Langsung ke konten utama

Demokrasi Kami



Oleh:
Cipto Prayitno
email: bukitshimla@gmail.com

Penulis             : Donny Gahral Adian
Penerbit           : koekoesan
Tahun Terbit    : 2006

Pendahuluan
Bagaimana kita memaknai demokrasi? Ditengah Negara hukum seperti Indonesia yang memegang prinsip konstitusionalisme dalam pelaksanaan pemerintahan tentu harus bisa dengan baik mendefinisikan tentang demokrasi sebagai sarana  untuk mencapai kebebasan, kesetaraan dan keadilan. Ditengah masyarakat yang pluralis serta golongan agama yang kuat juga memberikan makna yang berbeda mengenai pelaksanaan demokrasi, kecenderungan sekatarianisme yang berujung pada totalitaianisme tentu menjadi ancaman nyata demokrasi ditengah masyarakat sipil.
Demikian beragamnya makna demokrasi ditengah hirup-pikuk kehidupan politik, hukum dan agama dalam suatu bangsa terutama di Indonesia, maka buku yang ditulis oleh Donny Gahral Adian ini yan berjudul Demokrasi Kami memberikan diskursu yang menarik seputar itu semua. Dengan gaya bahasa yang popular dan paparan  a al postmodernisme memberikan sisi menarik tersendiri dari buku yang menjadi rujukan tentang teori demokrasi.
Politik harian tentu membutuhkan filsafat sebagai upaya nya untuk menyelamatkan politik di masa depan. Proses dialektika kebenaran dalam demokrasi tidak bisa tidak dan menjadi keharusan, kebenaran tidak bisa hanya bersifat searah, sehingga dalam demokrasi kunci utamanya adalah komunikasi. Kekuasaan juga harus dibangun dari bawah keatas agar tercapai demokrasi yang baik.
Buku ini terdiri dari beberapa bab pembahasan tentang demokrasi, politik, hukum dan agama yang menjadi pokok bahasan dengan didalamnya terdapat artikel-artikel dengan sub bahasan tertentu dengan tema yang khusus.

Demokrasi 
Artikel 1 Menyoal Dimensi Kultural Demokrasi. Demokrasi prosedural tidak bisa menjamin terciptanya demokrasi dalam pengertian demokrasi libertis, demokrasi agar bisa mencapai etika sosial tentunya memerlukan demokrasi kultural. Dimana demokrasi kultural dibangun berdasarkan 3 hal, yaitu kontrol populis terhadap pejabat-pejabat negara, kesetaraan politik antar wargan negara, dan diskursus politik yang fair. Selain itu bahwa kunci untuk bisa tercipta nya demokrasi adalah adanya komunikasi dan kemengertian dari setiap elemen dalam demokrasi itu sendiri. 
Artikel 2 Demokratisasi Demokrasi. Hiruk pikuk perdebatan tentang apa itu Demokratiasasi membawa pada pengertian yang salah tentangnya. Demokratisasi demokrasi berarti adalah memperluas konkritisasi demokrasi, melalui aktualisasi demokrasi tidak hanya demokrasi secara idiil semata.
Aktualisasi ini tentu membutuhkan faktor pendukung utama, yaitu menyelesaikan masalah-masalah kemiskinan yang menjadi faktor penentu agar demokrasi bisa berjalan secara baik dari segi aktualisasi demokrasi. Selain itu memperluas demokrasi agar bisa dinikmati oleh semua kalangan, tidak hanya golongan tertentu atau lebih parah oleh golongan berkecukupan saja merupakan syarat selanjutnya, kesetaraan dengan pelaksanaan kesempatan sacara egaliter adalah suatu keharusan terhadap Pelaksanaan Demokratisasi demokrasi. 
Artikel 3 Kritik Terus Menerus Bagi Demokrasi. Pembicaraan mengenai demokrasi yang makin marak oleh banyak kalangan tidak diikuti oleh membicarakan demokrasi dari perspektif sejarahnya. Sehingga banyak timbul pemahaman yang tidak utuh mengenai implementasi demokrasi dalam partisipasi publik. Bahwa dalam demokrasi dua hal menjadi kunci adalah adanya pengakuan terhadap politik identitas dan politik kewarganegaraan. Dimana keduanya ini menjadi suatu hal yg harus bisa dijalankan dengan baik. Kemudian bahwa kenyataan perluasan kebebasan dalam demokrasi juga banyak mendapat perdebatan oleh beberapa ideologi yang seharusnya mampu bisa memberikan alternatif yang baik untuk demokrasi itu sendiri. 
Artikel 4 Demokrasi Kertas. Demokrasi bagi golongan kaum urban berkaitan dengan masalah ekonomi perkotaan dan ketertiban kota seringkali ditiadakan, meskipun secara aturan tentang demokrasi atau kebebasannya telah dijamin oleh hukum, namun karena alasan yang sebelumnya sudahh dijelaskan, demokrasi menjadi tidak dijalankan alias demokrasi diatas kertas. Oleh karena itu, perlu ada realisasi riil atas jaminan kebebasan serta faktor-faktor penopang yang dapat menumbuhkan demokrasi.

Politik 
Artikel 1 Negara Bangsa, Desentralisasi Dan Keadilan. Dalam negara bangsa yang berlandaskan pada ideologi persatuan dan kesatuan menuntut adanya upaya kondusifitas, namun hal ini tidak bisa membawa keadilan. Pada perkembangannya bahwa dalam negara-bangsa terdapat upaya untuk mendayagunakan daerah daerah berdasarkan kemampuan daerah melalui desentralisasi, namun pada pelaksanaannya desentralisasi bukan tanpa masalah, desentralisasi akan muncul kecenderungan adanya perbedaan kemajuan daerah satu dengan lainnya, persoalan kedua adalah persoalan kesukuan dan problem terakhir adalah masalah koneksifitas dengan multinasional. Pada pelaksanaan desentralisasi tidak boleh hanya didasarkan pada persatuan dan kesatuan yang justru akan menumpulkan pelaksanaan desentralisasi, justru keadilan lah yang bisa menjadikan desentralisasi bisa terlaksana dengan baik.
Artikel 2 Politik Lokal, Politik Multikultural. Politik sebagai sebuah keterlaluan yang universal menuntut negara untuk bertindak atas nama politik yang universal. Namun universalitas penerapan politik oleh negara terhadap daerah-daerah menimbulkan resistensi, karena hal ini setiap daerah memiliki logika politik multikultural dengan logika resistensi lokal daerah yang terpinggirkan.
Artikel 3 Politik: Antara Kesantunan Dan Kekerasan. Kenyataan itu yang memang terjadi dalam politik nasional, kekerasan dan trend depolitisasi adalah dua hal yang sering terjadi dan mencederai pelaksanaan politik. Politik nasional tidak dibangun dengan politik santun yang memiliki ciri solidaritas dan upaya untuk membangun bangsa. Alih-alih dapat membangun bangsa, justru politik kekerasan akan menimbulkan perpecahan dan ketertundukan satu kaum dari kaum lainnya. Atas problem tersebut perlu dibangun etika politik yang baik berupa pembenahan struktur politik dan budaya politik yang baik bagi para politikus. 

Agama
Artikel 1 Sektarianisme: Quo Vadis Politik Pluralisme. Sektarianisme yang bertebaran di Indonesia pernah mendapat pengahancuran dari politik totalitarianisme, ini sebagai upaya hegemoni dari politik penguasa. Dalam demokrasi tidak selalu memberikan ruang terhadap pluralisme, oleh karenanya dalam negara yang masih eksis politik sektarianisme demokrasi harus dibangun dengan pluralisme.
Politik sektarianisme juga haruslah mendapatkan tempat tapi bukan di politik praktik, namun sebagai politik untuk menekan penguasa atau pressour group.
Artikel 2 Agama, Politik Dan Nalar Publik. Dalam kehidupan bernegara, kelompok beragama atau kelompok yang mengatas namakan agama akan berhadapan dengan dua pilihan yang dilematis, yaitu apakah hanya akan berkutat pada masalah masyarakat sipil (civil society) atau juga masalah politik (political society). Problem ini tidak ditemukan pada ketika agama berada dalam ranah sipil, berbeda hal manakala berhadapan dengan masyarakat politik. Politik yang diartikan sebagai perebutan kekuatan yang kemudian digunakan sebagai sarana perbaikan moral oleh kelompok agama tentu cara yang dipakai ada kecenderungan sektarianisme. Problem tersebut berlanjut manakala harus pula dihadapkan pada sekularisme yang akan berujung pada totalitarianisme. Sehingga manakala tetap akan berada pada arus politik, agama harus berada pada jalur politik prosedural yang berprinsip pengawasan, kebebasan, adil.
Artikel 3, Agama, Demokrasi Dan Politik Rasional. Pertentangan antara paham liberal dan paham agama dalam kancah politik demikian sering terjadi, hal ini karena perbedaan nalar yang digunakan, saling tuduh sebagai totalitarianisme dan individualisme juga sering terjadi. Oleh karenanya upaya deliberalisasi publik perlu dilakukan dalam upaya menjaga nalar publik mengenai perseteruan dua paham ini, upaya memberikan nalar yang rasional dalam perdebatan politik menjadi hal yang harus dalam demokrasi.
Artikel 4, Konsensus Kelima. Ditengah arus politik identitas yang cenderung membawa totalitarianisme, penguatan terhadap 4 konsensus perlu dilakukan, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Empat Konsensus tersebut memang telah usang, namun masih efektif untuk menangkal totalitarianisme untuk tetap berwajah demokrasi. Kemudian lupanya generasi ini untuk menjalankan 4 Konsesnsus tersebut, perlu ada Konsesnsus kelima yaitu adanya sekulerisme.
Artikel 5, Iman, demokrasi dan Terorisme. Bagaimana demokrasi bisa menumpas terorisme? Apakah bisa demokratisasi meniadakan terorisme?
Problem demokrasi yang bisa menjurus kearah sektarianisme justru akan bermasalah dengan keimanan yang berujung pada terorisme yang berdasar pada soal keimanan.
Sehingga demokrasi harus juga memperhatikan spiritualitas, inilah demokrasi spiritual yang perlu dibangun untuk menjaga demokrasi dan soal keimanan.

Hukum
Artikel 1, Menyoal Prosedural Hukum. Moralisasi publik dengan satu keyakinan golongan tertentu melalui prosedural hukum tentu akan bertentangan dengan kebebasan, kebebasan yang sudah dijamin oleh konstitusi. Proseduralisme yang fairness diperlukan untuk mewujudkan produk hukum yang membawa napas demokrasi dan kebebasan, prosedur yang dimaksud tidak hanya dari aspek birokratisme saja. Tanpa ini maka suatu aturan bertentangan dengan konstitusi, yang berarti bertentangan dengan kontrak sosial bangsa Indonesia.
Artikel 2, Hukum Dan Demokrasi. Rezim demokrasi oleh hayek dikatakan tidak menjamin dapat memunculkan hukum yang baik, yakni hukum yang bisa memberikan makna demokrasi yang sesungguhnya, tidak hanya mewakili kelompok mayoritas semata. Hukum yang berlaku melalui prosedural karena disepakati mayoritas bisa jadi sah, namun secara moral tentu tidak. Hukum harus bisa menjamin pelaksanaan kebebasan, kesetaraan dan keadilan, diperlukanlah rezim demokrasi sebagai sarana, bukan sebagai tujuan.
Itulah esensi keberadaan Mahkamah Konstitusi untuk bisa menjaga hukum dalam rezim demokrasi ini untuk mewujudkan hukum yang bisa menjamin kebebasan, kesetaraan dan keadilan.
Artikel 3, Hukum Yang Mengancam Demokrasi. Demikian adalah kenyataan bahwa hari ini hukum membawa napas golongan atau sektarian tertentu sebagai upaya nya menghancurkan rival yang dianggap berbahaya bagi golongan tersebut dalam kekuasaan. Hukum tidak lagi membawa asa rule of law yang oleh Hayek dianggap sebagai borgol bagi penguasa agar tidak sewenang-wenang. Tidak ada lagi kesetaraan bagu semua golongan masyarakat, hukum justru meniadakan kelompok-kelompok yang berbahaya bagi golongan penguasa, hal ini justru adalah ancaman terhadap demokrasi.
Artikel 4, Hukum, Pemilu Dan Demokrasi. Pemilu tidak lain adalah ajang perebutan kekuasaan secara konstitusional. Apakah yang Konstitusionalis demikian adil? Oleh golongan nonpositivisme Konstitusionalitas tidak selalu sama dengan adil. Karena pada dasar nya dalam pemilu sebagai demokrasi prosedural juga dibutuhkan keadilan sosial-ekonomi, tanpa ini pemilu hanya untuk kaum kapital untuk perebutan kekuasaan secara manipulatif yang berujung pada korupsi dan ketidakadilan-ketidakadilan baru.

Penutup
Keseimbangan demokrasi, politik, agama dan hukum dalam kehidupan bernegara tentu perlu dilakukan. Praktek-praktek yang manyimpang dalam pelaksanaannya dan mengatasnamakan kebaikan yang terselubung serta untuk kepentingan segelintir golongan perlu disisihkan. Kebebasan, kesetaraan dan keadilan tentu menjaid nilai moralitas yang universal dari pelaksanaan setiap elemen agar mampu dilaksanakan dengan baik.
Buku ini mempu memberikan deskripsi yang menarik perihal demokrasi, politik, agama dan hukum beserta segala problemnya baik secara terpisah maupun ketika bersandingan. Tentu menjadi rujukan yang tepat untuk memahami kembali makna demokrasi secara kontemporer dengan segala perkembangan yang ada.
Salam !!!

Komentar