Perlindungan Buruh Migran dalam Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Tinjauan Perlindungan Hukum Buruh Migran dalam UU No.13 Tahun 2003)
oleh:
Cipto Prayitno
email: bukitshimla@gmail.com
I.
Pendahuluan
Definisi buruh migran atau pekerja migran itu
sangat luas meskipun lebih sering di artikan sebagai Tenaga Kerja Indonesia
(TKI) yang bekerja di Luar Negeri. Arti umumnya adalah orang yang bermigrasi
atau berpindah dari wilayah kelahiran atau lokasi tinggal yang bersifat tetap
untuk keperluan bekerja. Guna keperluan bekerja tersebut, pekerja migran akan
menetap di tempat bekerja tersebut dalam kurun waktu tertentu.[1]
Sedangkan pengertian buruh migran atau TKI di dalam Kepmenakertrans Nomor KEP-104
A/MEN/2012, tenaga kerja indonesia adalah warga negara Indonesia baik laki-laki
maupun perempuan yang bekerja di luar negeri dalam jangka waktu tertentu
berdasarkan perjanjian kerja melalui prosedur penempatan TKI.
Dari definisi tersebut jika kita kaitkan
dengan pengertian tenaga kerja yang ada di dalam pasal 1 ayat (2) dan
pengertian pekerja/buruh yang ada di dalam pasal 1 ayat (3) UU No. 13 tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut sebagai UU
Ketenagakerjaan, maka pengertian buruh migran diatas adalah masuk dalam
kategori pengertian tenaga kerja dan pekerja/buruh yang dimaksud di dalam UU
Ketenagakerjaan. Sehingga pada akhirnya ada suatu kewajiban hukum bagi UU ini
untuk mengatur masalah buruh migran, tidak hanya perlindungan terhadap tenaga
kerja yang ada dalam hubungan industrial saja.
Dari data Laporan Indonesia kepada Pelapor
Khusus PBB untuk Hak Asasi Buruh Migran pada tahun 2002[2]
saja, buruh migran indonesia menghadapi
eksploitasi dan penyiksaan yang sistematis dalam keseluruhan proses migrasi dan
penempatan kerja sebagai sebuah dampak dari kebijakan-kebijakan yang bias,
penyusunan kontrak dan perjanjian internasional yang buruk, serta gagal
melindungi hukum dan menciptakan mekanisme yang menguatkan buruh. Akibatnya,
setidaknya 20.000 buruh migran Indonesia per tahun kembali dengan persoalan
–persoalan yang tidak diselesaikan, mulai dari pelecehan hak-hak buruh hingga
ke fisik , psikologi dan penyiksaaan seksual. Ditambah dengan
permasalahan-permasalahan yang banyak sekarang muncul tentang penyiksaan
terhadap buruh migran, sampai yang terakhir Satinah. Hingga pada akhirnya harus
ada kajian yang komprehensif mengenai bagaimana perlindungan buruh migran yang
ada di dalam sistem hukum nasional Indonesia sekarang.
Disatu UU Ketenagakerjaan yang dipandang
sebagai salah satu hukum positif yang mengatur masalah tenaga kerja di Indonesia
seolah tidak memberikan jaminan yang pasti mengenai pengaturan dan perlindungan
tenaga kerja khsuusnya buruh migran Indonesia yang ada di Luar Negeri. Sehingga
pada akhirnya harus ada kajian yang komprehensif terhadap hukum positif ini
yaitu UU Ketenagakerjaan mengenai perlindungan buruh migran di dalamnya.
Dari uraian latar belakan diatas dapat
ditarik beberapa permaslahan yang dapat dijadikan landasan pendiskusian dalam
makalah ini.
- Bagaimanakah ruang lingkup perlindungan hukum tenaga kerja dalam UU ketenagakerjaan
- Bagaimanakah perlindungan buruh migran di dalam UU Ketenagakerjaan?
II.
Pembahasan
A. Pengertian Buruh Migran
Definisi buruh migran atau pekerja migran itu
sangat luas meskipun lebih sering di artikan sebagai Tenaga Kerja Indonesia
(TKI) yang bekerja di Luar Negeri. Arti umumnya adalah orang yang bermigrasi
atau berpindah dari wilayah kelahiran atau lokasi tinggal yang bersifat tetap
untuk keperluan bekerja. Guna keperluan bekerja tersebut, pekerja migran akan
menetap di tempat bekerja tersebut dalam kurun waktu tertentu.[3]
Sedangkan pengertian buruh migran atau TKI di dalam Kepmenarkertrans Nomor
KEP-104 A/MEN/2012, tenaga kerja indonesia adalah warga negara Indonesia baik
laki-laki maupun perempuan yang bekerja di luar negeri dalam jangka waktu
tertentu berdasarkan perjanjian kerja melalui prosedur penempatan TKI.
Didalam Konvensi Perlindungan Buruh Migran
dan Keluarganya pengertian buruh migran atau TKI adalah di dalam pasal 2 ayat
(1), yaitu:
Istilah “buruh migran” mengacu pada seseorang yang akan,
tengah atau telah melakukan pekerjaan yang dibayar dalam suatu Negara di mana
ia bukan menjadi warganegara;
B. Perlindungan Hukum Tenaga Kerja di dalam UU Ketenagakerjaan
Perlindungan hukum secara singkat dapat
dijelaskan sebagai perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum tertentu
yang dijamin oleh hukum positif suatu negara. Sehingga jika kita menelaah
dimensi ruang lingkup perlindungan hukum di dalam UU Ketenagakerjaan, maka kita
harus menguraikan pasal-pasal yang ada di dalamnya, karena perlindungan hukum
yang dimaksud seperti dalm pengertian diatas adalah perlindungan yang termaktub
di dalam pasal-pasal UU ketenagakerjaan baik secara limitaif atau tertulis
maupun secara tersirat saja.
Salah satu tujuan dari adanya perlindungan
yang diberikan oleh UU Ketenagakerjaan adalah dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan tenaga kerja (pasal 4 huruf (c)).[4]
Sehingga perlindungan oleh negara dalam melindungi tenaga kerja amat dibutuhkan
sebagai sarana tercapainya kesejahteraan tenaga kerja.
Beberapa pasal yang secara tersirat dan
tersurat memuat mengenai perlindungan tenaga kerja:
- Bab IX tentang Hubungan Kerja dari pasal 51 – 66
- Bab X tentang Perlindungan, Pengupahan, dan Kesejahteraan dari pasa; 67 – 101
- Bab XI tentang Hubungan Industrial dari pasal 102 – 149
- Bab XII tentang Pemutusan Hubungan Kerja dari pasal 150 – 172
Dari pasal-pasal tersebut diatas adalah
perlindungan hukum yang dijamin oleh UU Ketenagakerjaan yang berada dalam
sektor formal, atau perlindungan untuk tenaga kerja dalam artian formal atau
lebih khusunya adlah perlindungan terhadap tenaga kerja dalam pengertian yang
ada dalam tenaga kerja industrial saja.
Sedangkan jika kita kita menelaah pengertian buruh migran
baik secara gramatikal, secara sosiologis maupun secara yurudis yang tercantum
dalam Di dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (“UU
No.39/2004”) disebutkan bahwa:
“Tenaga Kerja Indonesia yang
selanjutnya disebut dengan TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang
memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka
waktu tertentu dengan menerima upah “
Maka kita tidak akan menemukan perlindungan
hukum untuk buruh migran di dalam UU Ketenagakerjaan. Yang padahal secara
gramatikal, judul UU Ketenagakerjaan dan dari pengertian Tenaga Kerja dalam
Pasal 1 ayat (2) dan pengertian Pekerja/Buruh dalam Pasal 1 ayat (3) adalah
melingkupi pengertian tanaga kerja yang begitu luas, tidak hanya dalam sektor
formal/tenaga kerja industrial saja, akan tetapi tenaga kerja secara luas
termasuk tenaga kerja dalam arti material.
Pengertian dan ruang lingkup UU
Ketenagakerjaan begitu luas termasuk pengaturan mengenai buruh migran di
dalamnya, akan tetapi dalam hal perlindungan hukum tidak mengatur hal tersebut.
Ini terlihat dari Bab VI tentang penempatan Tenaga Kerja yang salah satunya
adalah penempatan tenaga kerja di Luar Negeri (dalam pasal 33 (b)), akan tetapi
bab untuk perlindungan tenaga kerja yang ada di Luar negeri tidak dibahas sama
sekali dalam UU Ketenagakerjaan. Hal ini sangat tidak konsisten, yang pada
akhirnya menimbulkan kerancuan dan ketidak-pastian dalam hal pengeturan secara
komprehensif mengenai pengaturan buruh migran (TKI) termasuk perlindungan
hukumnya.
Ruang lingkup pembahasan mengenai tenaga
kerja yang ada di dalam UU Ketenagakerjaan hanya dalam pengertian tenaga kerja
secara formal, yaitu tenaga kerja yang masuk dalam kategori tenaga kerja dalam
hubungan industrial saja. Selain tenaga kerja dalam hubungan industrial tidak
ada bahasan sama sekali di dalam UU Ketenagakerjaan, apalagi masalah
perlindungan hukumnya.
Padahal jika kita melihat pengertian hukum
ketenagakerjaan dari para sarjana, tidaklah memberikan batasan mengenai siapa
tenaga kerja yang dimaksud. Artinya adalah pembahasan mengenai tenaga kerja
secara luas tidak hanya tenaga kerja dalam hubungan industrial saja.
Perlindungan mengenai buruh migran hanya
tercantum dalam UU No. 35 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia di Luar Negeri atau yang selanjutnya disebut sebagai UU PPTKI.
Sehingga menimbulkan penafsiran yang makin mempersempit bahasan UU
Ketenagakerjaan itu sendiri. Yang mana di dalam UU PPTKI lebih condong ke arah
pembahasan mengenai TKI yang ada di luar negeri, namun berbeda dengan yang ada
di dalam UU Ketenagakerjaan.
Perlindungan hukum untuk buruh migran malahan
diatur di dalam UU di luar UU Ketenagakerjaan yaitu di dalam Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
di Luar Negeri dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2012 Tentang
Pengesahan International Convention On The Protection Of The Rights Of All Migrant Workers And Members
Of Their Families (Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh
Pekerja Migran Dan Anggota Keluarganya).
C. Perlindungan Hukum tenaga Kerja dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004
Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
Seperti yang dijelaskan dalam artikel dimuka,
bahwa perlindungan yang diberikan kepada buruh migran adalah diberikan kepada
pihak swasta yaitu Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PJTKIS),
dengan demikian negara melepaskan perannya dalam perlindungan buruh migran yang
ada di Luar Negeri.[5] Hal ini
terlihat dari beberapa kasus yang disatu sisi membutuhkan peran negara, akan
tetapi disatu sisi negara ada kebimbangan untuk melakukan pembantuan terhadap
buruh migran tersebut.
Dengan perlindungan oleh swasta yang
demikian, maka akan menimbulkan kecenderungan dimana buruh migran di Indonesia
adalah tidak bedanya dengan komoditas yang diperjual-belikan kepada pihak
asing.
Yang seharusnya dalam penempatan dan
perlindungan buruh migran di luar negeri haruslah menjadi tanggung jawab negara
sebagai pelindung warga negaranya sebagaimana diamanatkan didalam Pembukaan UUD
1945. Dan juga dengan penempatan dan perindungan oleh negara, maka
kecenderungan buruh migran sebagai komoditas akan diminimalisir karena
kecenderungan untuk mendapatkan keuntungan tidak dilakukan oleh negara, berbeda
hal ketika diserahkan kepada pihak swasta yang notabene akan selalu mencari
keuntungan.
Pasal 6 dan Pasal 7 UU No. 39/2004, mengatur
bahwa Pemerintah bertanggung jawab dan memberikan perlindungan terhadap TKI di
luar negeri. Hal ini berarti bahwa Pemerintah harus menjamin kepastian keamanan
dan perlindungan hukum bagi TKI yang ditempatkan di luar negeri. Akan tetap
jika tetap penempatan buruh migran dilakukan oleh pihak swasta, maka
perlindungan yang diberikan oleh negara adalah tidak semaksimal jika hal
tersebut dipegang oleh negara dalam melakukan penempatan tenaga kerja. Yaitu
dengan menjadikan buruh migran sebagai komoditas dan ketika buruh dianggap
sebagai barang dagangan, maka sang najikan akan memperlakukan buruh migran
seenaknya dan sewenang-wenang, sehingga menimbulkan tidak ada langkah
perlindungan preventif yang dilakukan oleh negara.
D. Perlindungan Hukum dalam Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan
Keluarganya
Dengan diratifikasinya konvensi tentang
perlindnungan buruh migran dan keluarganya di dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 2012 Tentang
Pengesahan International Convention On The Protection Of The Rights Of All
Migrant Workers And Members Of Their Families (Konvensi Internasional Mengenai
Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja
Migran Dan Anggota Keluarganya), maka dengan begitu Pemerintah Indonesia
mengakui dan terikat dalam konvensi tersbut. Yang mana dalam beberapa analisis
yang ada, bahwa perlindungan yang diberikan oleh Konvensi ini lebih luas dan lebih
melindungi buruh migran itu sendiri. Hal ini terlihat dari beberapa pasal yang
ada di dalam Konvensi ini yang memberikan perlindungan begitu rigit dan
limitatif dan juga begitu luas.
Hal ini diperkuat dengan pendapat dari
Anis Hidayah direktur eksekutif Migrant Care[6],
beliau menyampaikan bahwa “Ratifikasi pemerintah Indonesia terhadap Konvensi
Buruh Migran menunjukkan komitmen kuat untuk melindungi warga negaranya saat
mereka direkrut dan bekerja di luar negeri dan saat mereka pulang ke
Indonesia,” “Ini perkembangan yang sangat positif bagi buruh migran perempuan
dan laki-laki yang berkorban luar biasa untuk mendukung keluarga mereka, dan
yang terlalu sering mengalami kekerasan.” Konvensi Internasional 1990 tentang
Perlindungan Hak-Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya (Konvensi Buruh
Migran) menjamin hak asasi para migran dan menjanjikan
perlindungan pemerintah dari kekerasan majikan, agen perekrutan, dan pejabat
publik. Konvensi ini salah satu dari sembilan perjanjian inti dari sistem HAM
internasional.
Dengan demikian, bahwa Pemerintah
Indonesia ada kemauan untuk melakukan perlindungan terhadap buruh migran yang
ada di luar negeri.
III.
Penutup
Dalam UU ketenagakerjaan yang berlaku di
indonesia tidak memberikan perlindungan yang nyata terhadap buruh migran
Indonesia yang bekerja di luar negeri. Padahal segaia hukum poisitif yang
menagtur maslah tenaga kerja di indonesia, seharusnya UU Ketenagakerjaan mengatur
mengenai perlindungan buruh migran secara tegas dan jelas, tidak hanya
perlindunga terhadap tenaga kerja secara formal atau tenaga kerja industrail
saja.
Dilain sisi, dalam UU Penempatan Tenaga Kerja
di Luar Neger, bentuk perlindungan negara terhadap buruh migran adalah tidak
konsisten dengan memberikan kewenangan penempatan tenaga kerja inodesia ke luar
negeri kepada pihak swasta, yang mana hal ini berdampak pada kecenderungan
menempatkan buruh migran sebagai komoditas yang berakhir pada penyiksaan dan
tindakan sewenang-wenang sang majikan.
Akan tetapi, dengan meratifikasi konvensi
perlindungan buruh migran dan keluarganya terlihat ada kemauan pemerintah untuk
melindungi buruh migran atau TKI yang ada di luar negeri.
IV.
Daftar Pustaka
Literatur/Buku
Khakim, Abdul, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia
Berdasrkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Cet-I, Bandung: Pt. Citra Aditya
Bakti.
Laporan Indonesia Kepada Pelapor Khusus Pbb Untuk Hak Asasi Buruh
Migran, Kuala Lumpur 2 Juni 2002.
Majalah
Chairunnissa Sn., “Pahlawan Devisaku, Nasibm Kini”, Pro-Justitia, Edisi Xxii/Th.Xxii 2011, Hal 40.
Internet
Edi Suharto, Ph.D, Permaslahan
Pekerja Migran: Perspektif Pekerjaan Sosial, Http://Www.Policy.Hu/Suharto/Modul_A/Makindo_35.Htm, Diakses Pada 14 Juli 2014.
Buruh Migran Indonesia: Penyiksaan Sistematis
Di Dalam Dan Luar Negeri, Human Right Wacth, Dpr Setujui
Konvensi Buruh Migran, 12april 2012,
Http://Www.Hrw.Org/Zh-Hans/Node/110033, Diakses Pada 14 Juni 2014.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
Di Luar Negeri
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Pengesahan International
Convention On The Protection Of The Rights Of All Migrant Workers And Members
Of Their Families (Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh
Pekerja Migran Dan Anggota Keluarganya)
Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi
Nomor Kep-104 A/Men/2012 Tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Di
Luar Negeri
[1] Edi Suharto, Ph.D, Permaslahan
Pekerja Migran: Perspektif Pekerjaan Sosial, http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_35.htm,
diakses pada 14 Juli 2014.
[2] Buruh Migran Indonesia:
Penyiksaan Sistematis di Dalam dan Luar Negeri, Laporan
Indonesia kepada Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Buruh Migran, Kuala
Lumpur 2 Juni 2002.
[3] Ibid., Edi Suharto, Ph.D.
[4] Abdul Khakim, S.H., 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia
Berdasrkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003, Cet-I, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, hal. 59.
[5] Chairunnissa SN., “Pahlawan Devisaku, Nasibm Kini”, Pro-Justitia, edisi XXII/th.XXII 2011,
hal 40.
[6] Human Right Wacth, DPR Setujui
Konvensi Buruh Migran, 12April 2012,
http://www.hrw.org/zh-hans/node/110033,
diakses pada 14 Juni 2014.
Komentar
Posting Komentar