Langsung ke konten utama

Tentang Penemuan Hukum (Bag.IV-Elemen dan Sumber Penemuan Hukum)


oleh:
Cipto Prayitno
email: bukitshimla@gmail.com


Elemen dan Sumber Penemuan Hukum
            Mata kuliah penemuan hukum pada pertemuan ke empat (4) membahas mengenai sumber penemuan hukum yang ada di Indonesia khususnya. Dalam pertemuan ke 4 tersebut hanya dipaprkan mengenai sumber-sumber hukum tidak dijelaskan mengenai elemen dari penemuan hukum. Sebagai konsekuensi adanya report mingguan tentang materi penemuan hukum, maka akan dijelaskan secara singkat mengenai “elemen dan sumber penemuan hukum”.

Elemen  Penemuan Hukum
            Dalam literature-literatur penemuan hukum tidak ditemukan tentang penggunaan gramatikal elemen penemuan hukum. Sehingga untuk mengetahui dan menjelaskan apa yang dimaksud dengan elemen hukum perlu dijelaskan secara gramatikal yang berangkat dari konsepsi asli apa itu elemen? Dan apa itu penemuan hukum? Baru untuk kemudian dapat dikonsepsikan mengenai apa itu elemen penemuan hukum?
            Dikutip dari Wikipedia.org bahwa pengertian elemen berasal dari kata latin elementum yan berarti “bagian-bagian dasar yang mendasari sesuatu”. Sedangkan dalam kuliah sebelumnya telah dijelaskan arti dari kata penemuan hukum. Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan hukum umum pada peristiwa konkrit.[1]
            Dari paparan diatas mengenai arti masing-masing elemen dan penemuan hukum, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian elemen penemuan hukum adalah hal-hal yang mendasari adanya penemuan hukum (proses pembentukan hukum oleh hakim dan apart lainnya) diterapkan dalam sebuah kasus konkrit tertentu. Atau secara singkatnya bisa dikatan sebagai “apa dasar hukum dari penemuan hukum?”
            Secara konsepsi dasar (elemen) dari penemuan hukum ada dua, yaitu dasar secara teoritis dan dasar berdasarkan hukum poisitif. Dasar teoritis artinya adalah bahwa terjadinya penemuan hukum secara konsep teori bagaimana? Secara sejarah bahwa penemuan hukum adalah bentuk protes atas pandangan legisme yang memandang bahwa hakim hanya sebatas corong undang-undang (ius curia novit). Landasan teoritis yang kedua adalah bahwa hakim sebagai seorang pemutus perkara dalam asasnya tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada dasar hukumnya (terjadi kekosongan hukum atau hukumnya tidak jelas), sehingga menjadi wajib dalam penerapan hukum baik oleh hakim maupun fungsionaris hukum lainnya ketika terjadi kekosongan hukum atau dasar hukum yang tidak jelas maka disitulah terjadi penemuan hukum. Secara teoritis berarti elemen atau dasar penemuan hukum terjadi karena:
  1. Hakim bukan sebagai corong undang-undang, sehingga hakim harus bisa memutuskan perkara tidak hanya berdasarkan pada undang-undang atau hukum tertulis (legisme).
  2. Asas hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak adanya dasar hukumnya (kekosongan hukum atau hukumnya tidak jelas).

Dasar atau elemen penemuan hukum yang kedua adalah dasar hukum positif, secara khusus di Indonesia mengenai dasar hukum positif dari penemuan hukum dibahas secara singkat dalam bukum Penemuan Hukum oleh Sudikno Mertokusumo. Jika diringkas maka dasar penemuan hukum secara positif oleh Sudikno mertokusumo adalah:[2]
  1. Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 bahwa kekuasaan hakim adalah kekuasaan ayng merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum RI. Pasal ini adalah landasan “kebebasan” hakim untuk melakukan penemuan hukum.
  2. Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, bahwa hakim harus mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang. Pasal ini menetukan hakim tidak boleh keluar dari sistem hukum sehingga harus menemukan hukumnya.
  3. Pasal 16 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas.
  4. Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.  

Sumber-Sumber Hukum
Memahami sumber hukum untuk mengetahui dimana dapat ditemukan hukum (sumber hukum formil), dan apa yang menjadi sumber (kekuatan) mengikat hukum (sumber hukum materiil). Sumber hukum materiil:
  1. Menjawab pertanyaan mengapa orang mentaati hukum 
  2. Ada beberapa faktor yang menentukan:

-          Faktor sosial atau pengaruh masyarakat dan kaidah-kaidah sosial pada seseorang
-          Faktor manusia itu sendiri berkaitan dengan tingkat ketaatan (metayuridis)
-          Berdasarkan teori-teori antara lain: teori hukum alam, aliran positivimse, teori kedaulatan

Sumber-sumber hukum, dipakai dalam 2 arti untuk menjawab mengenai:
  1. “mengapa hukum itu mengikat?” atau apa sumber (kekuatan) hukum hingga mengikat atau dipatuhi? à ini merupakan sumber hukum materiil
  2. “dimana kita bisa menemukan aturan hukum?” à sumber hukum formiil.
  3. Keduannya sangat penting dan sama-sama penting, namun untuk mempelajari hukum positif, sumber hukum formil jauh lebih penting untuk dipahami dalam rangka pengetahuan praktis. Sedangkan sumber hukum materiil untuk kepentingan teoritis hukum dna bersifat metayuridis atau persoalan diluar hukum.

Sumber hukum formil terdiri dari:
  1. Peraturan perundang-undangan
  2. Kebiasaan
  3. Keputusan pengadilan (yurisprudensi)
  4. Traktak (perjanjian)
  5. Pendapat ahli hukum terkemuka (sebagai sumber tambahan)


Dari uraian diatas bisa dilihat bahwa sumber hukum ada dua yaitu dari aspek kenapa orang mentaati hukum (sumber materiil) dan dimana dasarnya orang menaati hukum (sumber formil). Tentu jika dikaitkan dengan penemuan hukum maka yang paling bisa dibahas adalah sumber hukum dalam pengertian formil. Kenapa? Karena dalam penemuan hukum adalah penerapan hukum yang berlaku di suatu wilayah tertentu dalam kasus tertentu. Jelas bahwa hal ini adalah dimensi pembahasan mengenai sumber hukum dalam arti formil.
Penemuan hukum sebagai penerapan hukum dimana hakim dan fungsionaris hukum lainnya dituntut untuk membentuk hukum atas suatu penerapan kasus konkrit tertentu haruslah melihat secara runtut (dalam pengertian hierarkis) suatu norma yang dimulai dari peraturan perundang-undangan. Ketika dalam UU tidak ditemukan hukumnya maka hakim wajib menggali nilai-nilai yang ada dalam masyarakat (kebiasaan dan hukum adat masyarakat), kemudia yurisprudensi mengenai kasus yang sama atau memiliki kesamaan, kemudian traktak atau perjanjian dan terakhir adalah doktrin hukum.
Dalam penemuan hukum meskipun terdapat sumber hukum formil dalam penemuan hukum, namun hakim tidak boleh seenaknya tidak menerapkan undang-undang dalam suatu putusan. Hal ini karena dalam penemuan hukum undang-undang adalah hal yang paling penting atau diprioritaskan dalam penerapan hukum, karena dalam undang-undang terdapat kepastian hukum.[3] Jika dalam pencarian hukumnya di undang-undang atau hukum tertulis tidak ditemukan, barulah hakim menggunakan kebiasaan dst.



Daftar Pustaka
Mertokusumo, Sudikno,  2009,  Penemuan Hukum, Cet. Ke-6, Yogyakarta: Liberty




[1] Sudikno Mertokusumo dalam Ibid., hal. 16.
[2] Sudikno Mertokusumo, 2009,  Penemuan Hukum Suatu Pengantar, cet. Ke-6, Yogyakarta: Liberty, hal. 46-47
[3] Ibid., hal. 48

Komentar