Langsung ke konten utama

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM DALAM KASUS TERORISME



Oleh: 
Cipto Prayitno
email: bukitshimla@gmail.com

            Sebagaimana diatur dalam pasal 16 ayat (2) KUHAP bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan. Sehingga oleh KUHAP penyidik atau pembantu penyidik dapat melakukan upaya paksa berupa penangkapan tersangka dengan prosedural yang telah diatur dalam pasal 18 dan pasal 19 KUHAP.
Pasal 18
(1) Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempatia diperiksa.
(2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dulakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik peinbantu yang terdekat.
(3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
Pasal 19
(1) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan untuk paling lama satu hari.
(2) Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah.
Sehingga penyidik dalam melakukan proses penangkapan harus memperhatikan pasal 18 dan pasal 19 KUHAP tersebut agar dalam penangkapan tersebut dianggap sah.
Namun dalam kasus penangkapan tersangka yang diduga melakukan tindak pidana terorisme oleh Densus 88 pada 22 Januari 2007 di Tanah Runtuh, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah[1] dilakukan dengan tanpa memperhatikan prosedural penangkapan seperti didalam pasal 18 dan pasal 19 KUHAP, yaitu dengan tidak adanya surat penangkapan dan melakukan tindakan kekerasan terhadap tersangka terotisme tersebut. Sehingga dalam kajian perundang-undangan yang mendasarkan pada KUHAP, dapat dinyatakan bahwa penangkapan terhadap tersangka terorisme di Poso adalah tidak sah.
Karena tidak sahnya penangkapan oleh Densus 88 atas penangkapan tersangka tindakan terorisme di Poso, maka upaya yang dapat dilakukan tersangka adalah dengan melakukan upaya praperadilan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap tersangka yang telah diperlakukuan secara sewenang-wenang oleh penyidik yaitu dalam ha ini Densus 88.
Upaya praperadilan seperti diatur dalam pasal 77 huruf (b) dilakukan oleh tersangka adalah untuk ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Namun, pada senyatanya seolah upaya praperadilan atas keseweng-wenangan Densus 88 selaku penyidik dalam kasus terorisme sepertinya tidaklah pernah ada. Hal ini dikarenakan alasan bahwa terorisme adalah kejahatan luar biasa yang melanggar hak hidup banyak orang, sehingga tidak perlu adanya perlindungan terhadap tersangka dalam upaya praperadilan. Seperti contoh dalam kasus tersebut tidak ada suatu upaya pengajuan praperadilan, yang padahal jelaslah terjadi kesewenang-wenangan dalam penangkapan tersebut. Hal tersebut penulis menganggap alasan tersebut tidak murni berasal dari dalam diri tersangka yang tidak mau atau enggan mengajukan upaya praperadilan, namun ada sebuah kemungkinan tidak adanya pemberian kebebasan untuk mengajukan upaya praperadilan ini baik dari pihak penyidik atau dari pihak pengadilan karena alasan sebelumnya.
Dalam kajian Hak Asasi Manusi, betapa-pun kejam dan sadis seorang pembunuh dalam hal pemberian hak-haknya haruslah tetap diperhatikan dan dipenuhi. Sehingga perbuatan tidak memberikan kesempatan kepada tersangka terorisme upaya praperadilan atas kesewenang-wenangan penyidik adalah sangat bertentangan dengan HAM dari tersangka.
Melihat jauh kebelakang ketika mulai ditinggalkannya asas inkusatur dalam sistem peradilan pidana Indonesia dan diterapkan asas akusatur yang artinya secara konsisten mengakui hak-hak dari tersangka, maka perbuatan yang dilakukan oleh Densus 88 baik dalam hal kekerasan pada saat penangkapan atau tidak memberikan kesempatan melakukan upaya praperadilan terhadapnya adalah bertentangan dengan penerapan asas akusatur dalam KUHAP.
Sehingga menjadi sebuah pencederaan terhadap apa yang telah disepakati yaitu penerapan asas akusatur dalam peradilan pidana di Indonesia dan yang harus dilakukan adalah reorientasi terhadap kinerja para penegak hukum yang dalam menjalankan kegiatan penegakan hukumnya tetap berpegang pada KUHAP sebagai kitab dalam beracara pidana di Indonesia.











[1] penganiayaan yang dilakukan Densus 88 Anti Teror yang diduga terjadi pada 22 Januari 2007 di Tanah Runtuh, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Disadur dari Jaringnews.com, ini pelnggaran HAM oleh Densus 88 versi Komnas HAM, file:///D:/Bahan%20Pembelajaran/Data%20Ilmu%20Hukum%20UNSOED/Perkuliahan/Tugas%20Belum%20Selesai/Tugas%20Semester%20IV/Hukum%20Pidana%20Khusus/Kasus%20Densus%2088/Ini%20Pelanggaran%20HAM%20oleh%20Densus%2088%20versi%20Komnas%20HAM%20-%20Jaring%20News.htm, diakses pada 30 April 2013.



Komentar