Oleh:
Cipto Prayitno
Email: bukitshimla@gmail.com
Penulis : K.C. Wheare
Penerjemah : Imam Baehaqie
Penerbit :
Nusa Media
Tahun Terbit : 2015
Pendahuluan
Konstitusi
pada perkembangannya tidak akan bisa dilepaskan dalam konsepsi Negara modern
hari ini, kolaborasi antara Negara (pemerintahan) dan konstitusi juga
melahirkan konsepsi pemerintahan konstitusional dan paham tentang
konstitusionalisme atau paham tentang pembatasan kekuasaan. Namun demikian,
praktek tiap Negara dalam membicarakan mengenai konstitusi amatlah beragam
dalam hal perkembangannya. Oleh karena itu menarik menjadikan buku Modern Constitutions yang ditulis oleh
ahli konstitusi K.C. Wheare sebagai buku
pedoman untuk melihat teori dan perkembangan konstitusi-konstitusi modern yang
tersebar keseluruh Negara-negara modern didunia.
Buku
ini memberikan kerangka pemikiran dan teori tentang hal ikhwal mengenai
konstitusi yang didasarkan pada penelitiannya terhadap perkembangan, sejarah
dan praktek serta pengaturan konstitusi dalam beberapa Negara. Dalam buku ini secara pembahasan dibagi dalam
beberapa bab pemabahasan yang jika dibaca secara sistematis akan membentuk
pemahaman yang menyeluruh mengenai apa itu konstitusi modern.
Isi dan Pokok Bahasan Buku
Bab
1 dalam buku ini bicara mengenai Pengertian Konstitusi. Bahwa dalam
perkembangannya terdapat dua pengertian konstitusi menurut K.C. Wheare yaitu
konstitusi dalam pengertian luas dan sempit, yang bisa dijelaskan akan seperti
ini bunyinya: konstitusi digunakan untuk menggambarkan seluruh sistem
ketatanegaraan suatu negara, kumpulan berbagai peraturan yang membentuk dan
mengatur atau mrngarahkab pemerintahan. Peraturan-peraturan ini sebagian
bersifat legas, dalam arti pengadilan hukum mengakui dan menerapkan
Peraturan-peraturan tersebut (pengertian sempit) dan sebagian bersifat non-legal atau ekstra-legal, yang berupa kebiasaan, saling pengertian, adat atau
konvensi, yang tidak kalah efektif nya dalam mengatur ketatanegaraan
dibandingkan dengan apa yang secara baku disebut hukum (pengertian luas).
Konstitusi
dalam pengertian sempit diukur dengan sekumpulan aturan yang terdokumentasi
menjadi satu atau beberapa dokumen, dan pengertian konstitusi yang seperti
inilah yg digunakan dalam buku ini. Sehingga menjadi pertanyaan apakah Inggris
dianggap memiliki konstitusi atau tidak.
Bagaimana
kemudian konstitusi terbentuk ada beberapa aspek yang juga akan memberikan
jawaban apakah terdapat sebuah negara yang tidak memiliki konstitusi? Pertama
alasan adanya untuk membentuk kehidupan (pemerintahan) baru setelah lepas dari
pemerintahan lama. Kebutuhan konstitusi tentu diperlukan untuk mengatur bentuk
peryataan untuk membentuk pemerintahan baru dan mengatur hal-hal yang perlu
diatur termasuk agar tidak seperti pemerintahan sebelumnya. Pada titik inilah
Inggris dikatakan tidak memiliki konstitusi karena adanya kegagalan membentuk
pemerintahan baru yg sebenarnya sudah akan dilaksanakan pasca perang sipil. Kedua
adalah adanya keinginan untuk bergabungnya beberapa pemerintahan lama.
Bab
2 bicara tentang bagaimana konstitusi diklasifikasikan, bahwa terdapat banyak klasifikasi
yang bisa disematkan pada konstitusi yang didasarkan pada hal tertentu.
Misalnya, klasifikasi berdasarkan konstitusi tertulis dan konstitusi tidak
tertulis yang didasarkan pada terdokumentasi pada satu dokumen atau tidak suatu
konstitusi disebuah negara. Kemudian pengklasifikasian berdasarkan pada cara
pengamandemenannya, yaitu konstitusi kaku dan fleksibel (lentur) yang
didasarkan bukan pada sering atau tidaknya proses amandemen, namun didasarkan
pada proses pengamandemenan hanya oleh legislatif seperti membentuk UU lainnya
atau melibatkan organ lain atau proses amandemennya tidak seperti mengubah UU
lainnya, pengklasifikasian ini juga bisa dikategorikan pada konstitusi supreme
dan konstitusi tidak supreme. Klasifikasi selanjutnya berdasarkan pada bentuk
pemerintahan yaitu konstitusi federal dan konstitusi kesatuan. Selanjutnya
pengklasifikasian berdasarkan sistem pemerintahan presidensiil dan konstitusi
parlementer dengan perbedaan bahwa dalam sistem parlementer yang memungkinkan
eksekutif bisa duduk dalam parlemen. Kemudian klasifikasi yang didasarkan pada
bentuk negara yaitu klasifikasi negara republik dengan klasifikasi negara
monarki.
Klasifikasi-klasifikasi
yang diberikan oleh K.C. Wheare tentu tidak seketat yang dibayangkan dan
memberikan jarak yang jauh antara klasifikasi satu dengan klasifikasi
lainnya.
Bab 3 tentang isi konstitusi menurut K.C. Wheare pada prakteknya dibeberapa negara bahwa isi konstitusi tidak hanya sebagai dokumen yang memuat aturan hukum semata, namun lebih dari itu yaitu sebagai sebuah manifesto, sebuah pegakuan keyakinan, pernyataan cita-cita, dan sebuah piagam negara.
Bab 3 tentang isi konstitusi menurut K.C. Wheare pada prakteknya dibeberapa negara bahwa isi konstitusi tidak hanya sebagai dokumen yang memuat aturan hukum semata, namun lebih dari itu yaitu sebagai sebuah manifesto, sebuah pegakuan keyakinan, pernyataan cita-cita, dan sebuah piagam negara.
Mengenai
isi sebuah konstitusi juga akan sangat menentukan apakah sebuah konstitusi akan
berisi pasal-pasal yg banyak atau sedikit jumlahnya, hal ini sulit untuk
dihindari karena dibeberapa negara yang menganut sistem pemerintahan federal
perlu diatur dalam konstitusinya tentang pembagian kewenangan antara negara
federal dan negara bagian, apakah akan ditentukan masing-masing atau ditentukan
dalam konstitusi hanya kewenangan pemerintah federal dan sisanya menjadi
kewenangan negara bagian. Dari hal tersebut seringkali juga terdapat
permasalahan dan juga penafsiran yang berbeda. Problem yang juga dialami oleh
negara kesatuan adalah perlunya pengaturan pembatasan kewenangan pemerintah
terhadap warga negara nya atau tentang hak asasi manusia, problemnya adalah
bahwa hak yang diatur apakah perlu dirinci atau tidak, dan juga berkaitan
dengan pembatasan atas hak tersebut meskipun dengan hukum atau undang-undang.
Selain itu juga masalah dalam isi konstitusi adalah problem kekaburan sebuah
pengaturan yang terdapat dalam sebuah konstitusi termasuk pasal yang mengatur
mengenai hak warga negara, yang pada akhirnya menjadikan implementasi dari
pelaksanaan hak-hak warga negara dapat tercederai dan isi konstitusi tidak
dapat dijalankan.
Dan dibeberapa negara bahwa pembukaan atau mukadimah konstitusi yang berisi sebuah pernyataan perjuangan, cita-cita dan lain hal juga menjadi isi yang ada dalam sebuah konstitusi yang berlaku dinegaranya.
Dan dibeberapa negara bahwa pembukaan atau mukadimah konstitusi yang berisi sebuah pernyataan perjuangan, cita-cita dan lain hal juga menjadi isi yang ada dalam sebuah konstitusi yang berlaku dinegaranya.
K.C.
Wheare beranggapan bahwa konstitusi yang baik secara isi konstitusi nya
haruslah jelas atau tidak kabur, menggunakan bahasa yang jelas dan tidak mudah
ditafsirkan berbeda, konstitusi juga sebaiknya singkat hanya memuat hal-hal yang
mendasar sehingga pelaksanaan setiap isi pasal-pasalnya bisa maksimal, serta
sebuah konstitusi haruslah mengatur mengenai sebuah aturan hukum semata.
Bab
4 buku ini bicara mengenai darimanakah otoritas suatu konstitusi? Mengapa
konstitusi harus dipatuhi? Apakah landasannya?
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut K.C. Wheare memberikan dua landasan mengapa sebuah
konstitusi dipatuhi untuk dijalankan dalam sebuah negara. Yang pertama adalah
otoritas hukum, yang berkaitan dengan bahwa konstitusi dibentuk oleh lembaga
yang berwenang. Namun menjadi permasalahan adalah siapakah yang berwenang dalam
hal ini? Terdapat banyak pandangan, pertama bahwa lembaga ini adalah lembaga
tertinggi dalam sebuah pemerintahan negara, seperti konstitusi dinegara-negara
persemakmuran Inggris misalnya yang konstitusi nya dibentuk oleh parlemen di
Inggris, Westminster, sehingga secara otoritas du negara Australia misalnya
konstitusi tersebut secara hukum memiliki otoritas. Sedangkan bagaimana
dinegara-negara yang bukan persemakmuran, ketika konstitusi justru memberikan
otoritas kepada lembaga tertentu untuk kewenangan tertentu, bagaimana dan siapa
lembaga yang berwenang untuk membentuk konstitusi pertama kali? Problematika
ini tentu lebih mudah diajukan ketimbang untuk dijawab, namun terdapat
pandangan bahwa rakyatlah yang berwenang secara langsung atau melalui
perwakilan rakyat dengan dewan konstituante yang bertindak atas nama
rakyat.
Sumber
otoritas kedua adalah otoritas moral, yang berkaitan mengapa akhirnya dokumen
hukum konstitusi itu bisa diilhami dan dilaksanakan oleh rakyat dan pemerintah?
Tentu secara moral karena konstitusi ini berasal dari aspirasi masyarakat
sehingga setiap kewajiban yang diperintahkan oleh konstitusi harus dijalankan.
Secara teoritis juga terdapat pandangan filsafat hukum alam yang memberikan
rasionalisasi secara moralis mengapa konstitusi harus diikuti, karena
konstitusi berisikan jaminan hak-hak alamiah manusia yang harus dilindungi dan
berasal dari hukum alam, sehingga ketika konstitusi dibentuk bukan untuk itu
maka sesuai dengan hukum alam maka konstitusi tersebut tidak memiliki otoritas
sehingga tidakk perlu dijalankan.
Bab
5 buku ini membicarakan bagaimana konstitusi berubah karena adanya suatu
kekuatan tertentu. Konstitusi sendiri tidak hanya mencerminkan keyakinan dan
kepentingan politik dan hukum semata, lebih dari itu konstitusi adalah resultan
dari berbagau kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang bekerja pada waktu
pembentukannya. Artinya bahwa kondisi-kondisi sosial, ekonomi maupun politik yang
hidup dan berkembang dimasyarakat akan menjadi faktor dominan dalam proses
berubahnya suatu konstitusi.
Perubahan
sebuah konstitusi dalam sebuah negara oleh K.C. Wheare terdapat dua perubahan,
perubahan yang pertama adalah perubahan yang tidak mengubah bunyi pasal dalam
konstitusi namun yang berubah adalah pelaksanaananya, dimana banyak alasan
perubahan-perubahan ini seperti keadaan depresi ekonomi yang membuat eksekutif
menjalankan pemerintahan tidak seperti dalan konstitusi, kemudian faktor partai
politik, serta faktor budaya Konstitusi masyarakat yang berubah dan atas
ketidakpercayaan masyarakat maupun pemerintah atas kekuatan atau Supremasi
konstitusi yang pada akhirnya konstitusi tidak dijalankan. Model perubahan yang
kedua adalah perubahan melalui proses amandemen secara formal maupun secara
revolusioner dengan merubah setiap ketentuan bunyi pasal dalam konstitusi.
Perubahan ini tentu dilatar belakangi oleh banyak hal termasuk untuk merubah
konsepsi yang sebelumnya diatur dalam konstitusi dan akan diubah, seperti model
pemerintahan dan lain halnya.
Bab
6 Bagaimana konstitusi berubah? Dari sisi amandemen formal. Bahwa praktek
amandemen yang berjalan disetiap negara tidak bia dijadikan generalisasi atas
konsepsi perubahan konstitusi melalui amandemen formal. Namun paling tidak bisa
memberikan contoh atas praktek pelaksanaan amandemen yang berbeda ditiap negara
dan merujuk pada dua hal, amandemen yang kaku atau sulit lantaran terdapat
syarat yang sulit untuk ditempuh dalam melakukan amandemen, serta amandemen
yang mudah dengan alasan adanya kemudahan dalam syarat manakala akan melakukan
amandemeb konstitusi. Bahwa kaku tidak nya proses amandemen oleh K.C. Wheare dianggap
berkaitan dengan masalah pelaksanaan konstitusi secara baik, menurutnya bahwa
pelaksanaan pemerintahan yang konstitutional akan cenderung memudahkan
perubahan atau amandemen bila dirasa perlu, begitu pula sebaliknya. Namun
memang ini tidak menjadi ukuran pasti. Bahwa amandemen yang melibatkan rakyat
dalam proses nya atau referendum dengan segala metodenya tidak menjadi ukuran
bahwa amandemen itu baik, namun bisa sebaliknya manakala terjadi sikap masa
bodoh dalam masyarakat terhadap pemerintahan karena sifat dari pemerintahan dan
tindakannya.
Bab
7,bagaimana konstitusi berubah dalam faktor penafsiran hukum. Bahwa tugas hakim
untuk menyelesaikan suatu kasus dengan menggunakan hukum tertentu juga
memberikan konsekuensi bahwa hakim juga berwenang dalam bidang hukum
konstitusi. Sering kali terjadi hukum yang dibentuk oleh legislatif maupun eksekutif
bertentangan, oleh karena hakim sebagai yudisial harua memahami makna apa itu
konstitusi.
Dalam
konstitusi diatur mengenai batasan kewenangan sebuah lembaga baik eksekutif
maupun legislatif, sehingga dalam hal ini hakim atau yudisial juga berwenang
untuk memberikan putusan manakala lembaga tersebut melebihi atau melampaui
kewenangannya yang diatur dalam konstitusi.
Atas
dasar hal tersebut bahwa konstitusi perlu diterapkan pada prakteknya
dimasyarakat, melalui penerapan hukum sampai ke pengadilan. Dalam setiap
putusan hakim hakim harus mampu menafsirkan suatu makna dalam hukum termasuk
dalam konstitusi pada kasus tertentu, apalagi jika didapati bahwa hukumnya
tidak jelas atau terjadi kekosongan hukum. Dan tidak menutup kemungkinan pula
bahwa hukumnya sudah tidaj sesuai dengan perkembangan masyarakat dan zaman.
Oleh karena itu atas dasar kewenangan hakim sebagai yudisial maka
bagaimana konstitusi bisa berubah adalah salah satunya karena adanya
penafsiran hakim yang pada akhirnya merubah pelaksanaan konstitusi dalam
praktek nya di masyarakat, hal ini sesuai dengan kewenangan hakim. Secara
sejarahnya dasar kewenangan hakim tidak terlepas dari kasus Madison vs Marbury
yang terjadi di Amerika Serikat, kasus ini menjadi landasan bahwa hakim juga
sebagai penjaga konstitusi yang juga sebagai supreme court. Namun praktek penafsiran hukum oleh hakim
sebagai salah satu faktor berubahnya konstitusi tentu memiliki perbedaan yang
juga dilandaskan pada keberlakuan dari konstitusi dalam negara itu
sendiri.
Bab
8 bicara tentang bagaimana konstitusi berubah karena kebiasaan (custom) atau tradisi (konvensi
ketatanegaraan). Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam praktek ketatanegaraan
sangat dipengaruhi oleh hukum tertulis termasuk oleh pengaturan yang ada dalam
konstitusi, namun demikian buka berarti sampai disitu saja, bahwa ada banyak
praktek ketatanegaraan yang tidak berlandaskan pada hukum tertulis atau
konstitusi yang berlaku. Terdapat kebiasaan-kebiasaan ketatanegaraan (custom) dan tradisi atau konvensi yang
meskipun tidak tertulis namun dipatuhi dan dijalankan sebagai hukum yang
mengikat. Darimana konvensi ketatanegaraan ini muncul okeh K.C. Wheare ada dua,
dari kebiasaan-kebiasaan atau custom
(adat) yang berkembang dalam sistem ketatanegaraan serta juga tidak selalu dari
kebiasaan namun bisa dari kesepakatan negarawan atau lembaga otoritas yang
sekalipun tidak berasal dari kebiasaan namun disepakati untuk dipatuhi.
Konvensi
ketatanegaraan ini pengaruh nya terhadap perubahan konstitusi tidanya secara
pasti merubah ketentuan bunyi setiap pasal dalam konstitusi yang berlaku, namun
konvensi memotong berlakunya aturan dalam konstitusi atau suatu aturan dalam
konstitusi tidak lagi dijalankan karena terdapat konvensi ketatanegaraan yang
berbeda, hal ini bisa dilihat dari misalnya kewenangan hak veto yang dimiliki
oleh pemimpin negara yang diatur dalam konstitusi, namun karena pada kebiasaan
dan konvensi tidak lazim untuk dijalankan, akhirnya hak veto tidak memiliki
otoritas untuk dilaksanakan.
Konvensi
menjadi salah satu yang juga mengisi kekosongan dan memberikan masukan bagi
praktek ketatanegaraan yang baik bagi suatu negara, hal ini tercermin dari
misalnya pengaturan yang berasal dari konvensi yang akhirnya diatur dalam
konstitusi seperti masa jabatan presiden yang awalnya adalah konvensi
ketatanegaraan saja. Namun menurut K.C. Wheare sekalipun konvensi bisa
berpengaruh terhadap perubahan konstitusi, namun harus ada batasan-batasan
terhadap hal ini agar jangan sampai terlalu berlebihan, cukup perubahan karena
konvensi ini untuk menutup kekurangan perubahan melalui amandemen formal
saja.
Bab
9 Prospek pemerintah berdasarkan konstitusi. Pemerintahan yang konstitutional
tidak hanya sekedar berdasarkan konstitusi. Lebih dari itu, pemerintahan
konstitusional berarti lawan dari pemerintahan yang sewenang-wenang, berarti
pemerintahan yang dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi, bukan hanya
dibatasi oleh keinginan atau kemampuan orang-orang yang memegang
kekuasaan.
Dari
paparan K.C. Wheare tersebut dapat dilihat bahwa klaim pemerintahan
konstitusional tidak hanya berdasarkan pada apakah negara tersebut memiliki
konstitusi atau tidak, akan tetapi ketentuan dalam konstitusi juga mampu
membatasi kekuasaan pemerintahan terhadap rakyatnya, selain daripada itu yang
paling penting adalah pelaksanaan atas ketentuan dalam konstitusi tersebut.
Namun pada praktek nya sering terjadi bahwa pemerintahan konstitusional harus
ditunda atau tidak dapat dijalankan atas suatu alasan tertentu seperti perang,
krisis ekonomi, dan keadaan genting atau mendesak sehingga pemerintahan
konstitusional tidak dapat dijalankan dan Pemerintahan lebih menggunakan konsep
abslutisme karena dibutuhkan sentralisme dalam pelaksanaan pemerintahan.
Pemerintahan
konstitusional selalu dikaitkan dengan pemerintahan yang demokratis, oleh K.C.
Wheare hal ini tidak sepenuhnya dianggap benar, hal ini tergantung bagaimana
Menafsirkan demokrasi dalam negara tersebut, apakah demokrasi hanya sebatas
pemilihan umum yang bersifat universal atau demokrasi adalah bicara mengenai
kesetaraan dan kebebasan. Jika seperti yang pertama tentu Pemerintahan
demokratis tidak lah bisa dikatakan pemerintahan yang konstitusional, karena
pemilihan umum bisa membuka peluang terhadap terpilih nya pemerintah yang
bersifat absolut atau otoriter, sedang jika seperti yang terakhir, maka
pemerintahan yang demokratis bisa disamakan dengab pemerintahan
konstitusional.
Problem
dalam pemerintahan konstitusional adalah manakal bicara tentang kebebasan,
apakah pengakuan terhadap kebebasan yang dapat merongrong kekuasaan pemerintah
konstitusional dapat dibenarkan? Tentu tidak mudah untuk menjawab pertanyaan
ini, karena hal ini sangat berkaitan dengab politik praktis,serta praktek tiap
negara dalam menghapi hal semacam ini akan berbeda.
Penutup
Tentu
teori tentang konstitusi menjadi penting manakala melhat kenyataan bahwa
keberadaan konstitusi dalam perjalanan ketatanegaraan sebuah Negara amatlah
penting. Upaya lepas dari pemerintahan sewenang-wenang tentu tidak akan
dilepaskan dari jasa keberadaan dan perkembangan teori konstitusi ini. Sehingga
penting untuk mempelajari dan terus mengembangkan teori serta praktek
konstitusi dalam sistem ketatanegaraan sebagai upaya menciptakan pemerintahan
yang konstitusional serta demokratis.
Oleh
karena itu bahwa buku ini penting untuk menjadi pegangan dalam mempelajari
perkembanga-perkembangan konstitusi modern dan pengaruhnya terhadap
perkembangan pemerintahan konstitusional sebagai lawan dari pemerintahan yang
sewenang-wenang.
Komentar
Posting Komentar