Langsung ke konten utama

DELIK GAMIA GAMANA DITINJAU DARI PELANGGARAN ADAT DAN KUHP (Tinjaun Putusan Pengadilan Negeri Mataram Adat Kasus Pelanggaran Delik Adat Gamia Gamana atau Incest)


oleh:
Cipto Prayitno
email: bukitshimla@gmail.com

                I.            Pendahuluan
“...Pada 29 oktober 1987, Hakim (Ali Boediarto) Pengadilan Negeri Mataram, Lombok menjatuhi hukuman  terhadap I Komang Lanus sebagai ayah dengan Ni Nyoman Kerti sebagai anak kandung karena pebuatan hubungan kelamin dengan hukuman penjara kepada keduanya masing-masing selama dua (2) dan satu (1) tahun penjara dipotong selama mereka ditahan sementara dengan dasar putusan adalah delik adat Gamia Gamana...”[1]
Dari uraian artikel diatas dapat terjadi kasus incest atau hubungan antara ayah dan anak kandung yang terjadi di Bali, dalam penerapan hukumnya terdapat beberpaah hal yang menarik termasuk kajian hukum adat atau lebih tepatnya delik adat di dalam penyelesaian tersebut, sehingga di dalam kasus tersebut mempunyai dua sudut pandang penyelesaian yang berbeda, yaitu penyelesaian yang berdasarkan pada kajian tindak pidana tertentu yang masuk dalam ranah pidana materiil dan kajian delika adat yang masuk dalam kajian hukum adat.
Dari uraian diatas, dapat ditarik rumusan masalah, yaitu:
1.      Bagaimanakah Pandangan Hukum Adat dalam Penyelesaian Kasus Incest?
2.      Bagaimanakah Pandangan Hukum Pidana Nasional dalam Penyelesaian kasus Incest dalam perspektif Tindak Pidana Tertentu?

                II.            Pembahasan
Sebelum berbicara mengenai bagaimana putusan Pengadian Negeri Mataram tentang delik adat Gamia Gamana, akan lebih baiknya terlebih dahulu mengetahui apa yang disebut sebagai pelanggaran adat atau yang biasa disebut sebagai delik adat didalam masyarakat adat, serta melihat perbedaan antara sistem penghukuman didalam hukum pelanggrana adat dengan sistem pidana barat. Hal ini dilakukan agar dalam melihat putusan Pengadilan Negeri Mataram atas pelanggaran delik Gamia Gamana tidak hanya berpandangan pada KUHP saja yang notabene adalah mengaut pada sistem penghukuman didalam hukum pidana barat.
       A.    Pelanggaran Adat[2]
Berbicara mengenai perkembangan hukum di Indonesia pada masa sekarang tida bisa terlepas dari peran sistem hukum barat yang bercorak individualis, meskipun tidak dipungkiri masyarakat kita adalah didominasi masyarakat dengan tipe komunal atau sosialis. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan penerapan asas konkordansi hukum belanda kedalam hukum Indonesia sebagai akibat bekas tanah jajahan Belanda. Namun ditengah penerapan sistem hukum barat oleh pemerintah Indonesia keberadaan dan eksistensi hukum adat Indonesia sebagai hukum asli masyarakat Indonesia masih tetap ada dan ditaati oleh masyarakat. Antara hukum barat dan hukum adat sebagai hukum masyarakat Indonesia dengan corak komunal memiliki sistem hukum masing-masing yang berbeda antara keduanya.

       B.     Sistem Hukum Barat Dan Sistem Hukum Adat
Dalam sistem hukum barat dikenal beberapa ciri yang menonjol diantaranya adanya hukum yang bersifat tertulis, adanya kodifikasi dan adanya unifikasi. Berbeda halnya dengan sistem hukum adat ciri atau karakternya sangat bertolak belakang dengan sistem hukum barat, seperti hukum yang tidak tertulis, tidak adanya kodifikasi dan keanekaragaman tiap daeran atau bersifat setempat.
Disisi lain dalam sistem hukum barat dikenal adanya pembidangan hukum yang ada, seperti hukum publik yang mengatur hubungan negara dengan individu dan hukum privat yang mengatur hubungan individu dengan individu lainnya. Sehingga konsekuensinya terdapat beberapa lapangan hukum yang diantaranya seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum dagang, hukum tata negara, hukum administrasi negara, dll. Akan tetapi, lain halnya dengan sistem hukum adat yang tidak mengenal adanya bidang-bidang hukum seperti dalam sistem hukum barat, sehingga tidak dikenal penggolongan secara pasti adanya lapangan-lapangan hukum.

       C.     Pidana Dalam Sistem Hukum Belanda Dan Pelanggaran Adat
Dalam lapangan hukum pidana barat dikenal adanya hukum pidana materiil dan pidana formil, yang mana dalam pidana materiil akan berbicara mengenai masalah prinsip-prinsip hukum pidana seperti legalitas, presumption of innouncent dan eigen rechten, dll. Sedangkan dalam  hukum pidana formil yang artinya hukum yang mengatur tatacara untuk mempertahankan hukum materiilnya ranah yang paling signifikan adalah ranah untuk menuju kepengadilan.
Disisi lain, dalam sistem hukum adat meskipun tidak mengenal adanya pembagian lapangan hukum seperti dalam hukum barat, namun dikenal adanya pelanggaran adat atau delik adat. Hukum pelanggaran didalam hukum adat sangat berbeda dengan konsep pelanggaran yang ada didalam KUHP buku ke-III. Istilah pelanggaran dalam delik adat melingkupi apa yang mungkin didalam sistem hukum barat dikenal kejahatan (buku II KUHP) dan pelanggaran (buku III KUHP).
Dalam pelanggaran adat tidak mengenal adanya pembagian secara tegas antara hukum materiil dan hukum formilnya, akan tetapi tetap ada prinsip-prinsip yang harus ditaati oleh masyarakat adat dan ada sebuah penyelesaian ketika ada pelanggaran terhadap prinsip-prinsip tersebut, seperti penyelesaian oleh Ketua Adat, Pengadilan Swapraja, dll.
Didalam sistem hukum pidana barat, sustu perbuatan dikatakan telah melanggar hukum adalah ketika perbuatan itu melanggar undang-undang atau melanggar delik yang telah ditetapkan didalam undang-undang tersebut. sedangka didalam pelanggrana adat, pelanggaran atas keseimbangan masyarakat sudah bisa dikatakan sebagai sebuah pelanggaran adat, meskipun tidak diatur terlebih dahulu didalam kitab tertentu[3].

       D.    Pelanggaran Adat
Pelanggaran adat atau yang biasa disebut delik adat adalah suatu perbuatan sepihak oleh seorang atau seperorangan mengancam atau menyinggung atau mengganggu keseimbangan dalam kehidupan persekutuan baik materiil atau immateriil terhadap orang atau perseorangan atau masyarakat kesatuan.[4]
Pelanggaran adat yang ada didalam hukum adat sangat erat kaitannya dengan sifat masyarakat adat itu sendiri, yaitu lebih mementingkan kepentingan bersama (komunal) daripada kepentingan individual. Hingga akhirnya tujuan pelanggaran adat adalah adanya upaya pemulihan kekeadaan semula sosial masyarakat, bukan untuk pembalasan dendam atau pemasyarakatan yang penekanannya lebih ditekankan kepada perbaikan individu yang bersalah.
Pemuliahan keadaan semula oleh pelanggaran adat dilakukan dalam upaya agar kembalinya keseimbangan masyarakat yang telah dirusak oleh pelaku pelanggaran adat tersebut[5]. Dengan demikian penghukuman yang ada adalah bukan semata untuk menjera akan tetapi sebagai upaya logis memperbaiki keadaan. Sehingga sanksi yang diberikan kepada pelaku adat-pun adalah sebagai representasi upaya logis memperbaiki keadaan seperti denda, penjeraan, dikucilkan, diusir dari lingkungannya oleh masyarakat adat, dll.
Didalam pelanggaran adat, suatu pebuatan dikatakan sebagai peanggaran adat adalah ketika perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok tertentu membuat keseimbangan didalam masyarakat goyah. Perbuatan-perbuatan yang menimbulkan goncangan atau ketidak-seimbangan didalam masyarakat adat antara lain adalah sebagai berikut:[6]
1.      Pengkhianatan;
2.      Pembakaran kampung;
3.      Delik terhadap diri pribai Kepala Adat;
4.      Sihir dan tenung;
5.      Pengganggu kekuatan batin masyarakat;
6.      Incest (sumbang);
7.      Hamil tanpa nikah;
8.      Melarikan gadis;
9.      Zina;
10.  Pembunuhan;
11.  Perbuatan melukai;
12.  Pencurian.
Perbuatan-perbuatan diatas sebagai golongan delik adat didalam masyarakat adat memiliki tingkatan masing-masing, yang mana tingkatan berat atau ringan perbuatan pelanggran keseimbangan masyarakat tersebut akan berdampak pada upaya pemulihan yang dilakukan oleh pelaku atau masyarakat adat tersebut.
Namun perbuatan-perbuatan diatas selain sebagai pelanggaran adat, oleh hukum pidana atau KUHP Indonesia juga dikatan sebagai merupakan delik, yaitu perbuatan:[7]
1.      Membunuh;
2.      Melukai orang;
3.      Delik-delik terhadap harta kekayaan.
Sehingga ketika terjadi perbuatan-perbuatan seperti diatas didalam masyarakat adat, si pelaku dapat dikenai dua hukuman sekaligus, yaitu hukuman atas pelanggaran adat atau reaksi adat dengan hukuman atas pelanggaran delik didalam KUHP.

       E.     Reaksi adat
Dalam hukum pidana dikenal adanya delik, yaitu sebagai ukuran bahwa seseorang telah melakukan suatu tindak pidan. Dimana delik dalam pidana diatur dan tertulis didalam UU (karena sifat legalitas dan sebagai huku tertulis). Berbeda dengan pelanggaran adat, ukuran adanya pelanggaran adat adalah dilihat dari reaksi yang ada baik dari individu maupun masyarakat.
Reaksi didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia[8] diartikan sebagai kegiatan (aksi, protes) yang timbul akibat suatu gejala atau suatu peristiwa. Sedangkan reaksi adat dimaksudkan adalah respon akibat adanya suatu pelanggaran dalam masyarakat adat.
Reaksi adat dibagi dalam tiga tahapan, yaitu:
            1.      Reaksi Individu
Merupakan reaksi atau respon oleh korban (orang yang dikenai suatu pelanggaran) atau individu lain yang timbul adanya suatu pelanggaran adat.
Penghukuman atas reaksi ini dilakukan oleh individu tersebut, misal: ketika ada seseorang A mencium  pipi dari B, maka reaksi yang ada adalah B menampar A.
            2.      Reaksi Keluarga
Merupakan reaksi atau respon oleh keluarga atau sanak famili atau bahkan orang-orang terdekat  korban (orang yang dikenai suatu pelanggaran) atau individu lain yang timbul adanya suatu pelanggaran adat.
Penghukuman atas reaksi ini dilakukan oleh keluarga atau sanak famili atau bahkan orang-orang terdekat  korban, misal: A mencium B, B tidak marah, akan tetapi bapak dari B marah dan menampar A.
           3.      Reaksi sosial
Merupakan reaksi atau respon oleh masyarakat dari lingkungan tempat tinggal korban (orang yang dikenai suatu pelanggaran) atau individu lain yang timbul adanya suatu pelanggaran adat.
Penghukuman atas reaksi ini dilakukan oleh masyarakat setempat, misal: A mencium B, B tidak marah, keluarga B tidak marah, akan tetapi masyarakat desa B marah karena bertentangan dengan adat desa B, maka A dikeroyok warga desa B.
Dalam reaksi Individu, keluarga dan sosial dalam memberika penghukuman atas pelanggaran adat bisa diberikan ketiganya secara bersamaan atau hanya satu atau dua reaksi saja sepeti dalam contoh diatas.

       F.      Delik Gamia Gamana menurut Hukum Pelanggaran Adat dan KUHP
Delik Gamia Gamana atau hubungan kelamin ayah dengan anak kandung merupakan perbuatan yang didalam masyarakat adat dianggap mengganggu keseimbangan masyarakat dan juga delik yang merusak dasar susunan masyarakat.[9] Delik Gamia Gamana adalah nama lain dari incest atau sumbang yang dikenal didalam masyarakat adat Bali. Incest atau sumbang adlah hubungan kelamin antara orang-orang yang menurut hukum adat dilarang kawin dan merupakan delik yang merusak dasar susunan masyarakat, sehingga merupakan delik yang sangat berat.[10]

       G.    Delik Gamia Gamana Menurut Pelanggaran Adat
Didalam masyarakat adat alasan kenapa incest atau sumbang dianggap sebagai pelanggaran berat adalah karena beberapa alasan, diantaranya adalah:
1.      Mencemarkan masyarakat;
2.      Menyebabkan kekacauan dalam hubungan masyarakat dengan dunia gaib;
3.      Menyebabkan timbulnya wabah;
4.      Menyebabkan gagalnya panen padi.
Atau singkatnya incest dianggap menimbulkan marabahaya sehingga tidak memungkinkan kehidupan masyarakat yang sehat.
Didalam masyarakat adat Bali khususnya, perbuatan kelamin ayah dengan anak kandung adalah merupakan perbuatan yang sangat mengganggu keseimbangan masyarakat adat. Meskipun dalam hal ini perbuatan yang dilakukan oleh I Komang Lanus sebagai ayah dengan Ni Nyoman Kerti sebagai anak kandung secara sukarela atas dasar suka sama suka. Namun dalam hal ini masyarakat Bali pada umumnya tidak mentolerir aka hal tersebut, reaksi atas perbuatan ini bukanlah reaksi individu maupun reaksi keluarga. Namun reaksi terhadap delik Gamia Gamana adalah reaksi sosial yang mana masyarakat sangan mengecam perbuatan hubunga kelamin antara I Komang Lanus sebagai ayah dengan Ni Nyoman Kerti sebagai anak kandung, dengan dasar karena perbuatan tersebut akan mengganggu keseimbangan kehidupan dunia dan kehidupan gaib masyarakat adat bali, selain itu beberapa alasan yang telah dijelasan diatas seperti:
1.      Mencemarkan masyarakat;
2.      Menyebabkan kekacauan dalam hubungan masyarakat dengan dunia gaib;
3.      Menyebabkan timbulnya wabah;
4.      Menyebabkan gagalnya panen padi.
Atau singkatnya incest dianggap menimbulkan marabahaya sehingga tidak memungkinkan kehidupan masyarakat yang sehat.
Selain itu perbuatan kelamin antara antara I Komang Lanus sebagai ayah dengan Ni Nyoman Kerti sebagai anak kandung menurut masyarakat Bali bertentangan dengan Agama Hindu dan ketentuan Hukum Adat, serta bertentangan dengan tatanilai yang berlaku didlam masyarakat adat Bali.
Karena perbuatan antara I Komang Lanus sebagai ayah dengan Ni Nyoman Kerti sebagai anak kandung dikhawatirkan akan mengakibatkan goncangan dan bencana bagi masyarakat luas, maka untuk mengembalika keseimbangan dilakukan upacara koreksi adat/reaksi adat berupa bersih desa yang didalam masyarakat adat Bali disebut sebagai Parisada desa atau Meracu.

        H.    Delik Gamia Gamana Menurut KUHP dan Sistem Hukum Pidana
Delik Gamia Gamana (hubungan kelamin ayah dan anak) didalam masyarakat Bali atau biasa disebut incest didalam KUHP tidak dianggap sebagai sebuah delik atau didalam pasal KUHP belum mengatur mengenai masalah hubungan kelamin seorang ayah dan anak. Sehingga berdasarkan asas legalitas atau yang diatur didalam pasal 1 KUHP, tindakan kelamin ayah dan anak tidak dapat dipidana. Hal ini karena menurut Prof. Soetjipto Rahardjo bahwa Indonesia menganut sistem Romawi-Belanda (Roman Law System) yang terkesan legisme, bahwa hakim dalam memutus harus mendasarkan pada UU yang ada (KUHP).[11]
Sehingga singkatnya perbuatan kelamin antara I Komang Lanus sebagai ayah dengan Ni Nyoman Kerti sebagai anak kandung didalam KUHP tidak dapat dipidanakan karena menganut asas legalitas pasal 1 KUHP.
Namun putusan Pengadilan Negeri Mataram terhadap kasus pelanggaran delik adat Gamia Gamana meskipun tidak mendasarkan pada KUHP sebagai hukum positif dalam hal hukum pidana Indonesia, namun putusan pengadilan dalam sistem hukum pidana yaitu pada masuk dalam sistem peradilan pidana, karena pada dasarnya didalam sistem pidana tidak hanya mengenal apa yang disebut sebagai Undang-Undang pidana sebagai perwujudan asas legalitas, akan tetapi didalam sistem hukum pidana juga mengenal apa yang disebut sebagai sistem peradilan pidana. Putusan pengadilan menjadi salah satu sumber hukum dalam sistem peradilan pidana, yaitu sebagai sumber hukum nantinya hakim memutus atas perkara yang sama atau yang biasa disebut sebagai yurisprudensi. Sehingga kasus Gamia Gamana yang oleh Pengadilan Negeri Mataram diputus tidak berdasarkan pada KUHP tetap menjadisebuah sumber hukum untuk penyelesaian kasus yang sama atau sebagai yurisprudensi sebagai langkah awal pembaharuan sistem hukum pidana yang lebih progresif.
Karena pada dasarnya oleh Prof. Soetjipto Rahardjo menyebutkan kesalahan dalam penerapan hukum didalam sistem peradilan pidana Indonesia yang seolah tidak membawa keadilan adalah karena menganut sistem Romawi-Belanda, dimana menurut sistem ini UU menjadi sumber utama hakim dalam memutus dan hakim tidak boleh memutus berbeda dengan UU (dalam kasus ini adalah KUHP sebagai dasar hakim memutus dan harus berdasarkan KUHP dalam memutus). Dan Putusan Pengadilan Negeri Mataram ini yang tidak mendasarkan pada KUHP dan hanya mendasarkan pada berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 pasal 20 ayat (1) adalah sebagai langkah adanya pembaharuan dalam hukum pidana untuk meninggalakan sistem yang terkesan legisme dan tidak mencerminkan keadilan karena hanya mementingkan kepastian hukum kearah sistem hukum pidana yang lebih baik, yang membawa keadilan didalam masyarakat.

     I.    Putusan Pengadilan Negeri Mataran Terhadap Delik Gamia Gamana Dalam Pandangan Pembangunan Hukum Pidana Indonesia
Melihat pada realita bahwa hubungan kelamin antara ayah dan anak kandung didalam KUHP bukanlah sebuah delik atau tidak dapat dipidana, yang padahal perbuatan tersebut amat sangat tidak bermoral, baik secara pandangan Agama, hukum adat, maupun moral. Itu berarti menandakan bahwa KUHP sebagai kitab hukum pidana Indonesia belum mengakomodir masalah ini dan berdasarkan pandangan bahwa KUHP adalah cerminan moral bangsa, maka berdasarkan hal tersebut bangsa ini belum bermoral sepenuhnya, karena masih menganggap hal yang lumrah hubungan kelamin antara ayah dan anak kandung.
KUHP sebagai hukum positif dalam ranah hukum pidana merupakan hukum tertulis yang mengatur tingkah laku masyarakat Indonesia harusnya melakukan perubahan atau amandemen untuk mengakomodir masalah ini (incest).
Sehingga putusan Pengadilan Negeri Mataram, Lombok atas delik Gamia Gamana yang didalam putusannya mendasarkan pada delik adat Gamia Gamana yang diatur didalam Kitab Hukum Paswara tahun 1910/No.6-huruf ‘a’ jo pasal 5 ayat ke 3 sub ‘b’ Undang-Undang darurat No. 1/1951, dalam tinjauan pembaharuan hukum pidana dianggap sebagai langkah yang sangat progresif. Yaitu keluar dari jalur yang telah ada yaitu didalam KUHP dan mendasarkan pada pasal diluar KUHP.
Putusan hakim Pengadilan Negeri Mataram meskipun didalam putusannya tidak mendasarkan pada KUHP sebagai hukum positif pidana Indonesia, namun putusan hakim yang menggali nilai-nilai didalam masyarakat berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 pasal 20 ayat (1) dapat dibenarkan. Putusan yang menyatakan bersalah kedua pasangan dan memberika hukuman penjara kepada keduanya masing-masing selama dua (2) dan satu (1) tahun penjara dipotong selama mereka ditahan sementara, merupakan putusan yang dapat dijadikan Yurisprudensi terhadap kasus yang sama. Hal ini karena melihat begitu tidak bermoralnya ketika ada pembiaran hubungan kelamin antara ayah adan anak kandung tanpa dikenakan suatu hukuman pidana.
Selain pada itu Putusan Hakim Penagdilan Negeri Mataram ini harusnya dapat digunakan sebagai suatu awalan didalam pembentukan hukum pidana Indonesia, yaitu melalui wacana perubahan KUHP dan menjadikan Putusan Pegadilan Mataram ini sebagai pertimbangan memasukan pasal incest sebagai salah satu delik pidana yang dapat dikenakan hukuman pidana.
   
               III.            Penutup
Pelanggaran atas delik Gamia Gamana oleh   I Komang Lanus sebagai ayah dengan Ni Nyoman Kerti sebagai anak kandung dengan melakukan hubungan kelamin berdasarkan pelanggaran adat adalah merupakan suatu pelanggaran yang mengganggu keseimbangan masyarakat sehingga harus ada pengembalian kekeadaan semula baik oleh pelaku maupun masyarakat. Berdasarkan hukum pidana Indonesia yaitu didalam KUHP, delik Gamia Gamana ini dianggap bukan sebagai delik karena alasan asas legalitas pasal 1 KUHP, namun dalam sistem peradilan pidana putusan atas kasus ini oleh Pengadilan Negeri Mataram, Lombok dianggap sebagai Yurisprudensi atau sebagai sumber hukum dalam putusan hakim selanjutnya dan merupakan langkah awal untuk pembangunan hukum yang lebih membawa keadilan masyarakat.

                IV.          Daftar Pustaka
Sudiyat, Imam, Hukum Adat Sketsa Asas, 1981, Liberty, Yogyakarta.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan Pertama Edisi III, 2001, Balai Pustaka, Jakarta.

Azizy, A. Qodri, Kata PengantarMenggagas Ilmu Hukum Indonesia dalam Menggagas Ilmu Hukum Indonesia, 2012, Pustaka Pelajar, IAIN Walisongo dan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.




[1] Contoh kasus Putusan Pengadilan yang berdasarkan pada Delik adat dan tidak berdasarkan pada KUHP.
[2] Oleh Soepomo dan Ter Haar biasa disebut  sebagai pidana adat
[3] Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, 1981, Liberty, Yogyakarta, hal 174.
[4] Soepomo..
[5]Loc. Cit, hal 175.
[6]Loc. Cit, 188.
[7]Loc. Cit, 196.
[8] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan Pertama Edisi III, 2001, Balai Pustaka, Jakarta. Hal, 936.
[9] Imam Sudiyat, Opcit, hal 190.
[10]Loc. Cit, 190.
[11] A. Qodri Azizy, Kata PengantarMenggagas Ilmu Hukum Indonesia dalam Menggagas Ilmu Hukum Indonesia, 2012, Pustaka Pelajar, IAIN Walisongo dan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, hal vii.

Komentar