Langsung ke konten utama

Tentang Penemuan Hukum (Bag.V-Aliran-Aliran Penemuan Hukum)


oleh:
Cipto Prayitno
email: bukitshimla@gmail.com


Aliran-Aliran Penemuan Hukum
            Materi selanjutnya dalam mata kuliah penemuan hukum adalah aliran-aliran dalam penemuan hukum. Sebelum sampai pada penjelasan tentang berbagai aliran dalam penemuan hukum, tentu akan lebih sistematis jika dalam tulisan ini akan berangkat dari memahami hakikat mengapa terdapat aliran-aliran dalam penemuan hukum? Bagaimana perbedaann dari setiap aliran-aliran penemuan hukum? Kira-kira seperti itulah pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab dalam menjelaskan mengenai aliran dalam penemuan hukum, agar dapat ditemukan pemahaman yang sistematis dan komprehensif.
            Untuk menjawab pertanyaan pertama mengenai mengapa terdapat aliran-aliran dalam penemuan hukum? Maka perlu membicarakan sejarah munculnya aliran-aliran dalam penemuan hukum ini. Dalam Sudikno Mertokusumo disebutkan bahwa sebenarnya aliran-aliran dalam penemuan hukum ini adalah berbicara tentang aliran-aliran dalam sumber hukum.[1] Artinya bahwa kaitannya dengan sejarahnya bahwa keberadaan aliran-aliran dalam penemuan hukum ini adalah membicarakan manakah yang “pantas” menjadi landasan (sumber) hukum yang nantinya akan diterapkan dalam suatu peristiwa tertentu.
            Sejalan dengan pertanyaan kedua tentang Bagaimana perbedaann dari setiap aliran-aliran penemuan hukum? Bahwa berdasarkan pada sumber hukum terdapat sumber hukum formil dan sumber hukum materiil, dan jika disederhanakan lagi maka terdapat sumber hukum yang tertulis yang mendasarkan pada kepastian dengan sumber hukum tidak tertulis yang mendasarkan pada kebiasaan masyarakat (cenderung tidak pasti dan beragam). Dari pandangan siapa yang “pantas” menjadi landasan utama atau sumber hukum utama dalam hukum, apakah hukum tidak tertulis atau hukum tertulis, maka lahirlah apa yang disebut sebagai aliran-aliran dalam penemuan hukum.
            Untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan tiap aliran akan disajikan dengan model pemaparan dengan table, untuk mempermudah pemahaman mengenai masing-masing aliran.[2]
Aliran Hukum
Latar Belakang Sejarah
Sumber Hukum yang diakui
Asal Hukum yang Berlaku
Legisme
Reaksi atas ketidak-pastian hukum kebiasaan pada abad 19 di Eropa, sehingga dilakukan penyeragaman hukum melalui kodifikasi
Hanya undang-undang
Hukum yang berlaku adalah hukum dari kehendak penguasa tertinggi
Mahzab Historis
Kritik atas kekosongan aturan dan ketidak-jelasan undang-undang (legisme) pada abad 20 oleh Von Savigny
Hukum kebiasaan atau hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law), selain dari undang-undang sebagai bentuk kodifikasi hukum
Hukum yang berasal dari jiwa bangsa (volkgeist) – hukum ang hidup dalam masyarakat
Begriffsjurisprudence
Kritik atas undang-undang yang tidak mampu mengikuti perkembangan, sehingga diperlukan peranan Yurisprudensi (oleh Rudolf Von Jhering)
Undang-undang, hukum kebiasaan dan yurisprudensi sebagai titik tekan utama pandangan ini (namun bersifat tertutup)
Hukum dilihat sebagai sistem yang tertutup ynag mencakup segala-galanya dan mengatur semua perbuatan sosial dan bersifat ilmiah
Interresenjurisprudence
Reaksi atas Begriffsjurisprudence – dimana hukum merupakan friksi kepentingan
UU, kebiasaan dan yurispredensi sebagai titik tekan, dimana hakim dalam memutus tidak boleh hanya mendasar pada panafsiran UU yang formal-logis semata, akan tetapi karena hukum sebagai friksi kepentingan, hakim dalam memutus harus berdasarkan pada tujuannya.
Hukum adalah pertentangan kepentingan dimana segala peraturan (termasuk UU) dibuat memiliki tujuan tertentu, yaitu satu pilihan atas beberapa kepentingan lainnya.
Freirechtbewegung
Reaksi atas legisme di Jerman oleh Kantorowich (1877-1940)
UU, Kebiasaan, yurisprudensi sebagai titik tekan, dimana subyektifitas hakim sangat menonjol dalam aliran ini, karena menurut aliran ini bahwa hakim dapat melakukan Penemuan Hukum Bebas, yaitu penemuan hukum yang bisa menyimpangi UU dengan mengikuti perkembangan zaman.
Hukum merupakan gerak perkambangan zaman, sehingga subyektifitas hakim dalam memutus perkara dengan melihat perkembangan zaman sangat penting selain UU itu sendiri.
Penemuan Hukum Modern
Kritik atas hakim sebagai corong UU semata (Komen- 1988)
UU, kebiasaan, dan yurisprudensi sebagai titik tekan, dimana titik tekannya adalah masalah penyelesaian problem kemasyarakatan, bukan problem perundang-undangan semata. Sehingga hakim harus mampu menjadi menafsirkan suatu permasalahan untuk penyelesaian (biasanya digunakan metode teleologis)
Hukum adalah untuk kepentigan manusia, sehingga dalam setiap aspek penegakan hukum harus didasrkan pada untuk penyelesaian problem kemanusiaan, termasuk hakim dalam memutus harus mampu menimbang-nimbang setiap hal yang mendasari suatu perkara, dan demi kepentingan masyarakat.

            Tentunya aliran-aliran ini harus dilihat sebagai bagian dari pemahaman mengenai penemuan hukum, dimana penemuan hukum sendiri keberadaannya sangatlah berkaitan dengan masalah penegakan hukum dan penerapan hukum oleh para fungsionaris hukum, termasuk oleh hakim dalam memutus suatu perkara (judge made law). Sehingga tentunya peran yurisprudensi adalah sebagai tolak ukur yang utama dalam pembicaraan aliran-aliran penemuan hukum ini termasuk juga keberadaan sumber hukum baik formil maupun materiil sebagai basis utama dalam penemuan hukum ini.
            Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa konsepsi perbedaan masing-masing aliran ini berangkat dari manakah pandangan tentang sumber hukum yang harus diterapkan? Apakah dari kebiasaan atau dari undang-undang an sich. Dari situlah muncul pandangan-pandangan yang berbeda mengenai bagaimana kedudukan yurisprudensi (putusan hakim) dalam putusan perkara, yang tentu dilatarbelakangi oleh pandangan menganai aliran-aliran tersebut.



Daftar Pustaka
Mertokusumo, Sudikno,  2009,  Penemuan Hukum, Cet. Ke-6, Yogyakarta: Liberty




[1] Sudikno Mertokusumo,  2009,  Penemuan Hukum, Cet. Ke-6, Yogyakarta: Liberty, hal. 94
[2] Table dikutip dari pandangan Sudikno Mertokusumo dalam Ibid., hal. 94-109

Komentar