Langsung ke konten utama

Tentang Penemuan Hukum (Bag.VI-Metode Penemuan Hukum)


oleh:
Cipto Prayitno
email: bukitshimla@gmail.com


Metode Penemuan Hukum
Pada dasarnya penemuan hukum dilakukan untuk menemukan hukum yang dilakukan oleh fungsionaris hukum, baik oleh Hakim maupun fungsionaris hukum lainnya, seperti jaksa, polisi, bahkan sarjana hukum. Tapi dalam tulisan ini, akan dibahas mengenai metode penemuan hukum oleh hakim.
Tentu metode penemuan hukum pada tujuannya adalah untuk menemukan hukum yang tidak ada atau terjadi ketidak-jelasan hukum. Sehingga metode  ini sangat berkaitan dengan bagaimana hakim (atau fungsionaris hukum) dalam menemukan hukum dalam rangka menerapkan hukum yang bersifat abstrak kesuatu permasalahan yang konkrit.
Pada jenisnya, metode penemuan hukum dapat dibedakan menjadi dua (2), yaitu metode penemuan hukum untuk ketika terjadi hukumnyan tidak jelas jadi perlu di interpretasikan (tafsirkan) sehingga dibutuhkan penafsiran atau metode interpretasi dan ketika terjadi kekosongan hukum yang membutuhkan argumentasi hakim yang disebut sebagai metode argumentum.
A.    Metode Interpretasi
1.      Interpretasi menurut Bahasa
Metode interpretasi ini disebut dengan interpretasi gramatikal. Interpretasi ini merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susun kata atau bunyinya.
Contoh penggunaan interpretasi gramatikal, istilah menggelapkan dari pasal 41 KUHPidana ada kalanya ditafsirkan sebagai menghilangkan.
2.       Interpretasi teleologis atau sosiologis
Interpretasi teleologis yaitu apabila makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dngan interpretasi telelologis ini undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah using atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak peduli apakah hal ini semuanya pada waktu di undangkan peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru.
Contoh penggunaan Interpretasi telelologis penafsiran kata barang pada pasal 362 KUH Pidana juga termasuk aliran listrik karena bersifat mandiri dan mempunyai nilai tertentu. Padahal pada perumusan pasal tersebut perihal mengenai barang tidak menunjukkan kepada listrik.
3.      Interpretasi Sistematis
Interpretasi sistematis adalah menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkan dengan undang-undang lain.
Contoh penggunaan interpretasi sistematis adalah kalau hendak mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang dilahirkan di luar perkawinan oleh orang tuanya, tidak cukup hanya mencari ketentuan-ketentuan dalam BW saja, tetapi harus dihubungkan juga dengan pasal 278 KUH Pidana.
4.      Interpretasi Historis
Interpretasi historis ini dilakukan dengan cara meneliti sejarah terjadinya undang-undang tersebut. Jadi merupakan penjelasan menurut terjadinya undang-undang. Undang-undang itu tidak terjadi begitu saja. Undang-undang selalu merupakan reaksi terhadap kebutuhan sosial untuk mengatur, yang dapat dijelaskan secara historis. Namun bagi ahli hukum penafsiran ini makin lama makin berkurang kegunaannya jika umur undang-undang tersebut semakin tua, karena memang masyarakat terus berkembang.
Contoh penerapan intepretasi historis jika ingin mengerti makna undang-undang nomor 1 tahun 1974 hanya dapat dimengerti dengan meneliti sejarah tentang emansipasi wanita.
5.      Interpretasi Komparatif
Interpretasi komparatif atau penafsiran dengan jalan memperbandingkan adalah penjelasan berdasarkan perbandingan hukum. Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai suatu ketentuan undang-undang. Terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian international ini penting, karena dengan pelaksanaan yang seragam direalisir kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional sebagai hukum objektif atau kaedah hukum untuk beberapa Negara. Di luar hukum perjanjian internasional kegunaan metode ini terbatas.
6.      Interpretasi Futuristis
Interpretasi futuristis atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi adalah penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum. sebagai contoh adalah ketika hakim hendak memutus suatu perkara hakim sudah membayangkan bahwa undang-undang yang digunakan akan segara diganti dengan undang-undang baru yang masih menjadi rancangan undang-undang. Untuk mengantisipasi perubahan itu hakim berfikir futuristis jika ternyata rancangan undang-undang itu disahkan maka putusan ini akan berdampak berbeda, oleh karena itu hakim memutus berdasarkan pertimbangan-pertimbangan lain di luar undang-undang yang berlaku saat itu.
Interpretasi ini mempunyai banyak kekurangan karena tidak adanya jaminan bahwa RUU yang akan menggantikan undang-undang terkait benar-benar disahkan atau tidak, semua hanya bergantung pada keyakinan hakim saja.
Selain dari pada interpretasi-interpretasi yang dijelaskan diatas, ada juga interpretasi lainnya yaitu interpretasi reskriptif, interpretasi ekstensif. Yang sebenarnya bukan bagian dari metode penafsiran sebagaimana dalam metode interpretasi. Namun lebih kepada penafsiran yang ada dalam undang-undnag yang bersifat perluasan maupun penyempitan makna gramatikal suatu aturan.
  • Metode Argumentasi/ Konstruksi Hukum


Selain metode interpretasi, dalam penemuan hukum juga dikenal metode argumentasi atau lebih dikenal dengan konstruksi hukum. Berbeda dengan metode interpretasi metode ini digunakan ketika dihadapkan kepada situasi adanya kekosongan hukum (rechts vacuum) sedangkan pada metode interpretasi persitiwa tersebut sudah di atur di dalam undang-undang hanya saja pengaturannya masih belum jelas. Berdasarkan asas ius curia novit (hakim tidak boleh menolak perkara untuk diselesaikan dengan dalil hukumnya tidak ada atau belum mengaturnya) maka metode konstruksi hukum ini sangat penting demi menjamin keadilan. Metode-metode konstruksi hukum itu dapat dibagi sebagai berikut :
  • Metode Argumentum Per Analogium (Analogi)

Analogi merupakan metode penemuan hukum di mana hakim mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum baik yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang belum ada peraturannya.
Sebagai contoh dapat dilihat pasal 1576 BW, yang mengatur bahwa jual beli tidak memutuskan hubungan sewa-menyewa. Kemudian dalam praktik, perkara yang di hadapi adalah apakah hibah juga tidak memutuskan hubungan sewa menyewa atau sebaliknya? Karena undang-undang hanya mengatur tentang jual beli dan tidak tentang hibah, maka hakim harus melakukan penemuan hukum agar dapat membuat putusan dalam perkara tersebut. Dengan metode analogi pertama-tama hakim mencari esensi dari perbuatan jual beli, yaitu peralihan hak, dan kemudia dicari esensi dari perbuatan hibah, yaitu juga peralihan hak. Dengan demikian, ditemukan bahwa peralihan hak merupakan genus (peristiwa umum), sedangkan jual beli dan hibah masing-masing adalah species (peristiwa khusus), sehingga metode analogi ini menggunakan penalarana induksi yaitu berfikir dari peristiwa khusus ke peristiwa umum. Keismpulannya, hibah juga tidak memutuskan hubungan sewa menyewa. Dengan analogi maka peristiwa yang serupa, sejenis, atau mirip dengan yang diatur dalam undang-undang diperlakukan sama.
  • Metode Argumentum a Contrario

Metode ini memberikan kesempatan kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan bagi peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya. Karena ada kalanya suatu peristiwa tidak secara khusus diatur oleh undang-undang, tetapi kebalikan dari peristiwa tersebut diatur oleh undang-undang. Jadi metode ini mengedepankan cara penafsiran yang berlawanan pengertiannya antara peristiwa konkret yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang.
Sebagai contoh ketentuan adanya masa iddah dan waktu menunggu bagi seorang janda yang diatur dalam peraturan pemerintah nomor 9 yahun 1975. Namun bagaimana halnya dengan seorang duda? Apakah mempunyai masa iddah? Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan memang secara tegas tidak mengatur mengenai masa iddah bagi seorang duda, oleh karena itu dengan digunakannya logika a  contrario, yaitu memperlakukan kebalikannya dari peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 tersebut, sehingga seorang duda tidak perlu menunggu waktu tertentu apabila hendak kawin lagi.
  •  Metode Penyempitan Hukum

Kadang-kadang peraturan perundang-undangan itu ruang lingkupnya terlalu umum atau luas, maka perlu dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu. Dalam menyempitkan hukum dibentuklah pengecualian-pengecualian atau penyimpangan-penyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang sifatnya umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan member ciri-ciri.
Sebagai contoh penyempitan hukum adalah pengertian “perbuatan melawan hukum” yang tercantum dalam pasal 1365 BW yang cakupan maknanya luas apakah yang dimaksud dengan hukum itu sendiri? akibatnya ruang lingkupnya dipersempit menjadi apa yang kita jumpai dalam yurisprudensi putusan HR 31 Januari 1919 kasus Lindenbaum vs Cohen yaitu perbuatan melawan hukum dipersempit menjadi perbuatan melawan undang-undang dan kepatutan.

Daftar Pustaka
Mertokusumo, Sudikno,  2009,  Penemuan Hukum, Cet. Ke-6, Yogyakarta: Liberty

Komentar