oleh:
Cipto Prayitno
email: bukitshimla@gmail.com
Metode Penemuan Hukum
Pada
dasarnya penemuan hukum dilakukan untuk menemukan hukum yang dilakukan oleh
fungsionaris hukum, baik oleh Hakim maupun fungsionaris hukum lainnya, seperti
jaksa, polisi, bahkan sarjana hukum. Tapi dalam tulisan ini, akan dibahas
mengenai metode penemuan hukum oleh hakim.
Tentu
metode penemuan hukum pada tujuannya adalah untuk menemukan hukum yang tidak
ada atau terjadi ketidak-jelasan hukum. Sehingga metode ini sangat berkaitan dengan bagaimana hakim
(atau fungsionaris hukum) dalam menemukan hukum dalam rangka menerapkan hukum
yang bersifat abstrak kesuatu permasalahan yang konkrit.
Pada
jenisnya, metode penemuan hukum dapat dibedakan menjadi dua (2), yaitu metode
penemuan hukum untuk ketika terjadi hukumnyan tidak jelas jadi perlu di
interpretasikan (tafsirkan) sehingga dibutuhkan penafsiran atau metode
interpretasi dan ketika terjadi kekosongan hukum yang membutuhkan argumentasi
hakim yang disebut sebagai metode argumentum.
A.
Metode Interpretasi
1. Interpretasi
menurut Bahasa
Metode
interpretasi ini disebut dengan interpretasi gramatikal. Interpretasi ini
merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk
mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa,
susun kata atau bunyinya.
Contoh
penggunaan interpretasi gramatikal, istilah menggelapkan dari pasal
41 KUHPidana ada kalanya ditafsirkan sebagai menghilangkan.
2. Interpretasi
teleologis atau sosiologis
Interpretasi
teleologis yaitu apabila makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan
kemasyarakatan. Dngan interpretasi telelologis ini undang-undang yang masih
berlaku tetapi sudah using atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap
peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak peduli apakah
hal ini semuanya pada waktu di undangkan peraturan perundang-undangan
disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru.
Contoh
penggunaan Interpretasi telelologis penafsiran kata barang pada pasal
362 KUH Pidana juga termasuk aliran listrik karena bersifat mandiri dan
mempunyai nilai tertentu. Padahal pada perumusan pasal tersebut perihal
mengenai barang tidak menunjukkan kepada listrik.
3. Interpretasi
Sistematis
Interpretasi
sistematis adalah menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan
sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkan dengan undang-undang lain.
Contoh
penggunaan interpretasi sistematis adalah kalau hendak mengetahui tentang sifat
pengakuan anak yang dilahirkan di luar perkawinan oleh orang tuanya, tidak
cukup hanya mencari ketentuan-ketentuan dalam BW saja, tetapi harus dihubungkan
juga dengan pasal 278 KUH Pidana.
4. Interpretasi
Historis
Interpretasi
historis ini dilakukan dengan cara meneliti sejarah terjadinya undang-undang
tersebut. Jadi merupakan penjelasan menurut terjadinya undang-undang.
Undang-undang itu tidak terjadi begitu saja. Undang-undang selalu merupakan
reaksi terhadap kebutuhan sosial untuk mengatur, yang dapat dijelaskan secara
historis. Namun bagi ahli hukum penafsiran ini makin lama makin berkurang
kegunaannya jika umur undang-undang tersebut semakin tua, karena memang
masyarakat terus berkembang.
Contoh
penerapan intepretasi historis jika ingin mengerti makna undang-undang nomor 1
tahun 1974 hanya dapat dimengerti dengan meneliti sejarah tentang emansipasi
wanita.
5. Interpretasi
Komparatif
Interpretasi
komparatif atau penafsiran dengan jalan memperbandingkan adalah penjelasan
berdasarkan perbandingan hukum. Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan
mengenai suatu ketentuan undang-undang. Terutama bagi hukum yang timbul dari
perjanjian international ini penting, karena dengan pelaksanaan yang seragam direalisir
kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional sebagai hukum objektif
atau kaedah hukum untuk beberapa Negara. Di luar hukum perjanjian internasional
kegunaan metode ini terbatas.
6. Interpretasi
Futuristis
Interpretasi
futuristis atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi adalah
penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang yang
belum mempunyai kekuatan hukum. sebagai contoh adalah ketika hakim hendak
memutus suatu perkara hakim sudah membayangkan bahwa undang-undang yang
digunakan akan segara diganti dengan undang-undang baru yang masih menjadi
rancangan undang-undang. Untuk mengantisipasi perubahan itu hakim berfikir
futuristis jika ternyata rancangan undang-undang itu disahkan maka putusan ini
akan berdampak berbeda, oleh karena itu hakim memutus berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan lain di luar undang-undang yang berlaku saat itu.
Interpretasi
ini mempunyai banyak kekurangan karena tidak adanya jaminan bahwa RUU yang akan
menggantikan undang-undang terkait benar-benar disahkan atau tidak, semua hanya
bergantung pada keyakinan hakim saja.
Selain
dari pada interpretasi-interpretasi yang dijelaskan diatas, ada juga
interpretasi lainnya yaitu interpretasi reskriptif, interpretasi ekstensif.
Yang sebenarnya bukan bagian dari metode penafsiran sebagaimana dalam metode
interpretasi. Namun lebih kepada penafsiran yang ada dalam undang-undnag yang
bersifat perluasan maupun penyempitan makna gramatikal suatu aturan.
- Metode Argumentasi/ Konstruksi Hukum
Selain
metode interpretasi, dalam penemuan hukum juga dikenal metode argumentasi atau
lebih dikenal dengan konstruksi hukum. Berbeda dengan metode interpretasi
metode ini digunakan ketika dihadapkan kepada situasi adanya kekosongan hukum
(rechts vacuum) sedangkan pada metode interpretasi persitiwa tersebut sudah di
atur di dalam undang-undang hanya saja pengaturannya masih belum jelas.
Berdasarkan asas ius curia novit (hakim
tidak boleh menolak perkara untuk diselesaikan dengan dalil hukumnya tidak ada
atau belum mengaturnya) maka metode konstruksi hukum ini sangat penting demi
menjamin keadilan. Metode-metode konstruksi hukum itu dapat dibagi sebagai
berikut :
- Metode Argumentum Per Analogium (Analogi)
Analogi
merupakan metode penemuan hukum di mana hakim mencari esensi yang lebih umum
dari sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum baik yang telah diatur oleh
undang-undang maupun yang belum ada peraturannya.
Sebagai
contoh dapat dilihat pasal 1576 BW, yang mengatur bahwa jual beli tidak
memutuskan hubungan sewa-menyewa. Kemudian dalam praktik, perkara yang di
hadapi adalah apakah hibah juga tidak memutuskan hubungan sewa menyewa atau
sebaliknya? Karena undang-undang hanya mengatur tentang jual beli dan tidak
tentang hibah, maka hakim harus melakukan penemuan hukum agar dapat membuat
putusan dalam perkara tersebut. Dengan metode analogi pertama-tama hakim
mencari esensi dari perbuatan jual beli, yaitu peralihan hak, dan kemudia
dicari esensi dari perbuatan hibah, yaitu juga peralihan hak. Dengan demikian,
ditemukan bahwa peralihan hak merupakan genus (peristiwa umum),
sedangkan jual beli dan hibah masing-masing adalah species (peristiwa
khusus), sehingga metode analogi ini menggunakan penalarana induksi yaitu
berfikir dari peristiwa khusus ke peristiwa umum. Keismpulannya, hibah juga
tidak memutuskan hubungan sewa menyewa. Dengan analogi maka peristiwa yang
serupa, sejenis, atau mirip dengan yang diatur dalam undang-undang diperlakukan
sama.
- Metode Argumentum a Contrario
Metode
ini memberikan kesempatan kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum dengan
pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk
peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu
dan bagi peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya. Karena ada kalanya suatu
peristiwa tidak secara khusus diatur oleh undang-undang, tetapi kebalikan dari
peristiwa tersebut diatur oleh undang-undang. Jadi metode ini mengedepankan
cara penafsiran yang berlawanan pengertiannya antara peristiwa konkret yang
dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang.
Sebagai
contoh ketentuan adanya masa iddah dan waktu menunggu bagi
seorang janda yang diatur dalam peraturan pemerintah nomor 9 yahun 1975. Namun
bagaimana halnya dengan seorang duda? Apakah mempunyai masa iddah? Undang-undang
nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan memang secara tegas tidak mengatur
mengenai masa iddah bagi seorang duda, oleh karena itu dengan
digunakannya logika a contrario, yaitu memperlakukan kebalikannya
dari peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 tersebut, sehingga seorang duda
tidak perlu menunggu waktu tertentu apabila hendak kawin lagi.
- Metode Penyempitan Hukum
Kadang-kadang
peraturan perundang-undangan itu ruang lingkupnya terlalu umum atau luas, maka
perlu dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu.
Dalam menyempitkan hukum dibentuklah pengecualian-pengecualian atau
penyimpangan-penyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang sifatnya umum
diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan
atau konstruksi dengan member ciri-ciri.
Sebagai
contoh penyempitan hukum adalah pengertian “perbuatan melawan hukum” yang
tercantum dalam pasal 1365 BW yang cakupan maknanya luas apakah yang dimaksud
dengan hukum itu sendiri? akibatnya ruang lingkupnya dipersempit menjadi apa
yang kita jumpai dalam yurisprudensi putusan HR 31 Januari 1919
kasus Lindenbaum vs Cohen yaitu perbuatan melawan hukum dipersempit
menjadi perbuatan melawan undang-undang dan kepatutan.
Daftar Pustaka
Mertokusumo,
Sudikno, 2009, Penemuan
Hukum, Cet. Ke-6, Yogyakarta: Liberty
Komentar
Posting Komentar