Langsung ke konten utama

Sejarah Penerapan KUHP di Indonesia dalam Analisis Positivisme Hukum dan Sejarah Hukum



Cipto Prayitno


Sejarah KUHP Dalam Sistem Hukum Indonesia
Keberadaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang diterapkan di dalam sistem hukum nasional Indonesia melalui asas konkordansi menjadi hal yang patut dipertanyakan dari segi keberlakuaknnya di Indonesia. Keberadaan masyarakat Indonesia yang sangat pluralis dan keberadaan beragamnya sistem norma yang berkembang di dalam masyarakat Indonesia menjadi factor lanjutan dan factor paling penting untuk melihat apakah KUHP yang diterapkan oleh Indonesia melalui Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 adalah solusi terbaik bagi masyarakat Indonesia untuk mencapai ketertiban hukum. Secara singkatnya sejarah penerapan KUHP di dalam sistem hukum nasional Indonesia dapat dilihat dari kutipan Ahmad Bahiej.

“Jika diruntut lebih ke belakang, pertama kali negara Belanda membuat perundang-undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan disahkan pada tahun 1809. Kodifikasi hukum pidana nasional pertama ini disebut dengan Crimineel Wetboek voor Het Koninkrijk Holland. Namun baru dua tahun berlaku, pada tahun 1811 Perancis menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal (kodifikasi hukum pidana) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Perancis. Pada tahun 1813, Perancis meninggalkan negara Belanda. Namun demikian negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886. Pada tahun 1886 mulai diberlakukan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon.
 Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945, untuk mengisi kekosongan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia maka dengan dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, WvSNI tetap diberlakukan. Pemberlakukan WvSNI menjadi hukum pidana Indonesia ini menggunakan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia. Dalam Pasal VI Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht dan dapat disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. Di samping itu, undang-undang ini juga tidak memberlakukan kembali peraturanperaturan pidana yang dikeluarkan sejak tanggal 8 Maret 1942, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang maupun oleh panglima tertinggi Balatentara Hindia Belanda.
  Oleh karena perjuangan bangsa Indonesia belum selesai pada tahun 1946 dan munculnya dualisme KUHP setelah tahun tersebut maka pada tahun 1958 dikeluarkan Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 yang memberlakukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 bagi seluruh wilayah Republik Indonesia.”

Dari kutipan tentang sejarah pemberlakuan KUHP di Indonesia dapat diperhatikan bahwasanya ada suatu keadaan dilematis yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dimasa-masa setelah kemerdekaan, khsusunya di dalam bidang hukum. Setelah kurang lebih 3 (tiga) abad dalam masa penjajahan, termasuk penjajahan dalam ranah pemberlakuan hukum, setelah kemerdekaan Indonesia dihadapkan pada pilihan untuk menerapkan kembali aturan-aturan Hindia-Belanda atau dalam keadaan kekosongan hukum (walaupun dalam aspek kemasyarakatan, masyarakat Indonesia memiliki sistem norma yang berkembang di dalamnya).
Dalam pandangan pembangunan sistem hukum, kodifikasi dan unifikasi hukum adalah keharusan yang dipilih,[1] sehingga keberadaan KUHP sebagai hukum yang telah diterapkan pada masa penjajahan juga turut ditetapkan juga sebagai bagian hukum nasional dalam ranah pidana untuk memenuhi hasrat adanya kodifikasi maupun unifikasi hukum. Alhasil, problematika keberadaanya juga eksis ditengah beragamnya sistem norma yang berkembang di dalam masyarakat.
Problematika kemudian yang muncul adalah bagaimanakah masyarakat menghadapi konsepsi norma yang dibawa oleh KUHP sebagai bagian dari hukum Hinda-Belanda dengan eksis dan berkembangnya norma-norma sosial yang hidup di dalam masyarakat sebagai jiwa bangsa (volkgeist) masyarakat Indonesia?

KUHP dan Norma/Kaidahnya Bagi Masyarakat
Keberadaan KUHP sebagai norma/kaidah hukum yang diterapkan melalui lembaga yang memiliki kekuasaan dan kewenangan yaitu Negara menjadi norma yang kemudian eksis dan memiliki daya paksa ketika tidak diindahkan oleh masyarakat. Dengan sistem dan logikannya berdasarkan pada logika peraturan perundang-undangan nasional, KUHP menjelma menjadi norma yang wajib ditaati oleh masyarakat agar terhindar dari punishment. Keberadaannya sedikit banyak telah mengubah keadaan masyarakat yang sebelum adanya KUHP telah memegang keyakinan untuk menjalani keteraturan hidup dengan norma-norma sosial dan norma agama.
Dijelaskan oleh Marwan Mas dalam Grace Juanita[2] bahwa keberadaan kaidah atau norma merupakan sesuatu yang inheren pada saat manusia berinteraksi dengan manusia lain dalam masyarakat. Kaidah atau norma itu selalu  berisi  atau  memuat ketentuan tentang keharusan berperilaku dengan cara tertentu. Isi dari kaidah itu adalah berupa ketentuan tentang perilaku apa dan atau bagaimana yang boleh, yang tidak boleh, dan yang harus dijalankan  oleh manusia di dalam pergaulan hidup dengan sesamanya. Kaidah-kaidah yang mengatur sikap dan perilaku manusia,  pada hakikatnya untuk menjaga keseimbangan dan keteraturan kepentingan dalam kehidupan bermasyarakat.
Antara kaidah hukum dengan kaidah bukan hukum lainnya tentu mempunyai hubungan satu sama lain, khususnya dalam pembentukan kaidah hukum.  Dimana hubungan ini adalah kaidah-kaidah lain mendukung dalam substansi aturan yang akan dijadikan menjadi kaidah hukum untuk kemudian diterapkan.[3]  Akan tetapi, pemahaman mengenai hubungan antara kaidah hukum dan kaidah lainnya jangan sampai disalah mengerti dengan selalu me-norma-kan (menjadikan kaidah hukum) setiap kaidah yang berlaku dimasyarakat.  Justru menurut Garce Juanita hal ini bisa menjadikan over legislation yang malah memasung kebebasan didalam masyarakat.[4]

“Untuk  mendukung  efektifitas bekerjanya hukum hendaknya hubungan tersebut (hubungan antara kaidah hukum dan kaidah lainnya) adalah hubungan yang  bersifat saling  menguatkan, dalam arti kaidah hukum mendapat dukungan kaidah lain. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa kaidah hukum dapat  mengambil  alih dan menggantikan kaidah-kaidah lain dengan merumuskan substansi kaidah lain menjadi kaidah hukum.”

Catatan diatas bisa dilihat bahwa keberadaan norma hukum yang berangkat dari norma-norma yang diyakini masyarakat saja bisa menimbulkan ketidakbebasan dan bahkan menibulkan masalah lainnya. Apalagi keberadaan KUHP yang secara norma berbeda dengan budaya dan keberadaban bangsa Indonesia. Hal ini penting untuk dilihat karena pada akhirnya bahwa keberadaan KUHP secara historis sedikit banyak tidak sesuai dengan jiwa bangsa (volkgeis) dari masyarakat Indonesia.

Sifat Normatif yang Positivistik KUHP
Singkatnya ciri dari positivisme hukum adalah berkaitan dengan penggunaan logika yang ketat dalam pembangunan sistem hukum,  sebagaimana disampaikan oleh John Austin tentang sistem hukum yang haruslah logis,  tetap dan tertutup.[5]
Oleh Hart,  seorang pengikut positivisme,  diajukan beberapa arti dari positivisme sebagai berikut:
1.   Hukum adalah perintah;
2.   Analisa terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan. Analisa yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis serta berlainan pula dari suatu penalaran kritis;
3.   Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan peraturan yang sudah ada lebih dahulu,  tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial,  kebijkan serta moralitas;
4.   Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional,  pembuktian atau pengujian;
5.   Hukum,  sebagaimana diundangankan,  ditetapkan,  positum,  harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan,  yang diinginkan. Inilah yang sekarang sering kita terima sebagai pemberian arti terhadap positivisme.[6]

Secara garis besar berkaitan dengan pandangan Hans Kelsen tidaklah ada perbedaan yang signifikan dengan pandangan John Austin, dimana adat tida elemen dasar pandangan Hans Kelsen, Pertama, adalah hukum adalah harus sebagai sistem yang tertutup atau sistem hukum murni.  Kedua, adalah bahwa hukum harus sebagai Sollenskategori atau hukum sebagai sebuah keharusan.  Ketiga, hukum adalah sebuah kesatuan sistem peringkat atau hierarkis (Stufenbau) yang sistematis menurut keharusan tertentu. [7]
Positivisme hukum oleh Lili Rasjidi dan Wyasa Putra secara singkat disimpulkan bahwa:

“Paradigma hukum positivisme adalah aliran pemikiran hukum yang memberikan penegasan terhadap bentuk hukum (Undang-Undang), isi hukum (perintah penguasa), ciri hukum (sanksi, perintah, kewajiban dan kedaulatan), dan sistematisasi norma hukum (Hierarki norma hukum Hans Kelsen).“[8]

Oleh Lili Rasjidi dan Wyasa juga dinyatakan bahwa secara implisit, paradigma ini menegaskan beberapa hal, yaitu:
a.       Hukum adalah penguasa;
b.      Bentuk hukum adalah undang-undang;
c.       Hukum yang diterapkan terhadap pihak yang dikuasai yang dimensi keharusannya diketatkan melalui pembebanan sanksi terhadap pelanggarnya.[9]

Kaitannya dengan masalah penerapan KUHP di dalam sistem hukum nasional Indonesia adalah bahwa logika hukum yang diterapkan dalam konteks penerapan KUHP jelas adalah menggunakan logika positivistik. Hal ini memenuhi kriteria daripada apa yng diejalskan oleh Lili Rasjidi dan Wyasa Putra mengenai positivism hukum. 1) Hukum adalah penguasa, bahwa keberadaan dan keberlakuan dari KUHP tidaklah lepas daripada kekuasaan pemerintah (Negara) atas rakyatnya, sehingga menjadi mudah untuk KUHP dapat diterapkan dalam sistem hukum nasional dan menjadi norma baru yaitu norma hukum yang harus ditaati oleh masyarakat Indonesia. 2) Bentuk hukum adalah undang-undang, hal ini jelas menjadi ciri dari KUHP, bahkan dimana nilai-nilai dari KUHP yang tidak berangkat dari norma-norma (nila-nilai) jiwa bangsa Indonesia bisa secara legal menjadi norma yang harus dipatuhi oleh masyarakat Indonesia karena melalui pemberlakukan KUHP sebagai undang-undang. 3) Hukum yang diterapkan terhadap pihak yang dikuasai yang dimensi keharusannya diketatkan melalui pembebanan sanksi terhadap pelanggarnya, ini juga menjadi ciri dari KUHP yang terdapat sanksi atas pelanggarannya, dan menjadikan alat kekuasaan Negara sebagai pelaksananya.
Atas pemberlakuan KUHP  melalui logika positivistik tentu akan menimbulkan banyak polemic dan problematika. Disamping bahwa keberadaan pandangan ini menjadi objek kritik banyak teori dan pandangan tentang hukum. Juga bahwa logika ketat dan penglihatan hukum sebagai undang-undang an sich tentu akan berdampak pada pertentangan-pertentangan dalam moral masyarakat untuk mengikuti norma manakah, norma dalam KUH atau norma yang menjadi jiwa mereka sebagai bangsa Indonesia?

KUHP dalam Perspektif Sejarah Hukum
Sejarah Hukum (rechtsgeschiendenis) dalam perspektif keilmuan adalah bagian dari ilmu hukum yang secara konsen mempelajari tentang perkembangan dan asal-usul hukum dalam masyarakat tertentu.[10] Padangan sejarah hukum tentu bertolak dari keberadaan hukum sebagai bagian sejarah manusia dan masyarakat. Sehingga dalam sejarah kental dengan pernyataan bahwa hukum adalah jiwa bangsa (volkgeist).
Pandangan hukum historis atau teori sejarah hukum juga memberikan pengakuan atas keberadaan hukum yang muncul sebagai adanya kebiasaan,  adat-istiadat dan kebudayaan yang berada di dalam masyarakat yang sebelumnya mengenai kebiasaan,  adat dan kebudayaan bukan merupakan sebuah hukum dalam pandangan hukum positif.  Bahwa masyarakat mempuyai hukumnya dan berasal dari kebiasaaan dan adat yang ada di dalam masyarakat tersebut.  Hal ini dibenarkan oleh Radcliffe-Brown dan muridnya Evan-Pritchard.[11]  Anggapan hukum tidaklah bisa berasal dari kebiasaan juga dibantah oleh Bohannan yang menganggap bahwa definisi hukum dapat dijumpai dalam kebiasaan.  Secara singkat Bohannan berpendapat bahwa sebenarnya hukum adalah kebiasaan yang diciptakan (kembali) secara khusus oleh badan-badan dalam masyarakat dalam bentuk yang lebih sempit dan jelas.[12]
Teori sejarah hukum mempunyai sebuah ciri yang sangat bertentangan dengan pandangan hukum positivisme,  dimana letak daripada kekhasan teori ini adalah pengakuannya atas kebiasaan dan adat sebagai hukum dan bukanlah dari pembentuk undang-undang (idealisme pembentuk undang-undang).[13]
Pengakuan terhadap kebiasaan dan adat istiadat sebagai hukum menimbulkan konsekuensi bahwa dalam paradigma ini, dalam penyusunan suatu aturan yang akan diberlakukan di dalam masyarakat haruslah berasal dari hukum yang berkembang dan hidup dimasyarakat, yaitu hukum kebiasaan dan hukum adat.  Evaluasi berkala untuk melihat dinamika dan perkembangan dari hukum-hukum yang ada di dalam masyarakat harus selalu dilakukan dalam upaya untuk tercapainya sebuah pengaturan yang tidak bertentangan dengan kondisi dan kesadaran masyarakat sebagai addresat hukum yang kan diterapkan.[14]
Karakteristik lainnya adalah berkaitan dengan hukum yang baik adalah muncul dari jiwa bangsa masyarakat tersebut (volkgeist). Sebagaimana disampaikan oleh G. Puchta murid dari von Savigny, bahwa:
“Hukum itu tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan, dan menjadi kuat bersama-sama dengan kekuatan dari rakyat, dan pada akhirnya ia mati manakal bangsa itu kehilangan kebangsaannya.”[15]

Dapat disimpulkan berkaitan dengan karakteristik sejarah hukum terdapat beberapa unsur atau ciri, yaitu:
  1.  Hukum adalah kebiasaan dan adat, bukan berasal dari pandangan sepihak pembentuk undang-undang yang ada di dalam masyarakat atau negara;
  2.  Dalam pembentukan hukum harus memperhatikan dinamika perkembangan hukum yang berasal dari kebiasaan dan adat yang hidup di dalam masyarakat;
  3. Sumber hukum adalah jiwa masyarakat (volkgeist);[16]
  4. Isi dari sebuah aturan adalah berasal dari kebiasaan hidup masyarakat;[17]
  5. Hukum tidak dapat dibentuk, akan tetapi tumbuh dan berkembang bersama dengan kehidupan masyarakat. Undang-undang dibentu hanya untuk mengatur hubungan masyarakat atas kehendak masyarakat itu melalui negara.[18]
Jelaslah sudah dari paparan tentang beberapa ciri pandangan sejarah hukum, bahwa atas landasan berpikir hukum sebagai bagian sejarah masyarakat, bahwa masyarakat selalu memiliki hukumnya dan bahwa masyarakat  mengkristalkan hukum (norm) yang diataati dari jiwa bangsa mereka. KUHP yang berasal dari Belanda yang secara kultur tentu berbeda, dimana atas dalih asas konkordansi KUHP menjadi norma yang kemudian juga dipaksakan harus ditaati oleh masyarakat Indonesia yang sedikit banyak bertentangan dengan norma yang mereka yakini dan taati selama ini (norma sosial dan norma agama). Tentu tidak lain ini akan mengubah cara bangsa Indonesia tidak hanya dari sisi norma yang harus diyakini, pada akhirnya masyarakat Indonesia harus rela kehilangan norma-norma yang merupakan kristalisasi dari jiwa mereka, harus rela untuk mengikuti setiap pasal dalam KUHP meskipun bertentangan secara kebudayaan mereka. Ya, inilah norma hukum.

Kesimpulan
Keberadaan KUHP sebagai adaptasi pandangan positivistik dalam sistem hukum nasional yang berlandaskan pada asas konkordansi berlakunya tentu tidak akan lepas dari kekuasaan Negara atas rakyatnya. Hal ini searah dengan pandangan bahwa hukum adalah perintah penguasa. Tentunya semangat ini amat bertentang dengan padangan sejarah hukum sebagai pandangan yang historis megenai hukum dalam masyarakat, bahwa hukum tentu harus berangkat dari jiwa bangsa masyarakat (volkgeist), bahwa hukum adalah kristalisasi nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat. Sehingga keberadaan KUHP ditengah-tengah norma-norma sosial dan agama yang ditaati masyarkat menjadi kembali dipertanyakan dengan segala pertentangannya.


[1] Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Nomor VI/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara.
[2] Grace Juanita, Pengaruh Kaidah Bukan Hukum dalam Proses Pembentukan Kaidah Hukum, Jurnal Hukum Pro Justitia, april 2007, Volume 25 Nomor 2, hal. 120.
[3] Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, Bandung: P.T. alumni, hal. 30.
[4] Ibid., hal. 125.
[5] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum,  Depok: Raja Grafindo Persada,  2014,  hlm. 34
[6] Dias dalam Satjipto, Rahardjo, 2000,  Ilmu Hukum,  Bandung: Citra Adtya Bakti, hlm. 267-268.
[7] Lili Rasjidi dan Wyasa Putra, 2003,  Hukum Sebagai Suatu Sistem,  Bandung: Bandar Maju, hlm. 120-121.
[8] Ibid., hlm. 121.
[9]Loc. Cit.
[10] Imam Yaukani dan Ahsin Thohari, 2013, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, hal. 2.
[11] Soetjipto Raharjo, Op. Cit.,  hlm. 281-282.
[12] Ibid.,  hlm. 283.
[13] Soerjono Soekanto,  Op. Cit.,  hlm. 38-39.
[14] Lili Rasjidi dan Wyasa Putra,  Op. Cit, hlm. 115.
[15] Satjipto Rahardjo, Op. Cit., hlm. 279.
[16] Lili Rasjidi dan Wyasa Putra,  Op. Cit, hlm. 115.
[17]Loc. Cit.
[18]Loc. Cit.


Komentar