Langsung ke konten utama

Tahap Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Perspektif Constitutional Making menurut Cheryl Saunders



Oleh:
Cipto Prayitno
email: bukitshimla@gmail.com

Pendahuluan
Pembentukan  Konstitusi. Ya, pembentukan konstitusi atau yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai Constitutional making, memiliki makna pembentukan konstitusi suatu Negara yang tentu dalam hal ini bersifat tertulis (konstitusi dalam arti sempit). Dimana dalam pembentukan konstitusi memiliki makna penting kaitannya dengan mewujudkan tujuan-tujuan dari awal pembentukan konstitusi tersebut.
Hal ini pun dirasakan dalam perubahan UUD 1945 yang terjadi pada awal 1999, sebagai reaksi atas Orde Baru dan menuju zaman Reformasi. Salah satu agenda utama reformasi, yaitu perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah dilaksanakan empat kali dalam periode 1999-2002 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pada kurun waktu tahun 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amendemen), yang mengubah susunan lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amendemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi. Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensial.
Dalam proses perubahan UUD 1945 tentu memiliki tahapan-tahapan atau proses yang oleh Cheryl Saunders disebut sebagai. Lantas bagaimanakah tahapan UUD 1945 menurut pandangan Cheryl Saunders?

Sejarah Singkat Proses Perubahan UUD 1945
Sidang yang dilakukan dalam rangka perubahan UUD 1945 yang terjadi sampai empat (4) kali perubahan dalam sidangnya terjadi dalam beberapa fase, yaitu: Perubahan yang pertama terjadi dalam Sidang Umum MPR 1999 tanggal 14-21 Oktober 1999, Perubahan yang kedua terjadi dalam Sidang Tahunan MPR 2000 tanggal 7-18 Agustus 2000, Perubahan ketiga terjadi dalam Sidang Tahunan MPR 2001 tanggal 1-9 November 2001, dan Perubahan keempat terjad dalam Sidang Tahunan MPR 2002 Tanggal 1-11 Agustus 2002.[1]
Pada umumnya, dalam Sidang-Sidang MPR untuk melakukan perubahan UUD 1945 terdiri dari beberapa tingkat, antara lain:[2]
1.      Tingkat I
Pembahasan oleh Badan Pekerja Majelis terhadap bahan-bahan yang masuk dan hasil dari pembahasan tersebut merupakan rancangan putusan Majelis sebagai bahan pokok pembicaraan. 
2.      Tingkat II
Pembahasan  oleh  Rapat  Paripurna  Majelis  yang  didahului  oleh  penjelasan  Pimpinan & dilanjutkan  dengan  Pemandangan  Umum  Fraksi­-fraksi.
3.      Tingkat III
Pembahasan oleh Komisi/Panitia Ad Hoc Majelisterhadap semua hasil  pembicaraan Tingkat I dan II. Hasil  pembahasan  pada  Tingkat  III ini merupakan rancangan  putusan  Majelis.
4.      Tingkat IV
Pengambilan keputusan oleh Rapat Paripurna Majelis setelah mendengar laporan dari Pimpinan Komisi/panitia Ad Hoc Majelis dan bilamana perlu dengan kata akhir dari fraksi-fraksi.

Perubahan UUD 1945 menurut Cheryl Saunders
Menurut Cheryl Saunders sebagaimana dikutip Soedarsono, terdapat tiga (3) tahap pembentukan naskah konstitusi, yaitu:[3]
a.       Agenda Setting;
Pada tahap ini di bahas mengenai elemen-elemen apa saja yang akan dimasukkan dalam naskah konstitusi didalamnya turut dibahas pula mengenai prinsip-prinsip dan badan-badan yang berasal dari naskah konstitusi lama yang sekiranya diperlukan dalam naskah konstitusi yang baru;
Dalam Perubahan UUD 1945 yang terjadi dalam 4 (empat) kali perubahan berdasarkan pada konsepsi agenda setting, terdapat beberapa elemen-elemen (materi muatan: prinsip dan lembaga negara) yang akan dimasukkan kedalam UUD 1945 dari yang lama ke UUD 1945 yang baru, elemen-elemen tersebut disepakati sebagai “Kesepakatan Dasar” yang menjadi pedoman untuk proses perubahan UUD 1945, yang ternyata terjadi selama (4) kali perubahan. Kesepakatan Dasar disusun oleh Panitia Ad Hoc I pada saat proses pembahasan perubahan UUD 1945 dan isi dari kesepakatan dasar yang disepakati tersebut antara lain:[4]
1.      tidak mengubah Pembukaan Undang­Undang Dasar 1945; 
2.      tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 
3.      mempertegas sistem pemerintahan presidensial;
4. Penjelasan Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 yang memuat hal­hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal­pasal (batang tubuh); 
5.      melakukan perubahan dengan cara adendum

Dari kesepakatan dasar tersebutlah kemudian yang dalam konsepsi Cheryl Saunders sebagai elemen-elemen yang dalam agenda setting menjadi kesepakatan para pihak yang terlibat dalam perubahan UUD 1945 untuk tetap memasukkan elemen-elemen tersebut kedalam UUD 1945 yang baru. Dari kesepatan dasar tersebut yang kemudian dibahas dan menjadi landasan atau kesepakatan dasar dalam perubahan UUD 1945 yang baru dalam pembahasannya menghasilkan beberapa perubahan UUD 1945 yang terjadi dalam empat (4) kali perubahan. Perubahan tersebut termasuk didalamnya adalah mengenai pembentukan lembaga-lembaga baru selain yang sudah ada dan ditetapkan kembali dalam UUD 1945 hasil perubahan. Hasil perubahan tersebut antara lain adalah:
1.      Perubahan Pertama
Perubahan yang terjadi terhadap 9 Pasal yaitu Pasal 5,7,13,14,17,20, dan 21.
Pada pokoknya perubahan ini berkutat pada masalah:
a.       Pemberdayaan DPR, dan
b.      Membatasi kekuasaan Presiden
2.      Perubahan Kedua
Perubahan pada yang kedua adalah pada 6 Pasal yang terdiri dari Pasal 18, 19, 20, 26, 27 dan 30. Dan penambahan 2 bab, yaitu Bab IXA dan Bab X. Inti dari perubahan kedua ini adalah pada rumusan masalah mengenai Pemerintahan Daerah, Wilayah Negara dan HAM.
3.      Perubahan Ketiga
Dalam perubahan ketiga, terdapat beberapa perubahan terhadap 8 Pasal yang terdiri dari Pasal 1, 3, 6, 11, 17, 23 dan 24 serta penambahan 3 aba yaitu BAB VIIA, VIIB, VIIIA.
Pokok dari perubahan ketiga adalah masalah:
a.       Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat
b.      Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung
c.       Proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
d.      Pembentukan MK dan KY
4.      Perubahan keempat
Dilakukan perubahan terhadap 10 Pasal yaitu Pasal 2, 8, 11, 16, 24, 31, 32, 33, 34, dan 37. Penghapusan Pasal 16 dan Penambahan 3 Pasal.
Pokok perubahan keempat adalah:
a.       Sistematika Pemilihan Presiden dan  Wakil Presiden
b.      Pendidikan
c.       Ekonomi dan kesejahteraan sosial
d.      Prosedur perubahan konstitusi
e.       Perumusan aturan tambahan dan peralihan
Dari perubahan-perubahan UUD 1945 yang terjadi dalam empat (4) kali perubahan pada pokonya menurut pandangan Cheryl Saunders tentang agenda setting, bahwa terdapat lembaga-lembaga yang dipertahankan seperti lembaga Kepresidenan, DPR, MA, BPK, dan MPR. Dihapusnya DPA dan ditambahkannya lembaga baru yaitu MK dan KY. Secara prinsip juga dalam perubahan UUD 1945 sebagaimana telah disepakati dalam kesepakatan dasar, ada beberapa prinsip yang dipertahankan seperti sistem pemerintahan yaitu presidensiil dan malah ada penguatan diaspek tersebut, kemudian prinsip untuk pengaturan HAM dan lain-lain. Konsepsi-konsepsi perubahan dalam UUD 1945 tentu tidak terlepas dari perdebatan-perdebatan dalam perumusan perubahan UUD 1945 yang juga terjadi dalam awal Sidang Umum MPR 1999 di dalam Pemandangan Umum Fraksi. Bahan bahasan yang digunakan dan menjadi acuan Panitia Ad Hoc  III Badan Pekerja MPR adalah tuntutan dan wacana perubahan dari berbagai kalangan yang muncul dan berkembang selama awal era reformasi, termasuk  pada  masa  kampanye  Pemilu  1999. Bahan bahasan tersebut  tidak  berasal dari kegiatan penyerapan  aspirasi masyarakat yang sangat  luas dan studi banding ke luar  negeri waktu  yang tersedia  bagi Panitia  Ad Hoc III hanya tinggal  satu minggu. Bahan bahasan yang digunakan dan menjadi acuan pembahasan  dalam rapa-t­rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR adalah:[5]
a.       materi Rancangan Perubahan Undang­Undang Dasar Negara Republik  Indonesia Tahun 1945 sebagaimana dimuat dalam lampiran beberapa  ketetapan MPR (khusus untuk pembahasan rancangan Perubahan Ke­ dua,  Perubahan Ketiga,  dan Perubahan Keempat Undang­Undang  Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945); 
b.      materi usulan fraksi­-fraksi MPR  yang  disampaikan dalam pengantar  musyawarah pada rapat Badan Pekerja MPR; 
c.       materi usulan lembaga negara/pemerintah; 
d.      materi usulan berbagai kelompok masyarakat (pihak perguruan tinggi, ormas, pakar, LSM, lembaga pengkajian, dan lain­lain); 
e.       materi hasil kunjungan kerja ke daerah; 
f.       materi hasil seminar; 
g.      materi usulan dari perseorangan warga negara; 
h.      materi hasil studi banding ke negara­negara lain;
i.        materi masukan dari Tim Ahli Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR.

b.      Design and Development;
Tahapan ini dapat dikatakan merupakan tahapan yang paling sulit, oleh karena dalam tahapan ini ditentukan mengenai lembaga mana yang berwenang untuk membentuk naskah konstitusi yang didalamnya dapat mengkombinasikan sejumlah isu ketatanegaraan beserta sejumlah kepentingan hukum, politik dan masyarakat;
Dalam perubahan UUD 1945 tidak terjadi perdebatan yang signifikan mengenai lembaga mana yang berwenang untuk mengubah UUD 1945, apakah lembaga yang sudah ada yaitu legislative dalam hal ini MPR atau lembaga independent yang perlu dibentuk secara Ad Hoc untuk mengubah UUD 1945. Persoalan ini tidak mengemuka dalam proses pembahasan perubahan UUD 1945 dalam kurun waktu 4 tahun yaitu dari tahun 1999 sampai tahun 2002. Sehingga dalam pandangan Cheryl Saunders, mengenai design and development dalam tahapan perubahan UUD 1945 menjadi kewenangan dari MPR sepenuhnya sebagaimana diatur didalam Pasal 3 UUD 1945 sebelum perubahan, bahwa kewenangan untuk mengubah UUD 1945 ada pada MPR. Badan yang bersifat independent kaitannya dengan perubahan UUD 1945 atau disebut Komisi Konstitusi justru dalam perdebatannya diproses perubahan UUD 1945 bukanlah sebagai lembaga independen yang berwenang mengubah UUD 1945, akan tetapi perdebatannya adalah sebagai lembaga yang bertugas menyempurnakan hasil perubahan UUD 1945. Pada akhirnya dalam rapat paripurna MPR dalam menghasilkan putusan atas usul pembentukan Komisi Konstitusi (Tahap perdebatan dan pembicaraan menganai Komisi Konsitusi berada dalam Pemandanagn Umum Fraksi-Fraksi dalam tahap Pembicaraan Tingkat II dan disetujui dalam Pembicaraan Tingkat IV dalam Sidang Perubahan ketiga).
Oleh MPR dalam pelaksaan perubahan dibentuklah Badan Pekerja MPR yang terdiri dari beberapa Panitia Ad Hoc yang mempunyai tugas dan kewenangan yang berbeda dalam hal perumusan dan perubahan UUD 1945.[6] Terbentuknya BP MPR secara kronologis terjadi dalam setiap Sidang MPR yang dilakukan untuk mengubah UUD 1945 yang terjadi sampai empat (4) kali. Misalnya dalam Sidang Umum MPR 1999 tentang Perubahan Pertama yaitu dalam Rapat Pembentukan BP MPR dan Pengesahan Tugas BP MPR (Senin, 4 Oktober 1999), kemudian Rapat Pengesahan Jadwal Acara BP MPR (Rabu, 6 Oktober 1999) dan Rapat Pemandangan Umum Fraksi tentang Materi Sidang Umum, Pembentukan PAH BP MPR sebagai alat kelengkapan Majelis,dan Membahas Materi Sidang Umum MPR Sesuai Bidang Tugas PAH BP MPR sebagai alat kelengkapan BP MPR (Rabu, 6 Oktober 1999).[7]
c.       Approval;
Pada tahap akhir, proses penerimaan dilakukan dengan memilih satu di antara dua macam cara yaitu (a) by the people dan (b) representatives. Tahapan ini sebenarnya adalaha tahapan dimana dituntut adanya peran rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung (keterwakilan) yang akan berdampak pada rasa memiliki atas suatu konstitusi.
Dalam perubahan UUD 1945, tidak menggunakan konsepsi persetujuan secara by the people melalui referendum.[8] Karena konsep referendum sebagai upaya perubahan atas UUD 1945 sebenarnya telah diatur dalam TAP MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum, akan tetapi referendum disini oleh beberapa kalangan dianggap sebagai upaya mempersulit perubahan UUD 1945 pada era Soeharto. Sehingga dalam perubahan UUD 1945 tidak dimasukkannya referendum dalam tahapan perubahan UUD 1945. Sehingga akhirnya digunakanlah persetujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD 1945 sebelum perubahan untuk menyetujui hasil perubahan UUD 1945 dalam setiap sidang MPR untuk mengubah UUD 1945 yang terdiri dari empat (4) perubahan yang tiap sidang berdiri sendiri. Persetujuan dilakukan oleh MPR dengan komposisi harus disetujui oleh 2/3 anggota yang hadir.
Pasal 37
(1)  Untuk  mengubah  Undang­Undang  Dasar  sekurang­kurangnya  2/3 daripada  juml-ah  anggota  Majelis  Permusyawaratan  Rakyat  harus hadir.
(2)  Putusan  diambil  dengan  persetujuan  sekurang­kurangnya  2/3 daripada jumlah an-ggota yang hadir.
Dalam proses perubahan Undang­-Undang  Dasar  Negara Republik  Indonesia Tahun 1945 yang dibahas dalam empat kali sidang MPR sejak  tahun 1999  sampai dengan 2002, hampir seluruh materi rancangan  perubahan disetujui dengan cara aklamasi setelah sebelumnya dilakukan  pembahasan sangat mendalam, kritis, dan objektif. Persetujuannya dilakukan dalam tahapan Pembicaran Tingkat IV.
Dari puluhan materi yang  dibahas dan diputuskan dalam empat  sidang  MPR, hanya satu  materi saja  yang  diputuskan dengan cara pemungutan suara yaitu Pasal 2 Ayat (1) Undang­Undang Dasar Negara  Republik  Indonesia  Tahun 1945  mengenai susunan keanggotaan MPR, yang terdiri atas dua alternatif sebagai berikut.[9]
 Alternatif 1 Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan  Rakyat dan anggota  Dewan  Perwakilan  Daerah  yang dipilih  melalui  pemilihan umum, ditambah dengan utusan golongan yang  dipilih  oleh  Dewan Perwakilan Rakyat, yang selanjutnya diatur oleh undang­undang.
Alternatif 2 Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan  Rakyat dan anggota  Dewan  Perwakilan  Daerah  yang dipilih  melalui  pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-­undang.


Kesimpulan
Pada umumnya, dalam Sidang-Sidang MPR untuk melakukan perubahan UUD 1945 terdiri dari beberapa tingkat, antara lain: Tingkat I, Pembahasan oleh Badan Pekerja Majelis terhadap bahan-bahan yang masuk dan hasil dari pembahasan tersebut merupakan rancangan putusan Majelis sebagai bahan pokok pembicaraan. Tingkat II, Pembahasan  oleh  Rapat  Paripurna  Majelis  yang  didahului  oleh  penjelasan  Pimpinan & dilanjutkan  dengan  Pemandangan  Umum  Fraksi­-fraksi, Tingkat III, Pembahasan oleh Komisi/Panitia Ad Hoc Majelisterhadap semua hasil  pembicaraan Tingkat I dan II. Hasil  pembahasan  pada  Tingkat  III ini merupakan rancangan  putusan  Majelis dan Tingkat IV, Pengambilan keputusan oleh Rapat Paripurna Majelis setelah mendengar laporan dari Pimpinan Komisi/panitia Ad Hoc Majelis dan bilamana perlu dengan kata akhir dari fraksi-fraksi.
Dalam tahap pembentukan konstitusi menurut Cheryl Saunders bahwa perubahan UUD 1945 bagian agenda setting terjadi pada awal perubahan yaitu dengan ditandai disepakatinya “Kesepakatan Dasar. Tahap Design and Development dalam perubahan UUD 1945 tidak mengemuka perdebatannya dan dijalankan oleh MPR berdasarkan pada Pasal 3 UUD 1945 sebelum penjelasan. Sedangkan tahapan Approval, anggota-anggota MPR-lah yang menyetujui dengan melalui prosedur yang ditentukan dalam Pasal 37 UUD 1945 sebelum perubahan.



Daftar Pustaka

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku I Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan UUD 1945, Jakarta: Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2006, Bahan Tayang Materi Sosialisasi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI
Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2006, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal dan Ayat, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI
Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2014, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Sekretariat Jenderal MPR RI
Soedarsono, 2008,  Putusan Mahkamah Konstitusi tanpa Mufakat Bulat, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia




[1] Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2006, Bahan Tayang Materi Sosialisasi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, hal.1
[2] Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2006, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal dan Ayat, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, hal.25
[3] Cheryl Saunders dalam Soedarsono, 2008,  Putusan Mahkamah Konstitusi tanpa Mufakat Bulat, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hal. 47
[4] Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2006, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara…, Op. Cit., hal. 13
[5] Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2014, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Sekretariat Jenderal MPR RI, hal. 39-40
[6] Ibid., hal. 30-31
[7] Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku I Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan UUD 1945, Jakarta: Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, hal. 132
[8] Keikutsertaan rakyat justru tidaklah pada tahapan persetujuan perubahan UUD 1945 itu sendiri, akan tetapi partisipasi masyarakat dalam proses perubahan UUD 1945 terjadi pada tahap awal perubahan UUD 1945 dalam Pembicaraan Tingkat I melalui: Rapat Dengar Pendapat Umum, Kunjungan Kerja ke Daerah dan Seminar. Dalam Ibid., hal. 35-37
[9] Ibid., hal. 46-49

Komentar