Langsung ke konten utama

PENAFSIRAN SISTEMATIS TERHADAP KONSEP “SETIAP ANAK” BERHAK UNTUK MENGETAHUI ORANG TUANYA DALAM PASAL 1 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK



oleh:
Cipto Prayitno
email: bukitshimla@gmail.com

I.            Pendahuluan
       Anak dalam pengertian manusia dapat disamakan dengan keturunan manusia. Jika dalam konteks yang lebih luas, anak adalah mahluk hidup yang diberikan Tuhan kepada manusia melalui hasil pernikahan guna meneruskan kehidupan selanjutnya[1]. Selanjutnya pengertian anak dalam penjelasan umum Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan anak, yang selanjutnya ditulis UU No. 23 Tahun 2002 adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.
     Dibentuknya suatu Undang-Undang pastilah ada maksud dan tujuan tertentu. Sama halnya dengan diundangkannya UU No. 23 Tahun 2002 yang dimana atas dasar pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara[2], maka pada tanggal 22 Oktober 2002 UU No. 23 Tahun 2002 disahkan[3].
     Menurut Soedikno Mertokusumo[4], bahwa hukum pada dasarnya mengatur hubungan hukum, dimana hubungan hukum itu sendiri terdri dari ikatan-ikatan yang didalamnya ada hak dan kewajiban. Dimana setiap individu punya kedua unsur tersebut yaitu hak dan kewajiban. Pengertian hak sendiri adalah kepentingan yang dilindungi oeh hukum[5]. Sehingga oleh negara ada suatu alat sebagai pelindung untuk melindungi hak-hak perseorangan yang bisa dikatakan adalah hukum dan lebih spesifiknya lagi adalah undang-undang.
     Didalam UU No. 23 Tahun 2002 dijelaskan bahwa anak sebagai individu punya hak atau yang disebut sebagai hak anak[6], salah satu haknya diatur didalam pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002, dimana hak tersebut adalah hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Yang didalam penjelasan pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 dijelaskan bahwa ketentuan mengenai setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dalam arti asal-usulnya (termasuk ibu susunya)[7], dimaksudkan untuk menhindari terputusnya silsiah dan hubungan antara anak dengan orang tua kandungnya, sedangkan hak untuk dibesarkandan diasuh orang tuanya, dimaksudkan agar anak dapat patuh dan menghormati orang tuanya.
     Didalam sebuah undang-undang dapat dipastkan punya apa yang disebut sebagai adreesat hukum atau alamat hukum. Ketika melihat didalam pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 disitu dapat dilihat bahwa adreesat atau alam hukum dari pasal tersebut adalah ”setiap anak”. Namun, didalam ketentuan UU No. 23 Tahun 2002 tidak dijelaskan interpretasi “setiap anak”, tidak dijelaskan siapa saja yang tergolong anak yang dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002. Sedangkan didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perawinan yang selanjutnya disebut UU No. 1 Tahun 1974, didalam pasal 42 sampai dengan pasal 44 mengatur mengenai anak dan kedudukannya didalam keluarga. Oleh UU No. 1 Tahun 1974, anak dikualifikasikan menjadi dua (2), yaitu anak sah dan anak tidak sah yang terdiri dari anak luar kawin, anak zinah, dan anak sumbang. Penggolongan anak didalam UU No. 1 Tahun 1974 berdasarkan lahirnya anak dilihat dari sebuah perkawinan. Sebenarnya konsep anak ada dua yaitu konsep biologis dan konsep yuridis. Sedangkan oleh UU No. 1 Tahun 1974 yang diakui hanya konsep yuridis semata[8].
      Menurut Sudikno Mertokusumo[9], bahwa hukum bukanlah sekedar kumpulan atau penjumlahan peraturan-peraturan yang masing-masing berdiri sendiri. Namun, arti penting suatu peraturan hukum ialah karena hubungannya yang sistematis dengan peraturan-peraturan hukum lainnya. Mengacu pada hal tersebut, dimana didalam UU No. 23 Tahun 2002 mengatur hak “setiap anak”, namun tidak menjelaskan klasifikasi-klasifikasi anak. Sedangkan, didalam UU No. 1 Tahun 1974 mengatur masalah kualifikasi. Sehingga antara UU No. 23 Tahun 2003 dan UU No. 1 Tahun 1974 menurut Sudikno Mertokusumo adalah punya hubungan sistematis diantara kedua peraturan tersebut, yang artinya klasifikasi anak didalam UU No. 1 Tahun 1974 bisa dijadikan landasan untuk menafsirkan konsep “setiap anak” didalam pasal 7 (1) UU No. 23 Tahun 2002. Karena jika nantinya ada pemahaman secara partial mengenai anak dan hak-haknya menurut UU No. 23 Tahun 2002 dan UU No. 1 Tahun 1974, justru akan membingungkan[10].  Namun ketika konsep “setiap anak” berhak mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri didalam pasal 7 (1) UU No.23 Tahun 2002 dihubungkan didalam salah satu pasal mengenai ketentuan konsep anak tidak sah dalam UU No. 1 Tahun 1974, maka akan timbul permasalahan apakah seorang anak tidak sah dalam kualifikasi anak zinah, dapat ditafsirkan termasuk kualifikasi “setiap anak” yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan dengan berdasarkan UU No. 23 Tahun 2002, padahal bapaknya telah terikat perkawinan dengan perempuan lain[11]. Sehingga dalam hal ini perlu ada pembahasan secara mendalam mengenai permasalahan penafsiran “setiap anak” apakah mencakup klasifikasi anak zinah didalam UU No. 1 Tahun 1974 ataukah tidak? Bagaimanakah hakim memutuskan perkara tersebut melihat UU No. 23 Tahun 2002 dan UU No. 1 Tahun 1974?
     Dari penjelasan didalam pendahuluan diatas dapat ditarik beberapa rumusan masalah, yaitu antara lain:
  1. Apakah yang dimaksud dengan penafsiran hukum sebagai metode penemuan hukum?
  2. Bagaimakah kualifikasi dan kedudukan anak didalam UU No. 1 Tahun 1974?
  3. Bagaimanakah penafsiran sistematis terhadap konsep “setiap anak” berhak untuk mengetahui orang tuanya dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan lainnya?


II.            Pembahasan
  1.      Penafsiran Hukum sebagai metode menemukan hukum
     Berbicara mengenai masalah penafsiran hukum tidak lepas dari peran hakim sebagai seorang praktisi dibidang hukum dan sebagai pemutus akhir dalam sebuah perkara. Penafsiran hukum merupakan salah satu metode didalam penemuan hukum yang memberikan penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu[12]. Dimana menurut Sudikno Mertokusumo[13] bahwa penemuan hukum adalah kegiatan terutama dari hakim dalam melaksanakan undang-undang bila terjadi peristiwa konkrit. Penafsiran hukum oleh hakim merupakan upaya yang dilakukan haim sebagai akibat dari asas “hakim dilarang menolak suatu perkara dengan dalih tidak ada hukumnya”, oleh karena tidak ada hukumnya atau belum terang mengenai penjelasan suatu pasal, maka hakim melakukan sebuah interpretasi atau penafsiran hukum untuk memutus sebuah perkara. Namun dalam hal penafsiran tidak hanya dilakukan oleh hakim saja, namun oleh para sarjana, praktisi, dll.
    Penafsiran yang dilakukan oleh hakim sebagai konsekuensinya atas kedudukannya sebagai penegak hukum dan keadilan merupakan suatu upaya memahami maksud dan isi suatu pasal undang-undang[14].
     Menurut Sudikno Mertokusumo[15] dalam hal penafsiran ada enam (6) macam metode dalam penafsira, antara lain;
  • Penafsiran menurut bahasa atau gramatikal
Merupakan cara penafsiran atau penjelasa yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikan menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Namun penafsiran menurut bahasa ini bukanlah hanya sekedar “membaca undng-undang” saja. Nama lain dari penafsiran gramatikal atau bahasa adalah metode obyektif.
  • Penafsiran menurut teleologis atau sosiologis
Yaitu penafsiran yang mana makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan masyarakat.
  •       Penafsiran sitematis
Terjadinya suatu undang-undang selalu berkaitan dan berhubungan dengan peratuaran perundang-undangan lain, dan tida ada undang-undang yang berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan perundang-undangan seperti yang telah dijelaskan didalam pendahuluan. Setiap undang-undang merupakan bagian dari keseluaruhan sistem perundag-undangan. Jadi, penafsiran undang-undang tidak boleh lepas dari peraturan lainnya atau dengan kata lain tidak boleh keluar dari jalur sistem perundang-undangan, karena peraturan perundang-undangan adalah sebuah sistem. Penafsiran sistematis secara singkat adalah menafsirkan undanga-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan lain.
  •   Penafsiran historis, Adalah penafsiran dengan jalan meneliti sejarah terjadinya hukum. Didalam penafsiran historis ada dua (2) jenis penafsiran, yaitu penafsiran menurut sejarah  undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum.
  •        Penafsiaran Komparatif
Penafsiran komparatif atau penafsiran dengan jalan memperbandaingkan adalah penjelasan berdasarkan perbandingan hukum. Penafsiran ini umumnya digunakan didalam hukum yang imbul didalam perjanjian internasional. Diluar hukum internasional kegunaan metode ini terbatas.
  •        Penafsiran Futuristis
Interpretasi futuristis atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi adalah penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang yang belum  mempunyai kekuatan hukum.
             
            Undang-undang sebagai kaedah hukum yang merupakan pedoman tentang bagaimana seyogyanya manusia bertingkah laku didalam masyarakat. Kaedah hukum merupakan ketentuan tentang perilaku[16]. Pada hakikatnyaapa yang dinamakan kaedah adalah nilai, karena berisi apa yang seyogyanya dilakukan[17], namun nilai atau kaedah berbeda dengan asas hukum. Oleh The Liang Gie[18] asas hukum dikatakan sebagai suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa menyarankan cara-cara khusus mengenai pelaksanaanya, yang diterpakan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu. Atau lebih jelasnya oleh Bellefroid[19] mengartikan bahwa asas hukum secara umu adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat. Berdasarkan pendapat Bellefroid dan The Liang Gie, dapat dikatakan bahwa asas hukum adalah sebagai pembentuk sistem, sedangkan yang berperan sebagai sistem itu adalah peraturaan prundang-undangannya. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa asas hukum berperan sebagai pembentuk peraturan perundang-undangan. Sedangkan hubungan kaedah hukum dengan asas hukum oleh Ron Jue[20] bahwa asas hukum adalah nilai-nilai yang melandasi kaidah hukum. Karena itu, kaidah-kaidah hukum dapat dipandang sebagai operasionalisasi atau pengolahan lebih lanjut dari asas-asas hukum.

2.      Kualifikasi Anak dan Kedudukan Hukumnya
       Ketika akan membahas permasalahan mengenai penafsiran konsep “setiap anak” didalam pasal 7 (1) UU No. 23 Tahun 2002 dengan obyek formanya adalah kualifikasi anak da kedudukan hukumnya didalam UU No. 1 Tahun 1974, maka secara sistematisnya sebelum masuk kedalam pembahasan penafsiran dengan obyek materia konsep “setiap anak” didalam UU No. 23 Tahun 2002 dan UU No. 1 Tahun 1974 sebagai obyek formanya harus terlebih dahulu mengetahui apa itu kualifikasi anak dan kedudukannya didalam UU No. 1 Tahun 1974.
     Didalam UU No. 1 Tahun 1974, pengaturan mengenai kedudukan anak diatur didalam tiga (3) pasal saja, yaitu didalam pasal 42, pasal 43, dan pasal 44. Kedudukan secara aspek bahasa memiliki arti sebagai letak atau tempat suatu benda[21] atau dalam hak ini letak atau tempat seseorang. Sedangkan dari aspek hukumnya keduduka anak berarti suatu posisi (status) anak dalam keluarga, dalam aspek hubungannya dengan orang tua atau sebaliknya, sebagai akibat adanya perkawinan[22]. Hubungan orang tua dan anak didalam hukum perdata disebut juga sebagai ouderlijke macht[23].
            Mengenai kedudukan anak dapat dijelaskan, sebagai berikut:
a.       Kedudukan Anak Sah
Kedudukan seorang anak sebagai anak sah menurut KUH Perdata, Hukum Islam, dan Hukum adat:
1).   Didalam KUH Perdata pengaturan tentang anak-anak sah diatur dalam Bab kedua belas (12) tentang kebapakan dan keturuna anak-anak, bagian kesatu (1), pasal 250, yang berbunyi:
“Anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh suami sebagai bapaknya”.
Maksud dari pasal tersebut adalah bahwa anak yang dilahirkan atau anak yang dibesarkan selama perkawinan antara ibu dan suami ibunya (baik ayah anak secara biologis maupun bukan), oleh undang-undang dianggap sebagai anak dari suami ibunya.
Menurut Wirjono Prodjodikoro[24] bahwa berdasar atas Pasal 255 KUHPerdata seorang anak yang lahir setelah lampau 300 hari sesudah perkawinan terputus, adalah tidak sah (unwettig), dengan kata lain anak yang lahir dalam tengang waktu 300 hari sesudah perkawinan putus adalah anak yang sah.
        
2).  Menurut Yuynboll dalam Wirjono Prodjodikoro[25] dikatakan bahwa menurut Hukum Islam, si anak itu supaya dapat dianggap anak dari suami ibunya, harus lahir sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang iddah sesudah perkawinan putus.
3).  Seorang anak yang lahir sesudah perkawinan putus tetapi dalam tengang yang sama dengan tenggang hamil yang biasa (8 atau 9 bulan), tetap dianggap anak dari bekas suami ibunya[26].

b.    Kedudukan Anak Tidak Sah
Anak tidak sah menurut UU No. 1 Tahun 1974 adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah, yang meliputi anak luar kawin, anak zinah dan anak sumbang; dan berdasar pada pasl 43 UU No. 1 Tahun 1974 bagi anak tidak sah ini hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya (single parent) dan keluarga ibunya saja[27]. UU No. 1 Tahun 1974 menganut prinsip bahwa hubungan hukum antara anak yang dilahirkannya dengan ibunya adalah terjadi secara otomatis, artinya tidak lagi memerlukan pengakuan anak; sedangkan terhadap anak luar kawin ini hubungan hukum antara anak tersebut dengan bapak biologisnya secara yuridis harus dilakukan melalui pengakuan anak[28].
Fungsi pengakuan anak oleh bapak biologisnya dijelaskan oleh J. Satrio[29], sebagai berikut:
                         i.     Teori Pembuktian (Bewijsrechtelijke Theorie)
Pengakuan anak menimbulkan bukti adanya hubungan biologis antara si anak luar kawin dan sekaligus akan memberikan akibat hukum kepadanya dan sifat pengakuan ini adalah declaratief; dengan demikian pengakuan anak hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar “ayah” dari si anak tersebut. Jadi orang yang bukan ayah sebenarnya dalam artian biologis, berdasarkan teori ini tidak bisa melakukan suatu perbuatan pengakuan.
                       ii.     Teori  Materiil (Materieel Rechtelijke Theorie)
Pengakuan anak sebetulnya merupakan tindakan hukum (rechtshandeling) yang menimbulkan hubungan darah secara hukum (juridische bloodverwantschap) antara si orang yang mengakui dengan si anak luar kawin. Disini pengakuan merupakan unsur constitutif yang menimbulkan hubungan darah dan karenanya hubungan hukum antara yang mengakui dan yang diakui. Disini orang yang meskipun bukanlah ayah sebenarnya si anak dalam artian biologis, bisa melakukan pengakuan. Akan tetapi, dalam hal ini ketika ada pengakuan terhadap seorang anak oleh orang yang bukan bapak biologisnya dan ternya bapak biologisnya masih hidup. Maka dalam hal ini ada pelanggaran hak oleh orang yang mengakui terhadap hak ayah biologis anak[30].

Didalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak ada pengaturan lainnya mengenai anak diluar kawin, namun berdasarkan pasal 43 selanjutnya akan diatur dalam Peraturan pemerintah. Konsekuensinya adalah sepanjang belum diterbitkannya peraturan pemerintah, maka dalam hal anak diluar kawin tunduk terhadap peraturan lama[31].
Pengakuan anak pada saat perkawinan dilangsungkan, berdasarkan KUH Perdata dianggap disahkan, selama ada pengakuan dari suami isteri tersebut[32]. Mengacu pada pasal 283 jo. Pasal 272 KUH Perdata untuk hal pengakuan setelah adanya pengakuan dari suami isteri selanjutanya adalah pengakuan dilakukan dengan surat kawin (akta perkawinan), dan konsekuensi hukumnya adalah anak tersebut tidak hanya sebagai anak yang dianggap saja, akan tetapi juga menjadi anak sah (menurut KUH Perdata)[33].

Ketika pengakuan anak didalam sebuah perkawinan yang dilangsungkan, begitu juga didalam pengakuan anak diluar kawin dapat diupayakan lewat prosedural Pengadilan dengan memenuhi persyaratan[34].
a.       Harus ada pengakuan dari bapak dan ibunya (pasal 274 KUHP).
b.      Pengakuan anak seperti ini dapat pula dilakukan dalam hal antara si bapak dan si ibu tidak dapat melakukan perkawinan, karena salah seorang dari mereka telah meninggal dunia, atau karena ada keberatan pemerintah (hukum) apabila dilakukan perkawinan di antara mereka (pasal 275 KUH Perdata).
Hal ini berarti dalam hal pengakuan anak tanpa ada perkawinan karena sebab tertentu.
Diatas telah dijelaskan syarat-syarat pengakuan anak, selanjutnya masalah jenis-jenis pengakuan yang diatur dalam KUH Perdata. Didalam KUH Perdata dikenal dua (2) macam pengakuan anak, yaitu[35]:
-          Pengakuan scara sukarela, artinya pengakuan atas inisiatif si ayah biologis itu sendiri dan dilakukan secara tegas tidak boleh atas dasar disimpulkan (ditafsirkan). Dalam artian untuk pengakuan secara sukarela harus benar-benar dari inisiatif si ayah biologis dan dalam pengakuaanya dilakukan secara tegas oleh si ayah biologis tersebut, bukan atas dasar tafsiran pihak manapun.
-          Pengakuan secara terpaksa, artinya pengakuan yang didasarkan atas keputusan Pengadilan bahwa orang tersebut adalah ayah anak diluar kawin yang bersangkutan.
Sebenarnya konsep pengakuan yang kedua ini disisi lain melanggar hak si pihak yang dipaksa sebagai ayah biologisnya. Namun disisi lain juga, ini melindungi hak-hak anak seperti yang dijelasan didalam pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002, dimana setiap anak berhak mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.


c.       Pembuktian Asal-Usul Anak
Kelahiran seorang anak akan menimbulkan akibat hukum bagi anak yang dilahirkan itu[36]. Kelahiran selain menimbulkan hubungan hukum antara anak dengan orangtuanya juga menyebabkan anak memperoleh kedudukan sebagai subyek hukum, yang konsekuensinya adalah ketika anak adalah sebagai subyek hukum maka anak dapat melakukan perbuatan hukum. Walaupun nantinya dibatasi oleh kewenangan dan kecakapan hukum.
Selain itu karena kelahiran anak adalah peristiwa hukum, dan memiliki akibat hukum dalam hukum keluarga, yaitu kedudukan seorang anak dalam keluarganya. Seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa kualifikasi anak ada dua (2), yaitu anak sah dan anak tidak sah yang terdiri dari anak luar kawin, anak zinah, dan anak sumbang. Namun dalam hal pembuktian asal-usul anak tidak menyinggung masalah apakah anak itu anak sah atau anak tidak sah. Hanya yang mungkin membedakan adalah keterangan didalam akta kelahiran otentik si anak, apakah anak itu secara hukum punya kedua orang tua (ayah dan ibu) atau anak itu hanya punya ibu (dilihat dari sudut pandang yuridis). Asal-usul anak didalam UU No. 1 Tahun 1974 ditentukan dengan adanya akta otentik, bahwa didalam pasal 55 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 asal-usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat berwenang, yaitu Kantor Catatan Sipil.
Penggunaan istilah hanya dalam ketentuan pasal 55 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974, berarti menjelaskan sifat pasal ini adalah limitatif, artinya tidak bisa dengan cara lain selain yang ditentuka oleh undang-undang tersebut, atau dengan kata lain dalam hal pembuktian anak berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 tidak bisa dengan bukan akta kelahiran otentik, harus dengan akta kelahiran otentik[37]. Namun, hukum memberikan pengecualian terhadapa hal ini, yaitu bila mana tidak memiliki akta kelahiran otentik yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat sesuai dengan pasal 55 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974[38]. Selanjutnya berdasarkan ketentuan yang dieluarkan oleh Pengadilan, maka instansi pencatat kelahiran (Kantor Catatan Sipil setempat) yang ada didaerah hukum Pengadilan yang memutus atau yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan seperti tertera didalam pasal 55 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974[39].

3.      Penafsiran Sistematis Terhadap Konsep “Setiap Anak” Menurut UU No. 23 Tahun 2002 dengan UU No 1 Tahun 1974 dan Peraturan Perundang-Undangan Lainnya.
Setelah diawal dijelaskan mengenai apa itu penafsiran hukum sebagai metode penemuan hukum dan bagaimana kualifikasi dan kedudukan anak, dalam pembahasan ini akan menyinggung masalah penafsiran UU No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Perundang-Undangan lainya terhadap konsep “setiap anak” didalam pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002.
Dalam pembahasan kali ini akan lebih cenderung terhadap penafsiran sistematis, dimana menafsirkan undang-undang dengan menghubungkannya dengan undang-undang lain, menafsirkan konsep “setiap anak” dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 dengan menghubungkannaya dengan UU No. 1 Tahun 1974 dan perturan lainnya. Yang telah dijelaskan pula diawal bahwa hal ini dilakukan karena undang-undang sebagai suatu keseluruhan sitem perundang-undangan. Kecenderuangan penggunaan penafsiran sitematis didalam pembahsan kali ini tidak memungkiri adanya penggunaan penafsiran-penafsiran lain dengan maksud agar memepermudah dalam hal mencari kebenaran hukumnya.
Didalam pasal  1 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 merumuskan konsep anak bukan dalam persepsi Hukum Keluarga namu dalam ranah Hak Asasi Manusia lebih khususnya lagi Hak Asasi Anak, dan yang dimaksud “anak” adalah seseorang yang memenuhi kualifikasi belum berumur delapan belas (18) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Kemudian diatur lebih lanjut didalam pasal 7 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 bahwa setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri . Dengan demikian telah ditentukan oleh Pembentuk Undang Undang dengan telah membebankan tanggungjawab tersebut kepada orang tua dari anak tersebut[40]. Adapun berdasar pada pasal 1 ayat (4) UU No. 23 Tahun 2002 yang dimaksud dengan orang tua yang harus bertanggungjawab untuk itu adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat. Menurut Trusto Subekti[41] secara gramatikal ketentuan-ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1)      Yang dimaksud dengan “anak” adalah anak sebagai subyek hukum yang dipandang belum bisa bertanggungjawab sendiri. Anak sebagai subyak hukum sebenarnya telah punya kuasa atau telah bisa melakukan pebuatan hukum, namun dibatasi dengan adanya kewenangan dan kecakapan hukum.
2)      Yang dimaksud dengan “setiap anak” adalah menunjuk pada subyek hukum dalam pengertian umum dan berlaku bagi semua anak yang memenuhi kualifikasi anak yang dimaksud oleh Undang Undang Perlindungan Anak. Sayangnya kualifikasi anak didalam UU No. 23 Tahun 2002 tidak dijelaskan baik didalam pasal-pasalnya maupun didalam penjelasan pasalnya, sehingga selanjutnya harus ada penafsiran sistematis dengan UU No. 1 Tahun 1974.
3)                  Yang dimaksud dengan “orang tua” adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat. Kemudian ditambahkannya kata “nya” dibelakang kata “orang tua” menunjuk pada konsep orang tua yang memiliki hubungan hukum keluarga dengan anak tersebut, yaitu: ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat. Dengan demikian istilah ayah dan/atau ibu kandung sementara ini bisa ditafsirkan sebagai ayah dan/atau ibu dalam konsep biologis atau ayah dan/atau ibu dalam konsep yuridis. Antara UU No. 23 Tahun 2002 dengan UU No. 1 Tahun 1974 dalam hal konsep orang tua ada perbedaan, dimana didalam UU No. 23 Tahun 2002 mengakui kedua konsep orang tua ini, baik yuridis maupun biologis. Namun UU No. 1 Tahun 1974 hanya mengakomodir konsep yuridis saja[42].
4)      Yang dimaksud dengan kalimat “berhak mengetahui orang tuanya” adalah sebagai berikut:
a)      Kata “berhak” bermakna sebagai hak yang diberikan oleh undang undang untuk menuntut/mengajukan gugatan ke Pengadilan. Hak oleh Sudikno Metokusumo[43] diartikan sebagai kepentingan individu yang dilindungi oleh hukum. Karena hak pun mamberi kenikmatan dan keleluasaan kepada individu dalam melaksanakannya, maka pada umumnya para subyek hukum akan melakukan penuntutan jikalau haknya tidak terpenuhi. Sama halnya dengan hal tersebut, anak selaku subyek hukumpun dapat melakukan penuntuan atas haknya.
b)      Kata “mengetahui orang tuanya” bermakna sebagai  memperoleh kejelasan siapa orang tuanya atau siapa ayah dan/atau ibu kandungnya.  Bila demikian penafsirannya, maka kalimat “orang tuanya” dan kalimat “orang tuanya sendiri” bermakna sebagai konsep orang tua secara biologis, artinya bisa ayah kandungnya dan/atau ibu kandungnya. Adanya realisasi hak ini bisa dilakukan dengan bantuan ilmu pengetahuan.
Ketika hak anak yang termuat didalam makna pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002, hak untuk mngetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri, diimplementasikan melalui lembaga Pengadilan dengan cara pengakuan anak dengan teori materiil. Maka dalam hal ini, apabila ada pengakuan yang dilakukan oleh bukan ayah biologis anak tersebut, maka dari sudut pandang hukum ada pelanggaran hak ayah biologis si anak tersebut[44]. Mengingat bahwa konsep hak adlah sesuatu hal yang bisa dituntutkan atau dipertahankan kepada orang lain, hal ini seolah menjadi wajar saja. Walaupun, nantinya ketika hal itu direalisasikan maka akan ada pertentangan antara hak anak untuk mendapat pengakuan dan hak ayah terhadap anak biologisnya.
Dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 mengenai konsep “setiap anak” tidaklah dijelaskan didalam ketentuan UU No. 23 Tahun 2002, konsep “setiap anak” didalam pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 ketika dipahami secara sistematis maka akan terhubung dengan kualifikasi anak[45]. Seperti yang telah dijelaskan dimuka, bahwa berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 kualifikasi anak terdiri dari dua konsep yaitu “anak sah’ dan “anak tidak sah”, kemudian pengertian “anak tidak sah” menurut KUH Perdata dikualifikasikan menjadi tiga (3), yaitu: anak luar kawin, anak zinah, dan anak sumbang[46].
Mengenai pengakuan anak didalam penggunaan lembaga pengakuan anak, ada pembedaan  antar konsep-konsep anak tidak sah, antara anak diluar kawin dengan anak zinah dan anak sumbang. Anak diluar kawin adalah sebutan untuk anak yang diahirkan diluar perkawinan yang sah dan bapak biologis serta ibu biologisnya kedua-duanya tidak terikat perkawinan (masih lajang dan/atau duda dan janda), dalam hal ini lembaga pengakuan anak dapat dipergunakan, dengan memenuhi syarat bahwa orang tua ayah yang dimaksudkan adalah ayah biologisnya dari si anak dan masing-masing tidak terikat perkawinan[47]. Sedangkan anak zinah adalah anak yang lahir dari hasil hubungan zinah dalam pengetian hukum perdat, yaitu salah satu atau keduanya masing-masing telah terikat perkawinan, serta anak sumbang adalah anak yang lahir dari hasil perkawinan yag dilarang oleh hukum, karena bapak dan ibu biologisnya terhalang oleh larangan kawin. Dalam hal terhadap anak zinah dan anak sumbang dalam hal penggunaan lembaga pengakuan anak dibedakan dengan anak diluar kawin, dimana untuk anak zinah dan anak sumbang berdasarkan pasl 283 KUH Perdata tidak sama sekali diakui, sehingga terhadap keduanya tidak dapat dipergunakan lembaga pengakuan anak[48].
            Sehingga dapat dibuat sebuah bagan sebagai berikut:
Anak Tidak Sah
Penggunaan Lembaga Pengakuan Anak
Syarat Penggunaan Lembaga Pengakuan Anak
Anak diluar kawin
Diperbolehkan
Bahwa orang tua ayah yang dimaksudkan adalah ayah biologisnya dari si anak dan masing-masing tidak terikat perkawinan. Atau dengan kata lain ayah biologisnya tidak terikat perkawinan dengan seorang perempuan lain.
Anak Zinah
Sama sekali tidak diperbolekan
-
Anak Sumbang
Sama sekali tidak diperbolehan
-

            Penafsiran sistematis dalam penerapan Pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 mengenai setiap anak berhak mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri terhadap anak tidak sah (anak luar kawin, anak zinah dan anak sumbang) harus memperhatikan bahwa dalam Hukum Keluarga dan Perkawinan memiliki prinsip-prinsip dan asas-asas hukum yang bersifat khusus, dalam arti mengandung nilai yang diutamakan atas dasar untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Sedangkan prinsip-prinsip dan asas-asas hukum dalam Hukum Perlindungan Anak dengan latar belakang Hak Asasi Anak, mencerminkan sifatnya yang umum. Dengan demikian penyelesaian sistemnya dalam penerapan hukum harus lebih mengutamakan prinsip-prinsip dan asas-asas hukum dalam Hukum Keluarga dan Perkawinan, agar tidak menimbulkan ketidak-tertiban dalam masyarakat dan dimungkinkan akan menghadapi resistensi yang cukup tinggi dalam masyarakat; mengingat masyarakat Indonesia masih bertumpu pada akar budaya yang komunalistis dan masih kuat penghayatan keagamaannya[49]. Dimaksudkan lebih mengutamakan prinsip-prinsip dan asa-asas Hukum Keluarga dan Perkawinan, adalah karena sifat didalam prinsip-prinsip dan asas-asas hukum lebih bersifat kolektif, daripada sifat dari hukum perlindungan anak yang lebih bersifat mementingkan hak individu atau individualis.


III.              Penutup
Penafsiran hukum sebagai metode penemuan hukum adalah dalam rangka mencari hukum yang belum ada dan belum terang atau jelas. Didalam penafsiran hukum ada enam (6) macam metode penasfsira, salah satu diantaranya adalah penafsiran sistematis merupakan suatu metode didalam penafsiran hukum dimana menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya denga undang-undang lain. Dalam hal ini konsep “setiap anak” didalam UU No. 23 Tahun 2002 ditafsirkan dengan UU No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan lainnya.
Kualifikasi anak didalam UU No. 1 tahun 1974 ada dua (2), yaitu anak sah dan anak tidak sah yang berdampak kepada perbedaan baik antara anak sah dengan anak tidak sah maupun perbedaan didalam subbagian anak tidak sah, dalam hal kedudukan anak atau lebih spesifiknya lagi mengenai pengakuan anak.
            Persamaan asas untuk melindungi anak didalam UU No. 23 Tahun 2002 dengan UU No. 1 Tahun 1974, namun berbeda dalam hal yang melandasi asas hukumnya. Dimana UU No. 23 Tahun 2002 dilandasi dengan hak yang palind dasar yaitu hak anak, sedangkan UU No. 1 Tahun 1974 dialndasi dengan asas hukum bahwa anak perlu mendapat kepastian perlindungan hukum dengan diterapkannya kedudukan (status hukum) seorang anak yang lahir didalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
            Dengan dasar pembahasan dan pernyataan diatas dapat disimpulakan bahwa perbedaan landasan asas hukum UU No. 1 Tahun 1974 dan UU No. 23 Tahun 2002, maka konsep “setiap anak” didalam pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tidaklah bisa diterapkan secara penuh terhadap kualifikasi didalam UU No. 1 Tahun 1974, lebih khusunya lagi tidak bisa diterapkan sepenuhya didalam kualifikasi anak tidak sah (anak luar kawin, anak zinah, dan anak sumbang), dan berpengaruh pada penggunaan lembaga pengakuan anak yang hanya bisa digunakan oleh anak luar kawin denga syarat ayah biologisnya tidak terikat perkawinan dengan seorang perempuan lain. Bila tidak demikian, maka akan menimbulkan konsekuensi terjadi perubahan terhadap prinsip-prinsip dan asas-asas hukum dalam Hukum Keluarga dan Perkawinan yang awalnya bersifat kolektif berubah menjadi bersifat sangat individualistis dan sekuler.

IV.            Daftar Pustaka

Mertokusumo, Sudikno, 2007, Mengenal Hukum suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Van Apeldoorn, L. J., 1986, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta.
Subekti, Trusto, 2010, Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga dan Perkawinan, Kementerian Pendidikan Nasional, Universitas Jenderal Soedirman, Fakultas Hukum, Purwokerto.
Subekti, Trusto, 2012, Bahan Pembelajaran Hukum Kumpulan Artikel & Laporan Penelitian Hukum, Kementerian Pendidikan Nasional, Universitas Jenderal Soedirman, Fakultas Hukum, Purwokerto.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindugan Anak
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek)





[2] Subekti, Trusto, 2012, Bahan Pembelajaran, Kumpulan Artiel & Laporan Penelitian Hukum, Universitas Jenderal Soedirman, Fakultas Hukum, Purwokerto, hal.30.
[3] Ibid. hal. 30.
[4] Mertokusumo, Sudikno, 2007, Mengenal Hukum Suata Pengantar, Yogyakarta, Penerbit Liberty, hal. 40.
[5] Ibid., hal. 43.
[6] Opcit., Subekti, Trusto, 2012, hal. 30.
[7] Ibid., hal. 30.
[8] Subekti, Trusto, 2010, Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga dan Perkawinan, Kementerian Pendidikan Nasional, Universitas Jenderal Soedirman, Fakultas Hukum, Purwoketo, hal. 91.
[9] Opcit., Mertokusumo, Sudikno, 2007, hal. 122.
[10] Opcit., Subekti, Trusto, 2012, hal. 31.
[11] Ibid., hal. 31.
[12]  Opcit., Mertokusumo, Sudikno, 2007, hal. 169.
[13] Ibid.,  hal. 168.
[14] Yudha Bhakti Ardhiwisastra dalam  Subekti, Trusto, 2012, Bahan Pembelajaran, Kumpulan Artiel & Laporan Penelitian Hukum, Universitas Jenderal Soedirman, Fakultas Hukum, Purwokerto, hal. 31.
[15] Ibid., hal. 170.
[16] Opcit., Mertokusumo, Sudikno, 2007, hal. 33.
[17] Ibid., hal. 33.
[18] The Liang Gie dalam Mertokusumo, Sudikno, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Penerbit Liberty, hal. 34.
[19] Bellefroid  dalam Mertokusumo, Sudikno, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Penerbit Liberty, hal. 34.
[20] Ron Jue (Bruggrile, 1996) disampaikan oleh pak Waidin dalam kuliah Filsafat Hukum, Universitas Jenderal Soedirman, Fakultas Hukum, Purwokerto, pada 23 November 2012.
[21] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta, Penerbit balai Pustaka, hal. 278.
[22] Opcit., Subekti, Trusto, 2012, hal. 33.
[23] Van Apeldorn, L. J., 1986, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Penerbit Pradnya Paramita, hal. 233.
[24] Prodjodikoro, Wirjono, dalam  Subekti, Trusto, 2012, Bahan Pembelajaran, Kumpulan Artikel & Laporan Penelitian Hukum, Universitas Jenderal Soedirman, Fakultas Hukum, Purwokerto, hal. 33.
[25]  Yuynboll dalam Wirjono Prodjodikoro,  dalam Subekti, Trusto, Ibid, hal. 33.
[26]  Ibid, hal. 33.
[27] Ibid., hal. 34
[28] Ibid., hal. 34
[29] Satrio, J., dalam dalam  Subekti, Trusto, 2012, Bahan Pembelajaran, Kumpulan Artikel & Laporan Penelitian Hukum, Universitas Jenderal Soedirman, Fakultas Hukum, Purwokerto, hal. 34.

[30] Opcit., Subekti, Trusto, 2012, hal. 37.
[31] Ibid., hal. 34.
[32] Ibid., hal. 34.
[33] Ibid., hal. 34.
[34] Ibid., hal. 34.
[35] Ibid., hal. 34.
[36] Opcit., Mertokusumo, Sudikno, 2001, hal. 50.
[37] Opcit., Subekti, Trusto, 2012, hal. 35.
[38] Ibid., hal. 35.
[39] Ibid., hal. 35.
[40] Ibid., hal. 36.
[41] Ibid., hal. 36.
[42] Opcit., Subekti, Trusto, 2010, hal. 91.
[43] Opcit., Mertokusumo, Sudikno, 2007, hal. 42-43
[44] Opcit., Subekti, Trusto, 2012, hal. 37.
[45] Ibid., hal. 37.
[46] Ibid., hal. 37.
[47] Ibid., hal. 38.
[48] Ibid., hal. 37.
[49] Ibid., hal. 38.

Komentar