebagai subyek hukum maka anak dapat melakukan
perbuatan hukum. Walaupun nantinya dibatasi oleh kewenangan dan kecakapan
hukum.
Selain itu karena kelahiran anak adalah
peristiwa hukum, dan memiliki akibat hukum dalam hukum keluarga, yaitu
kedudukan seorang anak dalam keluarganya. Seperti yang telah dijelaskan dalam
bab sebelumnya bahwa kualifikasi anak ada dua (2), yaitu anak sah dan anak
tidak sah yang terdiri dari anak luar kawin, anak zinah, dan anak sumbang.
Namun dalam hal pembuktian asal-usul anak tidak menyinggung masalah apakah anak
itu anak sah atau anak tidak sah. Hanya yang mungkin membedakan adalah
keterangan didalam akta kelahiran otentik si anak, apakah anak itu secara hukum
punya kedua orang tua (ayah dan ibu) atau anak itu hanya punya ibu (dilihat
dari sudut pandang yuridis). Asal-usul anak didalam UU No. 1 Tahun 1974
ditentukan dengan adanya akta otentik, bahwa didalam pasal 55 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974 asal-usul anak hanya
dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh
Pejabat berwenang, yaitu Kantor Catatan Sipil.
Penggunaan istilah hanya dalam ketentuan pasal 55 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974,
berarti menjelaskan sifat pasal ini adalah limitatif,
artinya tidak bisa dengan cara lain selain yang ditentuka oleh
undang-undang tersebut, atau dengan kata lain dalam hal pembuktian anak
berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 tidak bisa dengan bukan akta kelahiran otentik,
harus dengan akta kelahiran otentik[37].
Namun, hukum memberikan pengecualian terhadapa hal ini, yaitu bila mana tidak
memiliki akta kelahiran otentik yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang,
maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak
setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi
syarat sesuai dengan pasal 55 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974[38].
Selanjutnya berdasarkan ketentuan yang dieluarkan oleh Pengadilan, maka
instansi pencatat kelahiran (Kantor Catatan Sipil setempat) yang ada didaerah
hukum Pengadilan yang memutus atau yang bersangkutan mengeluarkan akta
kelahiran bagi anak yang bersangkutan seperti tertera didalam pasal 55 ayat (1)
UU No. 1 Tahun 1974[39].
3.
Penafsiran Sistematis Terhadap Konsep “Setiap
Anak” Menurut UU No. 23 Tahun 2002 dengan UU No 1 Tahun 1974 dan Peraturan
Perundang-Undangan Lainnya.
Setelah diawal dijelaskan mengenai apa itu
penafsiran hukum sebagai metode penemuan hukum dan bagaimana kualifikasi dan
kedudukan anak, dalam pembahasan ini akan menyinggung masalah penafsiran UU No.
1 Tahun 1974 dan Peraturan Perundang-Undangan lainya terhadap konsep “setiap
anak” didalam pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002.
Dalam pembahasan kali ini akan lebih
cenderung terhadap penafsiran sistematis, dimana menafsirkan undang-undang
dengan menghubungkannya dengan undang-undang lain, menafsirkan konsep “setiap
anak” dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 dengan menghubungkannaya
dengan UU No. 1 Tahun 1974 dan perturan lainnya. Yang telah dijelaskan pula
diawal bahwa hal ini dilakukan karena undang-undang sebagai suatu keseluruhan
sitem perundang-undangan. Kecenderuangan penggunaan penafsiran sitematis didalam
pembahsan kali ini tidak memungkiri adanya penggunaan penafsiran-penafsiran
lain dengan maksud agar memepermudah dalam hal mencari kebenaran hukumnya.
Didalam
pasal 1 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002
merumuskan konsep anak bukan dalam persepsi Hukum Keluarga namu dalam ranah Hak
Asasi Manusia lebih khususnya lagi Hak Asasi Anak, dan yang dimaksud “anak”
adalah seseorang yang memenuhi kualifikasi belum berumur delapan belas (18)
tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Kemudian diatur lebih lanjut
didalam pasal 7 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 bahwa setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya,
dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri
. Dengan demikian telah ditentukan oleh
Pembentuk Undang Undang dengan telah membebankan tanggungjawab tersebut kepada
orang tua dari anak tersebut[40].
Adapun berdasar pada pasal 1 ayat (4) UU No. 23 Tahun 2002 yang dimaksud dengan
orang tua yang harus bertanggungjawab untuk itu adalah ayah dan/atau ibu
kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat. Menurut
Trusto Subekti[41] secara
gramatikal ketentuan-ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1) Yang
dimaksud dengan “anak” adalah anak sebagai subyek hukum yang dipandang belum
bisa bertanggungjawab sendiri. Anak sebagai subyak hukum sebenarnya telah punya
kuasa atau telah bisa melakukan pebuatan hukum, namun dibatasi dengan adanya
kewenangan dan kecakapan hukum.
2) Yang
dimaksud dengan “setiap anak” adalah menunjuk pada subyek hukum dalam
pengertian umum dan berlaku bagi semua anak yang memenuhi kualifikasi anak yang
dimaksud oleh Undang Undang Perlindungan Anak. Sayangnya kualifikasi anak
didalam UU No. 23 Tahun 2002 tidak dijelaskan baik didalam pasal-pasalnya
maupun didalam penjelasan pasalnya, sehingga selanjutnya harus ada penafsiran
sistematis dengan UU No. 1 Tahun 1974.
3) Yang dimaksud dengan “orang tua”
adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah
dan/atau ibu angkat. Kemudian ditambahkannya kata “nya” dibelakang kata “orang
tua” menunjuk pada konsep orang tua yang memiliki hubungan hukum keluarga
dengan anak tersebut, yaitu: ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu
tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat. Dengan demikian istilah ayah dan/atau ibu
kandung sementara ini bisa ditafsirkan sebagai ayah dan/atau ibu dalam konsep
biologis atau ayah dan/atau ibu dalam konsep yuridis. Antara UU No. 23 Tahun
2002 dengan UU No. 1 Tahun 1974 dalam hal konsep orang tua ada perbedaan,
dimana didalam UU No. 23 Tahun 2002 mengakui kedua konsep orang tua ini, baik
yuridis maupun biologis. Namun UU No. 1 Tahun 1974 hanya mengakomodir konsep
yuridis saja[42].
4) Yang
dimaksud dengan kalimat “berhak mengetahui orang tuanya” adalah sebagai
berikut:
a) Kata
“berhak” bermakna sebagai hak yang diberikan oleh undang undang untuk
menuntut/mengajukan gugatan ke Pengadilan. Hak oleh Sudikno Metokusumo[43]
diartikan sebagai kepentingan individu yang dilindungi oleh hukum. Karena hak
pun mamberi kenikmatan dan keleluasaan kepada individu dalam melaksanakannya,
maka pada umumnya para subyek hukum akan melakukan penuntutan jikalau haknya
tidak terpenuhi. Sama halnya dengan hal tersebut, anak selaku subyek hukumpun
dapat melakukan penuntuan atas haknya.
b) Kata
“mengetahui orang tuanya” bermakna sebagai
memperoleh kejelasan siapa orang tuanya atau siapa ayah dan/atau ibu
kandungnya. Bila demikian penafsirannya,
maka kalimat “orang tuanya” dan kalimat “orang tuanya sendiri” bermakna sebagai
konsep orang tua secara biologis, artinya bisa ayah kandungnya dan/atau ibu
kandungnya. Adanya realisasi hak ini bisa dilakukan dengan bantuan ilmu
pengetahuan.
Ketika hak anak yang termuat didalam makna
pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002, hak untuk mngetahui orang tuanya,
dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri, diimplementasikan melalui
lembaga Pengadilan dengan cara pengakuan anak dengan teori materiil. Maka dalam
hal ini, apabila ada pengakuan yang dilakukan oleh bukan ayah biologis anak
tersebut, maka dari sudut pandang hukum ada pelanggaran hak ayah biologis si anak
tersebut[44].
Mengingat bahwa konsep hak adlah sesuatu hal yang bisa dituntutkan atau
dipertahankan kepada orang lain, hal ini seolah menjadi wajar saja. Walaupun,
nantinya ketika hal itu direalisasikan maka akan ada pertentangan antara hak
anak untuk mendapat pengakuan dan hak ayah terhadap anak biologisnya.
Dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002
mengenai konsep “setiap anak” tidaklah dijelaskan didalam ketentuan UU No. 23
Tahun 2002, konsep “setiap anak” didalam pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002
ketika dipahami secara sistematis maka akan terhubung dengan kualifikasi anak[45].
Seperti yang telah dijelaskan dimuka, bahwa berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974
kualifikasi anak terdiri dari dua konsep yaitu “anak sah’ dan “anak tidak sah”,
kemudian pengertian “anak tidak sah” menurut KUH Perdata dikualifikasikan
menjadi tiga (3), yaitu: anak luar kawin, anak zinah, dan anak sumbang[46].
Mengenai pengakuan anak didalam penggunaan
lembaga pengakuan anak, ada pembedaan
antar konsep-konsep anak tidak sah, antara anak diluar kawin dengan anak
zinah dan anak sumbang. Anak diluar kawin adalah sebutan untuk anak yang
diahirkan diluar perkawinan yang sah dan bapak biologis serta ibu biologisnya
kedua-duanya tidak terikat perkawinan (masih lajang dan/atau duda dan janda),
dalam hal ini lembaga pengakuan anak dapat dipergunakan, dengan memenuhi syarat
bahwa orang tua ayah yang dimaksudkan adalah ayah biologisnya dari si anak dan
masing-masing tidak terikat perkawinan[47].
Sedangkan anak zinah adalah anak yang lahir dari hasil hubungan zinah dalam
pengetian hukum perdat, yaitu salah satu atau keduanya masing-masing telah
terikat perkawinan, serta anak sumbang adalah anak yang lahir dari hasil
perkawinan yag dilarang oleh hukum, karena bapak dan ibu biologisnya terhalang
oleh larangan kawin. Dalam hal terhadap anak zinah dan anak sumbang dalam hal
penggunaan lembaga pengakuan anak dibedakan dengan anak diluar kawin, dimana
untuk anak zinah dan anak sumbang berdasarkan pasl 283 KUH Perdata tidak sama
sekali diakui, sehingga terhadap keduanya tidak dapat dipergunakan lembaga
pengakuan anak[48].
Sehingga dapat dibuat sebuah bagan
sebagai berikut:
Anak Tidak Sah
|
Penggunaan Lembaga Pengakuan Anak
|
Syarat Penggunaan Lembaga Pengakuan Anak
|
Anak diluar kawin
|
Diperbolehkan
|
Bahwa orang tua
ayah yang dimaksudkan adalah ayah biologisnya dari si anak dan masing-masing
tidak terikat perkawinan. Atau dengan kata lain ayah
biologisnya tidak terikat perkawinan dengan seorang perempuan lain.
|
Anak Zinah
|
Sama sekali tidak
diperbolekan
|
-
|
Anak Sumbang
|
Sama sekali tidak
diperbolehan
|
-
|
Penafsiran
sistematis dalam penerapan Pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 mengenai
setiap anak berhak mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang
tuanya sendiri terhadap anak tidak sah (anak luar kawin, anak zinah dan anak
sumbang) harus memperhatikan bahwa dalam Hukum Keluarga dan Perkawinan memiliki
prinsip-prinsip dan asas-asas hukum yang bersifat khusus, dalam arti mengandung
nilai yang diutamakan atas dasar untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat.
Sedangkan prinsip-prinsip dan asas-asas hukum dalam Hukum Perlindungan Anak
dengan latar belakang Hak Asasi Anak, mencerminkan sifatnya yang umum. Dengan
demikian penyelesaian sistemnya dalam penerapan hukum harus lebih mengutamakan
prinsip-prinsip dan asas-asas hukum dalam Hukum Keluarga dan Perkawinan, agar
tidak menimbulkan ketidak-tertiban dalam masyarakat dan dimungkinkan akan
menghadapi resistensi yang cukup tinggi dalam masyarakat; mengingat masyarakat
Indonesia masih bertumpu pada akar budaya yang komunalistis dan masih kuat
penghayatan keagamaannya[49].
Dimaksudkan lebih mengutamakan prinsip-prinsip dan asa-asas Hukum Keluarga dan
Perkawinan, adalah karena sifat didalam prinsip-prinsip dan asas-asas hukum
lebih bersifat kolektif, daripada sifat dari hukum perlindungan anak yang lebih
bersifat mementingkan hak individu atau individualis.
III.
Penutup
Penafsiran
hukum sebagai metode penemuan hukum adalah dalam rangka mencari hukum yang
belum ada dan belum terang atau jelas. Didalam penafsiran hukum ada enam (6)
macam metode penasfsira, salah satu diantaranya adalah penafsiran sistematis
merupakan suatu metode didalam penafsiran hukum dimana menafsirkan
undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan
jalan menghubungkannya denga undang-undang lain. Dalam hal ini konsep “setiap
anak” didalam UU No. 23 Tahun 2002 ditafsirkan dengan UU No. 1 Tahun 1974 dan
Peraturan lainnya.
Kualifikasi
anak didalam UU No. 1 tahun 1974 ada dua (2), yaitu anak sah dan anak tidak sah
yang berdampak kepada perbedaan baik antara anak sah dengan anak tidak sah
maupun perbedaan didalam subbagian anak tidak sah, dalam hal kedudukan anak
atau lebih spesifiknya lagi mengenai pengakuan anak.
Persamaan asas untuk melindungi anak
didalam UU No. 23 Tahun 2002 dengan UU No. 1 Tahun 1974, namun berbeda dalam hal
yang melandasi asas hukumnya. Dimana UU No. 23 Tahun 2002 dilandasi dengan hak
yang palind dasar yaitu hak anak, sedangkan UU No. 1 Tahun 1974 dialndasi
dengan asas hukum bahwa anak perlu mendapat kepastian perlindungan hukum dengan
diterapkannya kedudukan (status hukum) seorang anak yang lahir didalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah.
Dengan dasar pembahasan dan
pernyataan diatas dapat disimpulakan bahwa perbedaan landasan asas hukum UU No.
1 Tahun 1974 dan UU No. 23 Tahun 2002, maka konsep “setiap anak” didalam pasal
7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tidaklah bisa diterapkan secara penuh terhadap
kualifikasi didalam UU No. 1 Tahun 1974, lebih khusunya lagi tidak bisa
diterapkan sepenuhya didalam kualifikasi anak tidak sah (anak luar kawin, anak
zinah, dan anak sumbang), dan berpengaruh pada penggunaan lembaga pengakuan
anak yang hanya bisa digunakan oleh anak luar kawin denga syarat ayah
biologisnya tidak terikat perkawinan dengan seorang perempuan lain. Bila tidak
demikian, maka akan menimbulkan konsekuensi terjadi perubahan terhadap
prinsip-prinsip dan asas-asas hukum dalam Hukum Keluarga dan Perkawinan yang
awalnya bersifat kolektif berubah menjadi bersifat sangat individualistis dan
sekuler.
IV.
Daftar
Pustaka
Mertokusumo, Sudikno, 2007, Mengenal Hukum suatu Pengantar, Penerbit
Liberty, Yogyakarta.
Van Apeldoorn, L. J., 1986, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Pradnya
Paramita, Jakarta.
Subekti, Trusto, 2010, Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga dan
Perkawinan, Kementerian Pendidikan Nasional, Universitas Jenderal
Soedirman, Fakultas Hukum, Purwokerto.
Subekti, Trusto, 2012, Bahan Pembelajaran Hukum Kumpulan Artikel
& Laporan Penelitian Hukum, Kementerian Pendidikan Nasional,
Universitas Jenderal Soedirman, Fakultas Hukum, Purwokerto.
Anak,
http://kangmoes.com/artikel-tips-trik-ide-menarik-kreatif.definisi/pengertian-anak.html, diakses
pada 4 Desember 2012.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003
Tentang Perlindugan Anak
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk
Wetboek)
[1] Anak, http://kangmoes.com/artikel-tips-trik-ide-menarik-kreatif.definisi/pengertian-anak.html, diakses
pada 4 Desember 2012.
[2]
Subekti, Trusto, 2012, Bahan
Pembelajaran, Kumpulan Artiel & Laporan Penelitian Hukum, Universitas
Jenderal Soedirman, Fakultas Hukum, Purwokerto, hal.30.
[3] Ibid. hal. 30.
[4]
Mertokusumo, Sudikno, 2007, Mengenal
Hukum Suata Pengantar, Yogyakarta, Penerbit Liberty, hal. 40.
[5] Ibid., hal. 43.
[6] Opcit., Subekti, Trusto, 2012, hal. 30.
[7] Ibid., hal. 30.
[8] Subekti,
Trusto, 2010, Bahan Pembelajaran Hukum
Keluarga dan Perkawinan, Kementerian Pendidikan Nasional, Universitas
Jenderal Soedirman, Fakultas Hukum, Purwoketo, hal. 91.
[9] Opcit., Mertokusumo, Sudikno, 2007, hal.
122.
[10] Opcit., Subekti, Trusto, 2012, hal. 31.
[11] Ibid., hal. 31.
[12] Opcit.,
Mertokusumo, Sudikno, 2007, hal. 169.
[13] Ibid., hal. 168.
[14]
Yudha Bhakti Ardhiwisastra dalam
Subekti, Trusto, 2012, Bahan
Pembelajaran, Kumpulan Artiel & Laporan Penelitian Hukum, Universitas
Jenderal Soedirman, Fakultas Hukum, Purwokerto, hal. 31.
[15] Ibid., hal. 170.
[16] Opcit., Mertokusumo, Sudikno, 2007, hal.
33.
[17] Ibid., hal. 33.
[18]
The Liang Gie dalam Mertokusumo, Sudikno, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Penerbit Liberty, hal.
34.
[19]
Bellefroid dalam Mertokusumo, Sudikno,
2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta,
Penerbit Liberty, hal. 34.
[20]
Ron Jue (Bruggrile, 1996) disampaikan oleh pak Waidin dalam kuliah Filsafat
Hukum, Universitas Jenderal Soedirman, Fakultas Hukum, Purwokerto, pada 23 November
2012.
[21]
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta, Penerbit balai
Pustaka, hal. 278.
[22] Opcit., Subekti, Trusto, 2012, hal. 33.
[23]
Van Apeldorn, L. J., 1986, Pengantar Ilmu
Hukum, Jakarta, Penerbit Pradnya Paramita, hal. 233.
[24]
Prodjodikoro, Wirjono, dalam Subekti,
Trusto, 2012, Bahan Pembelajaran,
Kumpulan Artikel & Laporan Penelitian Hukum, Universitas Jenderal
Soedirman, Fakultas Hukum, Purwokerto, hal. 33.
[25] Yuynboll dalam Wirjono Prodjodikoro, dalam Subekti, Trusto, Ibid, hal. 33.
[26] Ibid,
hal. 33.
[27] Ibid., hal. 34
[28] Ibid., hal. 34
[29] Satrio, J., dalam dalam Subekti, Trusto, 2012, Bahan Pembelajaran, Kumpulan Artikel & Laporan Penelitian Hukum, Universitas
Jenderal Soedirman, Fakultas Hukum, Purwokerto, hal. 34.
[30] Opcit., Subekti, Trusto,
2012, hal. 37.
[31] Ibid., hal. 34.
[32] Ibid., hal. 34.
[33] Ibid., hal. 34.
[34] Ibid., hal. 34.
[35] Ibid., hal. 34.
[36] Opcit., Mertokusumo,
Sudikno, 2001, hal. 50.
[37] Opcit., Subekti, Trusto,
2012, hal. 35.
[38] Ibid., hal. 35.
[39] Ibid., hal. 35.
[40] Ibid., hal. 36.
[41] Ibid., hal. 36.
[42] Opcit., Subekti, Trusto,
2010, hal. 91.
[43] Opcit., Mertokusumo,
Sudikno, 2007, hal. 42-43
[44] Opcit., Subekti, Trusto,
2012, hal. 37.
[45] Ibid., hal. 37.
[46] Ibid., hal. 37.
[47] Ibid., hal. 38.
[48] Ibid., hal. 37.
[49] Ibid., hal. 38.
Komentar
Posting Komentar