Langsung ke konten utama

Keadilan Sosial dan Reforma Agraria a la Program Nawa Cita dalam Perspektif Filsafat Pancasila: Antara Harapan dan Pencitraan[1]



Oleh:
Cipto Prayitno


Pendahuluan
            Apa itu keadilan sosial dan bagaimanakah mendefinisikan keadilan sosial?
            Itulah permulaan pendiskusian dari tulisan ini, bahwa keadilan sosial dalam ranah konsepsi maupun tataran praktek menjadi diskursus yang selalu menarik. Kenapa? Karena didalamnya selalu menyangkut permasalahan manusia, sosial atau masyarakat, Negara sebagai pemegang tanggung jawab untuk mencapai keadilan sosial (dianggap punya kuasa atas penyelenggaraan Negara untuk tujuan keadilan sosial) dan aspek-aspek lainnya. Bahkan dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia, konsepsi keadilan sosial seolah tidak pernah absen kaitannya sebagai salah satu pembicaraan mengenai tujuan bernegara dalam kerangka Indonesia. Oleh Soekarno melalui Pancasila, keadilan sosial bahkan mendapatkan kedudukan tersendiri sebagai bagian dari tak terpisahkan antara sila-sila lainnya dalam Pancasila ketika berbicara mengenai Pancasila sebagai sistem nilai. Lantas bagaimana memaknai keadilan sosial?
            Kembali kepada pertanyaan diawal, bagaimana keadilan sosial dikonsepsikan, sangat relatif tentu membicarakan mengenai konsep keadilan, termasuk keadilan sosial ini. Muali dari Aristoteles hingga John Rawls tidak bisa memberikan konsepsi yang pasti untuk ukuran mengenai keadilan. Konsepsi yang hanya sebagai referensi yang berharga, namun tidak bisa menjadi patokan atau hukum tentang keadilan itu sendiri. Yang pada akhirnya sampai tulisan ini, masih banyak bertebaran diskusi dan pertentangan mengenai makna keadilan. Namun dalam tulisan ini tidak akan sampai jauh membahas mengenai itu. Lantas bagaimana memaknai keadilan sosial dalam tulisan ini, tentu untuk membicarakan mengenai konsepsi dan definisi dari keadilan sosial haruslah dikaitkan dengan pembicaran mengenai Pancasila sebagai sistem nilai sebagai bagian dari kajian filsafat (filsafat Pancasila). Singkat kata, bahwa keadilan sosial dalam khasanah pembicaraan Pancasila sebagai kajian filsafat sebagai sistem nilai, akan bersandar pada awalan definisi dari sila kelima dari Pancasila, bahwa “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, makna dari keadilan sosial kemudian makin mengemuka manakala melihat rumusan dari sila kelima Pancasila, yang ditujukan untuk seluruh rakyat Indonesia tanpa melihat golongan. Namun demikian, bahwa mamaknai keadilan sosial dalam Pancasila sebagai sistem nilai tidak bisa berhenti pada aspek tersebut (sila kelima) saja, namun harus melihat sebagai bagian dari keseluruhan sistem Pancasila, yang artinya harus melihat pula sila-sila lainnya dalam Pancasila.
            Pancasila oleh banyak ahli kenegaraan dianggap sebagai falsafah bangsa, ideologi negara, pandangan bernegara, sumber hukum materiil dan konsep lainnya yang bertebaran sesuai dengan perspektif yang dibangun dalam suatu kedudukan Pancasila di Indonesia. Yang pada akhirnya dalam penyelenggaraan Negara, Pancasila dan keadilan sosial sebagai bagian darinya, tidak boleh dilepaskan dalam pelaksanaan dan praktek bernegara. Aktualisasi Pancasila menjadi wajib dan sebuah keharusan dalam menjadi pedoman bernegara dan mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Program dan kebijakan Negara tentu tidak boleh melepaskan Pancasila dan keadilan sosial, apalagi bertentangan.
            Demikian halnya pada penyelenggaraan Negara hari ini, melalui jargon-jargon yang memabukkan, dan terkesan merakyat, Pemerintah membentuk konsep pembangunan bernegara dalam Sembilan (9) program utama penyelenggaraan Negara dalam lima (5) tahun kedepan dengan sebutan NawaCita melalui kepemimpinan Jokowi-JK. Melalui Sembilan (9) program prioritas pemerintah (seolah) berupaya untuk tidak absen dalam pencapaian keadilan sosial dan nilai-nilai lain dalam sila-sila Pancasila lainnya.
            Reforma agraria menjadi salah satu program yang juga menjadi bagian dari pencapaian prioritas program NawaCita, bahwa upaya mencapai keadilan sosial akan diwujudkan dalam program reforma agraria a la pemerintah, dan diharapkan dapat mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang sampai hari ini para petani diberbagai sektor menjadi masyarakat mayoritas. Namun demikian, sekian tahun berjalan masa pemerintahan Jokowi-JK dan program NawaCita-nya, kenyataan mengenai perampasan tanah, penggusuran, kemiskinan (yang mayoritas oleh para petani) dan problem lainnya dalam aspek agraria terus bermunculan dan bahkan tidak pernah berhenti bergulir, termasuk terakhir adalah kekerasan-kekerasan Negara yang mengemuka sebagai kekerasan yang struktural (dalam pandangan Johan Galtung) dilakukan kepada rakyat-rakyat Indonesia yang hak-haknya terampas oleh setiap kebijakan yang didalamnya terdapat perselingkuhan antara Negara sebagai penyelenggaran Negara (birokrat) dan swasta sebagai pemilik modal yang paling berkepentingan dengan masalah pembangunan. Lantas benarkah bahwa reforma agraria a la NawaCita membawa nafas keadilan sosial dan sebagai pengejawantahan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia? Tentu perlu ditelaah kembali konsepsi reforma agraria a la NawaCita ini dalam kerangka Filsafat Pancasila yang tentu untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.  Apakah reforma agraria hanya untuk pencitraan dikala pemilu?
Program Reforma Agraria Dalam Program Nawacita
            Data ketimpangan penguasaan lahan dalam sektor agraria pada tahun 2017 yaitu sekitar 71 persen lahan dikuasi korporasi kehutanan, 16 persen lahan dimiliki oleh korporasi perkebunan skala besar, dan tujuh persen dalam genggaman para konglomerat (data KPA dalam CNN, 24 Sept 2017), menunjukkan perlunya restrukturisasi penguasaan lahan yang bersifat monopolistik yang bahkan terjadi sejak era Soekarno diawal-awal kemerdekaan. Hal demikian tentang ketimpangan penguasaan lahan dianggap sebagai salah satu faktor masalah kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Masyarakat Indonesia yang mayoritas adalah petani diberbagai sektor tentu adalah pihak yang paling dirugikan dengan ketimpangan penguasaan lahan, dimana mereka hanya menguasai enam (6) persen saja dari lahan (agraria) yang ada. Kondisi demikianlah yang menjadi latar belakang statement oleh Pemerintah melalui Jokowi untuk melaksanakan program reforma agraria yang sejarahnya juga sudah diwacanakan bahkan berbarengan dikeluarkannya UU No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria atau UUPA, dimana disampaikan oleh Darmin Nasution selaku Menteri Koordinator Perekonomian bahwa reforma agraria akan dimulai dari pembagian lahan (khususnya diluar Jawa) serta memberikan bantuan (termasuk pendanaan) dalam rangka mensukseskan program reforma agraria (data tempo.co, 8 Juni 2017). Program yang demikian oleh Pemerintah diklaim sebagai salah satu penerjemahan dari program NawaCita yaitu reforma agraria sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, pemberdayaan masyarakat adat dan pemgurangan ketimpangan desa dan kota.
            Reforma agraria yang digalakkan melalui program NawaCita oleh Pemerintah era Jokowi-JK untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, pemberdayaan masyarakat adat dan pengurangan ketimpangan desa dan kota sebagai upaya mewujudkan keadilan sosial khususnya dibidang agraria (tentang penguasaan lahan) dan keadilan ekonomi masyarakat Indonesia menjadi kembali dipertanyakan, manakala melihat realitas bahwa sampai tulisan ini dibuat, janji retribusi tanah seluas Sembilan (9) juta hektar tanah dan program-program lain sebagai bagian pelaksanaan reforma agraria dalam tiga (3) tahun berjalannya kepemimpinan Jokowi-JK tidak benar-benar terealisasi. Sebagaimana disampaikan oleh WALHI, bahwa reforma agraria yang seudah diprogramkan sejak 3 tahun lalu tidak berjalan atau  stagnan, hal ini terjadi manakala watak pembangunan ekonomi pada era Jokowi tidak berubah. Justru dibalik semua itu malah terjadi konflik agraria yang muncul lantaran pembangunan pada era Jokowi JK. Sampai 2016 saja menurut KPA telah terjadi 163 kasus konflik agraria terjadi karena pembukaan lahan perkebunan, 117 konflik pembangunan properti dan 100 kasus konflik agraria karena pembangunan infrastruktur (tempo.co, 19 Okt 2017).
            Dari paparan tersebut jelas bahwa bukan lagi reforma agraria sebagai jalan mencapai keadilan sosial, justru sebagaimana oleh Johan Galtung jelaskan, Negara hadir sebagai dalang dalam kekerasan struktural  terhadap rakyatnya dalam rangka pengamanan pembangunan ekonomi yang menguntungkan pemodal. Reforma agraria sangat sempit dipahami hanya sebatas pembagian lahan dan sertifikasi (legalisasi asset), melalui program NawaCita konsep reforma agraria sejati yang pernah menjadi trend dan selalu menjadi isu menarik setelah keluarnya UUPA menjadi sempit dan secara implementasi tentu bermasalah (sebagaimana data diatas), justru  seolah program reforma agraria dan  pembagian lahan sembilan (9) jt hektar  hanya menjadi alat kampanye dan alat untuk menina-bobokan masyarakat agar terlena dan menerima dengan legowo atas perampasan hak mereka atas tanah serta kekerasan-kekerasan struktural yang dialami manakala pemerintah melakukan pembangunan untuk kepentingan pemodal. Lantas bagaimanakah reforma agraria yang berwawasan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana dalam Pancasila?
Memahami Reforma Agraria Sejati
            Menjawab masalah kemiskinan dan ketidak-adilan sosial yang terjadi dan terus langgeng, bahkan sejak awal-awal kemerdekaan, para pendiri bangsa yakin dan percaya bahwa semua terjadi karena terjadinya ketimpangan ekonomi (khususnya disektor agraria) oleh karenanya atas latar belakang yang demikian munculah gagasan untuk reforma agraria sebagai salah satu landasan munculnya UUPA. Sebagaimana dijelaskan oleh Iwan Noerdin selaku Sekjen KPA, bahwa reforma agraria sejati itu pelaksanaan UUPA 1960. Artinya melaksanakan secara murni dan konsekuen dari setiap ketentuan dalam Pasal-Pasal UUPA 1960 adalah bentuk melaksanakan reforma agraria sejati. Bahkan masalah reforma agraria ini selain diatur dalam UUPA 1960 juga diatur dalam Tap MPR No. IX/MPR/2001 tentang Reforma Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang pada intinya menyatakan bahwa pembaharuan agraria (reforma agraria) mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia (Pasal 2). Bahkan dalam Pasal 5 Tap MPR ini telah dijelaskan arah kebijakan dari pelaksanaan reforma agraria, yaitu:
a.       Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini:

  •     Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat.
  •     Menyelenggaarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprhensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.
  •      Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengatisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana Pasal 4 Ketetapan ini.
  •     Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi.
  •      Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi.
            Dapat disimpulkan bahwa reforma agraria sejati adalah pelaksanaan atas UUPA 1960 dan Tap MPR No. IX/MPR/2001 dengan tidak hanya berhenti pada pendistribusian tanah dan sertifikasi tanah semata (legalisasi asset). Bahwa aspek aturan (hukum), aspek penguasaan lahan (ekonomi), aspek kelembagaan, aspek pembiayaan dan bahkan penyelesaian konflik adalah tanggung jawab Negara dalam rangka mencapai apa yang dicita-citakan sejak lama, yaitu terlaksananya reforma agraria (landreform).
            Lalu apakah demikian reforma agraria  a la NawaCita di era Jokowi-JK? Melihat banyaknya ketimpangan penguasaan yang masih terjadi, kemiskinan, aturan-aturan hukum yang bertentangan dengan UUPA (UU sektoral seperti UU kehutanan, UU Perkebunan dan aturan lain seperti Paket Kebijkan Ekonomi, dll) yang justru melanggar prinsip-prinsip dalam UUPA, kelembagaan yang masih belum terbangun, serta konflik-konflik yang terus terjadi kaitan dengan sumber daya agraria dan bahkan orientasi pembangunan yang cenderung ekspolitatif guna kepentingan pemodal adalah hal-hal yang bisa menjadi tolak ukur bahwa reforma agraria adalah semata pencitraan dan tidak benar-benar diupayakan untuk direalisasikan, justru kebijakannya malah bertentangan dengan konsep reforma agraria, makin banyak terjadinya konflik agraria akibat pembangunan-pembangunan ekonomi-lah salah satu alasannya.
            Lantas bagaimanakah untuk mencapai keadilan sosial sebagaimana dalam Pancasila? Manakala bahwa reforma agraria yang dibangun, bukanlah reforma agraria sejati, justru hanya jargon dan alat kampanye untuk menang dalam pemilu serta hanya sebagai pencitraan. Tentu tentang keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam Pancasila harus menjadi bahan refleksi kembali tentang pelaksanaan reforma agraria a la NawaCita yang justru sampai tiga (3) tahun pelaksanaannya masih dipersoalkan tidak hanya ditataran konsepnya, namun juga implementasinya. Bahwa kemiskinan masih terjadi, ketimpangan penguasaan lahan masih terjadi dan ketidak-adilan sosial juga masih terus terjadi.
Tentang Filsafat Pancasila dan Keadilan Sosial
            Kembali kepada diskusi awal tentang memaknai keadilan sosial sebagai judul besar dalam tulisan ini. Bahwa Pancasila telah lama menjadi landasan dan pijakan yang disakralkan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Pancasila tidak hanya bisa dimaknai sebagai jargon atau lambing semata, namun sebagaimana telah dikemukakan dimuka, bahwa Pancasila dalam berbagai aspek dan perspektif oleh para ahli ditempatkan dalam kedudukan tertentu dalam melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara, dianggap sebagai falsafah bangsa, dianggap sebagai pandangan hidup, dianggap sebagai ideologi bangsa, bahkan dianggap sebagai sumber hukum materiil oleh kalangan tertentu. Pandangan-pandangan yang demikian tentu adalah wajar, apalagi jika dikaitkan dalam pengertian Pancasila sebagai salah satu kajian filosofis (filsafat Pancasila).
            Filsafat Pancasila tentu dapat dipahami manakala berangkat dari pengertian filsafat dan Pancasila sendiri sebagai sistem filsafat. Bahwa pada hakekatnya dalam pengertian dan ruang lingkup kajian filsafat, Pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat dalam arti produk, sebagai pandangan hidup dan dalam arti praktis. Bahwa Pancasila adalah sebagai filsafat yang mengandung pandangan, nilai, dan pemikiran yang dapat menjadi  substansi dan isi pembentukan ideologi bangsa. Atau secara ringkasnya, bahwa pengertian filsafat Pancasila adalah refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila sebagai dasar Negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang mendasar dan menyeluruh.
            Kaitan Pancasila dengan keadilan sosial tentu adalah sebagai bagian dari pengertian filsafat Pancasila itu sendiri. Yaitu memaknai Pancasila sebagai suatu sistem nilai (filsafat). Bahwa kedudukan keadilan sosial sebagai salah satu nilai dalam sila-sila Pancasila tentu dalam pandangan sistem adalah satu-kesatuan dengan konsep nilai lainnya. Bahwa keadilan sosial (adil) menjadi konsepsi yang ada dalam Pancasila sebagai suatu sistem yang akan berkaitan dengan konsep nilai lainnya dalam sila-sila Pancasila, yaitu ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan dan kerakyatan. Artinya adalah membicarakan mengenai Pancasila tentu tidak boleh tidak membicarakan menganai keadilan sosial, pun sebalinya demikian. Sehingga dalam pandangan filsafat praktis, konsepsi keadilan sosial juga harus menjadi landasan dalam praktek berbangsa dan bernegara yang berlandaskan Pancasila. Bahwa setiap tindakan Penguasan atau Pemerintah harus berlandaskan pula pada tujuan untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
            Memaknai keadilan sosial dalam Pancasila tentu berlandaskan pada sila kelima (5) yaitu tentang “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” yang dimaknai pula bahwa seluruh rakyat Indonesia haruslah mendapatkan perlakuan yang adil baik dalam bidang hukum, ekonomi, politiki, sosial, budaya maupun kebutuhan spiritual (masalah keagamaan sesuai sila pertama) dan kebutuhan rohani sehingga dapat tercipta  masyarakat yang adil dan makmur dalam pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada strata dalam mencapai  keadilan tersebut. Sehingga atas dasar pengertian dan makna mengenai keadilan sosial tersebut, maka kaitan dengan masalah reforma agraria sebagai jalan menuju kesejahteraan masyarakat, maka tidak boleh ada ketimpangan, baik dalam sektor penguasaan lahan, maupun dalam sektor ekonomi terkait kemiskinan, adalah menjadi hak-hak masyarakat Indonesia yang harus segera dicapai melalui reforma agraria. Memaknai pentingnya mencapai keadilan sosial, munculah konsep reforma agraria atau landreform sebagai konsepsi dalam aspek agraria untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia yang dituangkan dalam UUPA 1960 dan Tap MPR No. IX/MPR/2001. Bahwa berdasarkan pada paparan ini dapat dilihat mengenai arti penting dan urgensi reforma agraria dalam kaitannya mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia di dalam segala bidang, baik ekonomi, hukum, politik, sosial, budaya dan lainnya.
            Senada dengan Moh. Hatta yang menyatakan bahwa tidak ada kebebasan atau keadilan dalam berbagai sektor ketika masih terjadi ketidak-adilan atau ketimpangan disektor ekonomi. Bahwa permasalahan ekonomi, berkaitan dengan ketimpangan dan kemiskinan menjadi problematika yang tidak kunjung selesai dan berdampak pada aspek lainnya (hukum, sosial, politik, budaya, dll.), sehingga menuntut untuk tercapainya kesetaraan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia melalui reforma agraria sejati ini. Inilah landasan fundamental yang mengemuka manakala membicarakan mengenai hubungan antara reforma agraria dan keadilan sosial sebagai bagian dari nilai-nilai dalam Pancasila kaitannya pembicaraan menganai Pancasila sebagai sistem filsafat.
            Artinya bahwa reforma agraria adalah program atau kebijakan pemerintah yang mutlak adanya untuk dilaksanakan sebagaimana telah diatur dalam UUPA dan Tap MPR No. IX/MPR/2001, bahwa Pemerintah punya tanggung jawab akan hal itu, diluar kenyataan bahwa terdapat hubungan kausalitas antara reforma agraria dan keadilan sosial dalam Pancasila. Sehingga bahwa reforma agraria harus menjadi program yang sepenuhnya diilhami dari pelaksaanan atas keadilan sosial dalam Pancasila, UUPA dan Tap MPR No. IX/MPR/2001, dimana pernyataan melaksanakan reforma agraria tidak boleh hanya semata jargon dan alat pencitraan untuk merebut hati rakyat dalam rangka memperpanjangan kekuasaan, akan tetapi reforma agraria sejati adalah tindakan nyata dan penuh kesadaran yang harus dilakukan oleh Pemerintah dalam Program NawaCita untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dalam rangka melaksanakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Reforma Agraria a la Nawacita Sebagai Dongeng yang Menyesatkan
            Melihat pentingnya melaksanakan reforma agraria dalam mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam kerangka pembicaraan Pancasila sebagai sistem filsafat, maka sebagaimana telah dikemukakan dimuka, maka dalam paragraf ini juga  akan ditekankan betapa pentingnya reforma agraria untuk dilaksanakan dan dijalankan dengan kesadaran penuh tanpa adanya niat untuk semata jargon dan pencitraan.
            Harapan tinggal harapan, melalui jargon reforma agraria yang memabukkan, rezim Jokowi-JK mungkin mendapatkan simpati dari masyarakat dan dianggap pro-rakyat. Namun tidak demikian dalam kenyataannya, bahwa ketimpangan-ketimpangan dalam sektor penguasaan agraria, kemiskinan akibat ketimpangan tersebut, konflik agraria akibat pembangunan yang pro-investasi dan aspek pertentangan lainnya seolah menjadi cerminan bahwa reforma agraria bukanlah program yang nyata-nyata hendak dilaksanakan sebagaimana amanat Pancasila, UUPA 1960 dan Tap MPR No. IX/MPR/2001, justru hanya jargon dan pencitraan untuk merebut hati rakyat semata.
            Lihatlah data ketimpangan penguasaan lahan dalam sektor agraria pada tahun 2017 yaitu sekitar 71 persen lahan dikuasi korporasi kehutanan, 16 persen lahan dimiliki oleh korporasi perkebunan skala besar, dan tujuh persen dalam genggaman para konglomerat (data KPA dalam CNN, 24 Sept 2017), kemudian data tentang konflik agraria sampai 2016 saja menurut KPA telah terjadi 163 kasus konflik agraria terjadi karena pembukaan lahan perkebunan, 117 konflik pembangunan properti dan 100 kasus konflik agraria karena pembangunan infrastruktur (tempo.co, 19 Okt 2017), kemudian data kemiskinan Indonesia per Maret 2016 mengalami kenaikan 2,78 persen (BPS dalam teropongsenayan.com, 18 Juli 2016) dengan jumlah penduduk miskin per Maret 2017 adalah sejumlah 27,77 juta orang (BPS dalam wartakota.tribunnews.com, 18 Juli 2017), kemudian data lagi dari KPA yang menyebutkan bahwa pada 2015-2016 saja telah terjadi 702 konflik agraria dilahan 1.665.457 hektar dan mengorbankan 195.459 keluarga petani dengan kriminalisasi petani sebanyak 455, 229 mengalami kekerasandan 18 orang petani tewas dalam konflik tersebut (KPA dalam mongabay.com, 31 Okt 2017).
            Yakinkah bahwa reforma agraria pada era NawaCita dilaksanakan sepenuhnya dan bukan hanya pencitraan? Menjadi sebuah anekdot manakala menilai berhasil reforma agraria dalam program NawaCita jika dibandingkan dengan data-data tentang ketimpangan penguasaan lahan, kemiskinan, konflik agraria dan kekerasan dalam agraria.
            Apa yang sudah diatur dalam UUPA dan Tap MPR No. IX/MPR/2001 tentang pelaksanaan untuk menyegerakan reforma agraria melalui beberapa tahapan tidaklah menjadi suatu yang diindahkan, justru kembali dibungkus sebagai jargon kampanye untuk memenangkan hati rakyat dan memabukkan rakyat dengan terus melakukan upaya-upaya perampasan hak-hak rakyat atas agraria, melakukan kekerasan struktural kepada rakyat manakala menolak pembangunan yang mengorbankan rakyat dan terus melakukan pembangunan yang pro-investasi tanpa melihat konsepsi reforma agraria dan masalah lingkungan hidup.
            Bahwa memang tidak semudah membalikkan telapak tangan menganai melaksanakan secara konsisten keadilan sosial dalam Pancasila dengan melaksanakan program reforma agraria, namun demikian, upaya-upaya yang konsisten dan bertahap serta terarah adalah menjadi kunci bahwa Pemerintah telah berniat dan bersungguh-sunggung untuk melaksanakan reforma agraria untuk mencapai keadilan sosial sebagaimana diamantkan oleh Pancasila, UUPA dan Tap MPR No. IX/MPR/2001. Bukan yang terjadi adalah sebaliknya, menjadikan reforma agraria sebagai jargon manis yang memabukkan dan menina-bobokan masyarakat untuk sadar akan hak-haknya, disisi lain terus melakukan pembangunan-pembangunan yang berperspektif pro-pemodal dengan melakukan perampasan-perampasan sumber agraria dari rakyat dan bahkan melakukan kekerasan struktural guna melanggengkan tindakannya. Hal inilah yang harus dilihat dalam rezim hari ini, apakah bisa dikatakan Pancasilais, manakala bahwa keadilan sosial sebagai salah satu nilai dalam Pancasila tidak menjadi pedoman dalam setiap pembentukan program. Apakah Pancasilais, manakala konsepsi pembangunan yang (katanya) pro-rakyat justru menyengsarakan rakyat dengan melakukan perampasan-perampasan hak rakyat atas sumber agraria demi kesejahteraan rakyat. Atau bisakah dikatakan Pancasilais, manakala banyak korban jiwa harus meregang nyawa akibat berebut sumber agraria dengan aparat Negara (polisi dan militer) yang menjaga pembangunan demi hanya mencukupi kebutuhan hidup sehari hari. Suatu kengerian dan tindakan tidak kritis manakala menilai bahwa kematian dan kelaparan adalah tindakan yang harus diambil ketika berhadapan dengan pembangunan ekonomi. Apa guna Pancasila jika tidak dijadikan landasan dalam berbangsa dan bernegara. Bahwa telah secara nyata dan jelas bahwa dalam Pancasila menekankan begitu pentingnya keadilan sosial dalam rangka kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia, begitu mulia dan suci tujuan yang diemban dalam Pancasila yang seharusnya dapat menjadi landasan dan falsafah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tapi demikianlah aktualisasi keadilan sosial dalam Pancasila.
Antara Reforma Agraria, Keadilan Sosial, Pancasila dan Tanggung Jawab Negara
            Tidak bijak kiranya hanya melakukan kritik tanpa adanya solusi yang jelas dan pasti untuk mananganinya. Atas permasalahan yang dikemukakan dimuka kaitan antara reforma agraria dalam program NawaCita, keadilan sosial dan aktualisasi Filsafat Pancasila, bahwa penulis menganggap perlunya dimaknai kembali mengenai filsafat Pancasila. Bahwa Pancasila sebagai sistem filsafat sebagaimana diuraikan dimuka memiliki tiga konsepsi, yaitu sebagai sebuah produk, sebagai pandangan hidup dan sebagai sebuah praktek.
1.      Sebagai sebuah produk, artinya Pancasila yang disarikan (kristaliasi) dari nilai-nilai yang sudah ada sejak masa 4000 tahun lalu yang bersifat positif dan baik sebagai gambaran tentang kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini tentu harus menjadi landasan bahwa Pancasila sengaja disarikan agar selalu menjadi pedoman bagi setiap warga Negara termasuk Pemerintah untuk selalu bersikap dna bertindak sesuai dengan nilai-nilai dalam Pancasila.
2.      Sebagai sebuah pandangan hidup, tentu berkaitan dengan Pancasila sebagai sebuah produk, bahwa apa yang sudah disarikan dalam sila-sila dalam Pancasila seharusnya dapat menjadi pandangan hidup yang harus secara murni dan konsekuen untuk melaksanakan setiap nilai-niali dalam Pancasila, bukan justru hanya menjadikan Pancasila sebagai jargon yang bersifat sacral semata. Kaitan dengan masalah reforma agraria dan keadilan sosial, tentu keadilan sosial juga harus menjadi pandangan hidup, pandangan berbangsa dan bernegara, pandangan dalam menjalankan pemerintahan guna kepentingan rakyat, bahwa melaksanakan reforma agraria sebagai jalan menuju keadilan sosial harus dijalankan sebaik mungkin dan sekonsisten mungkin sebagaimana telah diamanatkan oleh Pancasila dan kemudian diatur dalam UUPA dan Tap MPR No. IX/MPR/2001.
3.      Pancasila sebagai praktek, bahwa bukan hanya sebagai teori atau jargon semata, pemerintah seharusnya dapat melaksanakan dan menjalankan konsep-konsep nilai yang  ada dalam Pancasila dalam setiap kebijakan yang dibuat, hal ini tentu tidak terlepas dari tujuan dan cita Negara untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Ya, aktualisasi atas filsafat pancasila menjadi sebuah keharusan manakala pemerintah melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin yang mengatur segenap kehidupan bangsa dan Negara.
            Atas dasar hal tersebut berkaitan dengan solusi atas permasalahan yang ada, maka jawabanya adalah bagaimana mengaktualisasikan kembali nilai-nilai dalam Pancasila sebagai sebuah satu-kesatuan yang utuh, tanpa menghilangkan salah satu nilai. Terhadap permasalahan program reforma agraria dalam NawaCita tentu tidak boleh hanya sebatas jargon atau alat kampanye untuk merebut hati masyarakat dan dianggap pro-rakyat, hanya menjadikan sebagai bentuk pencitraan tentu bukanlah hal yang sesuai dengan makna dan memaknai Pancasila. Memiliki perspektif Pancasila dalam menjalankan program NawaCita termasuk program reforma agraria adalah menjadi keharusan yang mutlak, dengan memperhatikan konsep ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan khususnya keadilan sosial adalah jawaban atas refleksi permasalahan aktualisasi filsafat Pancasila dalam pelaksanaan program-program NawaCita.
            Keadilan sosial sebagai nilai dalam Pancasila harus dimaknai dan diterjemahkan menjadi program yang nyata-nyata adalah bentuk untuk mencapai keadilan sosial, tidak malah sebaliknya, hanya untuk kepentingan segelintir pihak semata. Tentu akan sulit, namun kesulitan ini bukanlah alasan melepaskan konsepsi keadilan sosial dalam setiap pelaksanaan program dan kebijakan bernegara. Yang artinya adalah menempatkan keadilan sosial sebagai nilai yang harus diterapkan dalam melaksanakan program reforma agraria. Dan tentu sebenarnya telah jelas dan gamblang makna reforma agraria sampai pada tataran tahapan tentang melaksanakan reforma agraria, yaitu sebagaimana diatur dalam UUPA dan Tap MPR No. IX/MPR/2001, yang ini juga adalah sebagai solusi untuk melaksanakan program reforma agraria oleh Pemerintah, melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur dalam UUPA dan Tap MPR No. IX/MPR/2001 dengan sepenuhnya dan tidak bertentangan dengan aturan yang sudah ada.
Penutup
            Akhirnya tentu problematika aktualisasi Pancasila yaitu masalah keadilan sosial sebagai bagian dari Pancasila sebagai sistem filsafat dalam penerapannya di program reforma agraria a la NawaCita yang bemula dari ketimpangan penguasaan lahan, kemiskinan, konflik agraria dan bahkan kekerasan struktural oleh Negara dalam pandangan filsafat Pancasila adalah bentuk tidak diaktualisasikannya Pancasila sebagai produk, Pancasila sebagai pandangan hidup dan Pancasila sebagai praktek berbangsa dan bernegara. Alih-alih mendasarkan keadilan sosial sebagai dasar dalam melaksanakan reforma agraria, Pemerintah justru hanya menggunakan reforma agraria sebagai jargon yang manis untuk merebut hati rakyat dan sebagai pencitraan, tidak melaksanakan sebagaimana diatur dalam UUPA dan Tap MPR No. IX/MPR/2001 tentu adalah tindakan yang tidak bisa dinilai sebagai aktualisasi nilai-nilai Pancasila, khususnya keadilan sosial.
            Kembali mengaktualisasikan Pancasila dan Keadilan Sosial adalah jawaban yang mesti dibenahi dalam setiap program kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah dalam NawaCita, termasuk melaksanakan reforma agraria sejati sebagaimana dimaksud dalam UUPA dan Tap MPR No. IX/MPR/2001.





Referensi:
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Jakarta, Djambatan, 2007
Gunawan Setiardji, Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Cet. Ke-2, Jakarta, Kanisius, 1997
Kaelan, Filsafat Pancasila Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Yogyakarta, Paradigma, 2009
Petrus C.K.L Bello, Ideologi Hukum Refleksi Filsafat atas Ideologi dibalik Hukum, Bogor, Insan Merdeka, 2013
Suyahmo, Filsafat Pancasila, Yogyakarta, Magnum Pustaka Utama Publishing, 2016
Sumber Data:
CNN Indonesia
mongabay.com
tempo.co
wartakota.tribunnews.com



[1] Tulisan dibuat awalnya guna memenuhi tugas Filsafat Hukum  Program Magister Ilmu Hukum UNPAD, Dosen Pembimbing oleh Prof. Ida Nurlinda, SH., MH. dan Dr. Maret Priyanta, SH., MH. Namun demikian, tulisan ini dipublikasikan ke blog ini sebagai upaya berbagi tentang opini penulis mengenai problematika reforma agraria dan problem relasi kuasa dari persepektif filsafat pancasila.


Komentar