Keadilan Sosial dan Reforma Agraria a la Program Nawa Cita dalam Perspektif Filsafat Pancasila: Antara Harapan dan Pencitraan[1]
Oleh:
Cipto Prayitno
Pendahuluan
Apa itu keadilan sosial dan
bagaimanakah mendefinisikan keadilan sosial?
Itulah
permulaan pendiskusian dari tulisan ini, bahwa keadilan sosial dalam ranah
konsepsi maupun tataran praktek menjadi diskursus yang selalu menarik. Kenapa?
Karena didalamnya selalu menyangkut permasalahan manusia, sosial atau
masyarakat, Negara sebagai pemegang tanggung jawab untuk mencapai keadilan
sosial (dianggap punya kuasa atas penyelenggaraan Negara untuk tujuan keadilan
sosial) dan aspek-aspek lainnya. Bahkan dalam sejarah kemerdekaan bangsa
Indonesia, konsepsi keadilan sosial seolah tidak pernah absen kaitannya sebagai
salah satu pembicaraan mengenai tujuan bernegara dalam kerangka Indonesia. Oleh
Soekarno melalui Pancasila, keadilan sosial bahkan mendapatkan kedudukan tersendiri
sebagai bagian dari tak terpisahkan antara sila-sila lainnya dalam Pancasila
ketika berbicara mengenai Pancasila sebagai sistem nilai. Lantas bagaimana memaknai keadilan sosial?
Kembali
kepada pertanyaan diawal, bagaimana keadilan sosial dikonsepsikan, sangat
relatif tentu membicarakan mengenai konsep keadilan, termasuk keadilan sosial
ini. Muali dari Aristoteles hingga John Rawls tidak bisa memberikan konsepsi
yang pasti untuk ukuran mengenai keadilan. Konsepsi yang hanya sebagai
referensi yang berharga, namun tidak bisa menjadi patokan atau hukum tentang
keadilan itu sendiri. Yang pada akhirnya sampai tulisan ini, masih banyak
bertebaran diskusi dan pertentangan mengenai makna keadilan. Namun dalam
tulisan ini tidak akan sampai jauh membahas mengenai itu. Lantas bagaimana
memaknai keadilan sosial dalam tulisan ini, tentu untuk membicarakan mengenai
konsepsi dan definisi dari keadilan sosial haruslah dikaitkan dengan pembicaran
mengenai Pancasila sebagai sistem nilai sebagai bagian dari kajian filsafat
(filsafat Pancasila). Singkat kata, bahwa keadilan sosial dalam khasanah
pembicaraan Pancasila sebagai kajian filsafat sebagai sistem nilai, akan
bersandar pada awalan definisi dari sila kelima dari Pancasila, bahwa “keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”, makna dari keadilan sosial kemudian makin mengemuka manakala
melihat rumusan dari sila kelima Pancasila, yang ditujukan untuk seluruh rakyat
Indonesia tanpa melihat golongan. Namun demikian, bahwa mamaknai keadilan
sosial dalam Pancasila sebagai sistem nilai tidak bisa berhenti pada aspek
tersebut (sila kelima) saja, namun harus melihat sebagai bagian dari
keseluruhan sistem Pancasila, yang artinya harus melihat pula sila-sila lainnya
dalam Pancasila.
Pancasila
oleh banyak ahli kenegaraan dianggap sebagai falsafah bangsa, ideologi negara,
pandangan bernegara, sumber hukum materiil dan konsep lainnya yang bertebaran
sesuai dengan perspektif yang dibangun dalam suatu kedudukan Pancasila di
Indonesia. Yang pada akhirnya dalam penyelenggaraan Negara, Pancasila dan
keadilan sosial sebagai bagian darinya, tidak boleh dilepaskan dalam pelaksanaan
dan praktek bernegara. Aktualisasi Pancasila menjadi wajib dan sebuah keharusan
dalam menjadi pedoman bernegara dan mencapai keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Program dan kebijakan Negara tentu tidak boleh melepaskan
Pancasila dan keadilan sosial, apalagi bertentangan.
Demikian
halnya pada penyelenggaraan Negara hari ini, melalui jargon-jargon yang memabukkan,
dan terkesan merakyat, Pemerintah membentuk konsep pembangunan bernegara dalam
Sembilan (9) program utama penyelenggaraan Negara dalam lima (5) tahun kedepan dengan
sebutan NawaCita melalui kepemimpinan Jokowi-JK. Melalui Sembilan (9) program
prioritas pemerintah (seolah) berupaya untuk tidak absen dalam pencapaian
keadilan sosial dan nilai-nilai lain dalam sila-sila Pancasila lainnya.
Reforma
agraria menjadi salah satu program yang juga menjadi bagian dari pencapaian
prioritas program NawaCita, bahwa upaya mencapai keadilan sosial akan
diwujudkan dalam program reforma agraria a
la pemerintah, dan diharapkan dapat mencapai keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia yang sampai hari ini para petani diberbagai sektor menjadi
masyarakat mayoritas. Namun demikian, sekian tahun berjalan masa pemerintahan
Jokowi-JK dan program NawaCita-nya, kenyataan mengenai perampasan tanah,
penggusuran, kemiskinan (yang mayoritas oleh para petani) dan problem lainnya
dalam aspek agraria terus bermunculan dan bahkan tidak pernah berhenti
bergulir, termasuk terakhir adalah kekerasan-kekerasan Negara yang mengemuka
sebagai kekerasan yang struktural (dalam pandangan Johan Galtung) dilakukan
kepada rakyat-rakyat Indonesia yang hak-haknya terampas oleh setiap kebijakan
yang didalamnya terdapat perselingkuhan antara Negara sebagai penyelenggaran
Negara (birokrat) dan swasta sebagai pemilik modal yang paling berkepentingan
dengan masalah pembangunan. Lantas benarkah bahwa reforma agraria a la NawaCita membawa nafas keadilan
sosial dan sebagai pengejawantahan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa
Indonesia? Tentu perlu ditelaah kembali konsepsi reforma agraria a la NawaCita ini dalam kerangka
Filsafat Pancasila yang tentu untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Apakah reforma agraria hanya untuk pencitraan dikala pemilu?
Program Reforma
Agraria Dalam Program Nawacita
Data ketimpangan penguasaan lahan dalam sektor agraria
pada tahun 2017 yaitu sekitar 71 persen lahan dikuasi korporasi kehutanan, 16
persen lahan dimiliki oleh korporasi perkebunan skala besar, dan tujuh persen
dalam genggaman para konglomerat (data KPA dalam CNN, 24 Sept 2017),
menunjukkan perlunya restrukturisasi penguasaan lahan yang bersifat
monopolistik yang bahkan terjadi sejak era Soekarno diawal-awal kemerdekaan.
Hal demikian tentang ketimpangan penguasaan lahan dianggap sebagai salah satu
faktor masalah kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Masyarakat Indonesia yang
mayoritas adalah petani diberbagai sektor tentu adalah pihak yang paling
dirugikan dengan ketimpangan penguasaan lahan, dimana mereka hanya menguasai
enam (6) persen saja dari lahan (agraria) yang ada. Kondisi demikianlah yang
menjadi latar belakang statement oleh Pemerintah melalui Jokowi untuk
melaksanakan program reforma agraria yang sejarahnya juga sudah diwacanakan
bahkan berbarengan dikeluarkannya UU No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Agraria atau UUPA, dimana disampaikan oleh Darmin Nasution selaku Menteri
Koordinator Perekonomian bahwa reforma agraria akan dimulai dari pembagian
lahan (khususnya diluar Jawa) serta memberikan bantuan (termasuk pendanaan)
dalam rangka mensukseskan program reforma agraria (data tempo.co, 8 Juni 2017).
Program yang demikian oleh Pemerintah diklaim sebagai salah satu penerjemahan
dari program NawaCita yaitu reforma agraria sebagai upaya meningkatkan
kesejahteraan masyarakat desa, pemberdayaan masyarakat adat dan pemgurangan
ketimpangan desa dan kota.
Reforma agraria yang digalakkan melalui program NawaCita
oleh Pemerintah era Jokowi-JK untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa,
pemberdayaan masyarakat adat dan pengurangan ketimpangan desa dan kota sebagai
upaya mewujudkan keadilan sosial khususnya dibidang agraria (tentang penguasaan
lahan) dan keadilan ekonomi masyarakat Indonesia menjadi kembali dipertanyakan,
manakala melihat realitas bahwa sampai tulisan ini dibuat, janji retribusi
tanah seluas Sembilan (9) juta hektar tanah dan program-program lain sebagai
bagian pelaksanaan reforma agraria dalam tiga (3) tahun berjalannya
kepemimpinan Jokowi-JK tidak benar-benar terealisasi. Sebagaimana disampaikan
oleh WALHI, bahwa reforma agraria yang seudah diprogramkan sejak 3 tahun lalu
tidak berjalan atau stagnan, hal ini terjadi manakala watak pembangunan ekonomi pada
era Jokowi tidak berubah. Justru dibalik semua itu malah terjadi konflik agraria
yang muncul lantaran pembangunan pada era Jokowi JK. Sampai 2016 saja menurut
KPA telah terjadi 163 kasus konflik agraria terjadi karena pembukaan lahan
perkebunan, 117 konflik pembangunan properti dan 100 kasus konflik agraria
karena pembangunan infrastruktur (tempo.co, 19 Okt 2017).
Dari paparan tersebut jelas bahwa bukan lagi reforma agraria
sebagai jalan mencapai keadilan sosial, justru sebagaimana oleh Johan Galtung
jelaskan, Negara hadir sebagai dalang dalam kekerasan struktural terhadap rakyatnya dalam rangka pengamanan
pembangunan ekonomi yang menguntungkan pemodal. Reforma agraria sangat sempit
dipahami hanya sebatas pembagian lahan dan sertifikasi (legalisasi asset),
melalui program NawaCita konsep reforma agraria sejati yang pernah menjadi trend dan selalu menjadi isu menarik
setelah keluarnya UUPA menjadi sempit dan secara implementasi tentu bermasalah
(sebagaimana data diatas), justru seolah
program reforma agraria dan pembagian
lahan sembilan (9) jt hektar hanya
menjadi alat kampanye dan alat untuk menina-bobokan masyarakat agar terlena dan
menerima dengan legowo atas
perampasan hak mereka atas tanah serta kekerasan-kekerasan struktural yang
dialami manakala pemerintah melakukan pembangunan untuk kepentingan pemodal. Lantas bagaimanakah reforma agraria yang
berwawasan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana dalam
Pancasila?
Memahami Reforma
Agraria Sejati
Menjawab
masalah kemiskinan dan ketidak-adilan sosial yang terjadi dan terus langgeng,
bahkan sejak awal-awal kemerdekaan, para pendiri bangsa yakin dan percaya bahwa
semua terjadi karena terjadinya ketimpangan ekonomi (khususnya disektor agraria)
oleh karenanya atas latar belakang yang demikian munculah gagasan untuk reforma
agraria sebagai salah satu landasan munculnya UUPA. Sebagaimana dijelaskan oleh
Iwan Noerdin selaku Sekjen KPA, bahwa reforma agraria sejati itu pelaksanaan
UUPA 1960. Artinya melaksanakan secara murni dan konsekuen dari setiap
ketentuan dalam Pasal-Pasal UUPA 1960 adalah bentuk melaksanakan reforma agraria
sejati. Bahkan masalah reforma agraria ini selain diatur dalam UUPA 1960 juga
diatur dalam Tap MPR No. IX/MPR/2001 tentang Reforma Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam, yang pada intinya menyatakan bahwa pembaharuan agraria
(reforma agraria) mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan
penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria,
dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta
keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia (Pasal 2). Bahkan dalam Pasal
5 Tap MPR ini telah dijelaskan arah kebijakan dari pelaksanaan reforma agraria,
yaitu:
a. Melakukan
pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya
peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana
dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini:
- Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat.
- Menyelenggaarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprhensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.
- Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengatisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana Pasal 4 Ketetapan ini.
- Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi.
- Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi.
Dapat
disimpulkan bahwa reforma agraria sejati adalah pelaksanaan atas UUPA 1960 dan
Tap MPR No. IX/MPR/2001 dengan tidak hanya berhenti pada pendistribusian tanah
dan sertifikasi tanah semata (legalisasi asset). Bahwa aspek aturan (hukum),
aspek penguasaan lahan (ekonomi), aspek kelembagaan, aspek pembiayaan dan
bahkan penyelesaian konflik adalah tanggung jawab Negara dalam rangka mencapai
apa yang dicita-citakan sejak lama, yaitu terlaksananya reforma agraria (landreform).
Lalu
apakah demikian reforma agraria a la NawaCita di era Jokowi-JK? Melihat
banyaknya ketimpangan penguasaan yang masih terjadi, kemiskinan, aturan-aturan
hukum yang bertentangan dengan UUPA (UU sektoral seperti UU kehutanan, UU
Perkebunan dan aturan lain seperti Paket Kebijkan Ekonomi, dll) yang justru
melanggar prinsip-prinsip dalam UUPA, kelembagaan yang masih belum terbangun,
serta konflik-konflik yang terus terjadi kaitan dengan sumber daya agraria dan
bahkan orientasi pembangunan yang cenderung ekspolitatif guna kepentingan
pemodal adalah hal-hal yang bisa menjadi tolak ukur bahwa reforma agraria
adalah semata pencitraan dan tidak benar-benar diupayakan untuk direalisasikan,
justru kebijakannya malah bertentangan dengan konsep reforma agraria, makin
banyak terjadinya konflik agraria akibat pembangunan-pembangunan ekonomi-lah
salah satu alasannya.
Lantas bagaimanakah untuk mencapai keadilan
sosial sebagaimana dalam Pancasila? Manakala bahwa reforma agraria yang
dibangun, bukanlah reforma agraria sejati, justru hanya jargon dan alat
kampanye untuk menang dalam pemilu serta hanya sebagai pencitraan. Tentu
tentang keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam Pancasila harus menjadi
bahan refleksi kembali tentang pelaksanaan reforma agraria a la NawaCita yang justru sampai tiga (3) tahun pelaksanaannya
masih dipersoalkan tidak hanya ditataran konsepnya, namun juga implementasinya.
Bahwa kemiskinan masih terjadi, ketimpangan penguasaan lahan masih terjadi dan
ketidak-adilan sosial juga masih terus terjadi.
Tentang Filsafat
Pancasila dan Keadilan Sosial
Kembali
kepada diskusi awal tentang memaknai keadilan sosial sebagai judul besar dalam
tulisan ini. Bahwa Pancasila telah lama menjadi landasan dan pijakan yang
disakralkan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Pancasila tidak hanya bisa dimaknai sebagai jargon atau lambing semata, namun
sebagaimana telah dikemukakan dimuka, bahwa Pancasila dalam berbagai aspek dan
perspektif oleh para ahli ditempatkan dalam kedudukan tertentu dalam
melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara, dianggap sebagai falsafah
bangsa, dianggap sebagai pandangan hidup, dianggap sebagai ideologi bangsa,
bahkan dianggap sebagai sumber hukum materiil oleh kalangan tertentu.
Pandangan-pandangan yang demikian tentu adalah wajar, apalagi jika dikaitkan
dalam pengertian Pancasila sebagai salah satu kajian filosofis (filsafat
Pancasila).
Filsafat
Pancasila tentu dapat dipahami manakala berangkat dari pengertian filsafat dan
Pancasila sendiri sebagai sistem filsafat. Bahwa pada hakekatnya dalam
pengertian dan ruang lingkup kajian filsafat, Pancasila dapat digolongkan
sebagai filsafat dalam arti produk, sebagai pandangan hidup dan dalam arti
praktis. Bahwa Pancasila adalah sebagai filsafat yang mengandung pandangan,
nilai, dan pemikiran yang dapat menjadi
substansi dan isi pembentukan ideologi bangsa. Atau secara ringkasnya,
bahwa pengertian filsafat Pancasila adalah refleksi kritis dan rasional tentang
Pancasila sebagai dasar Negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk
mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang mendasar dan menyeluruh.
Kaitan
Pancasila dengan keadilan sosial tentu adalah sebagai bagian dari pengertian
filsafat Pancasila itu sendiri. Yaitu memaknai Pancasila sebagai suatu sistem
nilai (filsafat). Bahwa kedudukan keadilan sosial sebagai salah satu nilai
dalam sila-sila Pancasila tentu dalam pandangan sistem adalah satu-kesatuan
dengan konsep nilai lainnya. Bahwa keadilan sosial (adil) menjadi konsepsi yang
ada dalam Pancasila sebagai suatu sistem yang akan berkaitan dengan konsep
nilai lainnya dalam sila-sila Pancasila, yaitu ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan
dan kerakyatan. Artinya adalah membicarakan mengenai Pancasila tentu tidak
boleh tidak membicarakan menganai keadilan sosial, pun sebalinya demikian.
Sehingga dalam pandangan filsafat praktis, konsepsi keadilan sosial juga harus
menjadi landasan dalam praktek berbangsa dan bernegara yang berlandaskan
Pancasila. Bahwa setiap tindakan Penguasan atau Pemerintah harus berlandaskan
pula pada tujuan untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Memaknai
keadilan sosial dalam Pancasila tentu berlandaskan pada sila kelima (5) yaitu
tentang “keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia” yang dimaknai pula bahwa seluruh rakyat Indonesia
haruslah mendapatkan perlakuan yang adil baik dalam bidang hukum, ekonomi,
politiki, sosial, budaya maupun kebutuhan spiritual (masalah keagamaan sesuai
sila pertama) dan kebutuhan rohani sehingga dapat tercipta masyarakat yang adil dan makmur dalam
pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada strata dalam
mencapai keadilan tersebut. Sehingga
atas dasar pengertian dan makna mengenai keadilan sosial tersebut, maka kaitan
dengan masalah reforma agraria sebagai jalan menuju kesejahteraan masyarakat,
maka tidak boleh ada ketimpangan, baik dalam sektor penguasaan lahan, maupun
dalam sektor ekonomi terkait kemiskinan, adalah menjadi hak-hak masyarakat
Indonesia yang harus segera dicapai melalui reforma agraria. Memaknai
pentingnya mencapai keadilan sosial, munculah konsep reforma agraria atau landreform sebagai konsepsi dalam aspek agraria
untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia yang dituangkan
dalam UUPA 1960 dan Tap MPR No. IX/MPR/2001. Bahwa berdasarkan pada paparan ini
dapat dilihat mengenai arti penting dan urgensi reforma agraria dalam kaitannya
mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia di dalam segala bidang,
baik ekonomi, hukum, politik, sosial, budaya dan lainnya.
Senada
dengan Moh. Hatta yang menyatakan bahwa tidak ada kebebasan atau keadilan dalam
berbagai sektor ketika masih terjadi ketidak-adilan atau ketimpangan disektor
ekonomi. Bahwa permasalahan ekonomi, berkaitan dengan ketimpangan dan
kemiskinan menjadi problematika yang tidak kunjung selesai dan berdampak pada
aspek lainnya (hukum, sosial, politik, budaya, dll.), sehingga menuntut untuk
tercapainya kesetaraan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan dan kemakmuran bagi
seluruh rakyat Indonesia melalui reforma agraria sejati ini. Inilah landasan
fundamental yang mengemuka manakala membicarakan mengenai hubungan antara
reforma agraria dan keadilan sosial sebagai bagian dari nilai-nilai dalam
Pancasila kaitannya pembicaraan menganai Pancasila sebagai sistem filsafat.
Artinya
bahwa reforma agraria adalah program atau kebijakan pemerintah yang mutlak
adanya untuk dilaksanakan sebagaimana telah diatur dalam UUPA dan Tap MPR No.
IX/MPR/2001, bahwa Pemerintah punya tanggung jawab akan hal itu, diluar kenyataan
bahwa terdapat hubungan kausalitas antara reforma agraria dan keadilan sosial
dalam Pancasila. Sehingga bahwa reforma agraria harus menjadi program yang
sepenuhnya diilhami dari pelaksaanan atas keadilan sosial dalam Pancasila, UUPA
dan Tap MPR No. IX/MPR/2001, dimana pernyataan melaksanakan reforma agraria
tidak boleh hanya semata jargon dan alat pencitraan untuk merebut hati rakyat
dalam rangka memperpanjangan kekuasaan, akan tetapi reforma agraria sejati
adalah tindakan nyata dan penuh kesadaran yang harus dilakukan oleh Pemerintah
dalam Program NawaCita untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dalam
rangka melaksanakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Reforma Agraria a la Nawacita Sebagai Dongeng yang
Menyesatkan
Melihat
pentingnya melaksanakan reforma agraria dalam mencapai keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia dalam kerangka pembicaraan Pancasila sebagai sistem
filsafat, maka sebagaimana telah dikemukakan dimuka, maka dalam paragraf ini
juga akan ditekankan betapa pentingnya
reforma agraria untuk dilaksanakan dan dijalankan dengan kesadaran penuh tanpa
adanya niat untuk semata jargon dan pencitraan.
Harapan
tinggal harapan, melalui jargon reforma agraria yang memabukkan, rezim
Jokowi-JK mungkin mendapatkan simpati dari masyarakat dan dianggap pro-rakyat.
Namun tidak demikian dalam kenyataannya, bahwa ketimpangan-ketimpangan dalam sektor
penguasaan agraria, kemiskinan akibat ketimpangan tersebut, konflik agraria
akibat pembangunan yang pro-investasi dan aspek pertentangan lainnya seolah
menjadi cerminan bahwa reforma agraria bukanlah program yang nyata-nyata hendak
dilaksanakan sebagaimana amanat Pancasila, UUPA 1960 dan Tap MPR No.
IX/MPR/2001, justru hanya jargon dan pencitraan untuk merebut hati rakyat
semata.
Lihatlah data ketimpangan penguasaan lahan dalam sektor agraria
pada tahun 2017 yaitu sekitar 71 persen lahan dikuasi korporasi kehutanan, 16
persen lahan dimiliki oleh korporasi perkebunan skala besar, dan tujuh persen
dalam genggaman para konglomerat (data KPA dalam CNN, 24 Sept 2017), kemudian
data tentang konflik agraria sampai 2016 saja menurut KPA telah terjadi 163
kasus konflik agraria terjadi karena pembukaan lahan perkebunan, 117 konflik
pembangunan properti dan 100 kasus konflik agraria karena pembangunan
infrastruktur (tempo.co, 19 Okt 2017), kemudian data kemiskinan Indonesia per
Maret 2016 mengalami kenaikan 2,78 persen (BPS dalam teropongsenayan.com, 18
Juli 2016) dengan jumlah penduduk miskin per Maret 2017 adalah sejumlah 27,77
juta orang (BPS dalam wartakota.tribunnews.com, 18 Juli 2017), kemudian data
lagi dari KPA yang menyebutkan bahwa pada 2015-2016 saja telah terjadi 702
konflik agraria dilahan 1.665.457 hektar dan mengorbankan 195.459 keluarga
petani dengan kriminalisasi petani sebanyak 455, 229 mengalami kekerasandan 18
orang petani tewas dalam konflik tersebut (KPA dalam mongabay.com, 31 Okt 2017).
Yakinkah bahwa
reforma agraria pada era NawaCita dilaksanakan sepenuhnya dan bukan hanya
pencitraan? Menjadi sebuah anekdot
manakala menilai berhasil reforma agraria dalam program NawaCita jika
dibandingkan dengan data-data tentang ketimpangan penguasaan lahan, kemiskinan,
konflik agraria dan kekerasan dalam agraria.
Apa yang sudah diatur dalam UUPA dan Tap MPR No.
IX/MPR/2001 tentang pelaksanaan untuk menyegerakan reforma agraria melalui
beberapa tahapan tidaklah menjadi suatu yang diindahkan, justru kembali
dibungkus sebagai jargon kampanye untuk memenangkan hati rakyat dan memabukkan
rakyat dengan terus melakukan upaya-upaya perampasan hak-hak rakyat atas agraria,
melakukan kekerasan struktural kepada rakyat manakala menolak pembangunan yang
mengorbankan rakyat dan terus melakukan pembangunan yang pro-investasi tanpa
melihat konsepsi reforma agraria dan masalah lingkungan hidup.
Bahwa memang tidak semudah membalikkan telapak tangan menganai
melaksanakan secara konsisten keadilan sosial dalam Pancasila dengan
melaksanakan program reforma agraria, namun demikian, upaya-upaya yang
konsisten dan bertahap serta terarah adalah menjadi kunci bahwa Pemerintah
telah berniat dan bersungguh-sunggung untuk melaksanakan reforma agraria untuk
mencapai keadilan sosial sebagaimana diamantkan oleh Pancasila, UUPA dan Tap
MPR No. IX/MPR/2001. Bukan yang terjadi adalah sebaliknya, menjadikan reforma agraria
sebagai jargon manis yang memabukkan dan menina-bobokan masyarakat untuk sadar
akan hak-haknya, disisi lain terus melakukan pembangunan-pembangunan yang
berperspektif pro-pemodal dengan melakukan perampasan-perampasan sumber agraria
dari rakyat dan bahkan melakukan kekerasan struktural guna melanggengkan
tindakannya. Hal inilah yang harus dilihat dalam rezim hari ini, apakah bisa
dikatakan Pancasilais, manakala bahwa keadilan sosial sebagai salah satu nilai
dalam Pancasila tidak menjadi pedoman dalam setiap pembentukan program. Apakah
Pancasilais, manakala konsepsi pembangunan yang (katanya) pro-rakyat justru
menyengsarakan rakyat dengan melakukan perampasan-perampasan hak rakyat atas
sumber agraria demi kesejahteraan rakyat. Atau bisakah dikatakan Pancasilais,
manakala banyak korban jiwa harus meregang nyawa akibat berebut sumber agraria
dengan aparat Negara (polisi dan militer) yang menjaga pembangunan demi hanya
mencukupi kebutuhan hidup sehari hari. Suatu kengerian dan tindakan tidak
kritis manakala menilai bahwa kematian dan kelaparan adalah tindakan yang harus
diambil ketika berhadapan dengan pembangunan ekonomi. Apa guna Pancasila jika
tidak dijadikan landasan dalam berbangsa dan bernegara. Bahwa telah secara
nyata dan jelas bahwa dalam Pancasila menekankan begitu pentingnya keadilan
sosial dalam rangka kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia, begitu mulia
dan suci tujuan yang diemban dalam Pancasila yang seharusnya dapat menjadi
landasan dan falsafah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tapi demikianlah
aktualisasi keadilan sosial dalam Pancasila.
Antara Reforma
Agraria, Keadilan Sosial, Pancasila dan Tanggung Jawab Negara
Tidak
bijak kiranya hanya melakukan kritik tanpa adanya solusi yang jelas dan pasti
untuk mananganinya. Atas permasalahan yang dikemukakan dimuka kaitan antara
reforma agraria dalam program NawaCita, keadilan sosial dan aktualisasi
Filsafat Pancasila, bahwa penulis menganggap perlunya dimaknai kembali mengenai
filsafat Pancasila. Bahwa Pancasila sebagai sistem filsafat sebagaimana
diuraikan dimuka memiliki tiga konsepsi, yaitu sebagai sebuah produk, sebagai
pandangan hidup dan sebagai sebuah praktek.
1. Sebagai sebuah produk,
artinya Pancasila yang disarikan (kristaliasi) dari nilai-nilai yang sudah ada
sejak masa 4000 tahun lalu yang bersifat positif dan baik sebagai gambaran
tentang kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini tentu harus menjadi landasan bahwa
Pancasila sengaja disarikan agar selalu menjadi pedoman bagi setiap warga
Negara termasuk Pemerintah untuk selalu bersikap dna bertindak sesuai dengan
nilai-nilai dalam Pancasila.
2. Sebagai sebuah pandangan hidup,
tentu berkaitan dengan Pancasila sebagai sebuah produk, bahwa apa yang sudah
disarikan dalam sila-sila dalam Pancasila seharusnya dapat menjadi pandangan
hidup yang harus secara murni dan konsekuen untuk melaksanakan setiap
nilai-niali dalam Pancasila, bukan justru hanya menjadikan Pancasila sebagai
jargon yang bersifat sacral semata. Kaitan dengan masalah reforma agraria dan
keadilan sosial, tentu keadilan sosial juga harus menjadi pandangan hidup,
pandangan berbangsa dan bernegara, pandangan dalam menjalankan pemerintahan
guna kepentingan rakyat, bahwa melaksanakan reforma agraria sebagai jalan
menuju keadilan sosial harus dijalankan sebaik mungkin dan sekonsisten mungkin
sebagaimana telah diamanatkan oleh Pancasila dan kemudian diatur dalam UUPA dan
Tap MPR No. IX/MPR/2001.
3. Pancasila sebagai praktek,
bahwa bukan hanya sebagai teori atau jargon semata, pemerintah seharusnya dapat
melaksanakan dan menjalankan konsep-konsep nilai yang ada dalam Pancasila dalam setiap kebijakan
yang dibuat, hal ini tentu tidak terlepas dari tujuan dan cita Negara untuk
mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Ya,
aktualisasi atas filsafat pancasila menjadi sebuah keharusan manakala
pemerintah melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin yang mengatur segenap kehidupan
bangsa dan Negara.
Atas
dasar hal tersebut berkaitan dengan solusi atas permasalahan yang ada, maka
jawabanya adalah bagaimana mengaktualisasikan kembali nilai-nilai dalam
Pancasila sebagai sebuah satu-kesatuan yang utuh, tanpa menghilangkan salah
satu nilai. Terhadap permasalahan program reforma agraria dalam NawaCita tentu
tidak boleh hanya sebatas jargon atau alat kampanye untuk merebut hati
masyarakat dan dianggap pro-rakyat, hanya menjadikan sebagai bentuk pencitraan
tentu bukanlah hal yang sesuai dengan makna dan memaknai Pancasila. Memiliki
perspektif Pancasila dalam menjalankan program NawaCita termasuk program
reforma agraria adalah menjadi keharusan yang mutlak, dengan memperhatikan
konsep ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan khususnya keadilan
sosial adalah jawaban atas refleksi permasalahan aktualisasi filsafat Pancasila
dalam pelaksanaan program-program NawaCita.
Keadilan sosial sebagai nilai dalam Pancasila harus
dimaknai dan diterjemahkan menjadi program yang nyata-nyata adalah bentuk untuk
mencapai keadilan sosial, tidak malah sebaliknya, hanya untuk kepentingan
segelintir pihak semata. Tentu akan sulit, namun kesulitan ini bukanlah alasan
melepaskan konsepsi keadilan sosial dalam setiap pelaksanaan program dan
kebijakan bernegara. Yang artinya adalah menempatkan keadilan sosial sebagai
nilai yang harus diterapkan dalam melaksanakan program reforma agraria. Dan
tentu sebenarnya telah jelas dan gamblang makna reforma agraria sampai pada
tataran tahapan tentang melaksanakan reforma agraria, yaitu sebagaimana diatur
dalam UUPA dan Tap MPR No. IX/MPR/2001, yang ini juga adalah sebagai solusi
untuk melaksanakan program reforma agraria oleh Pemerintah, melaksanakan
ketentuan sebagaimana diatur dalam UUPA dan Tap MPR No. IX/MPR/2001 dengan
sepenuhnya dan tidak bertentangan dengan aturan yang sudah ada.
Penutup
Akhirnya tentu problematika aktualisasi Pancasila yaitu
masalah keadilan sosial sebagai bagian dari Pancasila sebagai sistem filsafat
dalam penerapannya di program reforma agraria a la NawaCita yang bemula dari ketimpangan penguasaan lahan,
kemiskinan, konflik agraria dan bahkan kekerasan struktural oleh Negara dalam
pandangan filsafat Pancasila adalah bentuk tidak diaktualisasikannya Pancasila
sebagai produk, Pancasila sebagai pandangan hidup dan Pancasila sebagai praktek
berbangsa dan bernegara. Alih-alih mendasarkan keadilan sosial sebagai dasar
dalam melaksanakan reforma agraria, Pemerintah justru hanya menggunakan reforma
agraria sebagai jargon yang manis untuk merebut hati rakyat dan sebagai
pencitraan, tidak melaksanakan sebagaimana diatur dalam UUPA dan Tap MPR No.
IX/MPR/2001 tentu adalah tindakan yang tidak bisa dinilai sebagai aktualisasi
nilai-nilai Pancasila, khususnya keadilan sosial.
Kembali mengaktualisasikan Pancasila dan Keadilan Sosial
adalah jawaban yang mesti dibenahi dalam setiap program kebijakan yang
dilakukan oleh Pemerintah dalam NawaCita, termasuk melaksanakan reforma agraria
sejati sebagaimana dimaksud dalam UUPA dan Tap MPR No. IX/MPR/2001.
Referensi:
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah
Nasional, Jakarta, Djambatan, 2007
Gunawan Setiardji, Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan
Masyarakat Indonesia, Cet. Ke-2, Jakarta, Kanisius, 1997
Kaelan, Filsafat Pancasila Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Yogyakarta,
Paradigma, 2009
Petrus C.K.L Bello, Ideologi Hukum Refleksi Filsafat atas
Ideologi dibalik Hukum, Bogor, Insan Merdeka, 2013
Suyahmo, Filsafat Pancasila, Yogyakarta, Magnum Pustaka Utama Publishing,
2016
Sumber Data:
CNN
Indonesia
mongabay.com
tempo.co
wartakota.tribunnews.com
Komentar
Posting Komentar